Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 618 tanggal 25 Mei – 4 Juni 1997
Bonus Novelet
Suatu
Siang yang Panas
BURUNG-burung memintasi langit
dengan cepat, layaknya takut dengan ganasnya sinar matahari. Angin yang bertiup
sepanjang lembah, membentur di dinding-dinding batu, terasa panas. Sepanjang
tahun dalam musim yang buruk, telah memporandakan impian dan harapan dari panenan
yang tak menghasilkan apa-apa. Setiap batangan padi yang dituai hanya
menghasilkan jerami-jerami kering. Truk yang sesekali memintas, menyemburkan
debu, menambah panas tengah hari. Kampung begitu menggerahkan.
“Inilah tanah paling buruk
yang pernah kutemui,” ujar Tio, mengorek-korek tanah
gambut di sekitar pematang sawah. "Lihatlah, di sini hujan jarang turun
tapi tanahnya begitu basah, bercendagan[1]
dan dalam tingkat keasaman yang terlalu tinggi. Ini tanah yang tidak pantas
untuk ditinggali para petani."
"Seberapa
buruk?"
"Yang pasti jauh lebih
buruk dari apa yang kubayangkan sebelumnya. Dari apa yang pernah aku perkirakan
saat kita datang ke sini ketika survei lokasi sebulan lalu."
Aku ikut mencangkung dan
memperhatikan tanah itu. Aroma tanah lumpur itu sangat tidak enak dan membuat
hidung menjadi sesak.
"Tapi bukankah di
tanah paya ini banyak belut?"aku menimpali seperti tahu. Sejak datang ke
kampung ini aku melibat orang-orang malukah[2]
dan mereka mendapatkan belut dalam jumlah yang tidak sedikit. Hampir setiap
halaman penduduk, sejak pagi hingga sorenya, dipenuhi oleh rentangan belut yang
digantung di tali. Belut kering terasa lebih enak dan gurih. Renyah.
"Ya, dan belut-belut
itu jugalah yang semakin memperburuk tanah paya ini. Buruk untuk padi sawah.”
Tio bangkit dan berjalan beberapa jarak. Setelah berjongkok lagi dan mencabut
sejumput gulma ia berteriak, "Sam, lihat ini. Inilah tumbuhan paya yang membuat
padi-padi itu tidak dapat tumbuh dengan bagus."
"Seperti jatuh ditimpa
tangga?"
Tio terkekeh. "Ya,
seperti jatuh ditimpa tangga." Ia melanjutkan tawanya. "Perandaian yang
mengena, Sam." la masih saja tertawa, seolah sangat lucu. Baru kemudian,
setelah menghentikan tawanya, Tio bersuara lagi, "Dalam kondisi tanah yang
buruk ini, gulma-gulma menyerang dengan ganas. Menyerang seperti para petani tidak
kuasa menahannya. Dan mereka harus hidup di tanah ini."
Aku mengedarkan pandang ke
sekeliling.
"Tidak ada upaya yang
bisa dilakukan untuk membasmi gulma itu?"
"Selalu ada upaya
untuk itu, Sam. Tapi kemampuan tumbuhnya jauh melebihi kemampuan kita
membinasakannya. Lagi pula, penduduk di sini, kulihat hanya berusaha mencabut
gulma-gulma yang ada tanpa berusaha menuntaskannya."
Aku kembali mengedarkan
pandang ke sekeliling. Angin yang menyisir lembah, menyibakkan bebatangan padi
yang kurus dan pucat. Sesekali burung sawah terlihat berkejaran dan melompat di
antara rumpun-rumpun padi. Di antara bentangan persawahan terdapat bukit-bukit
kecil yang ditumbuhi satu dua batang kelapa yang tumbuh tidak sempuma.
Bukit-bukit kecil itu -- yang lebih pantas disebut onggokan tanah-tanah
mengeras -- yang mereka sebut dengan guguk,
sering dijadikan tempat mengaso, melepas lelah dan berteduh dari terik matahari
yang sepanjang tahun membakar.
Perkampungan
di Lembah
TELAH lima hari kami di sini,
di perkampungan yang dikelilingi bukit batu. Seperti sebuah lembah. Hanya ada
dua celah yang seperti menjadi pintu bagi kampung ini. Satu celah di sebelah
Selatan, menuju ke kota kecamatan. Satu celah lagi di sebelah Barat, menuju
desa tetangga, desa yang sebagian besarnya ditanami karet.
Secara anatomis kampung ini
sebenamya indah untuk dinikmati. Bukit-bukit batu yang putih, yang beberapanya
ditumbuhi pakis-pakis raksasa, dan bentangan persawahan yang luas, seperti
menjadi sebuah mangkuk raksasa yang di tengahnya terhidang sayur mayur yang
hijau. Di dinding batu sebelah Utara terdapat sebuah air terjun. Memang, air
terjun itu hanya berair tidak lebih dari satu bulan dalam setahun, sekitar
bulan Maret. Selebihnya, ia lebih menyerupai dinding yang hampir terbelah
karena erosi. Di telaganya ditumbuhi
berbagai gulma dan menebarkan bau apek yang menyesakkan hidung. Namun jika air
terjun ini sedang ada airnya, sungguh pemandangan yang sangat indah. Deraian
air yang kemudian menebar menjadi embun terasa sangat teduh.
Benar, inilah perkampungan
yang bagus untuk dinikmati keindahannya tapi sangat tidak nyaman untuk ditinggali
turun-temurun. Aku selalu menyimpan tanya yang besar: mengapa penduduk desa ini
bisa bertahan? Bukankah tanah tidak membantu banyak untuk tananam mereka?
Baiklah, aku jelaskan lagi
tentang kampung ini.
Dengan nama Pibang (yang
konon berasal dari kata tepi lobang - karena kampung ini seperti sebuah lobang
raksasa) kampung ini memang kedengaran sedikit aneh. Tapi bukankah nama tidak
berarti apa-apa? Persawahan penduduk berada di tengah kampung, tepatnya di
tengah lembah. Rumah-rumah berderet memutar di sepanjang kaki tebing-tebing
batu yang mengelilingi persawahan. Seperti ditata dengan sempurna, susunannya
begitu saja sangat teratur. Jalan kampung memutar, mulai dari celah Selatan
hingga kemudian bertemu di celah itu lagi, sebagai lingkaran. Di sepanjang sisi
jalan kampung inilah (dan berarti itu di bawah tebing batu), rumah-rumah
berjejer. Mulai dari bangunan-bangunan sederhana sampai kepada bangunan yang
lebih permanen dan terlihat lebih dibanding rumah lainnya. Ya, hanya ada
beberapa yang kelihatan permanen dan bagus.
Aku, dengan tujuh teman lainnya,
datang ke kampung ini dalam tugas sebagai mahasiswa yang sedang melaksanakan
Kuliah Kerja Nyata. Dan kami harus tinggal di sini untuk selama dua bulan.
Dalam minggu pertama ini, memang terasa berat. Mandi di sebuah kulah dengan menimba,
yang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah yang disediakan untuk kami
menginap, (sekaligus sebagai posko kami), menjadi pengalaman yang sama sekali
baru dan bahkan asing. Sebuah kulah yang terbuka dan hanya ditutupi oleh
pelepah-pelepah kelapa. Bagi kami, para lelaki -- aku, Lukman, Toni, Pri dan
Ano -- mungkin tidak terlalu masalah. Tapi bagi Hera, Tio dan Rani, sebagai
gadis-gadis yang terbiasa mandi di ruangan tertutup dan sangat pribadi? Aku
yakin mereka awalnya jauh lebih kaget daripada kami, seperti yang mereka akui.
Tapi toh, mau tidak mau, pada akhirnya kerutinan akan membuat kita menjadi
biasa dan tidak canggung lagi.
Nah, benar, inilah sebuah
kampung yang bersahaja. Sebuah kampung yang hanya dihubungkan dengan dunia luar
oleh sebuah omprengan satu hari dalam seminggu, Senin. Pada hari itu biasanya
penduduk menjual hasil tani mereka ke kota kecamatan sekaligus membeli berbagai
kebutuhan untuk satu minggu. Begitupun kami. Tapi karena aku sendiri membawa sepeda
motor, kami bisa lebih leluasa membeli kebutuhan pada sembarang hari.
Pibang, kampung tanah gambut,
kemudian meninggalkan bekas sangat berarti. Bagi aku, bagi teman-temanku,
mungkin bagi semua orang yang mencoba tinggal di tanah ini. Berbaur dengan masyarakatnya
yang sangat bersahabat dan menjalani hari-hari yang panas dalam angin lembah
yang sesak.
Pibang tidak sekedar kampung,
tapi daerah ini adalah sebuah desa, sebuah bentuk pemerintahan terendah yang
dikepalai oleh seorang Kepala Desa. Tetapi, seperti telah dilalui sejak dahulu,
penduduk masih menyebut kepala desanya sebagai Kepala Kampung. Semua orang
seolah sepakat untuk memanggil Kepala Desanya dengan sebutan Kepala Kampung.
Dan aku berpikir: tentu ini bukan suatu masalah yang perlu dipersoalkan.
Selintas
Angan
“AKU akan mencoba membuat pompa
sederhana untuk menaikkan air dari sumur dan menempungnya dalam sebuah bak. Mungkin
dengan demikian kita bisa membuat sebuah pemandian umum yang lebih layak,” ujar
Pri, mahasiswa Teknik Mesin, dua hari lalu dalam rapat program kami.
"Kepala Kampung, seperti yang diisyaratkannya kemarin, tentu akan sangat
setuju."
"Artinya kita harus
membangun sebuah bak penampungan air permanen. Itu butuh sekian sak semen,
pasir dan tenaga," Toni, anak Petemakan, menyela. "Itu artinya biaya,
Pri."
"Ya, biaya. Kupikir
kita dan Kepala Kampung bisa mengatasinya. Lagi pula masyarakat akan rela bekerja
dan mungkin sedikit iuran untuk membeli bahan-bahan itu."
"Iuran?" Hera
menyernyitkan keningnya. "Mereka tidak menghasilkan apa-apa sepanjang
tahun, Pri. Untuk membeli kebutuhan pokok saja mereka kesulitan."
"Tapi mereka punya
kemauan," aku memintasi pembicaraan. "Mereka orang-orang yang giat
dan sungguh-sungguh.”
Sebentar kami terdiam.
Lukman menurunkan petromaks dan memompanya. Angin yang masuk dari pintu yang kami
biarkan terbuka kadang menggelombangkan cahaya petromak.
"Kalau Tio, rencanamu
apa?”
Tio, anak Pertanian itu,
memperbaiki duduk. Setelah membiarkan Lukman kembali menggantungkan petromak,
dia berkata. "Aku kemarin bertemu tidak sengaja dengan Ibu Winda, petugas
PPL di Kecamatan, yang wilayah kerjanya meliputi kampung ini. Ia mengaku baru
satu kali ke kampung ini sejak ia mulai bertugas tiga tahun lalu. Dan itu
artinya, untuk sementara aku akan menjadi petugas PPL."
“PPL?”
"Penyuluh Pertanian
Lapangan."
"Programnya?"
"Sebagaimana layaknya
tugas PPL."
Akhirnya kami membagi
tugas, agar semua program bisa dijalankan. Pri dan Lukman akan menyelesaikan
proyek pompa sederhananya untuk pemandian umum sekaligus membuat tangki
persediaan air bersih. Hera dan Ano akan membantu sepenuhnya perbaikan administrasi
desa. Toni dan Rani akan melakukan penyuluhan dan bimbingan peternakan rumah tangga
dengan mendatangi rumah-rumah. Sedang aku dan Tio akan menangani masalah
pertanian. Tentu saja sebagian besar hari-hari kami akan berjalan dalam
kelompok masing-masing. Tiga kali seminggu kami akan turun bersama-sama untuk
satu program. Dan pola itu kami setujui.
Kita tidak akan bisa
berbuat banyak melihat kondisi tanah ini." Aku mematah ranting tanaman
cabe yang telah kering. Yang kering sebelum saatnya berbuah. "Tidak ada
humus di tanah ini."
"Segalanya bisa menjadi
baik sepanjang kita berusaha dengan keras dan sungguh-sungguh." Tio
memperhatikan ulat kecil yang menjalar di ranting. "Dan penduduk akan
berusaha. dengan keras."
"Ya, sayang sekali
memang. Dalam kondisi seperti ini mereka fidak pernah mendapat bimbingan dari
penyuluh. Mereka telah bekerja dengan pola mereka sendiri, yang telah dianut
turun temurun. Dan, tetap saja, yang tidak menghasilkan apa-apa."
Tio melompat dari tanah
ketinggian itu, tanah yang bisa ditanami tanaman seperti cabe dan kentang.
"Sebaiknya kita ke sawah di tengah, sana." Aku mengikuti.
Berjalan di pematang yang
seperti mengapung membuat pijakan tidak sempurna. Kondisi tanah ini begitu
lembek. Dan yang lebih memprihatinkan lagi para petani harus merelakan tubuhnya
terbenam bahkan sampai dada untuk bertanam padi atau untuk menebar pupuk.
"Kondisi tanah ini
memang kurang cocok untuk padi sawah dengan jenis yang biasa mereka gunakan.
Seharusnya mereka berusaha mencari bibit yang lebih cocok untuk tanah dengan
keasaman yang sangat tinggi ini."
"Mungkin kita bisa
membantu?"
"Ya, kita akan
membantu. Kalau kau tidak keberatan, lusa kita ke Sukarami[3]
dan semoga kita dapat mencari bibit yang tepat." Tio terus melangkah
hati-hati di pematang sawah yang tidak keras. Sesekali ia terlihat oleng. Tapi
ia tertawa. Dan entah darimana datangnya pikiran itu, aku melihat tawa gadis
ini begitu indah dan leluasa.
Dua hari kemudian kami
memang berangkat ke Sukarami, ke sebuah daerah subur dan pusat penghasil beras
di Sumatera Barat. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami, sejauh ini memang
memberikan sumbangan hasil yang tidak kecil untuk penelitian jenis tanaman
pangan dan tanaman muda lainnya.
"Apakah kau yakin jenis
padi ini akan cocok untuk tanah Pibang, Tio?" begitu aku bertanya setelah
kami kembali ke bis. Sekantong bibit padi itu kupandangi.
"Seperti kata
peneliti tadi, jenis ini masih dalam tahap ujicoba. Sebenarnya belum pantas
untuk disebar. Tapi ya karena aku ngotot ingin mencobanya dia mengizinkan,
bukan? Nantilah, kita akan buktikan bagaimana hasilnya."
"Kalau gagal?"
"Setiap usaha punya
dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Tapi setidaknya kita bisa memetik
pengalaman darinya." Tio sebentar membalik-balik buku petunjuk benih itu.
"Buku ini akan banyak membantu," lanjutnya dan kembali tersenyum.
Aku mengangguk saja. Bis berjalan
terlalu cepat untuk jenis jalan yang berliku, menanjak dan menurun dengan tajam
ini. Perjalanan pergi dan pulang ke Sukarami ini, yang terletak di Kabupaten
Solok, harus melewati tepian Danau Singkarak. Danau berair tenang yang indah
ini, sedikitnya membawa suasana yang, seperti pernah kukatakan, terasa lain.
Ada sentuhan-sentuhan lain yang menggelitik kalbuku ketika bersama gadis ini.
Bersama Tio. Dan aku merasakan benar bahwa dia pastilah tahu itu.
"Dari tadi kau
memandangi aku, Sam."
Aku mengalihkan tatap ke
luar jendela bis. Anak-anak yang mandi di sepanjang pesisir danau kuperhatikan
begitu saja. Agak lama aku kembali menoleh ke samping. Melihat ke Tio yang
kemudian menatapku sedikit tajam.
"Kau marah aku pandangi?"
Tio menarik nafas. "Aku
merasakan ada sesuatu yang aneh dalam kebersamaan kita yang baru masuk minggu
kedua ini, Sam. Setidaknya aku merasakan begitu." Dia kembali menarik
nafas. Mengalihkan pandangan ke depan. Bis masih melaju dengan kecepatan tinggi,
meliuk-liuk.
"Kebersamaan yang bagiku
sangat membahagiakan," begitu saja aku telah melontarkan kalimat itu. Dan
aku merasa gelagapan. "Maksudku, sesuatu yang lain telah kurasakan,
Tio."
Tio melepaskan senyumnya.
Matanya yang bundar dan hitam mendelik. Memancarkan pesona yang mungkin hanya
aku yang menerjemahkannya sebagai jawaban yang menjanjikan. Pfuh? Menjanjikan
apa?! Ah, ya, aku hanya sedikit berangan-angan namun aku tahu persis bahwa perasaan
senantiasa akan mempengaruhi tindakan dan perbuatan. Dan dengan mantap aku
katakan bahwa Tio pastilah tahu semua itu. Dan bahwa Tio pastilah punya
perasaan yang sama denganku. Duh, maafkanlah aku kalau perasaan ini begitu
cepat mengepung dan membelenggu.
Akhimya, setelah berganti dua
bis, setelah menempuh perjalanan panjang yang tentu saia melelahkan, kami sampai
di Bukittinggi. Telah menjelang Magrib. Dengan motor --yang tadi pagi aku
titipkan di rumah seorang teman, kami kembali menuju Payakumbuh, untuk kemudian
terus ke desa.
Bisa dibayangkan bagaimana
aku merasakan kebahagiaan ketika tangan gadis itu melingkari pinggangku? Ketika
ia berpegangan erat saat aku melarikan motor dengan nakal? Ah, mungkin semua ini
konyol. Tapi aku berbahagia karenanya.
Pukul sembilan malam kami memasuki
gerbang desa. Jalanan berbatu yang tidak rata, pekatnya kegelapan malam, angin
lembah yang menggigit, semuanya menjadi bagian dari simponi hati itu. Di tanah
ini, udara malam sangat dingin, jauh berseberangan dengan siangnya yang amat
panas. Dan di kampung ini, pukul delapan malam saja, sudah sangat senyap. Gelap
dan pekat. Sesekali hanya terlihat kerlipan lampu minyak dari celah dinding
rumah penduduk atau kerlipan senter orang-orang di kejauhan yang mungkin punya
sedikit keperluan. Begitu sepi.
[1] Air berwarna
keperakan dan kekuningan yang sedikit kental dan berbau. Air ini menyebabkan
tanaman mati atau tumbuh dengan tidak sempurna.
[2] Cara menangkap belut
dengan memasang perangkap berbentuk kerucut di liang-liang yang diduga berisi
belut. Alat berbentuk segitiga yang disebut lukah itu ditanam pada sore hari
dan diangkat pada pagi hari. Belut biasanya terjepit pada mulut lukah.
[3] Sebuah daerah subur di Kabupaten Solok (± 60 Km dari
Padang), tempat didirikannya Balai Penelitian Tanaman Pangan (Balitan), yang
biasa dikenal dengan Balitan Sukarami.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar