Label

Tampilkan postingan dengan label Awamatra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Awamatra. Tampilkan semua postingan

Angin tidak Sekedar Hembusan yang Mendesirkan Daun-daun

    ANGIN tidak sekedar hembusan yang mendesirkan daun-daun atau sekedar menyejukkan kegerahan sehabis bekerja. Tapi, seringkali, angin juga suatu simbol dari kesangsian, kegetiran, ketidakmengertian, yang bahkan menjadi konduktor akan suatu kegelisahan massal yang terkadang amat sulit ditangkap logika.  

    Setiap pori yang menerima terpaannya, berkirim kabar pada otak, bahwa; ada sesuatu yang lewat! Tak jarang, kabar yang disampaikan malah simpang-síur; kedinginan kemudian diterjemahkan sebagai kegetiran, kegalauan bahkan ketakutan. Sementara sang otak, pun menerima dan men-saving-nya sebagai laporan. Bahkan, tanpa anotasi  sekalipun, si kabar dianggap sebagai suatu yang tak berbantah, aksiomatis.

    Dalam kaitan dengan angin (si kabar) itu jugalah, sesungguhnya, setiap hari kita dijejali oleh beragam kenyataan. Kenyataan yang bermula dari apa yang telah dikirimkan pori pada otak atas terpaan angin yang menyentuhnya. Maka, tak salah jika pada beberapa peristiwa kita berucap terima kasih pada sang pori yang telah memberikan laporan. Karena, toh, kalau tidak karenanya, mana mungkin kita tahu bahwa apa yang telah kita putuskan sebenarnya keliru? Dan, kekeliruan  itu pun kita perbaiki. Merevaluasi lagi akan segalanya. Bahkan menyusun program, schedule dan acuan baru untuk merealisasikan tuntutan atas kekeliruan yang telah  terjadi.

    Tapi sayangnya, untuk memperbaiki kekeliruan itu, sering kali kita mengorbankan pihak lain. Katakanlah kita adalah bidak, dan ya, kita pun menumbalkan bidak lainnya. Menuduh ini karena ulah si anu; ini rekayasa si itu; dan lainnya. Maka  bidak yang telah dengan sengaja kita tohok, tentu saja harus rela untuk ke luar dari papan berkotak-kotak untuk segera masuk kotak! Padahal, kalau kita mau jujur, rekayasa-rekayasaan sebenarnya adalah titisan situasi dan kondisi yang pun direkayasa untuk leluhur dan untuk kita sendiri. Maka jika ada sistem itu saat ini, bukanlah suatu yang baru. Telah lama kenyataan mengajarkan kita untuk begitu. Dan, setujulah kita bahwa (ternyata) nothing's new under sun!

    Begitulah, saat ke saat kita terus diberi keyakinan bahwa benar nothing's new under sun. Padahal, semua kebaruan yang bahkan teramat asing, terus menjejal di depan jalan kita sebagai bidak, yang hanya bisa merangsak lurus ke depan (jika pun ingin sedikit berkelit, adalah suatu keharusan untuk menumbalkan teman sesama bidak). Lakon-lakon  barisan belakang, toh, terus saja memancing kemarahan  lawan agar bisa membobol pertahanan dengan menyerahkan kita ke pintu kematian (terlempar dari papan berkotak-kotak untuk kemudian ngendon dalam kotak). Dan, dengan tulus pula, kita bíarkan barisan belakang (raja, mentri, gambit, benteng dan bahkan kuda yang sesungguhnya satria bodoh) merekayasa satu atau dua teman yang sesama bidak. Dan mereka bicara, "Kalian para Bidak, adalah hero yang  mengagumkan. Kalian adalah tombak untuk keberhasilan. Ingatlah, sejarah akan mencatat kalian sebagai tumbal-tumbal untuk kesejahteraan!"

    Dan benar, bahwa ini juga kisah lama yang diulang-ulang. Lantas terbuktikah bahwa benar nothing's new under sun?  Sakit sebenarnya untuk diakui begitu, karena trik-trik yang sama sekali new, selalu menghantui dan siap menohok keberadaan kita, yang pun hanya sebagai bidak tak berdaya!

    Dan, begitulah, jika pun kita bilang Yes, Man... toh tak terkecuali sebagai bidak kita akhirnya juga dilempar ke luar papan berkotak untuk masuk kotak. Dan dengarlah, enteng sekali barisan yang di belakang kita, sebagai perwira dan pusat komando, berteriak dengan lantang: "Remis! Remis, Paduka!" tuturnya sembari mengangkat bendera putih tinggi-tinggi! Padahal, kita, para bidak, telah rela untuk dilempar  ke luar papan berkotak, hanya untuk satu kejayaan: seperti  kata mereka.  

    Dan, sudahlah, kita memang hanya bidak. Diangkat lagi ke papan berkotak-kotak untuk satu babak selanjutnya.  Babak-babak yang penuh oleh trik baru yang asing, kotor,  tipu daya dan bahkan rekayasa sepihak yang tiap detiknya mengancam kita untuk kembali ke luar papan berkotak dan ngendon dalam kotak.


Harian Haluan, Catatan Kebudayaan,

Selasa, 3 November 1992  

Mengarifi Musim

Sebuah Renungan Kecil

    Ketika langit mendung, awan tebal berarak, dan sesekali kilat menyabung, terlintas di benak saya suatu peristiwa dramatis sebagai salah satu babak yang harus dijalani manusia: Perpisahan! la hadir bagai menggantung di pelupuk mata, begitu sukar untuk ditepiskan. la utuh, menyeluruh dan sempurna berwujud ketika langit benar-benar telah mencurahkan air hujan.

    Mengapa ia hadir di mata saya? Yang jelas, di samping jawaban klise, entah ada satu kegetiran yang tengah menyelubungi manakala paparan dari sedikit cuplikan kisah masa, datang menyapa lagi. Yakni, keharuan pada musim.

    Keharuan pada musim?

   Ya, keharuan yang mengapung dalam setiap ruas yang akan menjaraki musim. Mengantarai dua skala yang semu, sebenarnya. Musim bercengkerama di satu sisi, dan musim berjarak di sisi lain. Duanya adalah sisi yang harus dan terus dijalani sejak dulu kala. Sejak Adam dan Hawa berpisah di surga, sampai mereka bertemu lagi di tanah penuh pasir yang gersang. Tapi yang utuh: mereka tetap punya cinta!.

    Lantas, apa korelasi timbal-baliknya dengan semua kepastian yang telah saya tulis? Ada! Pertama, kita akan menghadapi suatu musim yang teramat beda dengan biasa. Tentang apa? Jelas, tentang siapa yang akan mengepalai kita dalam bergembala di babak berikut. Kedua, tentang bagaimana kita bersikap dalam musim ke dua yang beda ini. Bukankah antara yang mengepalai di babak pertama begitu beda situasinya dengan yang akan mengepalai di babak kedua nanti? Sekali pun, dalam suasana, yang tetap dikepalai oleh pelakon babak pertama.

    Fantastis! Begitu kalimatnya. Luar biasa baru sebagai ungkapan verbal atas ketidaksenangan situasi dan kondisi yang telah terbangun. Tapi kita toh tak dapat berbuat banyak selain mengikuti alur yang telah diuntukkan buat kita masing-masing? Saya adalah si A, sedangkan Anda adalah si B, dan si anu adalah si C, maka kita punya rute sendiri yang mungkin juga bisa disikapi dengan asing dan janggal!

    Tapi, bagaimanapun, pergantian musim adalah suatu yang memang harus kita sikapi dengan bijaksana. Karena ia adalah esensi dari hari yang tak mungkin diadendumi semau kita. Dan, sikap yang sama, toh juga harus diberikan pada siapa yang akan datang dan siapa yang akan melambaikan selamat tinggal (setidaknya dalam makna intuitif).

    Dan, ketika hujan turun dengan deras, plafon rumah pun tiada kuasa membendung gemuruhnya, satu yang bisa kita lakukan: menyikapi hujan sebagaimana ajaran kearifan. Tak perlulah kita berdebat mengapa ini jadi begitu, mengapa itu jadi begini! Mengapa ini yang direncanakan kok itu yang menjelma. Yah, marilah kita mengarifi maknanya.


Harian Haluan, 1 November 1992

SELAMAT LEBARAN, DIK

    Dik, bila gema takbir mulai memenuhi  cakrawala, bunyi kentongan dipukul bertalu-talu, dan anak-anak kecil berbaris  membawa lilin-lilin sambil berteriak riang gembira, itulah malam terakhir dari Ramadhan. Sebuah malam yang esoknya adalah hari kemenangan, Idul Fitri yang menggembirakan.

    Malam tentu akan terus berangkat,  hingga kemudian terdengar kokok ayam di dini hari. Dik, bangunlah kala itu. Buka jendela kamarmu dan lempar tatap ke arah timur. Ufuk kemerahan yang merona di sana, adalah fajar kebahagiaan buat kita semua. Pejamkan matamu, Dik, sambil dalam hati mengucap syukur pada Ilahi bahwa kita masih diberi waktu untuk hadir dalam hari nan fitri ini kali. Berdoalah dengan  khidmat, biarkan perasaanmu melayang dibawa embun pagi dan sukmamu berlari ke latar suci.  

    Setelah matahari kian naik, yang pertama kaulakukan adalah sungkem di hadapan Ayah dan Bunda. Mintakan reda dan maaf atas semua salah dan khilaf yang mungkin selama ini begitu sering melukai perasaan mereka. Pusatkan pikiranmu, satukan raga dengan sukmamu, agar kau tahu bahwa Yanda Bunda selalu begitu mulia. Dan yakinlah  bila kau khidmat minta maaf, khusuk mengingat semua khilaf, akan ada beberapa tetes air mata yang menggulir di pipimu. Air mata haru nan bahagia.

    Dik, di hari yang fitri itu, jangan sekali-kali kau pusatkan mata-diri ke kemilauan, gerlap-kilau dalam suasana kemewahan, hambur uang berpora berpesta. Jangan, Dik. Aku akan sedih bila kau manfaatkan hari fitri itu untuk pamer kemewahan, lomba pakaian dan proklamirkan keangkuhan.  Pada hari nan fitri itu, yang harus kaulakukan bukanlah hal-hal seperti itu.  Tapi tolehkan kepala ke perkampungan miskin yang dina-papa. Perkampungan yang sebagian besar bangsamu berada di sana. Perhatikan mereka dengan kesungguhan dan ketulusan. Dan  semoga dengan demikian kau akan sadar bahwa tidak semua orang  dilahirkan seperti engkau. Masih begitu banyaknya kaum dina yang perlu disantuni, butuh disedekahi. Mengapa  uangmu yang melimpah-ruah itu tidak  kaubelikan baju-baju atau kue-kue dan kemudian kau kunjungi mereka? Bersalamanlah dan meleburlah bersama kehidupan mereka. Larutkan dirimu  dalam kepapaan dan kedinaan seperti  itu.

    Dik, camkanlah petuahku ini. Aku, Kakakmu dari negerl yang jauh, turut  berdoa, semoga kau sehat bahagia serta di hari fitri nanti. Aku juga berharap  semoga kau bukanlah adikku yang penuh kemilau nan angkuh, penuh kemewahan yang dipamer di depan mata bangsamu nan masih papa. Jangan membuat gap dengan mereka, jangan menghindar, jangan meleceh, dan jangan memberi bantuan dengan cara  melemparkannya dengan ujung kaki.  Tapi, jadikanlah mereka sebagai bagian  dari dirimu sendiri: ikut merasakan kebahagiaan setidaknya di hari fitri nanti. Dan satu yang harus kauingat, Dik, tidak semua orang seberuntung kau dalam mengarungi hidup ini. Amat banyak yang tersuruk dalam ketiadaan dan kepapaan yang menyedihkan.

    Ah, betapa aku akan bahagia, Dik. Betapa aku bersyukur pada Ilahi jika kau adalah adikku yang pemurah-tulus-suci. Sekali lagi, lebaran bukan ajang pamer kemewahan. Lebaran adalah hari suci, tempat di mana kita saling memaafkan dalam ketulusan nan murni. Lebaran adalah kala di mana kita tampil sederhana dengan bersahaja, bukan kilau  mewah tak berkira. Begitu kan, Dik?  

    Kakak akan selalu berdoa semoga kau tetap adikku seperti dulu-dulu. Tidak menyalahgunakan lebaran untuk ajang pesta pora yang melenakan.


KMS Minggu Ketiga April/NO.74/Tahun VIII/1992

Anak-anak di Halte

 

    Suatu pagi, di bulan Oktober, gerimis turun cepat. Beberapa anak penjaja koran duduk berteduh di halte yang sepi. Koran-koran yang mereka bawa ditumpuk untuk bertelekan siku. Pagi kian murung ketika gerimis telah menjadi hujan. Jalanan sepi: bis, oplet, sepeda motor, dan mobil-mobil pribadi hanya satu-dua yang lewat. Itu pun tidak melirik ke arah mereka.

    Husin, nama salah seorangnya, juga duduk bertelekan siku, bertopang dagu sambil sesekali melihat ke langit; semoga cuaca dapat diajak kompromi agar semua koran terjual habis!

    Sampai siangnya, jangankan teduh, surut pun hujan tidak. Matahari hanya sanggup membiaskan sinarnya yang pucat. Sementara kendaraan juga enggan untuk lalu-lalang, seolah semua manusia lebih memilih untuk tinggal di rumah sambil menikmati hari Minggu bersama keluarga.

    Husin dan teman-temannya, memandang tidak percaya pada langit yang hitam. Seekor kucing kurus yang baru saja numpang berteduh di halte itu, mengibaskan bulunya. Menggigil. Suaranya yang lemah memaksa Husin untuk melirik dan memperhatikannya. Seperti sadar diperhatikan, kucing hitam kurus itu, berjalan membungkuk-bungkuk mendekati kaki kecil Husin. Kepalanya yang masih basah menyentuh tulang kaki Husin. Si kucing menengadah dan Husin menatap menunduk; "Kita senasib, Cing, hujan merampas waktu dan makan kita."

    Setelah bulu-bulunya kering, kucing kurus itu melompat kepangkuan Budi dan rebah-melengkung di sana. ""Sin, hangat sekali di sini." Husin tentu saja tidak mendengar katahati kucing dan kucing juga tidak mendengar katahati Husin.

    "Cing, esok saya harus bayar uang sekolah dan uang seragam. Belum lagi uang ini-itu yang tidak sedikit. Di rumah, Mak sakit. Adikku Titi, juga belum minum susu sejak lahirnya. Padahal, di saat bayi seperti itu, ia harus minum susu, Cing. Susu Mak sudah kering karena sakitnya."

    "Sin, aku belum makan dari kemarin. Lihatlah perutku, kempes sekali, bukan?" katahati kucing lagi. ""Anakku tiga, kecil-kecil dan kurus sekali. Aku tidak punya susu lagi untuk mereka, Sin. Maukah kau memberiku semangkuk susu?" Hujan belum juga ada gelagat akan reda. Koran Husin belum satu pun yang terjual.

    Sementara, di sebuah rumah megah di depan jalan, Nancy sedang asyik bermain dengan kucing dan anjingnya yang manis. Pembantunya, Yem, sedang menyiapkan makan siang untuk hewan-hewan yang manis-manis itu. "Yem, ham dan sosis untuk Bruno, Lupax dan Grodog sudah disiapkan?" "Sudah, Non. Sudah ada di ruang makan mereka." Nancy pun menuntun ketiga anjingnya ke ruangan yang sengaja dibuat untuk hewan-hewan itu. Setelah mengantarkan mereka, Nancy kembali mendekati Yem. la berkata, ""Yem, hari ini Pussy, Missy, Kitty dan Levy beri salem dan tuna bakar, ya, plus coklat susu." Yem pun menyiapkan makanan untuk kucing-kucing yang cantik-manis itu.

    Di halte, anak-anak penjaja koran dan kucing hitam kurus sedang menggigil kedinginan. Mereka sedang berbicara dengan perasaan masing-masing. Mijo, anak kecil yatim piatu, sedang menghayalkan berweek-end dengan "papa-mamanya". Udin, si kerempeng yang penuh borok, mengimpikan sedang tidur-tiduran di kamarnya yang mewah sambil nonton atau berdendang berkaraoke. Jujur, yang sedang berjuang melawan kebutaan (karena matanya sudah demikian parah disebabkan terlalu sering membaca hanya berpelitakan bias merkuri yang sampai ke pondoknya) membayangkan sedang membaca buku-buku tebal dan mahal di perpustakaan pribadinya. Ujang, melamunkan sedang minum kopi susu hangat (hanya kopi susu hangat!).

    Dan, Husin, menatap kosong ke langit yang hitam. Dalam benaknya, ada Maknya yang terbaring sakit dan Titi yang megap-megap kelaparan! Husin sudah tak mampu lagi untuk menghayalkan keelokan taman firdaus dan eden. Sementara kucing hitam kurus meneteskan air matanya, teringat akan ketiga anaknya yang kini mungkin sedang berjuang keras melawar banjir. "Ngeong! Sin, aku harus pulang. Mungkin anakku kedinginan!" Kucing itu melompat, berlari menembus hujan, menyeberang jalan: Sebuah baby benz yang meluncur kencang menghentikan geraknya....

    Suatu sore, di bulan Oktober, hujan deras. Lamunan Mijo, Udin Jujur, Ujang dan Husin, kian luruh di basuh hujan yang turun. Di depan mereka sore ini ada sebuah kenyataan: Koran tak terjual!


***

Harian Singgalang, 17 November 1991


Primaere Behoeften

Dimuat di Tabloid Gema Justisia
pada Kolom Awamatra ed. 1993



Ketika serigala lapar, kelinci-kelinci padang yang putih  dan kecil berlarian ketakutan. Sang induk mendekap anak-anaknya dalam gigilan kecemasan yang utuh. Serigala -anjing hutan bermulut panjang dan mengerikan- melolong  melengking membelah bulan: mengabarkan kelaparannya  pada semesta!