ANGIN tidak sekedar hembusan yang mendesirkan daun-daun atau sekedar menyejukkan kegerahan sehabis bekerja. Tapi, seringkali, angin juga suatu simbol dari kesangsian, kegetiran, ketidakmengertian, yang bahkan menjadi konduktor akan suatu kegelisahan massal yang terkadang amat sulit ditangkap logika.
Setiap pori yang menerima terpaannya, berkirim kabar pada otak, bahwa; ada sesuatu yang lewat! Tak jarang, kabar yang disampaikan malah simpang-síur; kedinginan kemudian diterjemahkan sebagai kegetiran, kegalauan bahkan ketakutan. Sementara sang otak, pun menerima dan men-saving-nya sebagai laporan. Bahkan, tanpa anotasi sekalipun, si kabar dianggap sebagai suatu yang tak berbantah, aksiomatis.
Dalam kaitan dengan angin (si kabar) itu jugalah, sesungguhnya, setiap hari kita dijejali oleh beragam kenyataan. Kenyataan yang bermula dari apa yang telah dikirimkan pori pada otak atas terpaan angin yang menyentuhnya. Maka, tak salah jika pada beberapa peristiwa kita berucap terima kasih pada sang pori yang telah memberikan laporan. Karena, toh, kalau tidak karenanya, mana mungkin kita tahu bahwa apa yang telah kita putuskan sebenarnya keliru? Dan, kekeliruan itu pun kita perbaiki. Merevaluasi lagi akan segalanya. Bahkan menyusun program, schedule dan acuan baru untuk merealisasikan tuntutan atas kekeliruan yang telah terjadi.
Tapi sayangnya, untuk memperbaiki kekeliruan itu, sering kali kita mengorbankan pihak lain. Katakanlah kita adalah bidak, dan ya, kita pun menumbalkan bidak lainnya. Menuduh ini karena ulah si anu; ini rekayasa si itu; dan lainnya. Maka bidak yang telah dengan sengaja kita tohok, tentu saja harus rela untuk ke luar dari papan berkotak-kotak untuk segera masuk kotak! Padahal, kalau kita mau jujur, rekayasa-rekayasaan sebenarnya adalah titisan situasi dan kondisi yang pun direkayasa untuk leluhur dan untuk kita sendiri. Maka jika ada sistem itu saat ini, bukanlah suatu yang baru. Telah lama kenyataan mengajarkan kita untuk begitu. Dan, setujulah kita bahwa (ternyata) nothing's new under sun!
Begitulah, saat ke saat kita terus diberi keyakinan bahwa benar nothing's new under sun. Padahal, semua kebaruan yang bahkan teramat asing, terus menjejal di depan jalan kita sebagai bidak, yang hanya bisa merangsak lurus ke depan (jika pun ingin sedikit berkelit, adalah suatu keharusan untuk menumbalkan teman sesama bidak). Lakon-lakon barisan belakang, toh, terus saja memancing kemarahan lawan agar bisa membobol pertahanan dengan menyerahkan kita ke pintu kematian (terlempar dari papan berkotak-kotak untuk kemudian ngendon dalam kotak). Dan, dengan tulus pula, kita bíarkan barisan belakang (raja, mentri, gambit, benteng dan bahkan kuda yang sesungguhnya satria bodoh) merekayasa satu atau dua teman yang sesama bidak. Dan mereka bicara, "Kalian para Bidak, adalah hero yang mengagumkan. Kalian adalah tombak untuk keberhasilan. Ingatlah, sejarah akan mencatat kalian sebagai tumbal-tumbal untuk kesejahteraan!"
Dan benar, bahwa ini juga kisah lama yang diulang-ulang. Lantas terbuktikah bahwa benar nothing's new under sun? Sakit sebenarnya untuk diakui begitu, karena trik-trik yang sama sekali new, selalu menghantui dan siap menohok keberadaan kita, yang pun hanya sebagai bidak tak berdaya!
Dan, begitulah, jika pun kita bilang Yes, Man... toh tak terkecuali sebagai bidak kita akhirnya juga dilempar ke luar papan berkotak untuk masuk kotak. Dan dengarlah, enteng sekali barisan yang di belakang kita, sebagai perwira dan pusat komando, berteriak dengan lantang: "Remis! Remis, Paduka!" tuturnya sembari mengangkat bendera putih tinggi-tinggi! Padahal, kita, para bidak, telah rela untuk dilempar ke luar papan berkotak, hanya untuk satu kejayaan: seperti kata mereka.
Dan, sudahlah, kita memang hanya bidak. Diangkat lagi ke papan berkotak-kotak untuk satu babak selanjutnya. Babak-babak yang penuh oleh trik baru yang asing, kotor, tipu daya dan bahkan rekayasa sepihak yang tiap detiknya mengancam kita untuk kembali ke luar papan berkotak dan ngendon dalam kotak.
Harian Haluan, Catatan Kebudayaan,
Selasa, 3 November 1992