Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 468 tanggal 26 Oktober – 8 November 1992
Bonus Novelet
1 (SATU)
WEKER di meja di samping dipannya berdering keras. Sekali ia menggeliat dan
kemudian barjalan perlahan. Seperti biasa dibukanya jendela kamar dan menebar pandang
ke setiap penjuru tamannya yang apik. Angin pagi yang segar menerobos masuk dan
menyebar memenuhi kamarnya. Seperti sudah hapal akan letak bebunga di tamannya,
Ning melotot kaget dan kemudian berteriak nyaring.
"Mak
Ina...!"
Wanita
menjelang tua yang baru saja selesai menyiapkan air mandi majikannya itu,
dengan tergopoh berjalan ke kamar Ning.
"Ya,
Non," sahutnya dari balik pintu.
"Sini!"
perintah Ning lebih keras.
Mak Ina
membuka gerendel, masih terkunci. Ning lupa kalau pintu belum lagi dibuka.
"Masih
terkunci, Non," kata Mak Ina hati-hati.
Dengan
kesal Ning berjalan ke pintu kamar dan membukanya dengan sedikit gaduh.
Dikuaknya daun pintu lebar-lebar hingga tubuh Mak Ina yang kurus terlihat jelas
di matanya.
Ning
menatap tajam pada perempuan itu. Kemarahan yang mewarnai mukanya perlahan
luruh. Mak Ina tertunduk menekuri lantai. Mak Ina yakin, pastilah Ning akan
memarahinya. Tak biasa Ning memanggil keras seperti tadi.
Ros
kesayangan Ning, kemarin sore, tak sengaja patah ditimpa selang air ketika Mak
Ina menyiram kembang-kembang itu.
"Non,"
tanpa ditanya Mak Ina bicara, "Maafkan saya. Kemaren sore, tak sengaja ros
itu gugur. Mak benar-benar tak sengaja, Non."
Sempurna
sudah hilangnya kemurkaan Ning. Suara Mak Ina yang terbata meluruhkan
sendi-sendi jengkelnya. Mak Ina terus menekuri lantai.
"Sudahlah.
Lain kali hati-hati," Ning bicara berat. "Aku mau mandi."
Dengan
lega Mak Ina berjalan mundur beberapa langkah kemudian berbalik dan berjalan
bergegas menuju dapur, menyiapkan sarapan pagi Ning.
Setelah
berpakaian dan yakin bahwa penampilannya benar- benar up to date, Ning berjalan
terburu ke meja makan. Segelas susu diet direguknya sampai habis. Tanpa sempat
menyentuh roti, sarapan paginya selama ini, Ning berjalan tergesa ke garasi.
Mak Ina
hanya mendengar suara klakson tiga kali, kebiasaan Ning berpamitan jika sedang
jengkel.
Mak
Ina, perempuan kurus itu, sudah ikut keluarga Ning sejak gadis itu masih sangat
kecil. la mengabdikan dirinya lebih dari sekadar pembantu rumah tangga yang
digaji dan diberi makan. Jauh dalam lubuk hatinya tersimpan sebuah luka yang
tak akan pernah sembuh oleh waktu. Ya, oleh waktu!
Kini,
Mak Ina-lah satu-satunya orang yang mengasuh Ning. Mak Ina telah menjadi
pembantu, ibu, ayah sekaligus teman bagi Ning. Mak Ina menyadari itu. Tapi, ada
waktu keramahan Ning padanya malah membuat ia semakin terluka, keramahan
seorang majikan pada seorang pembantu yang mulai renta!
Ah,
ma-ji-kan, Mak Ina mengeja lambat dalam hatinya. Setitik air bening bergulir
menuruni pipinya yang keriput.
***
Tuan
Markun dan Nyonya Saras telah menikah lebih dari lima belas tahun.
Tapi anak yang ditunggu belum juga mereka dapatkan. Berbagai usaha telah mereka
lakukan. Konsultasi dengan dokter-dokter ahli kandungan sampai kepada
usaha-usaha perdukunan. Tapi semua bagai menggantang asap, sia-sia, hilang
tanpa bekas.
Hari
itu, Selasa subuh, ketika tuan Markun baru saja membuka matanya, terdengar
tangisan bayi dari luar kamar. la bangkit dan dengan tergesa mencari sumber
suara itu. Tanpa banyak kesulitan suara itu ditemukannya. Di teras, sebuah
keranjang yang biasa digunakan mbok-mbok bakul membawa dagangannya, didapatinya
masih diselimuti embun. Ada bayi mungil di dalamnya, tak henti menangis.
Tangisan
yang membahagiakannya.
Setelah
berjalan mengitari pekarangan, bahkan sampai ke jalanan di depan rumah — dan tak
ditemukannya orang yang telah menitipkan bayi itu — Markun
lalu membawa masuk keranjang berisi
bayi merah itu.
Nyonya Saras mengerjap-kerjapkan mata bagai tak percaya.
"Kita telah punya anak, Mas. Tuhan memberkati doa kita,” katanya setengah menjerit, bahagia. Suaranya yang terbata penuh keharuan memecah suasana pagi yang lengang.
Sejak saat itu, dengan segala cara, tuan
Markun berhasil menjadikan bayi itu
sebagai "anak kadungnya". Assegaf, SH, seorang sahabat karibnya,
yang dulu pernah jadi pacar istrinya, banyak membantu usaha itu.
Surat keterangan kelahiran dari seorang bidan pun telah mereka
dapatkan.
Ketika bayi itu belum berusia satu bulan,
seorang perempuan muda datang kepada
keluarga Markun, minta jadi
pembantu. Tanpa banyak pertanyaan Markun menerima wanita itu dengan harapan ia mampu mengasuh Ning
Pringgandani, putrinya.
Begitulah, hingga bayi itu berusia empat tahun, tuan Markun dan nyonya Saras ditimpa musibah. Pesawat yang mereka tumpangi dari Manado jatuh di Gunung
Sitoli, menewaskan seluruh awak dan penumpang.
Seperti ada firasat padanya, sebulan sebelum ia ditimpa musibah, Markun
mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
putri mereka. Surat wasiat yang dikuasakan kepada Assegaf, SH, menyatakan
seluruh harta kekayaan mereka yang tidak sedikit diberikan kepada Ning, dengan
Mak Ina sebagai pengasuhnya dan Assegaf bertugas mengatur semuanya sampai Ning mampu berdiri
sendiri.
Assegaf memang orang yang baik. Wasiat tuan Markun dijalankannya tanpa
cacat. Hingga akhirnya, Ning Pringgandani
berhasil menamatkan kuliahnya di fakultas ekonomi UI. Sisa
warisan yang masih cukup besar diserahkannya pada Ning.
Usai sudah tugas Assegaf yang panjang.
***
Pagi ini, setelah Ning baru saja berangkat ke kantor, Mak Ina kedatangan
tamu, yang tak lain adalah Assegaf, SH. Lelaki yang
kelihatan semakin tua itu, masih saja gagah di baik kemeja lengan pendeknya. Keriangan yang selama ini menjadi ciri khas Assegaf sama sekali tak
hilang. Bibirnya terus melengkung, menggaris sebuah senyum
tulus.
"Tuan mau minum kopi?" tanya Mak Ina ramah.
Assegaf hanya mengangguk kemudian berjalan mengikuti Mak Ina ke dapur.
"Dari dulu, kau tak pernah berubah, Mak Ina," ujar Assegaf. "Kau tetap perempuan yang ramah dan
menyenangkan."
"Ah, itu kan sudah tugas saya sebagai pembantu, Tuan." Mak
Ina menyodorkan secangkir kopi pada Assegaf. "Silakan diminum,” lanjutnya.
"Mak Ina, kita ngobrol dulu ya, di
ruang depan,” ajak Assegaf sambil berjalan ringan. Mak Ina mengikuti.
Setelah duduk dengan santai, setelah Assegaf mereguk kopinya beberapa kali,
Mak Ina bertanya, "Bagaimana dengan hidup Tuan sekarang. Tentunya masa
pensiun yang menyenangkan di Surabaya sana."
"Ya, begitulah. Tapi sudah mulai pelupa," kata Assegaf tertawa. “Maklum, sudah kian uzur. Apalagi hidup macam saya
yang tak beristri dan tak beranak." Assegaf meneruskan tawanya.
“Habis, Tuan dulu
nggak mau menikah, sih," sela Mak Ina.
"Kadang-kadang, setelah menjadi tua begini, menyesal juga ya, tidak
menikah?" canda Assegaf.
Mak Ina terdiam. Benarkah akan menyesal bila tidak menikah dan tidak mempunyai anak? Ah, kalau begitu, apakah
saya juga telah menyesal? Sampai setua ini tidak menikah dan
tidak punya anak? Ah! Saya tidak
punya anak?
Mak Ina menghentikan lamunannya ketika terdengar tawa Assegaf yang lepas.
Mak Ina juga menyesal seperti saya?" tanyanya.
Mak Ina pun tertawa. Sumbang. Tatapannya menjadi kosong ketika memandang
potret Tuan Markun, Nyonya Saras dan Ning yang baru
berusia tiga tahun di dinding. Hatinya menjadi perih.
“Mak Ina, sesungguhnya
ada yang ingin saya tanyakan," kata Assegaf setelah beberapa saat mereka
terdiam. "Untuk itulah saya datang dari
Surabaya hari ini. Saya kira penting untuk kita. Untuk saya, untuk Mak Ina, untuk Ning, barangkali juga untuk
almarhum Markun dan Saras."
Mak Ina menangkap keseriusan di wajah Assegaf.
"Mak Ina ingat dengan Rukmini? Temanmu yang sama-sama datang dari
Purwokerto ke Jakarta ini?"
Mak Ina tersentak kaget. Rukmini! Sudah
lebih dua puluh lima tahun ia tak lagi berjumpa dengan sahabatnya itu. Sahabat
yang banyak membantunya ketika menghadapi masa-masa sulit di kota ini. Bahkan,
Rukmini juga sahabat yang menolongnya waktu….
"Rukmini bercerita pada saya. la juga memperlihatkan potret kalian
bersama waktu masih di Purwokerto dulu.”
....sahabat yang menolongnya waktu petaka itu terjadi. Ketika seorang laki-laki
tidak waras merampas kehormatannya, menodainya di perkampungan kumuh di
pinggir Ciliwung yang kotor. Rukmini, dengan sebuah balok bangunan memukul
tengkuk laki-laki itu. Darah memerciki wajahnya yang masih tertindih laki-laki
terkutuk itu. Dengan sebuah tendangan yang keras, Rukmini melemparkan laki-laki
itu meluncur ke dalam sungai. Kekuatan kaki Rukmini telah mengakhiri perbuatan
biadab yang menimpanya….
"Rukmini juga bercerita tentang petaka yang kau alami. Aku mengerti
bagaimana perasaanmu," ujar Assegaf hati-hati.
…. Setelah laki-laki itu
terlihat tidak bergerak-gerak lagi, Rukmini mendekati dan momeluknya dengan
haru. la menangis dalam dekapan tubuh Rukmini yang besar.
Kemudian Rukmini membawanya mengungsi. Hidup dari satu perkampungan kumuh
ke perkampungan kumuh lainnya. Sementara perutnya terlihat kian membesar, la
hamil!
Rukminilah yang telah menjadi penyelamatnya, yang memberi makan, memberi tempat berteduh. Rukmini yang
merawatnya dalam penderitaan masa-masa hamil. Rukmini memenuhi segala kebutuhan
mereka dengan cara apa pun. Termasuk menjual tubuhnya yang sintal dan padat — meski sebenarnya Rukmini tidak menyukai laki-laki, tapi ia rela berbuat
itu demi sahabatnya yang tengah mengandung….
"Mak, maafkan saya telah membangkitkan lagi kenangan masa
lalumu."
….Setelah sembilan
bulan bayi itu pun lahir. Lahir dalam kesengsaraan dan penderitaan yang papa. Untuk menyelamatkan masa depan anak itu,
Rukmini mengusulkan agar dititipkan saja pada sebuah keluarga yang mampu.
Rukminilah yang telah mencari tahu bahwa keluarga Markun membutuhkan
seorang anak. Tubuh Rukmini yang tinggi besar, dengan mudah dapat melompati
pagar rumah keluarga Markun dan meletakkan bayi itu di teras….
"Mak Ina...!" Assegaf bicara
sedikit keras.
"Oh...!" Mak Ina
tersentak, "Maafkan saya, Tuan."
"Untuk itulah saya ingin mendengar cerita langsung dari Mak Ina. Kalau
cerita Rukmini itu benar, saya tidak akan bercerita pada siapa pun. Ini adalah
sebuah kebahagiaan bagi saya bila Mak Ina memang orang tua kandung Ning."
Kerongkongan Mak Ina tercekat. Tak banyak pilihan selain bercerita pada
Assegaf, lelaki yang telah dianggapnya ayah bagi Ning.
***
Assegaf bergegas menyeberangi jalan menuju loket stasiun. Meski matahari
sudah mulai condong, tapi sengatannya masih saja terasa membakar. Assegaf memutuskan
untuk kembali saja ke
Surabaya sore ini? Bila bertemu Ning, ia tentu tak akan kuasa menolak permintaan menginapnya.
Baru saja ia menginjakkan
kakinya di trotoar seberang, terdengar suara klakson di belakangnya. Assegaf menoleh. Seraut wajah cantik tersenyum padanya
dari balik jendela sedan putih.
Assegaf berbalik dan berjalan
tergesa ke arah Ning.
“Ning,” ia menepuk-nepuk
pundak Ning.
"Pasti Om dari rumah dan
bermaksud segera beli karcis lalu
pulang ke Surabaya. Begitu, kan?" terka Ning. "Naik kereta malam tidak baik bagi kesehatan, Om,"
lanjutnya.
Assegaf tersenyum lebar. Usahanya menghindar kali ini gagal.
"Sekarang kita kembali ke rumah."
Tanpa menunggu persetujuan Assegaf, Ning telah membukakan pintu. Tak ada
pilihan bagi Assegaf selain masuk dan duduk di samping Ning.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar