Dimuat di Majalah ESTAFET
Nomor 67 Tahun VII Juni 1991 hal 66-67
UNTUK pertama kalinya Sari
menangis. Layar monitor televisi ditatapnya dengan nanar. Biasan gambar itu
seperti dengan tajam mengiris bola matanya.
Sari tercekat ketika suara
penyiar terdengar bergaungan di benaknya yang menyebut nama Papa
berulang-ulang. Suara penyiar itu menghujam jantung Sari. Nyeri.
"Non Sari,"
suara dari balik pintu kamar terdengar berderit di telinga Sari yang terasa
sakit, "Makan malamnya sudah siap, Non."
Tanpa menjawab Sari
berdiri lunglai. Kakinya terasa tak sanggup lagi menahan bobot badannya Bumi
dilihatnya berpendar cepat, isi kamar berputar, jungkir balik, dan bahkan
potret Papa di atas meja belaiarnya seolah melayang dan kemudian terhempas
keras.
"Tidaaaaak..!"
teriaknya histeris. "Tidak mungkin! Papa tidak mungkin melakukan itu
Tidaaaaak…!”
"Non. Non Sari,"
suara dari balik pintu itu terdengar cemas Namun Sari tidak lagi mendengarnya.
Tubuhnya terkulai lemas di bibir ranjangnya.
Perlahan sekali Sari
membuka matanya, mengedarkan pandangannya ke segenap kisi ruangan. Mak Ijah duduk
cemas di sisi ranjangnya. "Non Sari," suara Mak Ijah bergetar.
Perlahan Sari berusaha
bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah hingga dengan berat ia kembali merebahkan
tubuhnya.
'Istirahat saja, Non,
barangkali masih lelah."
Sari berusaha memejamkan
mata. Rasa sakit dalam hatinya memaksanya untuk mendengar suara sang penyiar
televisi yang baru saja berlalu Tersangka diduga telah memanipulasi sejumlah
uang milik negara untuk kepentingan pribadi. Kerugian ditaksir oleh pihak berwenang
sejumlah...
Kalimat-kalimat seperti
itu terekam berulang ulang di benaknya, dan betapa ia amat merana setiap kali
pejaman matanya memampangkan kembali siaran waria berita itu. Serasa pecutan
rotan menghujani tubuhnya yang kian lemas, sendi-sendinya seperti dipaksa
diungkai hingga Sari merasa lumpuh.
Bayangan senyuman Papa
setiap kali ia pulang melintas di lensa matanya; dengan mesra sekali Papa akan
memeluknya dan membisikkan sesuatu 'kuliahmu lancar saja, sayang? dan ia akan
balas berbisik manja ‘tentu, Pa'. Dan rasanya baru kemarin Sari berbisik
ditelinga Papa: “Pa, Sari ingin deh kalau pergi kuliah, Sari dapat langsung
turun di depan kampus.” Beberapa waktu kemudian, Papa langsung menghadiahinya
sebuah mobil.
"Non Sari..."
Sari tersentak, membuka kembali
matanya dan tersadar kalau ada seorang perempuan setengah baya tengah
menatapnya cemas. Dengan air yang merebak di matanya, ditatapnya Mak ljah. la
menemukan suatu ketulusan di mata wanita itu. Ketulusan yang telah merawatnya
sejak ia belum lagi tahu apa-apa. Kata Mama, seiak ia masih dalam kandungan,
Mak ljah telah tinggal bersama mereka.
"Non Sari
sakit?" tanya Mak Ijah lembut dan hati-hati.
Sari kembali memejamkan
matanya, dan kembali merasakan sakit yang tiada terkata di anak telinganya.
Suara penyiar itu.... Mak Ijah membelai lembut kening Sari yang berkeringat.
"Mak Ijah, esok pagi
kita ke Jakarta, ya," kata Sari datar.
"Lho. kan baru minggu
kemarin, Non."
Dada Sari terasa perih.
Minggu lalu ia masih bercanda ria dengan Papa, tertawa bersama di beranda
sambil sesekali menggoda mama yang sedang sibuk dengan teka-teki silangnya.
Sungguh tiada terduga di
benak Sari kalau baru saia, beberapa menit yang lalu, wajah Papa muncul di
monitor televisi dengan dakwaan yang maha berat. Sementara Sari, yang ia tahu,
hanya meminta dan meminta Bahkan baru tiga bulan yang lalu ia mendapat kado
ultah dari Papa. Sebuah mobil yang lama diimpikannya. Itu yang dibisikkannya ke
telinga Papa sebulan sebelum itu.
Tak tanggung-tanggung,
Papa juga memberi hadiah yang sama pada Andi, adiknya. Terbayang jelas di mata
Sari ketika Andi mendakwa Papa, bahwa Papa tidak adil. Mengapa hanya Sari yang
dibelikan mobil sedang Andi harus rebutan naik bis tiap kali berangkat ke
sekolah. Andi mengancam, jika ia tak dibelikan mobil juga, ia akan mogok
sekolah. Ingat sekali oleh Sari, waktu itu Papa sempat tercenung. Tapi kemudian
Papa hanya tersenyum lembut dan membelai kepala Andi.
"Non Sari..."
Kembali Sari tersentak.
Ditatapnya Mak Ijah yang cemas.
"Ada apa, Non?"
"Tidak apa-apa, Mak.
Sekarang Mak Ijah siapkan seluruh barang-barang. Besok pagi-pagi sekali kita
berangkat."
"Tapi,"
"Ayolah Mak, Sari
harus ke Jakarta."
Mak Ijah tak berkata lagi.
la bangkit dan segera membenahi barang-barang. Sementara hujan turun terus
menerus sejak siang tadi. Sari merasa kian terluka. Rasa sesal, perasaan
bersalah, kecongkakan dan keangkuhan gaya hidupnya menekan ulu hatinya.
Sari menjerit sekuatnya.
Tapi suaranya seperti tercekat, kerongkongannya seperti diikat seutas tali yang
dengan keras memutus hubungan kerongkongannya dengan udara luar hingga pita
suaranya tak lagi bergetar. Dan ia terkapar, kian sakit, kian berdosa— semua
kesalahan yang telah diperbuat Papa tentu karena kesalahannya, karena
kecongkakannya, karena permintaannya yang tak lagi mengenal batas. la memang
telah keterlaluan, sementara Papa juga dengan berlebihan memanjakannya. Sari
kian terhimpit; tak satu dua permintaannya yang telah dipenuhi Papa, tapi
semuanya.
Dari rumah, mobil, video,
televisi. Televisi! itulah Papa dipermalukan di depan umum, di depan banyak
orang, didepan siapa saja... Kembali Sari menjerit sekuatnya dan kembali
kerongkongannya tercekat. la takut bila jeratan tali itu justru akan menjerat
Papa di suatu tempat. Di suatu saat, di mana kesalahan-kesalahan harus di
tebus, hutang-hutang harus dibayar. Tempat di mana langit dan bumi tak
berbatas, tak beruang, tak berjarak.
Mobil belum masuk garasi,
memang biasanya mobil itu masuk garasi tak lebih cepat dan pukul sepuluh malam
Saat-saat seperti ini biasanya Sari sedang asyik berduaan di diskotek atau
bioskop. Bahkan tak jarang ia pulang lewat malam. Itulah rutinitas yang
dilaluinya sejak mobil itu ada di tangannya, seiak mobil...Oh, mobil terkutuk!
Kembali Sari menjerit dan kembali suaranya hilang ditelan malam.
Malam merangkak pelan,
hujan tetap turun menyenandungkan nyanyian penyesalan di hati Sari. Perlahan
sekali ia membuka jendela dan serabutan angin dingin yang basah menerpa
wajahnya. Sari merasa tenang, merasa hawa itu menebarkan kesejukan yang tiada
tara di hatinya yang terasa luka, berdosa dan…. Oh, Papa tentu tak akan
merasakan lagi hawa basah dari angin dingin, yang lepas bebas di alam ini
Tentunya Papa harus mendekap dalam terali, di atas ubin yang dingin dan apek,
di antara beton-beton yang penuh lumut, di antara rawa yang bila huian
menebarkan ratusan lintah
Oh, Tuhan! 'Sari mengusap
wajahnya. Bubungan kilat sesekali meneranginya, memperlihatkan wajahnya yang
kusut.
"Non Sari, hawa
dingin begitu tidak baik lho, untuk kesehatan," kembali suara Mak Ijah
menyadarkan Sari dari lamunan panjangnya Suara yang kian lembut di dengarnya.
Padahal selama ini, Sari sering memaki-maki, memarahi dan membentak seenaknya.
Tapi mengapa suara wanita itu terasa meniadi pelipur yang menentramkan hatinya?
Mengapa wanita yang sering dimakinya itu tak pernah tersinggung?
Intonasi suara Mak Ijah
tak pernah keras di telinga Sari. Apalagi kini, suara itu menjadi suatu
kesejukkan.
"Mak Ijah," Sari
berbalik, menatap Mak Ijah dengan kegalauan yang kian menari di wajahnya
"Sari ingin bicara."
Setelah Mak Ijah duduk di
bibir ranjangnya, Sari mendekat dan ikut duduk. Sementara jendela dibiarkannya
terbuka, yang hawa basahnya telah memenuhi kamar. Hujan di luar tetap tak
henti.
"Mak, selama ini Sari
telah berdosa pada Mak. Sari telah lancang, kasar, dan tak berperasaan..."
"Sudahlah, Non,"
Mak Ijah memotong cepat. "Lupakan itu. Yang membuat Mak bingung mengapa
kita harus ke Jakarta. Bagaimana dengan kuliah Non nantinya, apa nggak bakal
terganggu. Apalagi... Non jarang masuk. Pagi-pagi kalau dibangunkan, Non bilang
kuliah siang. Siangnya diingatkan katanya sore. Lha, setelah sore, eee malah
kabur sama Den Rangga." Kata-kata Mak ljah sedikit mengusik kalbu Sari.
Tapi Mak Ijah benar dan ia tak pantas marah, bahkan ia harus terima kasih pada
Mak ljah.
"Non," Mak Ijah
melanjutkan, "Sebenarnya ada apa sih, kita harus pulang ke Jakarta?”
Sari diam. Lama.
Dilemparkannya tatapan ke luar sana. Menatap garis-garis hujan yang terlihat
jelas dari piasnya sinar merkuri. Perlahan sekali ia berjalan mendekati jendela.
Hembusan angin dingin yang basah menyergapnya dan ia merasa menikmatinya. Hawa
yang telah sekian lama terlupa dan tak dirasakannya, selain hangatnya dekapan
Rengga, panasnya alkohol atau hangatnya tarian dan sentuhan. Sari telah lama
lupa akan kesucian dan kemurnian alam seperti saat ini.
"Dari tadi Non
melamun saja. Ada apa, Non?"
Sari berbalik, bersandar
pada jendela dan terasa punggungnya dibelai hawa dingin itu. Sari merasa
tentram.
"Mak, Sari telah
salah melangkah. Sari telah lupa akan banyak hal yang seharusnya tak boleh
dilupakan,"Sari bicara getir Ditelannya ludahnya yang terasa pahit,
lalu."Selama ini Sari telah lupa akan kefanaan hidup ini."
Mak Ijah menatap takjub
pada majikannya. Ada perasaan tenteram di hatinya mendengar pengakuan itu,
pengakuan yang telah sangat lama didambakannya dari Non Sari yang telah
diasuhnya.
"Mak, Sari telah
melupakan Tuhan. Sari telah terjerat oleh kehidupan yang Sari buat sendiri.
Bahkan, Papa terjerat oleh kelakuan itu. Papa telah tersiksa karena
Sari…."
"Mak tidak mengerti.
Bicara apa Non ini," kata Mak Ijah bingung.
Sari kembali menghadap
keluar. Menatap garis hujan yang dengan tak lelah terus turun. Dari balik
garis-garis itu terlihat olehnya wajah Papa yang kuyu, pasrah, wajah yang
menunggu sesuatu dengan kedukaan. Ah, garis hujan itu telah berubah menjadi
kisi-kisi sel di mata Sari. Dan kesakitan kembali menghentak dalam hatinya.
"Mak, sekarang
tidurlah Biarkan Sari sendiri." Sari bicara berat. Dan Mak Ijah pun
berangkat ke kamarnya dengan pertanyaan yang tak dimengertinya. Malam kian
larut, tapi hujan tak ada gelagat akan usai. Sari, tiap kali memejamkan mata,
selalu saja membayang wajah Papa dan suara penyiar itu. Suara yang memenuhi
kamarnya, memenuhi telinganya, dan suara yang menuntut kesalahan-kesalahan yang
telah diperbuatnya.
Seperti ada bisikan yang
melintas di tengah kegalauannya, Sari berdiri dan berjalan pasti ke belakang.
Dibasuhnya wajahnya, tangannya, telinganya dan kemudian diakhiri dengan dua
kakinya.
Selesai itu ia kembali ke
kamar dan membuka lemari. Mukena yang dibawanya dari Jakarta dulu —atas desakan
Mak Ijah dan yang telah sangat lama tak disentuhnya- dikeluarkannya dari
lemari. Saat ini Sari ingin mengenakannya lagi, menggunakannya untuk
menghadap-Nya. Belitan penyesalan di hatinya menyadarkannya untuk berbuat
sesuatu, untuk meminta kepada Yang Tunggal, kepada yang selama ini
dilupakannya.
Dengan khusuk Sari berdoa
sehabis shalat. Segenap perasaannya terpusat pada satu kekuatan yang seakan
telah memberinya sebagian dari kekuatan itu. Sari merasa lebih tenang.
Kekhusukkan itu sungguh memberi warna yang lain pada kegetirannya, pada
keberdosaan yang dirasakannya. Dan Sari merasa, Ia memang Mahapemaaf,
Mahapengampun.
Beberapa tetes air di pipi
Sari menggantung. Kesadarannya untuk segera berbenah diri telah menahan deras
air matanya. Satu tekad dihatinya, kembali berjalan di atas rel yang telah
digariskan dan dihalalkan sang pencipta. Tapi dalam hati Sari masih ada satu
pertanyaan; mengapa kesadaran selalu datang terlambat, setelah semua kesalahan
menumpuk? Mengapa dalam kefanaan duniawi yang melelapkan, dalam glamournya
kehidupan, dalam indahnya pancaran, selalu saja manusia lupa bahwa hidup hanya
sementara?
Sari merasa kebeningan
malam telah memagutnya. Kepanikan dan kegalauan itu tak perlu ada jika
kepasrahan diri pada Tuhan telah menyatu dalam jiwa dan raga.
Diam-diam Mak Ijah
mengintip majikannya yang tafakur khusuk tengah membaca ayat-ayat suci. Mak
Ijah merasa ikut tentram, setelah sekian lama majikannya itu tak didengarnya
melantunkan alunan suci.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar