PELANGI TEBING BATU (Bagian 3)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 618 tanggal 25 Mei – 4 Juni 1997
Bonus Novelet

Hujan Pagi Ini

KAMl begitu saja telah tertidur di posko. Sangat lelah. Entah telah pukul berapa ketika satu per satu kami tertidur di lantai kayu itu. Dan saat ini, pukul enam pagi, hujan masih turun. Petromak tidak menyala, mungkin semalam mati dengan sendirinya karena kehabisan angin atau minyak.
"Di luar digenangi air!"
Entah siapa yarig berteriak, membuat kami semua serentak bangun dan melihat berebutan ke luar jendela.
"Banjir!"

Seperti sebuah komando, satu persatu kami kembali terduduk di lantai. Sangat lemas. Pagi yang masih kelam, hujan yang masih saja turun, menambah murung pagi.
Sangat murung.
"Kita telah kehilangan segalanya," Tio kudengar menahan sesaknya. Matanya terpejam dan ia setengah tengadah. Kepalanya tersandar tak bertenaga ke dinding.     I
"Apakah itu berarti benih kita telah ditelan banjir?" entah bertanya kepada siapa, Rani mengangkat mukanya.
"Sia-siakah yang telah kita lakukan? Telah menjadi ratakah lahan yang telah kita siapkan itu?"
Suara yang sangat rapuh itu membuat aku menjadi lemas. Membuat aku kehilangan kata untuk diucapkan. Aku sendiri merasa sangat tak berdaya. Tapi aku di sini sebagai ketua, sebagai orang yang tidak boleh ikut larut. Seorang ketua yang harus memunculkan semangat anggotanya. Tapi kini? Bukankah aku juga menjadi sangat lemas?
"Sama sekali tidak akan ada sisa paculan demi paculan yang kita tancapkan kemarin-kemarin?" suara Hera menambah murung pagi. La bangkit dan berjalan ke jendela yang terbuka. Dan ia melanjutkan dengan getir, "Aku tidak mengerti mengapa hujan datang begitu besar kemudian banjir, dan kemudian meratakan lahan kita, membunuh benih kita .... apa mungkin juga menghancurkan bak air kita? Aku tidak bisa menerima!"
Sementara itu Toni, Lukman dan Pri kulihat hanya memandangi jendela. Memperhatikan garis-garis hujan yang masih turun. Aku tidak melihat Ano. Dan aku bangkit, berjalan menuju dapur. Cowok kurus itu tengah sibuk mengaduk-aduk kopi.
"Kau telah memasak air, An? Sepagi ini?"
"Kita butuh kopi panas, bukan?" Ano menyelesaikan adukan terakhimya."Bisa kaubantu membawa ke ruang depan?"
“Tentu. Seharusnya ditemani goreng pisang, ya?"
Ano tertawa. "Dengan biskuit dan roti kaleng yang masih ada juga lumayan, Sam."
Hujan masih belum berhenti. Langit seperti masih saja gelap dan belum akan usai menumpahkan air. Angin yang sesekali menggelombang dengan keras membuat atap rumah ini seperti akan dibongkar.
Pukul delapan pagi belum ada tanda-tanda hujan akan berakhir. Jalanan di depan posko ini semakin tinggi digenangi air. Tidak seorang pun yang lewat.
"Jalan dan halaman ini saja digenangi air, apalagi persawahan di tengah sana," ujar Pri yang bertelekan siku di kusen jendela. "Kupikir telah menjadi danau."
"Bukankah ada sungai yang menghubungkannya dengan Batang Agam[1]?”
"Kupikir sungai kecil itu tidak akan mampu mengalirkan air dari lembah yang sangat luas ini.”
"Dan itu berarti semua tanaman telah ditenggelamkan air?"
"Setelah hujan reda kita akan melihatnya. Tidak perlu berspekulasi." Aku menengahi dan kemudian menyeruput kopi. "Minumlah. Kopi-kopi ini telah menjadi dingin tapi kalian tidak menyentuhnya."
Akhirnya, karena hujan masih juga belum reda, para gadis memutuskan untuk memasak saja. Dan tepat pukul sepuluh pagi kami telah selesai makan. Di luar berangsur-angsur mulai terang. Tetapi angin masih mengalir bergelombang, sesekali deras dan membawa hawa basah. Hujan telah tidak turun.
"Assalamualaikum..." suara di depan pintu membuat kami serentak melihat ke sana. Lukman membukakan pintu. Pak Cang dengan payung di tangannya dan celana yang digulung sampai ke atas lutut berdiri dengan tidak sempurna.
"Ada apa, Pak Cang?"
"Saya terperosok dan sedikit keseleo. Tapi tidak apa-apa," ujamya melangkah masuk. "Ada yang hendak saya katakan," lanjutnya dan kemudian ikut duduk bersila.
"Pak Cang mau minum kopi?" Tio menawarkan sambil segera bangkit.
"Bolehlah. Sangat dingin," katanya sambil mengeluarkan kampia[2] dari saku. Dikeluarkannya beberapa lembar daun enau, kemudian setelah memasukkan sejumput tembakau, digulungnya daun enau itu dengan tangkas. Sebentar telah membentuk sebatang rokok.
Setelah Tio kembali dan meletakkan kopi di depan lelaki baya itu, ia mulai bercerita.
"Aku baru saja ke lahan persemaian kita....”
"Tenggelam dan porak poranda?" Tio memintasi tidak sabar.
"Telah ditutupi air dan lumpur atau telah hanyut entah ke mana?" Rani menimpali, sangat terburu-buru.
"Beruntung sekali kita membuat persemaian di tanah yang tinggi. Memang air menggenanginya tetapi tidak menenggelamkan benih itu. Pelepah-pelepah kelapa itu juga tidak rubuh. Hanya beberapa saja yang rusak.Tapi aku lihat sebagian besar benih masih utuh dan terlindung."
"Alhamdulillah…." begitu saja kami melontarkan puji syukur dan menarik nafas. Pri dan Toni yang Katolik kulihat menekurkan kepala dan membentuk salib di dadanya.
"Hanya lahan yang telah kita siapkan yang digenangi air." Lelaki baya itu melanjutkan. "Dan tentu telah diratakan oleh lumpur."
Lahan yang kami siapkan memang di tengah persawahan yang jauh lebih rendah permukaannya dibanding tempat persemaian.
"Tapi setelah air surut kita akan segera memperbaikinya, bukan?"
"Ya, kita akan memperbaikinya, Pak Cang," suara Hera terdengar sangat antusias. "Tentu ini sangat menggembirakan, bukan, Tio?"
"Ya, aku sangat senang," Tio melepaskan senyumnya sambil melirik kepadaku. Tio-lah yang jauh lebih berkepentingan dengan persoalan benih, karena ini program utamanya sebagai anak pertanian. Dan program ini pun berjalan karena kekerasan hati Tio, kemauannya untuk mendapatkan bibit dari Balitan Sukarami dan memaksakan peneliti di sana untuk mengizinkan membawa benih yang masih dalam taraf uji coba itu.

"Kalau bak air itu, bagaimana Pak Cang?" Lukman bertanya sedikit terburu. "Masih utuh dan tidak runtuh bukan?"
"Saya belum ke sana, Man. Kan terlalu jauh dari rumah saya. Tapi tadi Pak Mur, sebelum berangkat ke Payakumbuh, sempat mampir dan mengatakan bak air itu tidak apa-apa."
"Pak Mur ke Payakumbuh?"
"Ya, mengantar anaknya yang terluka, ditimpa balok rumah yang rubuh oleh angin semalam. Untung truknya Pak Sabari bisa jalan."
"Kasihan. Sulaiman?"
"Ya, bocah kecil itu terluka cukup parah di kepalanya.”
"Semoga ia tidak apa-apa…." aku bergumam. "Pak Cang, kira-kira kapan air akan surut?"
"Nanti sore semua akan kembali normal. Lihatlah, matahari sudah muncul lagi. Akan segera panas."
"Aneh, ya, Pak Cang. Padahal sekarang bukan musim hujan," Rani berkata seperti tengah kecewa.
"Kejadian seperti ini selalu terulang setiap tahun. Dua atau tiga kali. Memang tidak bisa ditebak kapan datangnya. Tapi bukankah kemarin sore kalian telah menebaknya?"
"Ya, dan kita menyiapkan parit yang lebih dalam."
Di luar matahari mulai naik.

Pelangi Tebing Batu

LAHAN telah kembali disiapkan. Di bawah arahan Kepala Kampung, sejumlah penduduk bekerja keras menata lagi lahan baru. Menyingkirkan lumpur sehabis banjir. Usaha-usaha untuk membuat lahan agar tidak berlumpur dalam, kembali dilakukan. Pelepah-pelepah kelapa kembali dibenamkan. Kapur disebar untuk mengurangi keasaman. Di sekitar lahan dibuat parit yang jauh lebih dalam lagi agar mampu mengurangi kadar air pada lahan. Setidaknya, sejauh ini, usaha itu memberi hasil yang cukup bagus. Lumpur sawah tidak lagi sampai ke dada, meski masih mencapai batas paha. Dan lumpumya tidak lagi terlalu lembek. Yang lebih bagus lagi tidak ada genangan air cendagan di lahan baru ini.
Dua hari dibutuhkan untuk membentuk lahan yang disebut penduduk kampung sebagai lahan "ajaib" itu. Dua hari pula semua bekerja dengan suka cita. Kami, delapan orang, ikut melebur sebagaimana biasanya. Bahkan Rani, yang seperti menemukan hobi baru -memegang cangkul- begitu gembira dengan alat itu.
"Selama ini dia mungkin belum pemah memegang cangkul," ujar Tio, setengah berbisik kepadaku.
"Kau mulai memegang cangkul juga karena kuliah di pertanian, kan?" aku menyindir dan melepaskan tawa tertahan. "Kalau kau tidak di pertanian, kau akan sama dengan Rani, Hera dan mungkin yang lainnya."
Tio, hanya menyikutku dan kemudian kembali mendelikkan matanya yang benar-benar bagus. Mata bundar hitam yang senantiasa membuat aku terkepung oleh rasa bahagia. Lelaki manakah yang tidak bahagia melihat mata kekasihnya?
Dan, pemindahan benih pun dilakukan.
"Hari ini begitu menyenangkan," lontar Rani, malam hari, saat kami kembali berkumpul di posko. "Pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan."
"Ya, menyenangkan, sekaligus hari yang melelahkan," sambut Toni begitu saja, merebahkan tubuhnya di lantai dengan berbantalkan tangannya sendiri. "Seluruh tulangku seperti remuk." Ia menggeliat dan meregangkan kedua kakinya.
"Empat hari lagi kita akan meninggalkan kampung ini," suara Rani, seperti kelam, mengalir lirih. "Kita akan meninggalkan semua keramahan dan kesahajaan penduduk di sini. Aku tidak pernah membayangkan bahwa pada akhirnya aku benar-benar bisa menyatu dengan mereka, berbaur dalam segala hal. Kita menikmati hidup seperti tidak ada beban, tidak ada pikiran dan begitu bersahajanya....
"Duh, kau begitu sentimentil, Ran. Atau ada sesuatu yang membuatmu sangat gundah?" godaan Ano seperti tak diacuhkannya. Rani meneruskan.
"Dulu, terus terang saja, aku berpikir, bahwa kehidupan desa, kehidupan kampung, adalah kehidupan yang kumuh, kehidupan yang saban hari menyatu dengan lumpur, hewan-hewan dan semak-semak. Aku telah begitu bodoh menilai kehidupan itu. Aku merasa sangat betah di sini dan merasa tidak ingin meninggalkannya."
"Termasuk mandi dengan menimba di kulah dan yang berpagarkan pelepah kelapa?"
"Itu salah satu yang membuat hidup di sini sangat bersahaja."
"Tidak ada pub, majalah, bioskop, mall...."
"Kehidupan tidak dinilai dari sana."
"Kau begitu arif dan dewasa, Ran. Aku tidak pernah berpikir kalau engkau akan begitu bijaksana," Toni menyambut sangat tenang. Ia kembali duduk dari rebahannya dan bersandar pada dinding. "Oya, seperti rencana semula, dalam malam perpisahan nanti, kau, Sam, yang akan menyampaikan pidato perpisahan?"
Perpisahan! Aku seperti melihat sesuatu yang buram. Aku selalu benci dengan perpisahan. Benci dengan segala bentuk acara perpisahan. Mengapa perpisahan harus dirayakan? Aku tidak pemah paham mengapa orang-orang menyelenggarakan sebuah acara istimewa untuk itu. Tapi, seperti dari dulu-dulu, aku selalu mengikuti setiap acara perpisahan dengan sangat terpaksa. Dan mungkin juga, untuk kali ini, aku pun akan terpaksa. Sekali lagi karena aku benci perpisahan. Menurutku, perpisahan akan lebih layak kalau dilakukan dengan diam-diam.
Diam-diam? Serupa pertemuan yang terjadi begitu saja?
Ya, perpisahan seharusnya tidak dibedakan dengan pertemuan. Bukankah pertemuan tidak pernah dirayakan? Pertemuan terjadi begitu saja dan ia berjalan seperti apa adanya. Pertemuan begitu sederhana dan sering tidak disangka.
Ah, sudahlah, bagaimanapun aku selalu membenci perpisahan!

***

"Ini mungkin kali terakhir kita berjalan-jalan di tanah ini," aku menjejeri langkah Tio yang berjalan sambil sesekali menyepak kerikil. "Aku tidak dapat memungkiri bahwa aku akan sangat merindukan kampung ini."
Tio sedikit menoleh kepadaku. Kemudian ia melepaskan tatapnya jauh ke tengah persawahan. "Sam, kita ke guguk itu, ya?"
Aku mengangguk dan mengikuti.
Dari onggokan tanah di tengah persawahan yang luas ini, rumah-rumah penduduk yang berjejer di sepanjang kaki tebing batu, terlihat kecil-kecil. Angin lembah bertiup bergelombang. Dan, masih saja, burung-burung sawah sesekali terlihat melompat-lompat. Kami duduk bersisian. Beberapa batang kelapa yang tumbuh tidak besar, tiga atau empat pohon pisang, dan satu pohon mangga yang rindang, membuat onggokan tanah yang disebut guguk ini begitu teduh dan sejuk.
"Aku selalu berharap benih padi yang telah ditanam di sawah itu akan tumbuh dengan sempuma. Akan tumbuh hingga kemudian dituai. Aku tidak dapat mengatakan betapa besarnya keinginan itu, Sam. Tapi, sepertinya, musim tidak akan mendukung."
"Maksudmu?"
"Di sini hujan dan panas datang sangat tidak terduga. Bahkan angin yang deras ikut memperburuk kondisi tanaman."
"Bukankah hujan kemarin itu hanya akan terjadi dua atau tiga kali setahun?"
"Mungkin begitu biasanya. Tapi bagaimana kalau hujan dan angin itu datang di saat padi-padi itu sedang berbunga? Di saat buahnya baru akan terbentuk?"
"Tentu kita tidak akan meriginginkan itu, Tio. Sebaiknya jangan memikirkan sesuatu yang belum pasti. Lagipula, kita telah berusaha."
"Usaha itu akan menjadi sia-sia jika benih itu tidak berhasil tumbuh sampai saatnya dituai. Dan itu artinya kita tidak memberikan apa-apa untuk penduduk kampung ini." Sebentar Tio berhenti. Diperbaiki rambutnya yang jatuh dikening. Kemudian, "Kalau saja benih itu tumbuh sampai akhirnya nanti dituai, maka itu berarti penduduk akan dapat memanfaatkannya lagi untuk benih selanjutnya. Kautahu, Sam, itu artinya mereka punya jenis bibit yang cocok untuk tanah ini."
Aku hanya mendengarkan. Aku paham sekali betapa besar harapan Tio tertumpu kepada benih-benih itu.
"Aku akan datang ke kampung ini paling tidak satu kali dalam dua minggu," tiba-tiba saja, suara Tio yang fasih, membuat aku terkejut dan menoleh. "Aku akan selalu datang sampai akhirnya padi itu dituai... akhirnya memberi hasil yang pasti."
"Maksudmu?"
"Aku akan datang ke sini mengawasi padi itu."
"Kampung ini dua ratus kilometer dari Padang. Tidak ada mobil dan tidak ada angkutan apapun untuk masuk ke kampung ini. Kau harus berjalan tujuh kilometer untuk bisa masuk ke sini."
"Tujuh kilometer bukan jarak yang jauh, Sam."
"Tapi kau akan berjalan menjelang malam. Pikirkan, Tio, kau mungkin bisa berangkat dari Padang pukul deJapan pagi. Sampai di Payakumbuh sudah tengah hari. Lalu dari Payakumbuh ke kota kecamatan, bisa kau habiskan berjam-jam untuk menunggu angkutan yang jumlahnya sangat sedikit itu. Dan dari kota kecamatan ke sini, kau harus jalan kaki. Dan itu pastilah sekitar pukul lima atau enam sore." Aku menatap manii mata Tio dan ia mengalihkan pandang ke kejauhan."Kau akan kemalaman untuk sampai di sini. Kau akan berjalan di mana kau tidak akan bertemu seorang pun."
"Aku tahu. Dan inilah yang menjadi beban pikiranku."
"Lagipula, sehabis ini, kita harus segera selesaikan skripsi. Menyiapkan banyak hal untuk akhir kuliah kita. Akan sangat menyibukkan."
"Kau pemah berpikir bagaimana jadinya kalau bibit itu tidak berhasil, Sam?" suaraTio mengalir datar, tapi di telingaku seperti sedikit ditekan.
Aku tidak berkata-kata. Aku hanya menarik nafas dan kemudian menghembuskannya dengan enggan.
"Artinya, sama sekali tidak akan ada perobahan bagi penduduk kampung ini sebelum dan sesudah kita datang.”
"Setidaknya mereka sudah melihat, sudah tahu cara mengolah tanah seperti ini. Bagaimana mengendalikan air cendagan, mengolah tanahnya yang berlumpur sepanjang tahun, dan sebagainya. Bukankah itu hasil?"
"Tidak. Mereka harus memperoleh bibit yang tepat, efisien, bermutu dan tahan terhadap perubahan cuaca yang tidak menentu ini."
"Itu salah satu tugas PPL.”
"Dan PPL itu telah tidak datang. Lantas, tugas siapa?"
Kembali aku menggeleng.
"Itu tugasku. Tugas aku, Sam."
"Aku tidak mengerti, Tio. Kau mempermasalahkan sesuatu yang tidak perlu kita persoalkan."
"Tidak. Ini kewajiban moral. Kewajiban moral kita, Sam," suara Tio menurun dan ia mencabut sehelai rumput. "Kau tentu tahu yang aku maksudkan. Bahwa kita telah memulainya dengan mencari bibit ini jauh-jauh ke Sukarami sana. Kau tidak ingin kan semua itu hanya sekedar cerita yang kemudian tidak berbekas apa-apa?"
Lagi aku menarik nafas.
"Sam, kaupunya ide, pikiran yang bisa membantu kesulitanku itu?"
Aku menoleh. Menatap mata legamnya dengan dalam. Seperti biasa, di sana aku menemukan danau yang luas, danau yang tenang dan begitu damai. Dan aku menggenggam jemarinya. "Aku akan menemanimu datang ke kampung ini, Tio. Aku tidak akan membiarkanmu  berjalan sendirian tujuh kilometer, menjelang malam, dan melewati langkah demi langkah yang sunyi itu."
Mata Tio yang indah kulihat bercahaya. Bercahaya berbinar putih. Dan aku tersenyum, membalas senyumnya.
Setelah beberapa lama terdiam, Tio bersuara, "Sam, kau tahu apa yang menjadi salah satu motivasi mengapa aku sangat ingin benih padi itu berhasil?"
Aku menggeleng dan hanya tersenyum. Memperhatikan mata gadis ini, Tio, membuat aku tidak punya banyak kata-kata. la punya mata yang indah dan aku menyukainya.
Merasa diperhatikan seperti itu, Tio mendelik-delikkan matanya. Sesekali melotot dan sesekali berkedip-kedip dengan cepat. Terlihat sangat lucu.
"Kau merusak pemandanganku, Tio."
"Habis, kalau aku bicara kau selalu hanya memandangi mataku."
"Lantas, aku harus pandangi apa?" dan aku menggerakkan mata dengan nakal, membuat Tio kembali membelalakkan matanya.
"Bukan berarti kamu harus memandangi bagian yang lain," ujarnya, sedikit menggoda. Dan itu membuat mataku semakin nakal. "Sudah, ah, kau belum jawab pertanyaanku."
"Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu."
Tio diam. Kembali dilemparnya tatap ke kejauhan. Angin yang bergelombang, yang menggerakkan batang-batang padi yang kurus dan pucat, seperti sangat dinikmatinya.
"Sam," katanya, sangat lirih. "Kau ingat saat-saat kita meminta benih itu ke Balitan Sukarami?"
"Ya, aku sangat ingat, Tio. Aku tidak akan pernah melupakannya. Karena, pada saat itu, kali pertama aku menggenggam jemari kamu dan mengucapkan sesuatu yang hanya kita berdua yang tahu."
Tio tersenyum tetapi masih terus memandang ke kejauhan. "Ya, suatu saat yang juga tidak akan aku lupakan, Sam." Tio menolehkan wajahnya dan menatap mataku dengan dalam. Kemudian ia melanjutkan. "Benih-benih itu adalah benih-benih cinta kita, kasih dan sayang kita. Aku akan mempertahankannya untuk tetap tumbuh, besar, sampai kita bisa memetik hasilnya."
Tuturan kalimat Tio yang begitu jernih, fasih dan dalam, membuat dadaku sangat haru. Membuat aku begitu merasakan setiap kata yang diucapkannya.
"Kau mengerti, kan, Sam?"
"Tio, benih-benih itu akan tumbuh, menjadi besar, sampai kita memetik hasilnya," aku mengulangi. Aku menekan kata per kata. Aku menatap manik matanya. Dan betapa ingin aku mendekap Tio, memeluknya seerat mungkin, dan membisikkan bahwa benih-benih itu senantiasa akan terjaga sempurna.
Tapi aku tidak melakukannya. Aku kembali meremas jemarinya, menggenggam sepenuh perasaanku. Sebentar kemudian aku melepaskan tatap jauh-jauh. Menyapu seluruh persawahan yang luas dengan binar mata yang sangat bahagia. Tebing-tebing bukit batu seperti dilingkari oleh bias pelangi tengah hari.
"Tio, biarkan aku selalu bersama kamu."
Angin yang bergelombang, burung-burung sawah yang sesekali terlihat berloncatan, batang-batang padi yang pucat kehijauan, begitu saja, aku rasakan sangat menyatu dengan seluruh perasaanku. Bahkan menyatu dengan segenap pikiranku.
Tio menolehkan wajahnya, tepat menghadap ke mataku. Matanya yang bulat hitam berkedip dengan sempurna dan ia berkata sangat lirih, "Sam, sampai berapa lama kita bisa bertahan?"
Aku menarik nafas. Seperti tidak mengerti. "Maksudmu hubungan kita?"
"Ya, hubungan kita." Tio kembali melempar pandangnya ke kejauhan.
"Sampai kita bisa saling menjaga dan saling menyetiainya," aku bertutur mantap, berat dan dalam. Tapi aku merasakan sendiri bahwa suaraku seperti sengau.
"Aku memegang kepercayaan itu, Sam...."
Aku lagi-lagi hanya menggenggam jemari Tio. Sangat erat.


***


[1] Batang Agam adalah sebuah sungai yang besar, yang membelah Kabupaten Agam dan terus mengalir ke Propinsi Riau. Disini terdapat PLTA yang menghasilkan listrik cukup besar.

          [2] Kampia adalah sebuah dompet kecil yang terbuat dari anyaman daun pandan kecil yang khusus digunakan untuk menyimpan tembakau dan daun enau, rokok khas desa yang aromanya pun sangat khas.


Tidak ada komentar: