Primaere Behoeften

Dimuat di Tabloid Gema Justisia
pada Kolom Awamatra ed. 1993



Ketika serigala lapar, kelinci-kelinci padang yang putih  dan kecil berlarian ketakutan. Sang induk mendekap anak-anaknya dalam gigilan kecemasan yang utuh. Serigala -anjing hutan bermulut panjang dan mengerikan- melolong  melengking membelah bulan: mengabarkan kelaparannya  pada semesta! 


    Namun, lolong-lengking yang nyaris frustasi  itu, malah menjadi sangkakala yang merdu-mendayu bagi singa-singa yang juga lapar. Deru-deru larian kaki membelah belantara, menyambar kehidupan demi kehidupan  yang terlangkahi. Dan, tidak kelinci, tidak serigala, auman singa laksana dupa: penuh asap menyebar maut dan kematian... Dan, ketika makhluk paling mulia yang disebut  manusia juga lapar, dengan degup jantung membelah hutan, singa pun hanya mainan kecil yang mengasyikkan. Melenguhlah Sang Raja dalam getir irama kematian.
  Begitulah, bila primaire behoeften, "kebutuhan primer"  yang amat absolut, kebutuhan yang tak berbantah datang merajah, apa pun kemungkinan adalah jalan keluar yang harus ditempuh. Kematian demi kematian hanyalah wadah  pemenuhan kebutuhan mutlak dari tradisi natur yang tidak butuh annotasi: makan, makan dan makan....

***  
    Jika untuk makan saja tidak dapat dipenuhi, eskalasi berikut tentu bergerak ke minusnya saniter, meningkatnya jumlah golongan non-erudisi, dan muaranya dekadensi peradaban dan moralitas dalam artian harfiah. Dan, tidaklah sulit untuk mengelaborasikan kalimat ini. Tapi, patutkah kita bertanya siapa yang salah dalam siklus ini? Atau, inikah vicious circle yang esensinya tidak punya solusi? Kalau iya, tentu tanggung jawab sepenuhnya berada pada alam. Tapi jelas, ini bukanlah makna kearifan sebagai makhluk paling mulia: manusia.
  
    Kemiskinan adalah akumulasi permasalahan, yang dasar utamanya standar kecukupan pangan. Maka ketika diketahui bahwa 33 sampai 40 persen adalah prosentase kemiskinan di beberapa kota besar kita, banyak yang tercenung. Jika Jakarta berpenduduk 8,4 juta jiwa maka 3 sampai 3,5 jutanya adalah kelompok miskin, yang dalam  ajaran Īslam pantas menerima zakat. Zakat sebagai manifestasi dari perasaan egalitarianisme. Tapi cita-cita  luhur yang mengajarkan kebersamaan dan persamaan ini, dari waktu ke waktu bagai menyublim. Lihatlah orang-orang meratapi kemiskinan sesamanya dari balik kaca mobil mewah; turut menyesalkan kelaparan kaumnya sembari memberi makan anjing-anjing poni yang manis. Atau "menyeminarkan" penderitaan proletar papa di gelimang kemewahan  convention centre.
    Nafas egalitarianisme, yang secara eksplisit tumbuh subur -terbukti dengan dengungan pemerataan, keadilan dan asasi manusia-, sebenarnya terus menyublim dari hari ke hari seperti ada kesengajaan dan kesemenaan utk menonjolkan sikap arogan dari banyak kita. Memicingkan mata terhadap fenomena sosial dari realitas komunitas itu  sendiri.
    Perempuan-perempuan dengan gayutan anak-anak kurus dan dekil di lengannya; lelaki-lelaki frustrasi dan kehilangan motivasi yang bersileweran dalam kerakusan maniak-maniak bourjouis; seperti terlewatkan sebagai satu  patung. Performance lingkungan mereka yang memprihatinkan, malah menjadi ilustrasi dari fantasi keangkuhan dan keserakahan itu. Hingga, kemelaratan dan kemiskinan orang lain, jadilah semacam keprihatinan yang romantis.

***

    Primaire behoeften, beriring dengan meningkatnya penghasilan kemudian diikuti penghidupan dan pola laku, tentu juga akan bergeser macam dan kelasnya. Dari mula yang hanya berupa pangan, sandang dan papan, melebar ke kebutuhan marginal yang terasimilasi. Dan mau tidak mau, sengaja tidak sengaja, kebutuhan pun menjadi kemutlakan yang tak terbatas. Tanpa disadari kita telah menekan dan menggeser (bahkan merampas) kebutuhan strata lain. Dengan congkaknya dada pun dibusungkan di depan jutaan hati kaum malang itu, sebagai koloni yang telah "gagal" menikmati perjalanan wajibnya di muka bumi.  

    Berikutnya, bagai lakonan dramatik, kita ikut meratapi kisah malang dari alur yang mereka lewatkan. Menyuarakan cinta kasih sesama yang sesungguhnya platonik belaka. Melemparkan perasaan egaliter dengan beragam lakuan. Namun, realitas yang harus diakui dengan jujur,  semua itu hanyalah semacam nina bobo, lulaby, yang mengalun amat lembut dan romantik. Minus sekali upaya praktis dan kongkrit yang terlakukan. Dan, kita pun tidak tahu pasti apakah semua itu tengah dan telah bergerak ke utopis dan supra idealis yang tiada terurai nurani logis.  

    Tapi, kita semua tentu masih berharap agar kelaparan sesama, tidaklah termetamorfosa ke bentuk lapar auman singa: yang derunya bagai dupa penebar asap kematian dari keputusasaan yang menumpuk. Kita masih terus berdoa agar kesenjangan tidak menjadi penyulut untuk suatu kemarahan massal yang bodoh dan liar, sebagai kompensasi dari kekecewaan dan kemarahan yang amat abstrak. Maka, adalah upaya wajib untuk benar-benar mèrealisasikan prinsip egalitarianisme dalam komunitas, dalam hidup bersama di satu atap yang mahalebar ini.

***

Tidak ada komentar: