SETELAH SEWINDU

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 437 tanggal 19 Agustus – 1 September 1991 hal 68 - 70

Asti memandangku dengan matanya yang berkaca-kaca. Bening itu perlahan melelehkan air di pipinya yang putih. Bibirnya tersenyum. Senyum yang membentuk sebuah garis lengkung yang teramat manis. Dan aku balas menatapnya dengan lembut. Dengan hati-hati, kuusap air hangat itu. Aku bahagia, Tris. Bahagia...— suara Asti serak bergetar. Dan tiada yang dapat kulakukan selain memeluknya penuh haru, mendekapnya dengan kehangatan cinta yang kumiliki. Kualirkan segenap perasaanku pada tubuhnya yang mungil. Terasa begitu indah.

Tapi kini, tiada lagi Asti yang menangis haru, tiada lagi Asti yang mengakui seluruh perasaannya dengan getaran bahagianya padaku. Tiada lagi kemesraan masa lalu. Rumah tangga yang kami bangun, seperti retak. Ada suatu batas yang merintangi hubungan kami. Asti sibuk dengan segala usahanya, pekerjaannya yang kian gemilang. Asti telah menjadi pengusaha!
Kuangkat telepon di sudut meja kerjaku. Tanpa memutar nomor, kutimang-timang gagang plastik itu, merenda kalimat dalam hati. Menyusun kata-kata untuk memaki Asti, yang entah sedang apa di kantornya, atau di mana saja. Aku ingin marah pada kesibukannya, perusahaannya, relasinya, kepada siapa saja! Tapi apa boleh buat, seperti ada yang membimbing tanganku menaruh kembali gagang telepon itu. Dan aku hanya mendesah berat ketika kusandarkan punggungku yang berkeringat. Bayangan kebahagiaan masa lalu melintas-lintas di kantor. Ruangan ber-AC ini tidak sanggup menebarkan kesejukannya ke dalam tubuh, hati dan jiwaku yang terasa garing. Garing sekali! Segaring perasaanku yang kini terhempas, mengambang dan terhempas lagi. Perasaan yang merasa tidak lagi punya harga. Perasaan yang mengaku sebagai suami yang tiada beristeri. Asti bukan lagi istriku! Dia telah menjadi istri perusahaannya, istri usahanya, istri dari seluruh relasinya!
Dengan malas aku berjalan lambat ke luar ruangan.
"Lin, saya mau pulang. Kalau ada tamu, katakan saya tak di tempat!" Sekretarisku memandang bingung. Sangat tak biasa aku pulang lebih awal, tapi, entahlah, hari ini ada yang menggasak dalam dadaku. Tanggal 14, hari ini, adalah hari pernikahanku dengan Asti delapan tahun yang lalu. Dan terasa hari ini aku ingin duduk di rumahku, kembali melamunkan hari-hari pertama pernikahanku. Hari yang penuh kebahagiaan....

***

AKU duduk dengan lemas di ruang tamu: aku harus menunggu Asti pulang dan bicara sejelas-jelasnya. Bicara mengenai rumah tangga ini. Rumah tangga kami yang di ambang keruntuhan dan kehancuran. Batang demi batang rokok kuhabiskan, sebagai pelampiasan kejemuan dan kemarahan yang campur aduk. Tanpa henti mulutku mengepulkan asap yang telah sekian tahun kutinggalkan, tepatnya, sejak hari pernikahanku dengan Asti. Tapi, hari ini, kembali aku nikmati sesuatu yang telah hilang itu. Sesuatu yang tidak disukai Asti. Sesuatu yang kemudian membuat bibirku perih dan lidahku t terasa panas.
Kurebahkan tubuh di sofa....
"Tris, kok tidur di sini?"
Suara Asti membangunkanku. Kulirik jam dinding 11.40 malam.
"Kau baru pulang?" aku mengiringi Asti yang berjalan ke kamar.
"Aku sibuk, Tris. Banyak yang harus kuselesaikan hari ini," Asti menjawab datar.
"Semalam ini?" mukaku terasa jadi panas. Asti keterlaluan!
"Kau ini aneh, biasanya aku juga selalu pulang malam, tapi kau tak pernah bertanya," Asti menjadi sengit. "Kenapa sekarang kau menanyakan itu?" Asti memandangku marah.
"Karena hari ini, hari yang lain."
Ya. Kemarin Jumat," Asti memotong ketus.
"Bukan begitu. Hari ini, hari istimewa kita, As," Aku mempertajam sorot mataku, memancarkan suatu gaungan dari perasaan yang menggemuruh.
"Istimewa?" Asti menyernyitkan keningnya.
Aku ingin mengutuk Asti. Dia keterlaluan, hingga tak tahu lagi tanggal pernikahan kami. Apalagi hari ini, tahun ke delapan dari mahligai perkawinan ini. Bukankah delapan tahun adalah ujian tahap pertama dari keutuhan rumah tangga? Tahap pertama ujian kelangsungan sebuah mahligai pernikahan?
"Kau tidak tahu lagi? Tanggal-tanggal apa saja yang ada di benakmu? Hanya tanggal pertemuan dengan si A, si B, jumpa relasi, rapat direksi, lobying, atau apa?"
Tris! Ada apa? Mengapa kau sewot."
Aku menelan ludahku yang terasa demikian pahit. Kutarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk tidak meletupkan kemarahan yang semakin menggunung dalam dadaku. Dan aku bicara lambat, "Hari ini, tanggal 14, adalah hari pernikahan kita delapan tahun yang lalu...”
Kulihat Asti sebentar tercenung, kemudian berjalan mendekati ranjang, melemparkan tasnya. Dengan lambat dia berjalan mendekati jendela. Matanya lurus memandang ke langit buram. Lama. Kemudian, perlahan dia berbalik, menatap lunak padaku, "Tris, maafkan aku. Aku lupa.
Aku hanya diam. Diam. Keheningan memenuhi kamar kami, kamar pengantin kami delapan tahun yang lalu. Aku merasa tarikan nafas yang terasa sesak. Asti berjalan ke lemari dan mengganti bajunya dengan daster, kemudian duduk di pinggir dipan. Asti menunduk dalam.
Malam ini tahun ke delapan kita bersama," aku mendesah berat.
"Ya."
"Itu berarti telah delapan tahun kita sebagai suami istri."
"Ya."
"Tapi kau semakin asing di mataku."
"Apa maksudmu?" Asti menatap tajam padaku.
“Kau tidak merasakan perobahan itu?" Aku balik bertanya.
Aku sedikit lebih sibuk."
“Usahamu berkembang pesat dan itu telah merampas kau dari sisiku."
“Jangan sentimentil, Tris. Kita bukan remaja lagi. Aku hanya minta kau sedikit mengerti, memahami posisiku. Aku butuh sedikit perasaanmu.”
Perasaan? Perasaan macam apa? Kau yang tidak punya perasaan!"
Asti terdiam, matanya setengah terbelalak.
“Malam ini, delapan tahun yang lalu, malam pengantin kita. Malam pertama kita bersama. Malam yang membahagiakan. Kau ingat, As, waktu kau menangis haru sambil memelukku? Kau tidak ingin lagi?" kutatap Asti yang kembali menunduk. la diam. Jemarinya meremas seprei "As, sekaranglah saatnya kita memastikan kelanjutan rumah tangga ini. Kita telah sama-sama dewasa, kita harus berpikiran lebih matang. Memikirkan tentang masa depan rumah tangga kita," aku bicara berat. Dadaku terasa getir. Perasaan tak ingin kehilangan Asti telah melemahkan seluruh sendi-sendi marahku. Aku luluh. Tapi riak dari kecemburuanku terlalu sulit untuk ditenangkan, hingga aku bicara lambat, “Aku tahu affairmu dengan Kuncoro. Pacar lamamu yang punya hubungan bisnis denganmu.”
Aku terasa asing mendengar suaraku sendiri. Kalimat yang telah tersimpan sangat lama dalam benakku itu, akhirnya meluncur juga dengan payah. Kalimat yang menghantui setiap gerak langkahku.
"Dulu, kau menikah denganku karena tidak ada pilihan lain. Kuncoro ke Amerika melanjutkan kuliahnya. Dan seperti pengakuanmu, kalian saling memutuskan hubungan," untuk kesekian kali aku menelan ludah yang terasa pahit. "Kau merasa, saat itu, tidak akan bertemu lagi dengan Kuncoro. Terlebih setelah kau tahu bahwa di Amerika Kuncoro tinggal dengan Pamannya yang punya anak gadis sebaya kamu. Tapi buktinya, setahun yang lalu Kuncoro pulang dengan tittle MBA-nya, pulang tanpa menikah. Dan kepulangannya ternyata membangkitkan kembali cinta lama kalian yang terampas oleh waktu dan jarak."
As tetap diam. Dia tidak memberi reaksi apa-apa. Jelas kelihatan As menikmati renungannya, kediamannya.
"Ayo, As, akuilah itu. Aku telah muak dengan kucing-kucinganmu!"
Asti sekilas memandangku, memandang mataku yang kurasa telah menjadi merah. As menunduk. Menatap kaku pada karpet.
"Ayo, bicara!"
Perlahan Asti bangkit dan berjalan mengitari dipan. Dengan lunak dia bersandar pada dinding yang berhadapan dengan kaca rias. Dipandanginya tubuhnya dalam kaca itu. Aku hanya menatap nanar.
"Tris, bolehkah aku mengucapkan sebuah pengakuan?"
"Itu lebih baik buat hubungan kita."
Sebentar As menarik nafas, lalu, "Setahun yang lalu aku bertemu lagi dengan Kuncoro. Ternyata dia tetap Kuncoro yang dulu. Kuncoro yang penuh perhatian, penuh kasih, penuh cinta...."
Nafasku tersengal mendengar suara Asti, suara istriku sendiri.
".... Dia tidak berobah, bahkan dengan sepenuh hati dia selalu membantuku, memperlancar setiap bisnis yang aku lakukan. Dan dia memang cemerlang. Brilian sekali. Karena bantuannyalah usahaku berjalan pesat."
"Aku memang tidak pernah membantumu," aku bicara getir.
"Tris, aku tidak katakan begitu."
"Asti, aku memang lelaki kolot. Aku tidak suka kau bekerja. Aku ingin kau menjadi seorang istri yang menyambutku bila aku pulang, yang mengantarkan secangkir teh dengan senyumannya yang tulus. Tapi selama ini, semuanya tak lebih dari tugas Mak Ina. Aku tidak mendapatkan apapun dari istriku sendiri.”
"Dulu kau tidak melarangku."
“Aku tidak menduga kalau jam kerjamu dari dari pagi hingga tengah malam. Bahkan lebih sering dari pagi hingga pagi berikutnya."
"Aku punya gelar kesarjanaan dan aku punya keahlian. Apakah itu salah bila kumanfaatkan?” As menatapku sengit.
“Tidak.”
"Nah, apalagi!"
"Tapi setidaknya tentu kau dapat menyisihkan sedikit waktumu untukku. Untuk suamimu."
"Jangan cengeng, Tris. Omongan itu hanya ada dalam cerita roman."
"Apakah juga cengeng bila aku minta menyisihkan sedikit waktumu untuk Santi? Untuk anak kita?"
Asti terdiam. Diremas-remasnya jemarinya sendiri.
"Kau sebenarnya tidak mencintaiku. Kau menjadikan aku pelarian. Pelarian dari kesepianmu setelah berpisah dengan Kuncoro. Tapi aku tetap punya pengharapan, semoga kau berobah setelah kita punya anak." Aku berjalan ke depan jendela, memandang kegelapan malam, "Tapi ternyata itu hanya pengharapan. Sia-sia."
Kucengkeram jeruji jendela kamar. Kalimatku terasa bagai cerita roman, seperti kata Asti. Tapi bedanya barangkali pelakunya. Saat ini pelakunya aku, seorang suami yang kesepian. Ah, benarkah kejadian seperti ini dapat menimpa laki-laki, padahal dalam roman selalu saja wanita yang menderita? Apakah ini akibat emansipasi itu, bahwa wanita bisa seenaknya terhadap suami? Atau inikah kemajuan yang ditunggu-tunggu banyak wanita? Wanita macam apa itu?!
"Tris, aku tidak mau berbohong pada kenyataan. Rumah tangga yang kita bangun hanya didasari oleh emosi kita masing-masing. Kau memilih aku karena aku mirip sekali dengan Yesti, gadis yang kau cintai dengan sepenuh hati," sebentar As berhenti, menatap lurus bayangannya dalam kaca. "Tapi sayang, Yesti mati membawa cintamu, membawa suatu yang membara di hati kalian. Apakah salah bila aku juga punya perasaan yang sama?"
Aku tercenung. Lama. Bayangan Yesti memintas di depan mataku. Gadis itu tersenyum lembut di balik wajahnya yang pirus. Sangat jelas di mataku bagaimana Yesti menggapai-gapai waktu kapal yang kami tumpangi terbakar dan karam. Dengan seluruh sisa tenaga aku berusaha menyeretnya menjauh dari kobaran api. Hampir sehari semalam kami terapung berpelukan. Aku berusaha keras untuk tetap bertahan hidup, untuk menyelamatkan Yesti yang semakin lemah. Hingga akhirnya seorang nelayan menemukan kami yang pingsan dalam satu pelampung. Dan ternyata Yesti telah menjadi mayat! Pucat kebiru-biruan. Bibirnya yang tipis melengkungkan sebuah senyum. Senyum yang mengantarku hingga bertemu Asti. Senyum Asti yang mengingatkan aku pada senyum Yesti.
"Tris, setiap kali kita bercinta, yang ada di benakmu hanya Yesti. Kau membayangkan bahwa kau sedang tidur dengan gadis itu, bercinta dengannya. Kau menjadikan aku Yestimu yang telah mati. Kau bercinta dengan bayang-bayang....” suara As berubah serak. Matanya mulai bening.
"As, Asti...."
"Aku hanya menjadi reingkarnasi kekasihmu. Dari gadis itu."
"As, aku mencintaimu." Aku berjalan mendekati Asti yang tetap bersandar di depan kaca. Kucengkram tangannya.
"Dengar, As, aku mencintaimu. Kau istriku. Kita suami istri, As."
"Aku tahu..." As melepaskan dirinya dan berjalan lambat ke bibir ranjang. Dengan lunak dia memandangiku. "Tris, selama ini kita telah sama-sama berbohong. Sesungguhnya, tidak ada cinta di antara kita, selain pelarian dari kesedihan dan keputusasaan kita masing-masing."
Aku menuduk dalam. Kata-kata Asti seperti melambungkanku ke suatu ketinggian. Aku merasa gamang sekali.
“Tris, kau tidak dapat berbohong padaku. Dalam tidurmu kau terlalu sering menyebut nama Yesti, memanggilnya. Dan bila kau tersentak dari igauanmu kau memelukku dengan seluruh bara cintamu. Dan itu berarti kau sedang mencumbui Yesti. Aku tersiksa, Tris..." suara Asti benar-benar serak. Air bening di matanya kian menggenang.
"Sungguhkah itu, As? Maksudku, aku sering mengigau begitu?" aku turut duduk di bibir ranjang.
"Kau tidak berani mengakui mimpi-mimpimu. Kau takut mengakui bahwa Yesti selalu datang dalam setiap malammu, dalam setiap cumbuanmu," Asti terisak.
Ya, Tuhan! bathinku. Aku meremas rambutku yang pendek. Kepalaku terasa berdenyut hebat. Menyengat.
Tris, mari kita sama-sama mengaku bahwa tiada cinta di antara kita. Tak perlu lagi kita saling pura-pura, bersandiwara. Kau mencintai bayangan Yesti dan aku mencintai..." kata-kata Asti terdengar ragu dalam telingaku.
"Kuncoro?"
Asti menatapku. Matanya seolah melemparkan sebuah jawaban yang sangat tak kuingin. As terus saja diam dan kemudian menunduk lagi.
"Itukah pengakuanmu, As?"
Asti tetap diam.
"Itukah yang menyebabkan selama ini kau selalu pulang malam?"
Lagi Asti diam. Dia duduk dengan kaku.
"Apakah setiap kalinya kau bercinta dengan Kuncoro?"
Tris, itu persoalan pribadiku!" suara As menjadi keras.
"Huh! Siapa yang lebih hina di antara kita. Baik, kalau kau katakan aku bercinta dengan baang-bayang Yesti. Tapi bukankah lebih baik daripada bercinta dengan Kuncoro, yang orangnya nyata-nyata ada? Apakah kau tahu bahwa itu perzinahan?" Mukaku terasa panas terbakar. Darahku menggelegak. Aku merasa As telah kurang ajar!
Asti berdiri cepat. Dipandanginya wajahku seperti tak percaya. Dan tiba-tiba tangannya melayang, menampar pipiku, "Mulutmu terlalu lancang!"
Mataku terbelalak, menatap As yang tiba-tiba menghambur ke dipan. Dipeluknya bantal erat-erat. Guguannya terdengar cepat. Aku merasa menyesal, kata-kataku barangkali memang telah keterlaluan, kurang ajar, dan barangkali memang aku sebagai tidak berperasaan. Dengan hati-hati kubalik tubuh As.
"As, maafkan aku....”
Asti tetap menggugu. Air matanya membasahi bantal. Kuusap pipinya yang berair seperti aku mengusapnya delapan tahun yang lalu. Kubelai lembut rambutnya yang masai, bagai aku membelainya delapan tahun yang lalu....
“As, aku telah kurang ajar. Marahlah padaku. Tamparlah wajahku lagi, As. Ayo, As, makilah aku!”
As terus menangis. Matanya masih mengalirkan air yang hangat. Air yang membasahi telapak tanganku.
Dengan lambat As bangun. Dia berjalan pelan ke meja rias. Dengan air mata yang masih membasahi pipinya, As duduk lemas. Memandang pilu wajahnya di kaca. Disusutnya air matanya yang mengalir. Dari kaca dia memandangku.
"Tris, maafkan aku. Aku telah menamparmu,” katanya terisak.
"Kau berhak untuk menamparku, As. Kau berhak marah padaku. Kau berhak melampiaskan seluruh kekesalan dan emosimu. Aku telah keterlaluan."
As mengatur nafasnya, lalu, “Tapi.... “ As kembali menggugu. Isaknya kembali menjadi tangis. Dengan cepat dia berbalik dan menghambur memelukku. Ditumpahkannya seluruh air mata. Tubuhnya berguncang karena isaknya yang cepat.
"Menangislah, As. Lepaskan semua beban dalam pikiranmu. Tumpahkan segenap perasaanmu,” aku mendekapnya lembut. Kuusap punggung As yang berkeringat. Getar tubuhnya menambah getir perasaanku. Rasa bersalah menyergapku berulang-ulang. Kata-kataku barangkali telah membuat As sedih.
Beberapa saat kemudian As mulai tenang. Tubuhnya tak lagi bergetar. As melepaskan dirinya dari pelukanku dan duduk dengan tenang di bibir ranjang, di sisiku.
"Tris, aku berdosa. Aku telah ber-do-sa. A-a-ku... durhaka," As kembali terisak.
Tenangkan pikiranmu. Biarkanlah semuanya berlalu. Mari, As, kita buka hari yang baru. Kesetiaan adalah sebuah pangkal dari keutuhan sebuah rumah tangga."
"Tapi, Tris," As memotongku.
"Lupakan saja masa lalu itu. Mari kita tumpahkan saja kasih sayang dan perhatian kita pada Santi. la membutuhkan kau dan aku."
"Tris, dengarkan aku," kembali As memotong bicaraku dan mencengkram tanganku.
Kembali kudekap Asti dan membelainya, "Sudahlah, As."
'Tris, a-a-ku telah berdosa, aku ber-do-sa...!" As menjerit di dadaku. Tangannya meremas kemejaku.
Kubelai rambutnya dengan lembut, "Lupakan saja. Besok Santi akan pulang. Liburannya sudah berakhir, kan, mudah-mudahan dia merasa senang di rumah neneknya."
Asti pun terdiam. Sebenarnya aku dapat mereka-reka apa yang akan dikatakan As, tapi aku tidak ingin mendengar kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Aku tidak siap untuk mendengarnya. Biarlah semua tenggelam bersama masa lalu. As telah cukup menderita seperti ini, apalagi bila dia harus mengakui sesuatu yang.... Ah, tidak! Itu hanya prasangka. Biarkan saja.
Kurebahkan tubuh Asti sepotong bulan di luar sana termangu menikmati kedinginan.

***

SEJAK saat itu Asti jauh berubah. Dia lebih banyak di rumah, menemani Santi. Asti yang mengantar dan menjemput sekolah, menemaninya belajar, mengajaknya jalan-jalan ke super market.... Dan secara tak sengaja Asti dan Santi ke Bogor ke rumah neneknya, aku menemukan buku harian Asti. Kubuka dan kubaca lambat-lambat.
9 Januari
Hari ini, tepat sembilan bulan setelah pertemuanku kembali dengan Kuncoro. Dan kebetulan, tanggal ini adalah tanggal pertama kami menjalin hubungan sewaktu kuliah dulu. Untuk memperingatinya, Kuncoro mengajakku ke Puncak. Entah karena apa, aku sama sekali tak menolak.... Kami menikmati purnama dan belaian angin malam yang dingin.
21 Februari
Usahaku kian berkembang gemilang. Bantuan Kuncoro sungguh tak kecil.
2 Maret
Kuncoro kembali mengajakku ke Puncak. Bara cinta di matanya tak sanggup untuk kuelakkan. Apalagi Tris sering membuatku tersiksa. Igauannya selalu memanggil Yesti. Aku merasa sangat nyaman dalam pelukan Kuncoro yang hangat.
Aku menghentikan membaca buku harian Asti. Dadaku terasa menjadi kosong. Kosong sekali. Terasa darahku mengalir lebih cepat dengan jantungku yang berdegup tidak teratur. Aku seperti terlempar jauh ke luar angkasa dan terbakar bersama Andromeda yang berpijar.
6 Maret
Santi ke Bogor bersama neneknya. Santi pamit hanya dengan sebuah surat singkat yang diletakkan di meja. Aku merasa asing. Mengapa Santi tak pernah membicarakannya padaku? Mengapa dia pergi begitu saja? Apakah karena aku terlena....
Kulewatkan lembar-lembar itu. Aku tak ingin lagi membaca nama Kuncoro terkutuk itu!
14 Maret
Hari ini adalah hari pernikahan kami, tapi aku telah melupakannya. Dan Tris mengingatkannya. Malam ini kami bertengkar....
.... kami menikmati malam yang benar-benar indah. Aku merasa seperti kembali pada masa delapan tahun yang lalu, ke malam pengantin kami... aku bahagia malam ini.
.... tapi sungguh, perasaan berdosa menari-nari dalam benakku. Aku telah salah langkah, aku telah mengkhianati Tris.
21 Mei
Tris sama sekali tak memperlihatkan ketidaksenangannya pada Kuncoro, bahkan, Tris sama sekali tidak pernah menyinggung hal itu lagi. Aku yakin, Tris telah tahu seberapa jauh hubunganku dengan Kuncoro....
.... dan sudah cukup lama aku tidak bertemu lagi dengan Kuncoro. Aku ingin melupakannya, ingin menghapusnya dari sisi kehidupanku.
28 Mei
Sementara perasaan berdosa tetap menghantuiku.... tapi Tris berlaku seolah-olah tidak tahu apa-apa. Dia tetaplah Tris seperti delapan tahun lalu. Hangat dan romantis.
.... aku merasa bersalah, ada dosa yang membayangiku. Ah, mudah-mudah saja Tris memang tidak tahu sejauh itu. Tapi, mengapa aku begitu yakin, bahwa sesungguhnya Tris telah mengetahuinya secara jelas?
.... tapi benarkan Tris telah mengetahui segalanya...?
Kututup buku harian Asti. Perlahan kurebahkan tubuhku yang letih di ranjang.


***


Tidak ada komentar: