EMPTY SPACE






SUNYI PADANG ILALANG



LEMBARAN NOMOR TUJUH (Bagian 3)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 479 tanggal 29 Maret – 11 April 1993
Bonus Novelet

LIMA

DUA PULUH hari lamanya Darsih "bersafari" dari satu cabang ke satu cabang lainnya menyelesaikan berbagai urusan penting. Membenahi manajemen beberapa cabang yang dianggapnya lemah. Dan, memang, kali ini, seperti biasanya, Darsih berhasil mengatasi dengan baik. Dan, hari ini, pukul sepuluh malam ia sampai di rumah. Dirasakannya tubuh yang penat dan amat letih.
Mbi datang mendekat ke Darsih yang bersandar di pintu masuk. Perempuan abdi yang setia itu membungkuk-bungkuk menyambut kedatangan majikannya.

LEMBARAN NOMOR TUJUH (Bagian 2)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 479 tanggal 29 Maret – 11 April 1993
Bonus Novelet

TIGA

MIA dengan lincah memainkan jemarinya di atas tuts-tuts piano. Terdengar suaranya yang merdu mengalunkan tembang From a Distance, mengalir di ruang tengah yang besar. Suara denting piano terpadu harmonis dengan suaranya sendiri, terus mengalir bening.
Rustam yang berdiri agak jauh mengamati dengan te­nang. Menikmati alunan suara anaknya dengan khusuk. Sampai kemudian ia mendekat ketika tembang itu usai dimainkan Mia. Dan seperti biasa, seperti sejak lama, segera saja Mia mengubah nada-nada piano ke nada lagu yang amat mereka sukai, Father and Son.

LEMBARAN NOMOR TUJUH (Bagian 1)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 479 tanggal 29 Maret – 11 April 1993
Bonus Novelet

SATU

       LIMAPULUH tahun! Darsih menjerit dalam hati. Melepaskan ketidakpercayaannya akan perjalanan waktu. Tanpa disadari, ternyata, waktu selalu memaksa untuk terus diikuti menuju ke batas akhir. Ke batas yang pada saatnya tidak lagi berbatas. Darsih menghela nafas, berat. Bagai tersengal, ia, mencoba memenuhi rongga dadanya yang pepat dengan aliran udara kantor. Siluet angka-angka di kalender meja memampangkan ketuaan, ketakberdayaan, sekaligus ketakutan. Ah, iya, tepatnya kecemasan! Dipe­jamkan matanya. Mencoba menyelami lagi masa ke masa yang telah ditapaki, dimaknai, dan.... Belum lagi ia membuka mata, Sonia sekretarisnya, bagai mengejutkannya.

PELANGI TEBING BATU (Bagian 4)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 618 tanggal 25 Mei – 4 Juni 1997
Bonus Novelet

Lagu Pisah Tanah Gambut
  
AH, sekarang kau kelihatan lebih gemuk, Pri," aku menepuk pundak Pri yang kelihatan lebih gempal. "Kau kerja di mana?"
"Pegawai negeri," Pri tertawa. "Di Departemen Pekerjaan Umum. Kau sendiri sekarang kerja di mana?"
"Tunggu dulu, PU mana? Yang pasti tidak di Padang ini, kan?"
"Aku ditempatkan di Pusat. Kebetulan ada tugas dari Pusat untuk ke Pekanbaru. Ya, aku sempatkan saja mampir ke sini, soalnya, sudah lama juga aku tidak pulang. Dan senang sekali bertemu dengan kau. Pertemuan yang tidak sengaja, kan? Oya, kau belum jawab tanyaku, kerja di mana?"

PELANGI TEBING BATU (Bagian 3)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 618 tanggal 25 Mei – 4 Juni 1997
Bonus Novelet

Hujan Pagi Ini

KAMl begitu saja telah tertidur di posko. Sangat lelah. Entah telah pukul berapa ketika satu per satu kami tertidur di lantai kayu itu. Dan saat ini, pukul enam pagi, hujan masih turun. Petromak tidak menyala, mungkin semalam mati dengan sendirinya karena kehabisan angin atau minyak.
"Di luar digenangi air!"
Entah siapa yarig berteriak, membuat kami semua serentak bangun dan melihat berebutan ke luar jendela.
"Banjir!"

PELANGI TEBING BATU (Bagian 2)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 618 tanggal 25 Mei – 4 Juni 1997
Bonus Novelet

Sedikit tentang Kasih Sayang
(Satu: Deviasi Tutur)

BULAN pertama telah berlalu. Program demi program tengah berjalan. Sejauh ini semuanya baik. Berjalan sebagaimana kami merencanakannya. Begitulah yang disampaikan masing-masing tim pada evaluasi program setelah berjalan sebulan.
  Dan, satu hal yang perlu aku beritahu, hubungan kami –aku dan Tio, berkembang ke arah yang menyenangkan. Ke arah yang membuat aku harus mengakui bahwa kebersamaan sering menautkan dua hati dan dua rasa dalam satu wadah yang disebut kasih sayang, yang disebut cinta.

PELANGI TEBING BATU (Bagian 1)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 618 tanggal 25 Mei – 4 Juni 1997
Bonus Novelet

Suatu Siang yang Panas

BURUNG-burung memintasi langit dengan cepat, layaknya takut dengan ganasnya sinar matahari. Angin yang bertiup sepanjang lembah, membentur di dinding-dinding batu, terasa panas. Sepanjang tahun dalam musim yang buruk, telah memporandakan impian dan harapan dari panenan yang tak menghasilkan apa-apa. Setiap batangan padi yang dituai hanya menghasilkan jerami-jerami kering. Truk yang sesekali memintas, menyemburkan debu, menambah panas tengah hari. Kampung begitu menggerahkan.

LINGKARAN KABUT

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 528 tanggal 15 – 24 November 1994 hal 80 - 82

Garis-garis hujan terlihat jelas dalam sorotan lampu-lampu mobil yang lalu-lalang. Tempaan sinar merkuri yang lindap meremangkan kegelapan Bukittinggi yang pekat. Yah, kabut terlalu tebal kalau hanya untuk sorot lampu mobil dan piasnya sinar merkuri.
Kabut jadi berwarni di puncak Jam Gadang yang berdiri kaku ketika serentetan kilat menyabung. Lampu beraneka warna di setiap sisinya lebih berupa coretan kuas seorang pelukis yang berserak tak beraturan: kadang bergelombang karena sapuan angin, kadang lagi meliuk.

SETELAH SEWINDU

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 437 tanggal 19 Agustus – 1 September 1991 hal 68 - 70

Asti memandangku dengan matanya yang berkaca-kaca. Bening itu perlahan melelehkan air di pipinya yang putih. Bibirnya tersenyum. Senyum yang membentuk sebuah garis lengkung yang teramat manis. Dan aku balas menatapnya dengan lembut. Dengan hati-hati, kuusap air hangat itu. Aku bahagia, Tris. Bahagia...— suara Asti serak bergetar. Dan tiada yang dapat kulakukan selain memeluknya penuh haru, mendekapnya dengan kehangatan cinta yang kumiliki. Kualirkan segenap perasaanku pada tubuhnya yang mungil. Terasa begitu indah.

EPISODE KELAM (Bagian 4)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 468 tanggal 26 Oktober – 8 November 1992
Bonus Novelet


4 (Empat)

MENURUT logika yang sehat, orang tua mana atau keluarga mana yang mau menerima calon anggota keluarganya dari golongan yang tidak menentu. Golongan yang stratanya benar-benar berada di dasar. Apalagi, bila strata itu dipandang secara moral dan norma yang berlaku. Sekalipun itu menyangkut masa lalu!
Inilah yang tengah dihadapi RM Sutopo. Dan sekaligus pro­blema yang sama bagi Gunadi.

EPISODE KELAM (Bagian 3)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 468 tanggal 26 Oktober – 8 November 1992
Bonus Novelet


NING duduk gelisah menunggu Gunadi selesai mandi. Mang Urip dan Bik Sur sedang bercanda di beranda sambil makan daging dengan sayur berkuah kental.
"Sayang sekali Martini harus kembali," ujar Gunadi saat hen­dak duduk di sofa di depan Ning, "Padahal aku sengaja menyelesaikan semua urusan hari ini."
"Ya, sayang sekali ia harus kembali," ulang Ning.
"Aku menyukai guyonan dan candanya."
"Martini memang sering melucu. Tapi juga usil," Ning tertawa. Mencoba menepiskan keraguannya sendiri.
       Gunadi memperbaiki duduknya. Matanya menatap lurus pada Ning yang duduk tepat di hadapannya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dadanya yang bidang mengembang. Perlahan sekali dihembuskannya kembali.

EPISODE KELAM (Bagian 2)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 468 tanggal 26 Oktober – 8 November 1992
Bonus Novelet


MAK Ina bermaksud menyuguhkan penganan kecil, tapi ketika didengarnya percakapan Ning dan Assegaf di ruang depan, langkahnya tertegun.
"Ning, kau sudah dewasa, matang, sudah bekerja. Cantik lagi. Om kira sudah waktunya untuk memikirkan...."
"Ning tahu maksud, Om," Ning memotong. "Tapi rasanya un­tuk saat sekarang, belum, Om."
"Usiamu sudah hampir kepala tiga. Tunggu apa lagi?" Assegaf menyernyitkan jidatnya.
Ning diam. Terlintas Gunadi di benaknya. Ah, hanya lelaki itu yang sering mendekatinya, yang sering berdua dengannya. Apakah itu berarti Gunadi adalah laki-laki yang bakal jadi pendampingnya?

EPISODE KELAM (Bagian 1)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 468 tanggal 26 Oktober – 8 November 1992
Bonus Novelet


1 (SATU)

WEKER di meja di samping dipannya berdering keras. Sekali ia menggeliat dan kemudian barjalan perlahan. Seperti biasa dibukanya jendela kamar dan menebar pandang ke setiap penjuru tamannya yang apik. Angin pagi yang segar menerobos masuk dan menyebar memenuhi kamarnya. Seperti sudah hapal akan letak bebunga di tamannya, Ning melotot kaget dan kemudian berteriak nyaring.
"Mak Ina...!"
Wanita menjelang tua yang baru saja selesai menyiapkan air mandi majikannya itu, dengan tergopoh berjalan ke kamar Ning.

RINDU DI RUMAH RUNTUH (Bagian 3)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 552 tanggal 15 – 24 Juli  1995
Bonus Novelet

IV (EMPAT)

SAAT ini, ketika kehamilanku mendekati sembilan bulan, segalanya masih aku belum memahami. Tapi, kali ini aku benar-benar telah mengambil suatu sikap yang bijaksana. Suatu sikap yang telah membuat pikiran dan perasaan begitu tenang.

Ya, aku tidak akan bertanya-tanya lagi tentang kesibukan Mas Pri. Aku akan membiarkannya tenggelam oleh segala kesibukannya. Yakin aku sekarang bahwa pilihanku benar.

RINDU DI RUMAH RUNTUH (Bagian 2)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 552 tanggal 15 – 24 Juli  1995
Bonus Novelet


II (DUA)

INI entah bulan ke berapa aku seperti kehilangan suamiku sendiri. Mas Pri masih saja sibuk dan nyaris tidak punya waktu lagi buatku, selain mengantarku ke dokter, memeriksakan kandunganku yang sudah mendekati tujuh bulan. Ya, hanya itu saat-saat yang kumiliki bersamanya. Selebihnya, hanya kesendirian dan kesunyian yang mengeliling hari-hariku. Terasa amat panjang dan penat.
Dan, malam ini, entah malam ke berapa, masih saja aku duduk di beranda yang jendelanya terbuka. Menikmati hawa malam yang khas dan tiupan angin lembab yang bagiku setidaknya menjadi teman yang setia.

RINDU DI RUMAH RUNTUH (Bagian 1)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 552 tanggal 15 – 24 Juli  1995
Bonus Novelet


I (SATU)

ANGIN malam mengibaskan gorden jendela yang terbuka. Hawa dingin yang khas dan lembab itu memenuhi segenap kisi ruangan. Dan, sungguh, betapa aku tidak punya kemauan sedikit pun untuk menutup jendela. Biar, biarlah seluruh pori-poriku menerima terpaannya, usapannya yang lembut. Bahkan betapa aku ingin hawa dingin itu membuatku menggigil. Kalau perlu biarlah hanya angin yang mengerti akan belitan persoalan dalam benak dan dadaku.
Yap, toh tidak ada yang peduli. Juga Mas Pri, suamiku! Suami yang ditelan kesibukannya.

Kau telah Berlayar ke Seberang


berlabuh di pesisir tanpa tamu-tamu
lengang sampai ke langit jauh
tiris di dasar biduk memanjang sampai
buritan ke haluan
dik, cinta hendak bersua meski tiada muara
tapi ini kali hanya kelasi-kelasi
amis ikan
bersilonjor di muara
tertawa sampai rindu dibawa angin

biarlah dik, cinta membeku di matamu menyamudera
sembari ingin berenang di sana
memagut kedamaian lalu tidur abadi
dalam dan dengan cintamu
--izinkan aku mengecup mimpi kita bersama kelasi
kelasi tua di dermaga


1991

DUA PEREMPUAN DUKA

Dimuat di Majalah  Wanita Kartini 

Nomor 616 14 Mei 1997 hal 80 - 82










Ayi meremas jemari tangannya, sekeras mungkin. la tidak lagi mengacuhkan ketika kletukan dijemarinya membuat nyeri. la merasakan benar betapa sakitnya hati seorang perempuan ketika mengetahui suaminya jatuh cinta lagi. la paham itu. la mengerti meski ia belum lagi bersuami. Duh, benarkah hati perempuan itu sangat sakit dan terluka?