--sebuah prosa
Sering sekali, tanpa sengaja, kita melemparkan kebencian dengan senyum yang janggal. Lihatlah, betapa senyum telah disalahgunakan. Tapi pada banyak sebab, bukankah kebencian ditimbulkan oleh tumpukan ketidaksukaan?
Tidak, aku tidak tengah membicarakan ketidaksukaan atau kesukaan. Tapi aku tengah mengatakan betapa angin benar-benar telah menjadi prahara. Membuat segala keinginan diluluhkan dan kemudian ditaburkan pada banyak tempat yang telah terberai jauh. Lihatlah, pohon-pohon sawit, pusat-pusat properti, atau tumpukan diktat-diktat kerja. Semua menjadi satu dan bertumpuk dalam cerana yang disebut keputusasaan.
Putus asa adalah surutnya permukaan laut jiwa ke tingkat paling rendah. Dan, setelah bertahan sekian tahun, akhirnya kita harus takluk dan lumpuh dalam pelukannya yang suram. Kita mengerti tapi kita tidak peduli. Hati telah dibakar dan jiwa telah disimpan dalam peti mati atau hanya sekedar hibernasi. Bukankah batu nisan telah dipesan? Sebab, usia sebenarnya adalah menunggu selesainya pemahat batu nisan.
Berbicara tentang nisan, kita merasakan benar, bahwa keranda adalah bagian yang tak terpisahkan. Dalam aroma melati bisa kita tangkap hawa kedukaan atau keriaan. Sekarang dari sudut manakah kita hendak menilai? Lihatlah usung-usungan itu: memintasi mata kita dengan bangga dan leluasa.
Sekarang, kita telah katakan sebelumnya, tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan: tentang keranda, nisan, melati atau bahkan tentang tumpukan diktat kerja, pusat properti dan pelepah sawit.
Bukankah semua telah bertumpuk pada satu cerana: Nafas!
Jakarta, 31 Desember 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar