Anak-anak di Halte

 

    Suatu pagi, di bulan Oktober, gerimis turun cepat. Beberapa anak penjaja koran duduk berteduh di halte yang sepi. Koran-koran yang mereka bawa ditumpuk untuk bertelekan siku. Pagi kian murung ketika gerimis telah menjadi hujan. Jalanan sepi: bis, oplet, sepeda motor, dan mobil-mobil pribadi hanya satu-dua yang lewat. Itu pun tidak melirik ke arah mereka.

    Husin, nama salah seorangnya, juga duduk bertelekan siku, bertopang dagu sambil sesekali melihat ke langit; semoga cuaca dapat diajak kompromi agar semua koran terjual habis!

    Sampai siangnya, jangankan teduh, surut pun hujan tidak. Matahari hanya sanggup membiaskan sinarnya yang pucat. Sementara kendaraan juga enggan untuk lalu-lalang, seolah semua manusia lebih memilih untuk tinggal di rumah sambil menikmati hari Minggu bersama keluarga.

    Husin dan teman-temannya, memandang tidak percaya pada langit yang hitam. Seekor kucing kurus yang baru saja numpang berteduh di halte itu, mengibaskan bulunya. Menggigil. Suaranya yang lemah memaksa Husin untuk melirik dan memperhatikannya. Seperti sadar diperhatikan, kucing hitam kurus itu, berjalan membungkuk-bungkuk mendekati kaki kecil Husin. Kepalanya yang masih basah menyentuh tulang kaki Husin. Si kucing menengadah dan Husin menatap menunduk; "Kita senasib, Cing, hujan merampas waktu dan makan kita."

    Setelah bulu-bulunya kering, kucing kurus itu melompat kepangkuan Budi dan rebah-melengkung di sana. ""Sin, hangat sekali di sini." Husin tentu saja tidak mendengar katahati kucing dan kucing juga tidak mendengar katahati Husin.

    "Cing, esok saya harus bayar uang sekolah dan uang seragam. Belum lagi uang ini-itu yang tidak sedikit. Di rumah, Mak sakit. Adikku Titi, juga belum minum susu sejak lahirnya. Padahal, di saat bayi seperti itu, ia harus minum susu, Cing. Susu Mak sudah kering karena sakitnya."

    "Sin, aku belum makan dari kemarin. Lihatlah perutku, kempes sekali, bukan?" katahati kucing lagi. ""Anakku tiga, kecil-kecil dan kurus sekali. Aku tidak punya susu lagi untuk mereka, Sin. Maukah kau memberiku semangkuk susu?" Hujan belum juga ada gelagat akan reda. Koran Husin belum satu pun yang terjual.

    Sementara, di sebuah rumah megah di depan jalan, Nancy sedang asyik bermain dengan kucing dan anjingnya yang manis. Pembantunya, Yem, sedang menyiapkan makan siang untuk hewan-hewan yang manis-manis itu. "Yem, ham dan sosis untuk Bruno, Lupax dan Grodog sudah disiapkan?" "Sudah, Non. Sudah ada di ruang makan mereka." Nancy pun menuntun ketiga anjingnya ke ruangan yang sengaja dibuat untuk hewan-hewan itu. Setelah mengantarkan mereka, Nancy kembali mendekati Yem. la berkata, ""Yem, hari ini Pussy, Missy, Kitty dan Levy beri salem dan tuna bakar, ya, plus coklat susu." Yem pun menyiapkan makanan untuk kucing-kucing yang cantik-manis itu.

    Di halte, anak-anak penjaja koran dan kucing hitam kurus sedang menggigil kedinginan. Mereka sedang berbicara dengan perasaan masing-masing. Mijo, anak kecil yatim piatu, sedang menghayalkan berweek-end dengan "papa-mamanya". Udin, si kerempeng yang penuh borok, mengimpikan sedang tidur-tiduran di kamarnya yang mewah sambil nonton atau berdendang berkaraoke. Jujur, yang sedang berjuang melawan kebutaan (karena matanya sudah demikian parah disebabkan terlalu sering membaca hanya berpelitakan bias merkuri yang sampai ke pondoknya) membayangkan sedang membaca buku-buku tebal dan mahal di perpustakaan pribadinya. Ujang, melamunkan sedang minum kopi susu hangat (hanya kopi susu hangat!).

    Dan, Husin, menatap kosong ke langit yang hitam. Dalam benaknya, ada Maknya yang terbaring sakit dan Titi yang megap-megap kelaparan! Husin sudah tak mampu lagi untuk menghayalkan keelokan taman firdaus dan eden. Sementara kucing hitam kurus meneteskan air matanya, teringat akan ketiga anaknya yang kini mungkin sedang berjuang keras melawar banjir. "Ngeong! Sin, aku harus pulang. Mungkin anakku kedinginan!" Kucing itu melompat, berlari menembus hujan, menyeberang jalan: Sebuah baby benz yang meluncur kencang menghentikan geraknya....

    Suatu sore, di bulan Oktober, hujan deras. Lamunan Mijo, Udin Jujur, Ujang dan Husin, kian luruh di basuh hujan yang turun. Di depan mereka sore ini ada sebuah kenyataan: Koran tak terjual!


***

Harian Singgalang, 17 November 1991


Tidak ada komentar: