Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 618 tanggal 25 Mei – 4 Juni 1997
Bonus Novelet
Lagu
Pisah Tanah Gambut
AH, sekarang kau kelihatan lebih gemuk, Pri," aku menepuk
pundak Pri yang kelihatan lebih gempal. "Kau kerja di mana?"
"Pegawai
negeri," Pri tertawa. "Di Departemen Pekerjaan Umum. Kau sendiri sekarang
kerja di mana?"
"Tunggu dulu, PU
mana? Yang pasti tidak di Padang ini, kan?"
"Aku ditempatkan di
Pusat. Kebetulan ada tugas dari Pusat untuk ke Pekanbaru. Ya, aku sempatkan
saja mampir ke sini, soalnya, sudah lama juga aku tidak pulang. Dan senang
sekali bertemu dengan kau. Pertemuan yang tidak sengaja, kan? Oya, kau belum
jawab tanyaku, kerja di mana?"
Aku tersenyum. "Aku tetap
dalam duniaku dulu, duniaku ketika masih kuliah."
"Kau tetap jadi
wartawan?"
"Sepertinya itulah
duniaku. Dan aku senang menjadi wartawan."
"Kalau Tio bagaimana?
Telah tiga tahun kita tidak saling berbagi berita."
Aku menarik nafas. Dan
seketika, begitu saja, bayangan gadis itu. berkelebat cepat di mataku. Aku
melihat lagi segalanya ....
"Kau baik-baik saja, Sam?"
Pri menyentuh pundakku. "Sebaiknya kita ke restoran itu. Sangat
panas."
Akumengikuti. Setelah pelayan
meletakkan pesanan, Pri kembali berkata, lebih pelan, "Aku minta maaf
kalau pertanyaanku telah mengganggu pikiranmu. Aku melihat sesuatu yang tidak
biasa pada wajahmu. Kau ada masalah?”
"Hubungan kami ambruk
setahun lalu. Tepat dua tahun setelah kita meninggalkan lokasi KKN. la memilih
laki-laki lain." Aku membasahi kerongkongan. Kuperhatikan lalu lintas di
luar dari kaca.
Sebentar Pri seperti
terbelalak, tapi kemudian dia membiasakan air mukanya dan tersenyum. "Kalau
Toni, kebetulan bulan lalu aku ada tugas ke Medan, aku bertemu dengannya. Dia
bekerja pada sebuah peternakan. Kelihatannya dia berhasil. Tapi kalau yang
lainnya aku tidak tahu." Pri bercerita, mengalihkan suasana, sambil
memainkan sedotan di gelas. "Apa kau tahu, Sam?"
"Rani kabamya ke Amerika,
meneruskan kuliahnya. Mungkin mengambil master. Sedang Ano di Palembang.
Lebaran kemarin dia berkirim kartu padaku. Wah Lukman juga pegawai negeri. Dia
bekerja di Pemda Kota."
"Apa Ano jadi dengan
Hera?"
Aku tertawa. "Ya,
mereka telah menikah dan punya satu anak. Hera bekerja di sebuah bank."
Pri menyambut tawaku.
Seperti sangat senang dia berkata, "Ketika KKN dulu mereka terlihat sangat
serasi, Sam. Aku juga sudah meramalkan bahwa mereka pasti akan menikah….”
Mendengar kalimat Pri aku
seperti tersedak. Segalanya berkelabat dengan cepat. Bukankah aku dan Tio waktu
KKN dulu juga sering digoda oleh Pri bahwa kelak kami akan menikah? Bahkan dulu
Pri pernah berolok-olok "kalau
kalian menikah kelak, kalian akan punya enam
anak…” Gurauan Pri itu seperti kembali hadir dan membuat aku tersenyum kecut.
Seperti mengikuti
pikiranku, Pri bertanya, "Kau ingat aku juga pernah meramalkan kalian,
maksudku kau dan Tio, akan menikah dan punya banyak anak, Sam?" Pri melepaskan
tawanya. "Ternyata ramalanku untuk pasangan yang satu ini keliru."
Kembali aku tersenyum
kecut.
"Maaf, Sam. Aku tidak
bermaksud menyinggung masa lalu. Kalau boleh aku tahu mengapa kalian berpisah?
Bukankah sampai menjelang panen padi percobaan itu, kalian masih datang ke sana?
Oya, bagaimana dengan bibit itu?"
"Entahlah, Pri. Aku
tidak mengerti mengapa semuanya berakhir. Tio memutuskan hubungan kami dengan
alasan yang sangat tidak jelas. Dia hanya menulis surat singkat untukku dan
mengatakan bahwa aku bukanlah jodohnya." Aku menyedot minuman karena
rasanya kerongkonganku menjadi begitu kering. Kukeluarkan sebungkus rokok dan
aku mulai menghisapnya.
"Kau masih merokok,
Sam?"
"Aku pernah
meninggalkannya. Tapi sejak setahun lalu aku kembali menjadi perokok."
"Sejak hubungan kalian
putus?"
"Jangan dikaitkan
begitu. Mungkin kebetulan saja aku menjadi ingin merokok lagi." Aku
memainkan batangan rokok itu di jemari. "Oya, tadi kau bertanya tentang benih padi itu?"
"Ya, bagaimana hasilnya?"
"Seperti firasat
untuk hubungan kami, ketika usia padi itu hampir tiga bulan, saat berbunga,
saat pembentukan buah, hujan badai seperti yang terjadi dulu itu, melanda lagi.
Tidak dapat ditahan seluruh batang-batang padi itu rata dengan tanah. Rebah
ditutupi lumpur. Tidak dapat diselamatkan."
"Sayang sekali."
"Ya, sayang
sekali."
"Aku bisa merasakan
bagaimana kekecewaan itu melanda kalian."
"Ya, kami kecewa sekali.
Pada akhirnya kita tidak berhasil memberikan bibit padi yang cocok untuk penduduk
kampung itu."
"Kalau sekarang bagai
mana keadaan kampung itu?"
"Entahlah. Sejak kejadian
yang menghancurkan benih padi kita itu, aku tidak pernah ke sana lagi dan juga tidak
mendengar berita tentang kampung itu lagi."
"Apa bak penampungan air
dan pompa sederhana dulu itu masih berfungsi, ya? Atau malah tidak di
gunakan?"
"Kalau itu aku yakin masih
ada dan masih digunakan. Bak air dan pompa itu dibangun permanen. Dirancang
oleh insinyur lagi," aku melepaskan tawa.
Pri tersenyum. Dia kembali
menyedot minumannya.
Kemudian, "Aku akan
kembali ke Jakarta sore ini, dengan pesawat terakhir. Kalau kau ke Jakarta, kau
harus datang ke rumahku." Pri mengeluarkan kartu namanya. “Ingat, kau
harus mampir, Sam. Oya, satu lagi, Sam, lupakanlah Tio. Aku melihat kau seperti
masih memikirkannya. Kau tidak bisa bohong padaku, Sam. Wajahmu sangat murung
ketika aku menanyakan kabar gadis itu. Sudahlah. Masih banyak gadis lain.
Ingat, kau sudah menjelang tigapuluh, kan? Eit, jangan membantah. Sekalipun dia
sangat istimewa, kalau dia sudah jadi bini orang, apa kau masih memimpikannya?
Jangan kau turuti lirik lagunya Elly Kasim itu." Dan Pri dengan kocak
sedikit bernyanyi, "Baranak ampek den
nanti juo ooo den nanti juo beranak ampek....[1]
Ingat, Sam, dia telah melupakanmu dan kau harus melupakannya. Ya, ya, aku tahu
kau terlalu menyetiai hati dan perasaanmu. Aku hanya bisa bantu doa semoga kau
mendapatkan seseorang yang lebih baik."
“Tidak akan mudah, Pri.
Kau tahu itu."
"Ya, tidak akan mudah….”
Keluar dari restoran kami
berpisah. Pri mengambil taksi dan aku kembali ke tempat parkir, mengambil
sepeda motor. Sore ini aku masih harus meliput pemogokan buruh yang terjadi
seperti rutinitas. Yang terjadi bahkan membuat koran kehabisan halaman untuk
memuatnya.
Tapi sebelum menstarter
motor, kembali suara Pri bergaungan di telingaku: kalau kelak kalian menikah, kalian akan punya enam anak.... Aku
tersenyum sangat kecut. Ya, tidak akan
mudah.... Suara Pri masih bergaungan. Susul menyusul dengan suara angin,
hujan, kecipak burung sawah, pelangi di tebing batu, kerlipan mata indah, dan....
segalanya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar