Sebuah Renungan Kecil
Ketika langit mendung, awan tebal berarak, dan sesekali kilat menyabung, terlintas di benak saya suatu peristiwa dramatis sebagai salah satu babak yang harus dijalani manusia: Perpisahan! la hadir bagai menggantung di pelupuk mata, begitu sukar untuk ditepiskan. la utuh, menyeluruh dan sempurna berwujud ketika langit benar-benar telah mencurahkan air hujan.
Mengapa ia hadir di mata saya? Yang jelas, di samping jawaban klise, entah ada satu kegetiran yang tengah menyelubungi manakala paparan dari sedikit cuplikan kisah masa, datang menyapa lagi. Yakni, keharuan pada musim.
Keharuan pada musim?
Ya, keharuan yang mengapung dalam setiap ruas yang akan menjaraki musim. Mengantarai dua skala yang semu, sebenarnya. Musim bercengkerama di satu sisi, dan musim berjarak di sisi lain. Duanya adalah sisi yang harus dan terus dijalani sejak dulu kala. Sejak Adam dan Hawa berpisah di surga, sampai mereka bertemu lagi di tanah penuh pasir yang gersang. Tapi yang utuh: mereka tetap punya cinta!.
Lantas, apa korelasi timbal-baliknya dengan semua kepastian yang telah saya tulis? Ada! Pertama, kita akan menghadapi suatu musim yang teramat beda dengan biasa. Tentang apa? Jelas, tentang siapa yang akan mengepalai kita dalam bergembala di babak berikut. Kedua, tentang bagaimana kita bersikap dalam musim ke dua yang beda ini. Bukankah antara yang mengepalai di babak pertama begitu beda situasinya dengan yang akan mengepalai di babak kedua nanti? Sekali pun, dalam suasana, yang tetap dikepalai oleh pelakon babak pertama.
Fantastis! Begitu kalimatnya. Luar biasa baru sebagai ungkapan verbal atas ketidaksenangan situasi dan kondisi yang telah terbangun. Tapi kita toh tak dapat berbuat banyak selain mengikuti alur yang telah diuntukkan buat kita masing-masing? Saya adalah si A, sedangkan Anda adalah si B, dan si anu adalah si C, maka kita punya rute sendiri yang mungkin juga bisa disikapi dengan asing dan janggal!
Tapi, bagaimanapun, pergantian musim adalah suatu yang memang harus kita sikapi dengan bijaksana. Karena ia adalah esensi dari hari yang tak mungkin diadendumi semau kita. Dan, sikap yang sama, toh juga harus diberikan pada siapa yang akan datang dan siapa yang akan melambaikan selamat tinggal (setidaknya dalam makna intuitif).
Dan, ketika hujan turun dengan deras, plafon rumah pun tiada kuasa membendung gemuruhnya, satu yang bisa kita lakukan: menyikapi hujan sebagaimana ajaran kearifan. Tak perlulah kita berdebat mengapa ini jadi begitu, mengapa itu jadi begini! Mengapa ini yang direncanakan kok itu yang menjelma. Yah, marilah kita mengarifi maknanya.
Harian Haluan, 1 November 1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar