Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 467 tanggal 12 – 25 Oktober 1992
SELESAI penutupan kuliah
oleh Profesor Kusnandar, Ir. Marni segera membenahi buku-bukunya. Tiga buah
buku tebal dimasukkannya dengan tergesa ke dalam tas.
“Kelihatannya Anda
terburu-buru," sapa Ir. Bastian dengan nada bersahabat dan simpatik.
Ir. Marni mengangkat
mukanya. Matanya mengawasi dengan cermat laki-laki yang berdiri tenang di
samping mejanya. Sambil mengancingkan restluiting tasnya, Ir. Marni menjawab
sekenanya, "Saya kira akan segera turun hujan. Sangat tidak enak terperangkap
di sini dalam hujan deras."
Ir. Bastian tertawa lepas.
Alis matanya yang tebal terangkat, melengkung dengan bagus. "Kebetulan
saya di sini punya sepupu dan dipinjami mobil. Saya kira saya akan senang
sekali bila Anda tidak keberatan saya antarkan," tuturnya menawarkan.
"Tapi," nada
suara. Ir. Marni terdengar bimbang. "Oh, terima kasih," lanjutnya.
Tatapan mata Ir. Bastian membuatnya sedikit gugup.
"Apakah itu berarti
Anda menerima tawaran saya?"
Ir. Marni tergagap.
Ditariknya sebuah senyum tipis di bibirnya yang rancak. Di luar ruang kuliah,
sekali guntur menggelegar seiring hujan deras. Gemuruh hujan yang menimpa atap
tidak mampu untuk diredam oleh plafon yang beberapanya telah pecah.
"Tak ada alasan untuk
menolak," kata Ir. Marni kemudian.
Itulah mula pertama Ir.
Marni berkenalan dengan Ir. Bastian, laki-laki yang sama-sama mengambil Master
bidang peternakan di Bogor. Untuk menyelesaikan studi S-2 tersebut, setiap
mahasiswanya diwajibkan mengambil kuliah di Bogor selama satu semester,
kemudian baru kembali ke Universitas masing-masing melanjutkan studinya.
"Hampir setengah
semester kita berada di sini," gumam Ir. Bastian suatu kall.
"Ya, dan itu artinya
telah sekian lama pula kita tidak bertemu dengan keluarga kita," Ir. Masrizal
dari Padang menimpali deingan logat Minangnya yang khas.
"Oh, tentu istri Anda
akan kesepian sekali," celetuk Ir. Mayaki yang berkulit hitam, dan
berambut keriting. "Apalagi sekarang musim hujan," lanjutnya dan
tertawa lepas.
Ruangan kuliah menjadi sedikit
gaduh karena leluconnya. Ir. Marni tersenyum tipis sambil mencoba menepiskan
kerinduannya pada suami dan anaknya yang baru berusia dua tahun.
"Anda menyukai
perenungan," gurau Ir. Bastian dari belakangnya.
“Dalarn suasana
perkuliahan seperti ini, ketat dan menyibukkan," tutur Ir. Marni, "merenung
adalah salah satu cara yang amat manis untuk menepis kesepian dan mengusir
kerinduan."
Ir. Bastian
mengangguk-angguk. Matanya yang hitam sedikit nakal menyorotkan sinar yang bagi
Ir. Marini bagai sorot mata bocah SMA saja layaknya. Duh, matanya bergelora.
Dan, ada suatu yang tersembunyi dari pancarannya. Ir. Marni membatin sembari
membuang mukanya ke arah depan.
***
MEMASUKI hari-hari
selanjutnya, kesepian kian terasa menyiksa. Kerinduan pada suami, istri, anak
atau seluruh orang-orang yang dicintai di daerah sana, kian muncak. Ini.dialami
oleh seluruh peserta kuliah yang rata-rata telah berkeluarga. Akan lebih
beruntung bagi yang masih lajang tentu tidak perlu merindukan dekapan atau belaian
istri atau suami. Tapi bagi yang telah berumah tangga? Sungguh, suatu rasa yang
menyiksa untuk sekedar dapat bertemu keluarga. Apalagi bagi Ir. Masrizal, ia
baru seminggu menjadi pengantin sebelum keberangkatannya ke Bogor ini. Atau Ir.
Mayaki, ia harus meninggalkan istrinya yang sedang hamil.
Ir. Marni pun tak luput
dari kerinduan. Kerinduan akan dekapan Nurdin, suaminya, kerinduan untuk
bercengkerama dengan Rani yang lucu. Terbayang lagi di mata Ir. Marni ketika
suami dan anaknya mengantar sampai ke pelabuhan. Raungan suara kapal meninggalkan
dermaga terasa menjadi irama yang mencabik-cabik dadanya. Lambaian tangan suaminya
dan gerakan lambat dari tangan anaknya yang mungil terasa mengiris kalbunya. Ah,
kerinduan memang sering menyakitkan.
Untuk pulang ke daerah
masing-masing, apalagi bagi yang jauh, jelas akan memakan biaya yang tidak sedikit.
Disamping jadual perkuliahan yang ketat, rata-rata mereka adalah dosen-dosen muda
yang belum lama diangkat. Berapalah gaji yang dapat diandalkan apalagi kalaupun
bisa pulang ke daerah, itu hanyalah untuk melewati satu atau dua malam saja.
Maka untuk menghemat pengeluaran, kerinduan pada orang-orang yang dicintai pun
terpaksa disimpan jauh-jauh.
Tapi bagaimanapun,
dorongan dan hasrat untuk bercengkerama dengan keluarga adalah luar biasa
derasnya. Malam yang dingin, kesendirian yang panjang, lamunan yang makin
menumpukkan kerinduan akan belaian. Tak luput, ini juga berlaku bagi Ir. Marn
Ir. Bastian.... Ah, Ir.
Bastian! Laki-laki itu memancarkan pesonanya lewat tatapan matanya yang simpatik,
bicaranya yang halus dan perhatiannya yang luar biasa. Marni dapat merasakan
semua itu.
“Marni,” Ir. Bastian
bicara dengan lunak, "Ada sesuatu yang ingin kukatakan."
Sekilas Ir. Marni
memandangnya. "Aku harap aku akan senang mendengarnya," tuturnya.
"Aku
menyukaimu," tutur Ir. Bastian spontan.
Ir. Marni tergagap.
Ditatapnya manik mata laki-laki itu. Tiada lain yang dapat ditemukan Ir. Marni
selain ketulusan dari sebuah persahabatan. Duh, bukan persahabatan lagi. Ini
telah lebih dari sekedar sahabat! Mereka telah saling bercerita apa saja, dari rumah
tangga sampai pada cerita-cerita tentang kesepian dan kerinduan.
“Maafkan aku kalau kau
tersinggung."
"Oh, tidak,” Ir.
Marni menetralisir suasana hatinya yang menjadi galau. Aku juga menyukai kau,
Ir. Bastian. Apakah ada yang salah bila kita saling menyukai dan saling membutuhkan
dalam suasana seperti ini? batinnya ketar-ketir.
Ir Bastian menarik nafas
dalam-dalam. Setelah beberapa saat terdiam, suaranya yang berat kembali
meluncur, "Kau sangat menarik, Marni," tuturnya setengah berbisik.
Ir. Marni kembali
tersentak. Jantungnya berdegup cepat. Seperti layaknya seorang remaja yang duduk
di samping sang arjuna, Ir. Marni merasa tidak mampu untuk balas memandang Ir.
Bastian. Ia menunduk dalam. Menekuri meja.
“Kau juga menyukai aku,
bukan?"
Pecah sudah sesak di dada
Ir. Marni. Kini meletuplah semua yang dirasakannya. Penuturan Ir. Bastian telah
mengungkap seluruh apa yang dirasanya. Ir. Marni merasa ada getaran yang
mengusik kalbunya. Getaran yang seharusnya tidak boleh lagi dirasakannya.
Tidak boleh dirasakan?
Mengapa? Apakah salah bila kesepian yang panjang mengajarkan sebuah arti
persahabatan dan kedalaman perasaan untuk saling menyukai? Apakah tabu bila
rasa ini muncul? Oh, Tuhan! Mengapa aku harus menunduk! Mengapa aku harus
kebat-kebit bagai seorang gadis sedang kasmaran saja?
Ir. Marni kian gelagapan
ketika tangan Ir.Bastian telah menggenggam jemarinya. Darah panas dengan cepat
mengaliri seluruh tubuhnya. Dadanya terguncang hebat, berdegup cepat.
"Oh, sebaiknya kita
pulang saja," ujar Ir. Marni sambil menarik tangannya dengan pelan.
"Baru pukul delapan.
Tidak ingin sedikit berdansa?” tawar Ir. Bastian, lagi-lagi dengan kekuatan
magnit yang amat besarnya.
"Ngg…," Ir.
Marni kelimpungan lagi. "Saya merasa kurang enak badan," jawabnya
kemudian dengan sebuah alasan klasik. Alasan yang selalu diulangi setiap wanita
sejak dulu kala.
"Baiklah, sebaiknya
saya memang segera mengantar Anda pulang," tutur Ir. Bastian simpatik.
"Mungkin Anda lelah sekall."
Sampai di kamarnya, Ir.
Marni benar-benar merasa kelimpungan. Matanya enggan diajak tidur. Angannya
melayang jauh, jauh, menembus cakrawala....
Ir. Bastian dengan lembut
mengusap anak rambutnya. Mata laki-laki itu menikam kalbunya, jauh ke dasar
hatinya. Perasaannya. Suara musik yang mengalun lembut membuatnya terasa nyaman
dan melayang tinggi. Dekapan Ir. Bastian dalam irama dansa yang pelan
membawanya bergerak dan meliuk-liuk dengan ringan. Pelan sekali, kalbunya
merasa dipenuhi nada-nada romantis dan kerinduan akan dekapan seorang laki-laki.
Dekapan yang membangkitkan gairah, kerinduan atau entah apa namanya. la membiarkan
saja ketika Ir. Bastian membelainya…. Kecupan-kecupan
halus di belakang telinganya bagai sengatan-sengatan yang membangkitkan seluruh
jaringan syarafnya….
Suara ketukan di pintu
kamar membuyarkan lamunan Ir. Marni. Mak Inah mengantarkan susu hangat seperti
malam-malam biasanya.
***
BAGAIMANAPUN juga, waktu tetaplah
bergulir mengikuti kodratinya. Ir. Marni, Ir. Bastian dan seluruh mahasiswa
lainnya berangkat menuju batas akhir perkuliahan satu semester di Bogor.
Ketatnya jadwal perkuliahan memaksa mereka mengenyampingkan kerinduan-kerinduan
yang menyengat pada orang-orang tercinta. Hingga akhirnya perpisahan itu tiba.
Malam terakhir mereka
bersama, para dosen muda itu menghabiskan waktunya di sebuah penginapan.
Indahnya purnama, remangnya cahaya yang meniti di daun-daun teh, terasa
memenuhi kalbu. Perkebunan itu bagai permadani hijau berkilau ditempa sinar
keemasan. Liku jalan yang membelah perkebunan menjadi begitu indah diterangi
cahaya purnama. Likunya menjalar jauh sampai ke bawah perbukitan sana.
"Marni," ujar
Ir. Bastian pelan, "Tidak lama lagi kita akan berpisah. Kita akan
dipisahkan oleh jarak yang teramat jauh."
"Ya," Ir. Marni
menanggapi dengan perasaan yang bergalau. Getir.
"Aku menjadi takut
akan perpisahan itu. Entahlah, aku merasa bahwa perpisahan itu akan menenggelamkan
aku ke dasar yang entah bagaimana kelamnya," tutur Ir. Bastian lunak.
"Ya," kembali
Ir. Marni bicara sekenanya.
"Marni," Ir.
Bastian memutar duduknya dan tepat berhadapan dengan Ir. Marni. “Ah,
entahlah!" desahnya kemudian seperti dengan susah payah.
Ir. Marni membiarkan tangan
Ir. Bastian menyentuh punggung tangannya. Lak-laki itu mengangkatnya perlahan.
Digenggamnya erat bagai tak ingin dilepaskan lagi. Remasan jemari Ir. Bastian
membangkitkan gejolak yang hebat dalam dada Ir. Marni. Gelora dalam hatinya
kian menjadi-jadi ketika punggung tangannya dikecup dengan halus. Ir. Marni
merasa tidak kuasa menahan gejolak batinnya sendiri. Disandarkan tubuhnya pada dada
Ir. Bastian yang kokoh.
Ir. Bastian membelai
rambut Ir. Marni dengan lembut. "Marni, entah kapan lagi kita akan dapat
bersama," tuturnya lambat. "Yang pasti perpisahan itu akan segera
datang."
Ir. Marni mengangkat
mukanya, menatap lurus pada mata laki-laki itu. Ir. Bastian balas menatapnya
dengan penuh bara. Perlahan sekali Ir. Bastian menariknya berdiri dan kemudian
memeluknya. Ir. Marni seperti tiada kuasa menolak ketika sentuhan-sentuhan Ir. Bastian yang bergelora meregangkan seluruh
urat syarafnya.
"Marni," Ir.
Bastian mengangkat dagunya, "Aku mencintaimu."
Ir. Marni menatap mata Ir.
Bastian dengan lunak. Gelora dalam tubuhnya tak kuasa lagi ditahannya. Ir.
Bastian mengusap-usap dagu Ir. Marni dengan lembut.
Plash! Gerakan jemari di
dagunya, membuat Ir. Marni tersentak dengan cepat. Tergesa ditariknya tubuhnya
dari dekapan Ir. Bastian. Dirapikannya kembali pakaiannya yang lusuh.
"Tidak! Kita tidak
boleh seperti ini," tuturnya.
Ir. Bastian memandangi
dengan bingung. Tapi sebagai laki-laki yang beradab, Ir. Bastian pun
memperbaiki duduknya dan merapikan kemejanya sendiri.
"Bas, ini sudah tidak
pantas," ulang Ir. Marni sedikit tergugu.
Ir. Bastian menelan
ludahnya. Perlahan dia bangkit. Dibukanya jendela. Angin malam yang dingin
menerobos masuk. Hawa pegunungan perlahan mengusir hawa panas dan gelora
membara dalam kamar itu.
"Maafkan aku,
Mar," katanya lunak.
"Tidak ada yang perlu
dimaafkan, Bas. Kita saling membutuhkan dan kita saling merindukan suasana
seperti ini. Tidak ada yang salah di antara kita. Tapi akan menjadi salah bila
kita melakukannya," tutur Ir. Marni tenang. "Kita tidak boleh
mengkhianati orang-orang yang kini sedang menunggu kita."
Ir. Bastian menengadahkan
wajahnya. Diremasnya rambutnya yang pendek. Sinar keemasan purnama membayang di
wajahnya. Setelah terdiam agak lama, ia bicara, "Ya, akan menjadi salah
bila kita melakukannya.”
Beberapa lama saling diam
akhirnya mereka pun saling tertawa, lebar. Lepas. Mengusir gelora yang baru
saja memenuhi seluruh jaringan tubuh mereka.
Ir. Marni berjalan ke luar
kamar diikuti Ir. Bastian.
"Aku merasa haus dan
perlu minum."
"Ya, perlu
minum," tegas Ir. Bastian setengah tertawa.
Ir. Marni menyiapkan dua
gelas minuman dan sedikit makanan ringan.
"Mengapa kau begitu
mendadak menarik wajahmu ketika aku. . . ."
"Kau akan kaget bila
kuceritakan," potong Ir. Marni cepat.
"Oh, ya?"
"Ya," Ir. Marni
mendelik.
"Ceritakanlah.
Kalaupun aku tidak kaget aku akan mencoba jadi sangat kaget."
"Ketika kau
mengangkat daguku dan mempermainkan jemarimu di sana, seketika aku ingat bahwa
tak seorangpun boleh memainkan jemarinya di sana.
"Kenapa? Ya,
begitulah. Aku ingat bahwa daguku hanya milik Rani. Hanya dialah satu-satunya
yang memiliki daguku. Ketika kau melakukan itu aku sadar bahwa kau bukan Rani.
Aku tidak ingin ada yang merampas kebanggaan Rani," ujar Ir. Marni
kemudian tertawa.
Ir. Bastian tertawa
keras-keras. Setelah menghentikan tawa ia bertutur, "Kalau begitu betapa
menyesalnya aku telah memainkan itu. Mengapa tidak kau ceritakan bahwa dagumu
hanya milik Rani-mu?"
Ir. Marni hanya tertawa.
"Tapi bagaimanapun
juga aku ingin punya kenangan istimewa," ujar Ir. Bastian tenang.
"Kenangan? Oh, tentu
kita akan punya kenangan."
“Kau tahu kenangan itu?”
"Aku kira ya."
"Bagaimana kau
tahu?" tanya Ir. Bastian mempelototkan matanya.
"Aku yakin, kenangan
itu tidak akan lebih jauh dari sekadar itu.”
"Sekadar itu?"
"Buatlah kenangan itu
sekarang juga sebelum aku berubah pikiran."
"Baiklah."
Ir. Bastian bangkit dan
berjalan mendekati Ir. Marni. Sekali dibelainya
lagi dagu indah itu dan kemudian mereka tertawa lebar.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar