Tampilkan postingan dengan label Sajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sajak. Tampilkan semua postingan

PESAN 22 NOVEMBER PAGI BUAT ADIK

Kini November tengah kita harungi, membabar layar lagi dalam musim penuh awan, dalam angin membawa bintik hujan
tetap membiarkan sauh terletak di buritan agar laju tumpangan diri,
tuju pelabuhan cita-hati. Ya, beginilah, Dik, sebuah kelana di samudera
luas dalam bulan menjelang akhir
adakah dikau yakin bahwa harapan suci bukanlah mimpi?
pulau asa bukan sekedar halusinasi, pula fatamorgana?
ia ada, Dik, nyata pula bentuknya
refleksi keinginan yang diterjemahkan dengan kewajaran:
Pulau Bahagia penuh kerlip gemintang!

Maka, Dik, teruslah yakin bahwa menarik sauh tidak sia-sia
membabar layar tidak percuma
karena hidup memang samudera, nan luas tak bertara
terus-terus terus, dan teruslah biarkan angin mendorong babar layar,
sembari kendalikan kemudi
tahukah dikau, Dik, cara mengendalikan kemudi?
Duh, dikau pintar ternyata
Benar: dengan berserah diri dan minta petunjuk pada-Nya!
toh, kitab-kitab telah diturunkan pada kita
untuk penuntun langkah agar lempang ke depan

Dik, bila memang kapalmu besar, yang aman sentosa berlayar
jangan tutup matahari dari biduk-biduk diombang ombak
lempar sekoci dan tali, agar mereka tak kehilangan kendali
tarik merapat lalu tumpangkan mereka
bantu perbaiki biduk kecil yang mungkin tiris itu
atau beri sepasang dayung jika memang mereka tak punya
baru kemudían, biarkan mereka berlayar lagi tuju cita
yang didambakan tersendiri

Duh, dikau amat berjasa, Dik, bantu sesama di samudera luas
selamatkan mereka dari ombak ganas
puji syukur pada Ilahi, karena dikau punya hidup berarti

Dik, ini pagi November ke dua-dua, dalam minggu ke empat
aku datang ke depanmu, menitip sedikit pesan-harap
andai dikau sedikit lupa ini aku sedia mengingatkan
abangmu yang jauh dari mata, dekat di rasa tentunya
dan, salam hikmat selalu....

Harian Haluan, 22 November 1992

TENTANG ANGIN

 susunan abjad y-e-t dan i

ruang, masih kosong tanpa sekat-sekat
debu. adalah tikar dari lantai sampai langit-langit
dan, ada jejak yang lewat
    "Siapa di antaranya?"

tangga. masihlah susunan tingkat yang dari atasnya
kujawab tanya sambil melempar kesangsian
    "Aku datang untuk memandang!"

dari ujung kau sapa angin yang lalu, "Hai!"
dan mendayulah nada sampai ke tangga
yang kini sebagai taman di ruang yang kosong

"Dik, aku punya satu rama-rama
punyakah kau sesudut taman?"

lewatlah angin yang entah ke berapa
kembali kau sapa, "Hai!"

- di tangga aku hanya memandang
pegangi rama-rama yang belum punya taman

1992

Harian Singgalang, 10 Mei 1992



SAJAK WAKTU

tersentak dari lelap dari ujung malam mengikat
bantal seprai di ranjang kumal oleh
bercak dari air mata keringat sampai tetes pagu
    -hujan di luar deras sekali, Tin  

serenada mengusung diri hingga terbang jauh
ke seberang. Sudah beribu kilonya sampai Padang
Purwokerto pun hanya sebatas jarak hati yang koyak.
berbatas selat Sunda kita ada. Krakatau membatu  purba.
tertatih aku duduk di bakau hening
menatap nanar ke seberang yang tak tampak
lalu mengepaklah Angsa Putih di punggung ombak
berputar, menari lalu terbang melintasi selat
    -terbanglah sejauhmu, Tin  

"Padang bukan tempatku,'' katamu suatu kali di bis
keringat  membanjir di wajahmu
dengan nafas terburu kau lempar tatap
ke luar jendela:  menelan gugupmu, sendirian
"Orang Padang dibeli, ya? tanyamu takut
mengilas  memandangku. Ah, kami tak seburuk itu
di mata kalian: barang dagangan yang diusung-usung.
  
aku duduk di selat. menekur menggurat-gurat pasir
lidah air sampai ke pusar. Padang - Purwokerto
memang jauh, dik...
 
"Orang Padang dibeli, ya?"
kutelan keringat, air mata, darah
selat krakatau
sampai angsa tak pulang jua....

1990 -1991

Harian Singgalang, 23 Februari 1992

LEMBARAN III

pantai telah disusur dengan kaki telanjang
pasir nyelimut dalam dingin dan gigil dera laut
angin menerbangkan buih digeluti elang kerdil
jadi tontonan dari detik ke detik

setelah panjang pesisir dilewati
(setelah sebutir mutiara ditemui)
kerang tak hendak memberi!
kilaunya tertempa matahari menembus langit
mutiara tontonkan gemilaunya di matahari
di bulan gemintang

aku duduk di pesisir biarkan lidah air menjilati
yakinkan untuk diri bahwa esok lusa camar takkan kembali

kerang diseret air jauh ke tengah!

1991

Harian Singgalang,  15 Desember 1991

SEBUAH PENGAKUAN DI UJUNG HARI

 - buat M di Purwokerto

cinta hanya impian di waktu tidur; sebuah lamunan indah di tengah hari yang kian lapuk (?) hidup toh tak hanya nyanyian matahari yang menembangkan tentang kemurkaan atau nyanyian rembulan dan gemintang yang lantunkan tentang keindahan!

langit yang runtuh di ujung sepi, membawa nyanyian luka mengusungnya sampai jauh ke balik langit yang koyak.

Dik, adakah kotamu menggigil di jung pagi, bagai aku yang terkapar beku dibawa embun?

kini kutahu ada namamu yang baru terusung di boks surat lari dari kenyataan akan sebuah kejujuran: atau bagimu ini hanyalah tonil di subuh-subuh? begitukah...

aku tak pernah hendak bertanya ke burung atau ke rumput bagai dalam nyanyian cengeng anak manusia. tiada yang lebih baik dari menyepi di ujung malam yang kian kelam dalam terbakarnya!

seharusnya aku tidak bertanya lagi sebab kasih hanya ada dalam janji semu di ujung jalan, depan gedung dewan yang kosong, dalam gerimis di halte samping

November 1991

Harian Singgalang, 15 Desember 1991

JEJAK DI PERSIMPANGAN

jejak telah terbang ditiup
angin melayang-layang sampai ke langit
tertawa ejek kelelahan yang tak pulang
di langit ada awan
hendak memagut dosa ke dosa sampai
hari tepati janji tuk tagih hutang masa
: pelan sekali guntur mencabik

saat hujan datang dalam angin
di tempat tak berwaktu
legam sudah putih diri
jadi lukisan dosa yang tak indah
: sayang, hanya sesal tanpa ubah
sampai diri takut pada hati

di simpang dua arah ada rambu
tak untuk dipilih jalan tuk ditempuh
hanya dua rambu
bukan untuk dipilih!

(apakah hanya duduk di atas jejak
di persimpangan? menunggu hari datang?
dalam dosa yang tiada berampun?)

November 1991

Harian Singgalang, 15 Desember 1991

MANUSIA MANUSIA

 

memilah-milah meremuk. jadilah makna
mengaliri sungai-sungai kerontang dengan ikan
ikan kurus yang menangis. tersedu-sedu
tersusut dengan asam cuka sampai dada terkoyak
lagi. jadilah makna mengalir

pendeta berkacamata, salib melempang di langit  langit
di balik saku madona telanjang
kubah bertulis kalimah luhur-suci
namun dia bergaung-gaung
si bangka bersorban
tengkurap memeluk bulan. mendesah panjang menegang
regang beliak membeliak: betina mendecak

o, manusia o, manusia
jadilah makna mengalir jauh-jauh
ke balik langit
bersama fantasi melambung-lambung  

Desember 91
 
Harian Haluan, 22 Maret 1992

MALAM TAHUN BARU

⁃ selalu begitu tiap tahun  

getar dawai telah kuaransir
jadi sebuah irama, serenade. kantata luka
bebatu telah kususun
jadi sebuah arca. termangu  

kemudian irama jadi batu
arca jadi puing  

(adakah KAU tahu?)  

1985-1990

Harian Singgalang, 7 Oktober 1991

RABU 17 JANUARI

I
desau daun bercengkerama
dengan gerimis pagi bạsah
melengket embun embun, menempel
di kaca, terasa tirai
semua membatas
antara nisan dan cakrawala
berkabut  

II
embun turun rapuh
hinggap di daun suram
pagi tak bermatahari
lazuardi tak ada ini kali
'lain putih menggumpal
lembut
lunak
tengadahlah aku
    ⁃ di antara kaca berkabut ⁃
mencoba menembus ke nirwana
sia-sia. lagi jadi batas
antara nisan di pusat makam
dengan cakrawala berkabut  

1989  

Harian Singgalang, 7 Okt 1991

DI SINI BUKAN BUKITTINGGI


bagaimana raga bisa berada di sini?

malioboro ternyata tak seindah cerita dan lagu
yang membentuk khayali tentang negeri seni
yang membangun percaya tentang kesahajaan insani

kali code ternyata bukan lukisan alam yang indah
yang mengalirkan kebeningan
mengulurkan persahabatan  

(inikah dua tempat di mana kesurgawian didengungkan?
sedang arogansi dan sampah-sampah memaparkan bentuk?)  

dan aku tahu betapa raga berada di sini
menyadari bahwa kota ini bukan Bukittinggi
tempat ngarai mengalirkan kebeningan
tempat Jam Gadang mengulurkan persahabatan  

biarlah aku percaya bahwa manusia telah mengubah segalanya
dan biarkan juga aku yakin bahwa
Bukittinggi kelak akan berbentuk sama  

Yogyakarta, 1995

KERJAP RINDU DI MATA ANGIN

  
menempuh ribuan jarak
menyusur banyak mata angin
ada ujud tunggal mengental
mengada, waktu ke ketika. meski sesaat
sebagai bentuk kepurbaan perasaan  

banyak mata angin mengintip
melelahkan tangis haru
tentang keinginan yang terkotak
terlempar ke langit tak berbatas  

kerjap rindu di mata
angin membawakan nyanyi sunyi
menyempurnakan keterasingan  

ah, ah, betapa rindu jadi tangis
ingin mengaso dalam pangkuan bunda
dalam dekapan kekasih
bersama turut menyenandungkan
segala nyanyi yang tak sunyi  

(tapi di sini betapa terasa
segala keinginan pada tanah ibu
mempercakapkan dalam dialog tradisi)  

Dan, rindu mengerjap jua
dalam banyak mata angin  

Yogyakarta,  Mei 1995  

Dari Lintas Andalas - Umbul Harjo*

--sajak terminal ke terminal


sangkar berisikan daging-daging bergerak
menyemut memperebutkan bawaan pendatang
menarik ke bis-bis kosong terpanggang terik
berteriak dengan suara yang kian serak  

bertanyalah nurani diam-diam:
"takkah kalian bisa sedikit sopan?"
daging-daging bergerak memberingas
kemelut dan krisis hidup manusia
melahirkan kekasaran untuk namanya pangan
makan makan makan
betapa sulit di terminal ini  

dari lintas andalas ke umbul harjo
tidak banyak berbeda rupa:
sangkar berisikan daging hidup yang gerah
bis-bis kosong terpanggang terik
pungli,preman dan petugas
membangun arak-arak
tentang hidup yang kian terpepet  

Yogyakarta, Mei 1995  

* Lintas Andalas = terminal bis antarkota Padang  Umbul Harjo = terminal bis antarkota Yogyakarta

Surat untuk Kita

--sebuah prosa

Sering sekali, tanpa sengaja, kita melemparkan kebencian dengan senyum yang janggal. Lihatlah, betapa senyum telah disalahgunakan. Tapi pada banyak sebab, bukankah kebencian ditimbulkan oleh tumpukan ketidaksukaan?

Tidak, aku tidak tengah membicarakan ketidaksukaan atau kesukaan. Tapi aku tengah mengatakan betapa angin benar-benar telah menjadi prahara. Membuat segala keinginan diluluhkan dan kemudian ditaburkan pada banyak tempat yang telah terberai jauh. Lihatlah, pohon-pohon sawit, pusat-pusat properti, atau tumpukan diktat-diktat kerja. Semua menjadi satu dan bertumpuk dalam cerana yang disebut keputusasaan.

Putus asa adalah surutnya permukaan laut jiwa ke tingkat paling rendah. Dan, setelah bertahan sekian tahun, akhirnya kita harus takluk dan lumpuh dalam pelukannya yang suram. Kita mengerti tapi kita tidak peduli. Hati telah dibakar dan jiwa telah disimpan dalam peti mati atau hanya sekedar hibernasi. Bukankah batu nisan telah dipesan? Sebab, usia sebenarnya adalah menunggu selesainya pemahat batu nisan.

Berbicara tentang nisan, kita merasakan benar, bahwa keranda adalah bagian yang tak terpisahkan. Dalam aroma melati bisa kita tangkap hawa kedukaan atau keriaan. Sekarang dari sudut manakah kita hendak menilai? Lihatlah usung-usungan itu: memintasi mata kita dengan bangga dan leluasa.

Sekarang, kita telah katakan sebelumnya, tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan: tentang keranda, nisan, melati atau bahkan tentang tumpukan diktat kerja, pusat properti dan pelepah sawit.

Bukankah semua telah bertumpuk pada satu cerana: Nafas!

Jakarta, 31 Desember 1996

Percakapan Bunga Baja

 --Kepada Ayi (II)

memulai percakapan dibuka dengan penyesalan
menyanyikan kekecewaan yang dibangun dengan lucu
kau senyumkan kemurungan: "aku lelah!"
bertengkar dengan kata. omong kosong
tentang percintaan ke percintaan. duh, bunuh!
pagi-pagi bau anyir perpisahan didengungkan
"sialan benar anak-anak itu. fuh!"  

dulu bunga dari kertas. bercakap-cakap
pabrik baja juga membuat bunga. kausuka
begitu keras kelopaknya. tajam. sampai malam
angin tak jua menggugurkan. "aku lelah!"  

kau adalah kanak-kanak yang manis
menunggu kanak-kanak lain di pintu keluar
kertas-kertas remuk menyerupai bara bunga baja
panas nian. tapi kau tak peduli
air matamu seperti timah. menyesali pisah ke
pisah. "bukankah aku turut berduka cita?"  

Jakarta, 1997

Manekin Perempuan Katamu

 --kepada Ayi (I)  

kepada kata kita lepas ketidakpuasan, merajuk dan ulaskan kegetiran
beribu omong kosong mengiringi nina bobo
dari bibir bergincu. begitu hitam
bukankah perasaan terkontaminasi omong kosong
kepergian diawali kedatangan, gaduh
beribu gerbong kata diusung, dirajut
dililitkan di setiap bantalan rel sejajar
"siapakah yang manekin kalau kau tak?"
bergerak kaku: "ini bukan perasaan, Bung!"

setiap hitungan keluruhan hari. cerabutkan
budaya perempuan telah dilempar keluar jendela
sebagai remah dibawa tikus.
"lihatlah, kaubukan manekin hidup!"
percayalah bahwa melahirkan anak manusia
lebih dari sekedar sorga  

Jakarta, 1997  

Seperti Hulu yang Berangkat ke Muara


memastikan ada kita selalu bertanya
meminjam penanggalan untuk dilafalkan
atau sama sekali tidak beraksi, sendiri
karenanya batas bahagia dan luka begitu absurd
atau mengentahkan dan menyerah
siapakah yang pernah mengajarkan tertawa
atau menangis sedang kita mengawalinya
laksana hal biasa dalam jerit ratap
hati yang kering atau sorot mata sunyi
mungkin bijak jika tetap menerima
bahwa benar segalanya telah dialirkan
seperti hulu yang berangkat ke muara

1995

Harian Haluan, 13 Februari 1996

Hikayat Anak Tetangga Dijemput Tua

membuka pintu-pintu yang telah dikunci
hanya angin yang menyapa dan berkata: pergilah
jangkrik dengan suaranya yang buruk
mempertegas kelam
di antara pokok-pokok kayu lapuk
bulan dan bintang telah lama dimakan matahari!
begitu nyanyian anak-anak tanpa busana di rumah sebelah:
rumah tak berlantai, rumah tak berdinding
lembab memanjati. angin mengintip
sebetapakah hidup kanak mampu dimakna
sedang usia menua? dipaksa hari. dipaksa hari
bulan dan bebintang tak akan kembali
telah lama dimakan matahari
anak-anak di rumah sebelah telentang
dirayapi embun, ditusuk angin
ketakberdayaan menjemput ketuaan
merampas usia kanak. tak menyisakan legenda  

1990/1993/1994

Casa Dei Bambini

berapa lagi mata bayi dirayapi embun
bayibayi yang tak meminta datang

berapa lagi mulut mungil terkatup
bayibayi yang tak bertemu puting susu

bayibayi di tangan waktu, tak bersuara
megapmegap. mencari tempat bertanya
menjawab alam: rahim dijual tempat lahir

beratap awan berkasur batu
dibelai kesendirian yang senyap
kebeningan yang kosong bertanyatanya
diusungusung ke ujung waktu

(sebuah penampungan sampah di sudut kota
bayibayi dibesarkan lalat)  

1990

Perempuan Bertasbih Panjang

kepada Ibunda

Angin yang membiuh, meratap menusuk-sampai, jauh
terderai kesangsian, terlerai dari kesepian
langkah awal dibentuk dalam rahimmu
Yakin ditumpuk-tumpuk, jadi pilar geliat hidup
"Kesangsian telah kujawab, Bunda."

Butir keringat yang ngalir di pori
dari bayi hingga hidup diberi arti
Mendesak air mata, jauh ke sumsum
Menyatu membentuk temali: tasbih panjang
tempat kasih dan sayang dikirimkan, mengabadi

Usia kanakku adalah bocah yang bergayut
di rambut legam berbalut kerudung
Merayapi waktu, menyelami laut amis darah
berkirim keselamatan dengan kereta-kereta doa
sampai suatu ketika
melepas bocah-bocahmu yang tak lagi kanak manja
"Berapa jumlah terima kasih mampu membalasnya?"

Dengan rambut yang telah keperakan
di atas sajadah waktu yang tiada batas akhir
Ibunda berkirim kesejahteraan lewat dedoa abadi
Betapa aku ingin meraba jemari yang lelah
mengais bukit menimbun lurah
Memaknai hari dengan semangat dan pasrah
Betapa aku rindu menghitung tasbih panjangmu  

Bukittinggi, 1992

Yang Tak Dipahami

angin menyusur, terjerembab di latar buram
dedaunan melahirkan riuh-gerak, merayap
segalanya laksana kisah purba
yang ditera di daun lontar
kemerdekaan hendak disenandungkan
tapi suara-suara telah diputus
dalam anggukan ketidakberdayaan
melantun-lantun dalam gelombang longitudinal
tak terukur  

"ini langkah keberapa
sejak keadilan diperkenalkan?"  

1994