Kini November tengah kita harungi, membabar layar lagi dalam musim penuh awan, dalam angin membawa bintik hujan
tetap membiarkan sauh terletak di buritan agar laju tumpangan diri,
tuju pelabuhan cita-hati. Ya, beginilah, Dik, sebuah kelana di samudera
luas dalam bulan menjelang akhir
adakah dikau yakin bahwa harapan suci bukanlah mimpi?
pulau asa bukan sekedar halusinasi, pula fatamorgana?
ia ada, Dik, nyata pula bentuknya
refleksi keinginan yang diterjemahkan dengan kewajaran:
Pulau Bahagia penuh kerlip gemintang!
Maka, Dik, teruslah yakin bahwa menarik sauh tidak sia-sia
membabar layar tidak percuma
karena hidup memang samudera, nan luas tak bertara
terus-terus terus, dan teruslah biarkan angin mendorong babar layar,
sembari kendalikan kemudi
tahukah dikau, Dik, cara mengendalikan kemudi?
Duh, dikau pintar ternyata
Benar: dengan berserah diri dan minta petunjuk pada-Nya!
toh, kitab-kitab telah diturunkan pada kita
untuk penuntun langkah agar lempang ke depan
Dik, bila memang kapalmu besar, yang aman sentosa berlayar
jangan tutup matahari dari biduk-biduk diombang ombak
lempar sekoci dan tali, agar mereka tak kehilangan kendali
tarik merapat lalu tumpangkan mereka
bantu perbaiki biduk kecil yang mungkin tiris itu
atau beri sepasang dayung jika memang mereka tak punya
baru kemudían, biarkan mereka berlayar lagi tuju cita
yang didambakan tersendiri
Duh, dikau amat berjasa, Dik, bantu sesama di samudera luas
selamatkan mereka dari ombak ganas
puji syukur pada Ilahi, karena dikau punya hidup berarti
Dik, ini pagi November ke dua-dua, dalam minggu ke empat
aku datang ke depanmu, menitip sedikit pesan-harap
andai dikau sedikit lupa ini aku sedia mengingatkan
abangmu yang jauh dari mata, dekat di rasa tentunya
dan, salam hikmat selalu....
Harian Haluan, 22 November 1992