Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 479 tanggal 29 Maret – 11 April 1993
Bonus Novelet
TIGA
MIA dengan
lincah memainkan jemarinya di atas tuts-tuts piano. Terdengar suaranya yang
merdu mengalunkan tembang From a Distance, mengalir di ruang tengah yang besar. Suara denting piano terpadu harmonis
dengan suaranya sendiri, terus mengalir bening.
Rustam yang berdiri agak jauh mengamati dengan tenang.
Menikmati alunan suara anaknya dengan khusuk. Sampai kemudian ia mendekat
ketika tembang itu usai dimainkan Mia. Dan seperti biasa, seperti sejak lama, segera saja Mia mengubah nada-nada piano ke nada lagu yang amat mereka sukai, Father and Son.
Begitu, mereka
menikmatinya. Bahkan sampai beberapa kali refrain!
Dan, kemudian, usai dengan gelak tawa.
“Papa, bagaimana kalau kali ini kita nyanyikan satu lagu yang amat manis, Mother and Daughter,” usul Mia menatap pada Rustam.
"Hoho, tunggu dulu. Itu lagu siapa?"
Rustam mengernyitkan dahinya. "Rasanya baru kali ini papa dengar."
"Lagu siapa lagi kalau bukan lagu hamba? Lagu buat Mia dan Mama," jawab gadis itu dengan geli. "Papa
keberatan?" tanyanya lagi
ketika melihat lelaki itu seperti tercenung.
"Kamu pernah nyanyi bersama Mama?"
"Tidak."
"Lho... kalau begitu... bagaimana?"
Mia hanya tertawa. Dia tahu benar, dan amat paham,
kalau kalbu papanya akan terusik setiap kali ia menyebut mama. Dan sungguh,
gadis itu hanya bermaksud untuk menghibur papanya.
"Papa tidak keberatan, bukan?" ulangnya
sekali lagi.
"Papa tidak keberatan kalau kamu punya lagu
seperti itu," tutur Rustam, datar. Ah, sangat datar. Lihatlah, mata lelaki
itu menerawang, jauh. Seperti berpikir sesuatu.
"Sungguh, Pa?"
Kali ini Rustam menjawab dengan senyuman yang
lebar. Bagaimana ia dapat mengurai dengan kata-kata yang tepat jika memang
telah bertahun Darsih melupakannya? Menelantarkannya sebagai tidak berperasaan,
sebagai suami yang punya malam-malam sepi, dingin, dan janggal? Dan,
menjemukan?!
Rustam menerawang jauh. Lagi.
"Papa melamun?" Mia memintas lamunannya.
Rustam hanya menatap anak gadisnya dengan senyum yang kian hari ia rasa kian
hambar saja.
Sementara di tangga, Sandra yang baru saja selesai
mandi sore, berdiri seperti ikut
tercenung akan percakapan-percakapan yang ditangkap telinganya. Dan Sandra juga tahu benar akan perang dingin kedua
orang tuanya. Perang, yang
baru disadarinya pada usia memasuki dewasa ini, begitu memojokkan papanya.
Bahwa Rustam telah diasingkan dari hidup sebuah rumah tangga yang utuh.
Ruangan itu menjadi gaduh ketika Mbi yang merapikan
ruang baca mendadak bersuara. “Non Mia, saya temukan ini di bawah meja!" teriaknya sambil
mengacungkan selembar kertas.
Mia memutar duduk, melihat pada Mbi. Begitu pun
Rustam. Dan, Sandra malah
tersenyum lebar: pastilah kertas itu puisi-puisi Mia lagi! Dan Mia juga merasa
begitu. Pastilah ia telah tidak sengaja menulis puisi di ruang baca dan
kemudian terjatuh ke kolong meja. Dan Mia segera tersadar kalau kertas itu
sempat ke tangan Sandra, maka gadis itu akan mengolok-oloknya. Tapi Mia
terlambat dan kertas itu telah diambil Sandra dari Mbi.
"Tentu puisi penyair kita lagi, ya, Mbi?" katanya agak menyindir.
"Tahan, Mbi! Jangan berikan Mbak Sandra!"
Tapi teriakan Mia pun sama terlambatnya dengan gerakannya.
"Nah, inilah puisi
yang bakal memenangkan lomba cipta puisi kategori puber...!" ledek Sandra kemudian tertawa. Rustam yang sebentar
memperhatikan pun tersenyum lebar kemudian duduk di depan piano. Ya, begitu sering Rustam menyaksikan dua anaknya itu saling ejek.
Dan, terus terang, semua itu menjadi amat membahagiakannya.
"Jangan mengejek!" hadang Mia sengit
ketika Sandra terus mengoloknya. Mia berusaha merebut.
"Eit, jangan main rampas! Tunggu saya bacakan
dulu, ya, Nona Mia..." ledek Sandra lagi.
Mia merasa mukanya menjadi panas. Apalagi
akhir-akhir ini, benar, ia telah
menjadi seorang penyair yang tolol, seperti kata Sandra. Tapi ketika dilihatnya
Sandra tidak lagi tertawa saat membaca kertas itu, Mia spontan heran.
"Bukan puisimu, Penyair..." ujar Sandra sedikit berbisik. "Lihat, nih, puisi papa."
"Hah? Papa bikin puisi? Papa jadi penyair?
Sejak kapan tuh?!" Mia membelalakkan matanya dengan lucu.
"Sst, jangan keras-keras, nanti ketahuan papa.
Ini tulisan papa, kan?"
Kemudian, serentak mereka berpandangan. Sebentar
melihat ke arah Rustam yang tengah memainkan piano dengan amat lambat. Mbi yang
menjadi bingung bertanya.
"Lho, kok pada serius, Non? Bagus, ya,
puisinya?"
"Hush, jangan tanya-tanya.
Selesaikan saja kerjamu," tutur Mia tanpa melihat pada Mbi yang malah melongo
keheranan. Tapi kemudian ia tidak bertanya lagi, kembali bekerja sambil nembang dengan riang.
Puisi yang penuh coretan itu dibaca kedua gadis itu dengan serius.
Lembaran Nomor
Tujuh
Meluruhkan segenap perasaan yang telah tersungkupi
kasih dan
sayang, meluruhkan segenap ikrar kesetiaan
antara rentangan masa ke masa
tidaklah sama: meluruhkan kebencian
la utuh menyeluruh, dalam dan jauh. tidak ada
di ambang, di permukaan, di mana-mana
la ada di jiwa yang amat putih
bukankah caranya hanya dengan menebas jiwa itu
sendiri?
Dan, hanya Tuhan yang bisa!
Meluruhkan segenapnya
tidak sama meluruhkan kebencian
la utuh menyeluruh
Sandra dan Mia berpandangan. Kemudian, sama-sama, cepat mereka mengalihkan tatap ke Rustam yang masih
saja menekan tuts-tuts dengan nada yang amat lambat. Lambat sekali. Bahkan,
nyaris terdengar satu-satu dan putus-putus. Dan, kedua gadis itu, bagai mengarifi makna nada yang dimainkan Rustam: kesepian dan
keterasingan! Duh, betapa senadanya dengan puisi ini, pikir mereka.
"Kasihan Papa," gumam Mia.
Dan, Sandra hanya termangu. Diam. Kilasan masa remaja seperti amat cepat muncul di matanya. Suatu masa yang benar-benar membuat jarak yang begitu jauh dengan Rustam,
ayahnya. Suatu masa di mana ia begitu larut dengan segala materi yang diberikan
Darsih. Sandra tidak punya waktu untuk lelaki itu, bahkan untuk sekedar say hello di pagi hari. Yak, Sandra, sebagaimana Dian dan Pras juga, larut dalam kemanjaan
tak berbatas yang diberi Darsih. Mia, yang memang kurang disuka Darsih, jadilah
satu-satunya anak yang amat dekat dengan Rustam. Dan kini, Sandra kian
menyadari segalanya.... la merasa ikut
kecewa.
"Kita beritahu papa puisi ini?" tanya Mia
berbisik.
Sebentar Sandra menimbang-nimbang. Setelah
diambilnya keputusan yang dirasanya paling tepat untuk saat ini, dia bicara,
"Jangan. Biar saya yang taruh puisi ini di meja papa. Kamu ajak papa
ngobrol atau nyanyi, ya?”
Mia mengangguk setuju.
***
Begitu. Terus. Rustam bagai menikmati kesepian dan
keterasingannya. Hari-hari tuanya, hari-hari pensiunnya, adalah hari-hari
tempat membaca koran, majalah, atau membuat puisi-puisi. Dan setiap kali ia
harus sedikit jengah ketika ketermenungannya dipergoki oleh anak-anak. Oleh
Sandra yang kian mengarifi kesepian ayahnya.
Oleh Mia yang telah amat dekat dengannya sejak kecil. Oleh Mbi perempuan abdi
yang setia. Atau oleh dua satpam
yang menjaga rumah. Duh, benar-benar sebuah istana megah yang begitu sunyi dan
senyap!
Dan, adalah kebahagiaan
luar biasa bagi Rustam jika Mia, atau akhir- akhir ini juga Sandra, merajuk
padanya minta ditemani plesiran, nonton, atau
menghabiskan akhir minggu di peristirahatan mereka. Dan, begitu bahagianya ia
jika anak-anak merajuk minta ditemani ke butik-butik atau swalayan untuk
dibelikan berbagai keperluan. Dan adalah kerelaan yang membahagiakan bagi
Rustam untuk menghabiskan gaji pensiunnya bagi anak-anak. la menikmatinya, dan
ia merasa begitu bahagianya.
Tapi bagaimanapun, Rustam tetaplah seorang ayah,
seorang suami. Seorang ayah yang jelas mustahil untuk terus ditemani anak-anak. Dan seorang suami yang kian sepi. Istrinya, Darsih,
punya pekerjaan yang gemilang dan menyibukkan. Sementara, Sandra dan Mia pun
punya kehidupan sendiri pula. Mereka kuliah, muda, dan tentu tidak selalu punya
waktu untuknya. Rustam paham sekali akan itu.
Suatu kali Sandra mengikuti program praktek
lapangan ke Cirebon, dan Mia disibukkan oleh acara lustrum yang akan diadakan kampusnya. Itu artinya,
benar-benar sebuah kesepian bagi Rustam. Tak akan didengarnya pertengkaran
Sandra dan Mia. Tak akan didengarnya Mia yang
merajuk ketika puisi-puisinya diledek Sandra. Begitu, Sandra akan kian semangat
mempermainkan Mia yang kadang-kadang sampai berlinang air mata menahan malu.
Bagaimana Mia tidak malu bila puisi-puisinya, yang kata Sandra, benar-benar
lugu dan lucu. Jerit hati seorang gadis yang tengah kasmaran.
Pernah Sandra membacakan puisi Mia dengan mikropon. Sandra menghadapkan loudspeaker ke arah kamar Mia:
sesungguhnya aku punya sebidang taman bunga
yang apik dengan beragam kembang
angin-angin seperti sengaja menggesek
hendak menyentuh kembang di tamanku
tapi, dan ini yang tidak
kau tahu
tamanku belum lagi punya rama-rama
padahal aku lihat nyata
rama-rama ada di tanganmu
tidakkah kau berhasrat untuk melengkapi tamanku
ini?
tidakkah kau tahu bahwa…
Suara Sandra terhenti mendadak. Mia telah
memutuskan aliran listrik. Dan ia memandangi Sandra dengan dongkol.
"Heh, burung hantu!" hardik Mia kesal
pada Sandra yang memang berkaca mata itu, "Norak kamu! Mencuri-curi masuk kamar orang, ngambil itu puisi. Awas, saya balas
kamu!"
"Duh, mentang-mentang kuliahnya di Hukum,
gayanya bagai seorang jaksa saja," balas
Sandra.
"Jangan menyindir, ya?! Kamu apa, kuliah kedokteran tapi takut cicak," lanjut
Mia kian kenes. "Dokter apaan?"
"Biarin! Kan saya nggak bikin puisi macam ini.”
Mia mendadak ingat bahwa puisinya masih berada di
tangan Sandra. Cepat dikejarnya Sandra. Tapi Mbi yang tiba-tiba muncul dari
belakang sambil membawa ember untuk mengepel lantai, ditubruknya. Tak pelak
lagi, Mia pun bermandi air yang dicampur karbol itu.
Sandra tertawa terpingkal melihat Mia yang
kelimpungan. Rustam, yang bertumpu di
pagar balkon ruang tengah, ikut tertawa. Dan Mia yang pada mulanya ingin memaki
Mbi, mendengar tawa Rustam, tak urung ikut tertawa
masam. Mbi yang sedari kecelakaan tadi ketakutan bukan main, malah ikutan
tertawa lepas. Tubuhnya yang tambur terguncang-guncang.
"Sialan kamu, tertawa lagi!" hardik Mia
ketus. "Nih, tubuhku bau karbol."
"Habis, Non sih nggak lihat-lihat dulu kalau
mau nyebrang. Ini kan jalur utama," bela Mbi lucu.
Duh, anak-anak yang menyenangkan pikir Rustam.
Mereka tidak seperti Darsih.
Ya, memang, tidak satu pun anak-anak itu yang
mengikuti bidang yang digeluti Darsih. Pras, satu-satunya anak lelaki,
terang-terangan memilih teknik. Dian, yang walau memang telah menamatkan
ekonomi, tapi ikut suaminya ke Kalimantan sana. Sandra, jelas tidak,
kedokteran. Dan Mia? Pun tidak beda, Hukum.
Dan hal seperti itu bukan tidak terpikir oleh
Darsih. Kerap ia bertanya pada dirinya: siapa yang akan melanjutkan kerajaan
bisnisnya yang tidak kecil ini? Dan setiap ia bertanya begitu, setiap itu pula
yang muncul adalah Mia. Jujur, Darsih melihat potensi itu dalam diri si
bungsunya. Rustam pun melihat hal serupa. Gadis itu, Mia, sangat cermat. la penuh perhitungan dan terkesan dewasa dalam
mengelola uang. Karena memang, yang mengatur seluruh keuangan rumahtangga,
adalah Mia. Mia yang diserahi memegang uang, mengatur pengeluaran, dan
segalanya. Untuk hal ini, tentu saja, Darsih harus berterima kasih karena gadis
itu telah menggantikan sebagian perannya sebagai ibu rumahtangga.
Sedangkan Sandra, Pras atau juga Dian, tiga-tiganya
kurang perhitungan. Tiga-tiganya tidak secermat Mia dalam membelanjakan uang.
Itu terbukti karena pertama yang mengatur keuangan rumahtangga adalah Dian,
kemudian Pras, kemudiannya lagi Sandra. Dan, sejak dua tahun belakangan peran
itu dialihkan ke Mia. Di samping untuk memberikan mereka pengalaman, bagi
Darsih, juga untuk melihat kemampuan masing-masingnya. Karena, dulu, pada saat
Darsih menyelesaikan SMA, juga dialah yang diserahi oleh orangtuanya untuk
mengatur keuangan rumahtangga.
Dan Darsih menerapkan juga pada anak-anaknya. Dan,
juga, harus ia akui bahwa anak yang dulu tidak ia suka, jauh lebih cermat dan
teliti. Darsih diam-diam amat bangga pada si bungsunya.
EMPAT
WAKTU yang
menggelinding, meluncur dengan begitu cepatnya, seringkah di luar kesadaran.
Bahwa dari satu ketika ke ketika berikutnya adalah sama dengan merobek lembar
demi lembar buku kehidupan yang kian menipis. Atau sebaliknya mempertebal
lembar demi lembar yang adalah catatan dari kronologis hidup. Dan waktu adalah
ibarat pedang bermata dua. Mengayun-ayun dari satu bidang ke bidang lain yang
selalu saja siap menebas setiap kelengahan.
Darsih terus dihujani oleh keberhasilan. Pintu
waktu kian ternganga lebar untuk kesuksesan dan kejayaannya sebagai seorang
wanita pengusaha disegani.
Sementara Rustam kian terhimpit oleh desakan waktu.
Detaknya kian hari mengasingkan dirinya dari istrinya sendiri. Duh, bagi
Rustam, tentu suatu waktu yang amat menyakitkan. Terkadang ia berpikir, berapa
banyak lelaki seperti dia? Atau, diakah yang terlalu bodoh untuk dapat memaknai
hidupnya sendiri? Dan, memang, begitu sulit untuk mencari jawabannya.
Seiring perjalanan waktu itulah anak-anak
mereka tumbuh, berjalan menuju masa depan masing-masing. Kekuatan dan kesabaran Rustamlah hingga
akhirnya mampu membimbing mereka menuju masa depannya. Pras telah
menyelesaikan pendidikannya dan telah kembali ke Indonesia bulan lalu. Sandra
baru saja menyelesaikan penelitiannya. Dan Mia, pun tak lama lagi akan
menyelesaikan Perdata Ekonominya di Fakultas Hukum.
Malam ini, Rustam berdiri tenang di balkon dalam
ruang tengah. Diperhatikan anak-anaknya yang berkumpul di ruang tengah. Tersenyum
ia. Terasa asing dan janggal. Entah, ia tidak ingin ikut larut bersama tawa
canda anak-anak itu. la ingin menikmati kesendiriannya malam ini. Pelan, ia
kembali masuk ke kamarnya. Meneruskan kesepian dalam ketuaannya.
Tiga saudara yang tengah bercengkerama itu asyik
menceritakan kisah masing-masing. Pras cerita tentang Jerman. Sandra bicara
tentang penelitian-penelitian yang telah dilakukannya. Dan Mia bercerita
tentang kedua orang tua mereka.
"Aku mengerti kesepian Papa," tutur Pras menyambut cerita Mia, "Tapi
kita juga tidak dapat menyalahkan mama. Mama
bekerja untuk kita, untuk kepentingan kita semua."
"Tapi mama terlalu
sibuk," potong Mia, cepat. "Bayangkan,
mama sama sekali tidak punya waktu untuk papa. Mama ditelan oleh kesibukannya, pekerjaannya
dan keterlenaannya pada seluruh perusahaan."
"Hasil kerja kerja mama mengagumkan. la telah menjadi
wanita eksekutif yang besar, gigih,
dan berhasil,” tutur Pras bagai
menerangkan. "Perusahaan kakek yang diwariskan pada Mama, kini, telah
mempunyai asset puluhan kali lipat. Kalian tahu apa sebabnya? Ya,
persis, karena mama bekerja keras
untuk itu. Mama dengan telaten menuntunnya hingga menjadi perusahaan raksasa.
Bahkan, berkat keuletan itu, kini perusahaan mempunyai banyak cabang."
"Mama memang cerdas. la adalah sosok yang mempesonakan. Mengagumkan," sambung Sandra. "Saya yakin, ini semua
dilakukan mama untuk kita. Kita
semua." Dan, Sandra bagai tengah meyakinkan.
“Apakah kalian
tidak merasa kehilangan Mama?" cegat Mia, terburu. Sandra dan Pras
sebentar berpandangan. Kemudian keduanya sama-sama menarik nafas, berat.
"Kalian juga kehilangan," simpul Mia.
"Itu artinya, kita sama-sama kehilangan. Kita semua... juga Papa." Suara Mia mendadak
menjadi amat asing. Sengau dan nyaris mengandung kedukaan. Lihat, ia, Mia,
bagai tengah meresapi kalimatnya. Per kata! "Semua kita tersisih karena
kesibukan dan sebuah ambisi untuk sebuah kerajaan yang terhormat!" Lagi,
kalimat Mia bagai menghunjam tajam.
Kemudian senyap. Mia memperhatikan satu per satu
wajah kakaknya. Sandra dan Pras hanya tertegun. Tidak tahu harus bicara apa.
Begitu, Sandra hanya menggurat-gurat
sisi kursi dengan jemarinya.
"Kita saja sudah kesepian, apalagi Papa
sebagai seorang suami," lanjutnya lagi. "Betul kita tidak sesepi papa karena kita
punya hidup dan dunia masing-masing. Kita dapat melebur semua itu dengan
hura-hura, keluyuran, ke disko, ke night club, atau menghabiskan
waktu dengan pacar. Ingat kan masa remaja kita? Masa SMP dan SMA yang
benar-benar melenakan? Tapi Papa? Tidak demikian halnya. Papa adalah seorang
suami yang mempunyai seorang istri. Artinya, bagi seorang suami yang masih
beristri, rumah tangga adalah
kehidupannya. Bahwa, adalah kebahagiaan jika orang yang dikasihi berada di
saat-saat ia membutuhkannya. Dan, mama melupakan itu!" Tuturan Mia bagai meradang, bagai protes pada
situasi yang dianggapnya telah tidak adil. Pras dan Sandra, lagi-lagi, hanya dapat saling lempar pandang. Sesekali
membasahi kerongkongan yang mungkin terasa kelat. Dada mereka serasa getir dan
galau. Pepat.
"Aku masih ingat," tutur Mia melanjutkan.
"Dulu, ketika kita masih kecil, hanya Papa yang selalu menemani kita
bermain, belajar, plesiran, bernyanyi sembari mengajari piano.... Lalu, ke mana Mama waktu itu? Apakah saat itu kita telah menjadi piatu? Ah,
ya, sesungguhnya kita telah menjadi piatu!"
"Jangan bicara begitu, Mia," sela Pras, berat.
"Tidakkah kalian ingat," Mia meneruskan
tanpa menggubris keberatan Pras, "Bahwa Mama pulang kerja setelah kita
semua lelap? Dan, paginya pun untuk
pamit kita tidak sempat. Setiap pagi kita diantar Papa sebelum ia sendiri ke Kantor.
"Saya tidak hendak menyalahkan Mama. Tapi
bagaimanapun ini adalah realita yang telah kita hadapi sejak bertahun-tahun
yang silam. Sekali lagi, sesungguhnya kita
tidak dapat mungkir, bahwa memang kita telah menjadi piatu! Kita dilupakan mama karena
emansipasinya yang luar biasa. Begitukah pula di negara maju? Jerman misalnya
di mana Mas Pras telah hidup bertahun di sana? Ah, saya tidak habis pikir,
inikah namanya emansipasi? Pergi kerja setiap pagi dan pulangnya hingga malam... Bahkan sering pulang di pagi berikutnya lagi? Kalau
iya, maka jelaslah bahwa saya benar-benar tidak mengerti dengan definisi
emansipasi!”
Kemudian, ruang
tengah yang besar itu menjadi senyap. Cukup lama. Hingga kemudian Mbi datang
mengantarkan roti bakar pesanan Mia, beberapa goreng singkong permintaan Pras.
Dan, ruangan masih saja senyap ketika Mbi telah ke belakang lagi.
"Kita jangan sentimentil," Pras memecah
kebisuan. “Kita semua telah
dewasa. Rasanya, saat sekarang, tidak perlu mengungkit
masa lalu. Kita semua sudah berhasil, bukan?"
"Itu semua karena didikan dan kasih sayang
Papa!” potong Mia. “Kalau saja tidak ada papa, kita entah telah jadi apa....”
"Ya," Pras bergumam, sama beratnya. Tapi kemudian, "Realita
sekarang adalah realita yang membahagiakan, bukan?" lanjutnya.
"Membahagiakan?!" ulang Mia sinis.
"Oo, betapa tidak tahunya Mas Pras akan makna bahagia.”
"Bukan begitu," balas
Pras tenang menghadapi kedongkolan Mia. “Maksudku, mama berhasil dengan gemilang dan kita berhasil dalam
pendidikan, ya, meskipun bukan mengikuti Mama. Dan Papa, telah dapat beristirahat di masa pensiunnya. Membahagiakan,
bukan?”
"Mas Pras dapat katakan begitu. Tapi
aku?" tekan Mia, "yang saban hari bersama Papa? Akulah yang lebih
tahu tentang Papa. Tentang kesepiannya. Aku tahu betul, Papa amat tersiksa dan
menderita. Tidak sekali dua Papa terlihat murung dan melamun bersedih-hati. Mas
Pras, tidakkah kau melihat kesedihan dan kesepian itu di
mata Papa? Tidakkah kau lihat perubahan apa yang beliau alami? Apakah Mas
menganggap biasa pisah kamarnya Papa dan Mama sejak bertahun yang lalu?"
Mia memberondong bagai tengah menghakimi saja.”
"Aku juga tahu Papa dan Mama pisah kamar. Tapi
sama sekali tidak kuduga kalau akan terus berlanjut hingga bertahun."
"Itu karena Mama egois!" seru Mia lagi.
"Papa mungkin guncang dengan masa
pensiunnya," sela Sandra setelah sejak tadi hanya diam. "Barangkali post power syndrom."
"Semakin guncang dengan perlakuan Mama!"
seru Mia lebih keras lagi. "Suami mana yang tidak guncang, terluka, jika
tidak dihargai istrinya sendiri? Setua apa pun seorang laki-laki, termasuk
Papa, masihlah membutuhkan istri. Istri yang dicintai dan mencintainya.
"Papa memang seorang yang penyabar, tidak
mudah marah. Kalian tahu, kan, sejak dulu, bila Mama bertengkar dengan Papa,
papalah yang selalu mengalah. Papa menerima semua perlakuan Mama dengan sabar,
dengan diam dalam kedukaannya."
Pras dan Sandra, lagi, hanya mampu mendengarkan.
"Papa tahu benar, kalau cinta yang
dimilikinya, yang diserahkannya pada Mama, jauh lebih besar dari apa yang
didapatkannya dari Mama," gumam Mia, amat pelan.
"Aku tidak menganggap begitu," sanggah
Pras.
"Kalian tidak pernah dekat Papa!" balas
Mia tegas. "Hanya aku yang
selalu bersama Papa dalam masa-masa remaja kita. Kalian sibuk dengan acara
sendiri-sendiri. Kalian menikmati semua apa yang diberikan Mama. Kalian memuja
Mama untuk semua permintaan yang tidak pernah ditolaknya. Tapi cobalah ingat,
siapa yang menemani Mas Pras setiap malam di rumah sakit ketika kecelakaan dulu? Siapa yang menghiburmu di rumah sakit? Yang
mengembalikan harapan-harapan dan membangunkan masa depan untukmu? Pernahkah
Mama bermalam di rumah sakit sambil bercerita tentang keindahan hidup kita
berkeluarga?
"Dan, Mbak Sandra, tidakkah kau ingat siapa
yang membimbing dengan sabar dan penuh kasih ketika kau terjerumus dalam
kehidupan hura-hura dulu? Siapa yang menuntun kita semua hingga mampu melewati
masa remaja yang mengerikan itu? Hingga seperti sekarang? Kalau bukan karena
Papa, kita semua telah lama hancur. Kita akan tenggelam
dalam kehidupan yang telah ditawarkan Mama. Kebendaan yang melenakan."
"Aku ingat dan tahu itu," gumam Sandra,
berat, seolah membenarkan seluruh paparan Mia. “Tapi jangan
terlalu di dramatisir, Mia."
"Apakah juga mendramatisir namanya bila Papa
berniat membantu Pak De dan Mama malah menyindir sinis?" balas Mia sedikit
meradang. “Apakah Mbak Sandra tidak tahu bagaimana kehidupan
Pak De? Bagaimana susahnya seorang pegawai rendahan menghidupi delapan anak?
Aku masih ingat, ketika itu Bu De mendatangi Papa di kantornya. Operasi ginjal
terhadap Tio, anaknya, harus segera dilaksanakan. Sedangkan mereka tak lagi
punya uang karena telah terkuras selama Tio harus cuci darah. Apakah salah bila mereka meminjam pada Papa? Pada
darah daging mereka sendiri? Bukankah Bu De dengan Papa sama halnya aku dengan
Mas Pras misalnya? Tapi waktu itu, entah ada apa, Mama mendadak muncul.
Kebetulan sekali di saat Papa menyerahkan sejumlah uang. Dan kalian tahu apa
yang terjadi malamnya?" Mia memandangi Pras dan Sandra bergantian, lalu dilanjutkannya
tuturannya, "Mama memaki papa. Sok kayalah, sok santun, sok beramal.... Padahal
papa hanya membantu anak kakaknya, keponakannya. Apakah itu salah? Apakah setiap pengeluaran Papa
harus lapor pada mama? Inikah yang kau sebut didramatisir?” Mia
memelototkan matanya pada Sandra.
Sandra hanya terdiam. Pras pun hanya menekuri lantai. Melihat gelagat itu,
Mia makin menjadi.
"Ingat-ingatlah
dengan baik apa yang sesungguhnya yang telah terjadi dengan Papa selama ini. Aku heran, mengapa Mas Pras, yang sesama lelaki dengan Papa, tidak dapat merasakan perasaan itu,” tutur
Mia, mulai datar. "Seharusnya kau lebih mengerti dari aku....”
Dari dalam kamar, entah
karena Rustam mendengar percakapan itu, atau
karena sebab lain, beberapa tetes air bergulir di pipinya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar