Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 528 tanggal 15 – 24 November 1994 hal 80 - 82
Garis-garis hujan
terlihat jelas dalam sorotan lampu-lampu mobil yang lalu-lalang. Tempaan sinar
merkuri yang lindap meremangkan kegelapan Bukittinggi yang pekat. Yah, kabut terlalu tebal
kalau hanya untuk sorot lampu mobil dan piasnya sinar merkuri.
Kabut jadi berwarni di puncak Jam Gadang yang
berdiri kaku ketika serentetan kilat menyabung. Lampu beraneka warna di setiap
sisinya lebih berupa coretan kuas seorang pelukis yang berserak tak beraturan:
kadang bergelombang karena
sapuan angin, kadang lagi meliuk.
Aku berdiri beberapa jarak dari jam itu, berteduh di bawah beringin tua,
dilingkup sinar lampu Tri Arga yang redup. Sembari mendekapkan tangan ke
pangkuan, kembali hawa kota yang bertahun telah kutinggalkan, kurasa. Hawa dingin kota kelahiran! Aku
merasakannya lagi dengan suasana hati yang lain. Lama. Sampai akhirnya hujan
berhenti, setelah tubuhku cukup basah oleh tetesan air yang jatuh di sela
rimbun daun.
Dengan lambat aku melangkah menyusuri trotoar yang digenangi air. Sesekali
melompat menghindarinya, kemudian tersenyum begitu saja. Tersenyum melepaskan
baban yang menyesak dalam rongga dada, beban yang terasa memilin rabu dan jantung.
Ah, ah, andai saja Jam Gadang, Tri Arga, Lenggogeni atau Ngarai Sianok bisa
diajak bicara, tentulah kuceritakan kepelikan ini. Kepelikan dari suasana
perasaan setelah sekian tempo tak menjejak tanah ini....
Setelah pulang untuk suatu yang tidak kumengerti, untuk suatu yang tak
teringini.
"Rustam," mengiang lagi kata ibu semalam, "Kau jangan membuat malu keluarga, membuat malu ibu, membuat malu suku
kita. Yang ibu mau engkau menjawab ya. Itu saja."
Itu saja! Kalimat pendek itulah yang menjadi beban, menjadi suatu kepelikan
tak berujung. Seolah bagi Ibu hal itu hanyalah suatu yang mudah, ringan dan
enteng... dan pantas untuk dilengkapi dengan 'saja'. Aku merasa ubun-ubunku
meretak di saat langit yang tampak segera terban. Sungguh, aku ingin berontak,
lari sekuatnya, sejauhnya. Tapi aku menjadi luluh ketika Ibu dengan antusias
mencucurkan air mata, menatapku meratap.
"Rustam, Ibu telah tua, sakit-sakitan. Ibu ingin menimang cucu yang
terlahir dari darah kita, darah tanah ini. Kau mengerti, Rustam, darah Minang
Ibu maksudkan."
Aku terhenyak! Terhenyak dalam keluluhan yang memilukan. Bayangan Martini
di tanah seberang sana menari-nari di mataku. Matanya yang sayu menatapku amat
bening. Aku mencoba melepaskan senyum padanya dan ia membalas bagai dengan amat
pilu.
"Rustam! Kau pulang?! Kau... kau
kem-ba-li?!" suara gagap dari lelaki di depanku begitu saja merampas semua
isi pikiranku.
Yah, Mukhlis! Sahabat kental masa kanak!
Agak lama bertatapan, kemudian seperti amat girangnya, kami berpelukan
erat. Setengah jingkrak dan setengah loncat kami menari-nari, menarikan lagi
tarian rock'n roll dekade 70-an. Tanpa
peduli pada beberapa pasang mata yang mempelototi bagai heran terus saja kami
bernyanyi. Benar, alangkah bahagianya bertemu lagi dengan sahabat kental.
Sahabat yang sering sama-sama dihukum kepala sekolah, sama mencuri spanduk di
sepanjang jalan, menjahili guru-guru, menggoda hansip pasar yang piket malam... dan berebut perhatian Fitri, gadis manis berambut panjang. Ah, kenangan masa lalu menari-nari dalam mata. Bahkan terbayang jelas ketika kami sama-sama digerebek polisi karena mencoret-coret dinding sekolah, protes pada Pak Kepala. Ah!
Setelah bercerita cukup panjang, akhirnya dengan hati-hati Mukhlis bertanya, “Engkau
sudah menikah, Rus?”
Aku, bagai dilecuti cemeti,
terlonjak. Lalu melempar pandang kosong ke langit buram.
"Engkau sakit?”
Mukhlis menyentuh tanganku.
“Kita ke warung itu,
ya?" aku melangkah tanpa menunggu persetujuan Mukhlis.
Dengan segelas kopi panas, pisang goreng dan
ketan khas Bukitinggi kami duduk
bercerita. Dan Mukhlis, bagai mengarifi akan reaksiku tadi beralih cerita tentang kehidupannya. Duh, bahagianya seorang teman, pikirku.
“Akhirnya kau berhasil
mencuri hati anak perawan itu," aku melepas tawa ketika
Mukhlis bercerita tentang istrinya, Fitri, gadis inceran kami berdua dulu.
Mukhlis balas tertawa. "Kautahu, Rus, anakku empat," ujarnya sambil terus tertawa.
"Empat? Kau tidak ber-KB? Ah, Lis, Lis, di zaman sekarang tak ada yang ingin punya banyak anak"
"Sekarang pun sedang hamil ke lima, Rus. Apa boleh buat, anakku perempuan semua. Tapi
kalau yang ini perempuan juga, ya
sudah, stop saja. Laki dan perempuan
sama saja, ya, Lis? Ah, tidak. Tidak untuk adat kita,
adat Minangkabau. Kau tahu, kan?"
Aku tersenyum. "Oya, Fitri dan anak-anakmu sehat, kan?”
"Alhamdulillah, Rus. Tapi Fitri sekarang gemuk.
Nih, mukanya kayak gini," Mukhlis menggelembungkan pipinya.
"Maklum istri pejabat," selingku asal saja membuat Mukhlis
terpingkal lagi.
Beberapa kali guntur menggelegar lagi. Kami diam.
Aku disibukkan oleh perasaan galau
lagi, oleh kepelikan. Terasa
semuanya kocar-kacir. Kebahagiaan
Mukhlis seperti turut menuntutku untuk
segera berumahtangga.
Akhirnya, seperti tidak tahan, Mukhlis bertanya juga,"Engkau sudah menikah, Rus?"
Aku memperbaiki duduk. Lalu berkatata, "Itulah, aku dipanggil pulang Ibu untuk menikah. Ibu telah menyediakan calon untukku, katanya sangat cocok. Tapi
entahlah, aku baru lihat
fotonya."
"Bagus kalau begitu. Habis, kamu itu yang
tidak mau cari istri sendiri, padahal usia kita sudah kepala tiga. Sebenarnya kalau kau mau, tidak orang Minang
pun tidak soal, yang penting kita
bahagia. Bujang lapuk itu nama yang tidak bagus lho, Rus!"
Setelah membasahi kerongkongan yang tiba-tiba saja terasa amat kelat, aku
bertutur, "Lis, panjang ceritanya."
"Berceritalah, Rus. Aku akan mendengarkan," sahut Mukhlis seperti
tahu apa yang berkecamuk dalam hatiku.
Yak, terlontarlah kisah kasihku bersama Martini, gadis
seberang itu.
"Rus, engkau sudah beritahu Martini?"
“Tidak, aku hanya
bilang Ibu sakit dan aku harus pulang," aku menarik nafas dalam-dalam,
berusaha menebarkan udara dingin ke rongga dadaku yang terasa amat garing.
"Bagaimanapun juga Martini harus kauberitahu. Dan siapa tahu kalian
dapat menemukan jalan terbaik."
"Mustahil, Lis. Martini tengah mengandung anakku...." Begitu saja, bagai amat cepat, keringat seperti dipompakan
keluar dari seluruh pori-poriku, ketika kalimat yang
kurasa amat janggal itu terlontar juga. Aku merasa tubuhku menggigil.
"Opssh...!," kudengar
Mukhlis mendesis, bagai tidak yakin.
Tapi kemudian dilanjutkannya juga dengan nada yang kudengar asing dan setengah
mendakwa, "Sekarang, bagaimana keputusanmu."
Aku hanya diam. Kalimat Mukhlis tertangkap di telingaku sebagai kecaman.
Dan, yak, pantaslah aku dikecam oleh seorang sahabat. Aku merasa ngilu.
Dentang Jam Gadang menggema, memenuhi langit
Bukittinggi, memenuhi anak telingaku yang kecil. Pukul sepuluh malam.
"Engkau tidak menceritakan Martini pada Ibu? Berusahalah untuk jantan.
Sebuah perbuatan, apa pun resikonya, adalah hal yang harus
dipertanggungjawabkan!"
Sekali lagi, kalimat Mukhlis bagai mengecam dengan pedas. Tak kuasa aku membalas tatap matanya yang menuntut.
"Lis, kumohon engkau jangan mendesak. Maafkanlah aku kalau kisahku
ternyata amat buruk di matamu." Kali ini aku beranikan membalas tatap
Mukhlis yang seperti meringis. Dan aku melanjutkan, “Tidak seorang Ibu pun
akan siap mendengarkan pengakuan terkutuk seperti itu, Lis."
"Ya, pengakuan terkutuk!" Mukhlis
menegaskan. Dan, lagi-lagi aku merasa dikecam dengan keras. “Tapi, bagaimanapun semuanya telah terjadi. Maka
adalah bijak kalau kita menerima apa pun resikonya."
Beberapa saat kami terdiam. Seperti tiba-tiba ada sekat yang mengantarai
kami. Hingga kemudian Mukhlis bertutur juga dengan lunak:
"Mintalah ampun dan petunjuk pada Tuhan. Lakukanlah tahajud dan
istikharah. Moga-moga kau akan dapat petunjuk, Rus. Aku hanya bisa bantu
dengan doa. Seperti kata ustad
waktu kita kecil dulu shalat adalah upaya mencari ketenangan dan bukti
kepasrahan kita pada Ilahi."
Shalat! Ya, Tuhan, ampuni
hambaMu! Telah berapa lama aku tidak mengerjakannya? Sudah berapa lama aku
tenggelam dalam hingar bingar kota? Ukh, aku menekan ulu hatiku yang tiba-tiba
menjadi amat perih. Jelas tergambar bagaimana
penghasilanku sebagai akuntan habis dari meja ke meja, pub ke pub... sampai kemudian Martini bagai menjadi juru
selamatku. Ya, kisah percintaan klasik yang
mengharukan. Dan kini, akan tegakah aku meninggalkannya? Ukh...!
Beberapa waktu kemudian Mukhlis pamit, meninggalkan sorot matanya yang
asing kepadaku. Duh, telah jijikkah ia? Telah tidak percayakah ia pada perbuatan temannya?
Aku kembali sendiri. Tiba-tiba aku menjadi begitu amat asing dan janggal
berdiri di tanah ini. Di tanah di mana agama, adat istiadat dan budi pekerti
luhur dipancangkan. Tanah
di mana adat basandi syara', syara' basandi kitabullah! Dan aku telah
menjadi makhluk kotor.
Permainan masa lalu yang buruk berloncatan dari kakunya Jam Gadang ke
pohon-pohon beringin tua di pelataran gedung Tri Arga.
Ungu. Hitam. Menakutkan!
Aku berjalan pulang dengan lunglai.
***
Akhirnya, entah bagaimana awalnya, aku menerima tawaran Ibu agar bersedia
bertemu dulu dengan Asni, gadis pilihannya itu. Barangkali isak-gugu Ibu telah
meluluhkan.
"Rus, cobalah lunakkan sedikit hatimu. Lihatlah dulu Asni itu, dan
engkau tidak akan kecewa. Dia cantik dan berpendidikan. Asni menjadi guru SMA di Payakumbuh. Sangat cocok denganmu, Rus. Kurang apa lagi?!"
Aku hanya diam, menunduk sambil menghitung-hitung petak tegel. Petak tegel
yang bagai menjadi kotak-kotak cerita laluku.
"Rus, umurmu sudah kepala tiga, apalagi yang kautunggu. Sampai engkau
ubanan? Sampai Ibu mati? Begitu?!" Ibu pun menggugu. "Rus, engkau
anakku satu-satunya. Tak inginkah engkau membahagiakan aku?"
Dan, ibu menangis.
Sangsi aku bertanya juga, "Apakah
Asni akan bersedia menikah denganku?"
"Asni anak yang patuh, penurut dan amat salehah. Dia sadar betul kalau tidak ada orang tua yang
hendak mencelakakan anaknya. Pergilah ke Payakumbuh, Rus. Temui mamakmu dan Asni. Mereka pasti akan sangat
gembira menyambut kedatangan engkau," papar Ibu dengan sorot mata yang
mulai berbinar. Tersenyum ia memandang lekat padaku.
Dan tak ada pilihan. Tepat pukul dua siang, setelah lebih dulu menelepon ke
sana, aku berangkat ke Payakumbuh. Berangkat menuju masa depan rumah tanggaku.
Ah, bagaimana nanti Mak Malin, yang adik Ibu itu, akan menyambutku? Dan
apa gerangan yang akan diperbuat Asni setelah bersua denganku? Adakah saat ini
dia juga tengah merasa dipaksa untuk masuk ke suatu sistem yang tidak diingini?
Duh, akukah yang akan menjadi suaminya?
Betullah, sesuai rencana, semuanya
berjalan baik. Mak Malin begitu senangnya, Asni pun terlihat serupa. Dia bagai wanita paduan antara lingkungan moderen dan tatanan kebiasaan tradisional. Yak, betapa bersahajanya dia. Betapa cantik dan anggunnya dia. Dan, betapa
dewasanya dia menerima suratan untuk masa depan rumah tangganya!
Tapi, betulkah aku akan menikahi perawan suci bersahaja itu? Benarkah aku
akan begitu saja mencampakkan Martini yang saat ini tengah membesarkan benihku?
Benarkah aku, Rustam, akan dengan suka cita menerima anugerah besar ini
sekaligus berbuat keji pada wanita lain?
Ukh, pada siapa lagi aku harus bercerita!
Pukul sembilan malam aku telah kembali menginjakkan
kaki di Bukittinggi. Masih saja gerimis melingkupi kota dingin ini. Dengan
terburu, bagai ada sesuatu yang mendorong langkah kakiku,
cepat aku memasuki halaman rumah. Di teras Ibu telah menunggu.
Dan, sebuah telegram di tangannya!
"Untukmu. Dari Jakarta. Tadi sore Ibu terima," tutur Ibu dengan
kalimat pendek-pendek. Matanya mengawasiku.
Dengan lebih cepat dari gemuruh dalam dada aku telah merobek sampulnya. Dan
dengan lebih cepat lagi membacanya:
'Martini telah mendahului kita semua. Mobilnya mogok di sebuah lintasan
kereta, cepat kembali ke Jakarta. Rus... '
Tiba-tiba saja langit Bukittinggi yang buram menjadi amat pekat dalam
mataku yang nanar. Langit retak kemudian terban menampar ubunku. Dan seperti
tak terpahami juga, aku melihat lagi Martiniku, bergaun pengantin dengan
sekuntum anggrek ungu di dadanya. Wajahnya yang pirus, bibirnya yang amat pucat
melempar senyum.
Dan, kalimat terakhirnya ketika melepasku pulang di
bandara meluncur lagi amat fasih:
"Engkau tidak akan menikah di Padang, bukan?"
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar