Dik, bila gema takbir mulai memenuhi cakrawala, bunyi kentongan dipukul bertalu-talu, dan anak-anak kecil berbaris membawa lilin-lilin sambil berteriak riang gembira, itulah malam terakhir dari Ramadhan. Sebuah malam yang esoknya adalah hari kemenangan, Idul Fitri yang menggembirakan.
Malam tentu akan terus berangkat, hingga kemudian terdengar kokok ayam di dini hari. Dik, bangunlah kala itu. Buka jendela kamarmu dan lempar tatap ke arah timur. Ufuk kemerahan yang merona di sana, adalah fajar kebahagiaan buat kita semua. Pejamkan matamu, Dik, sambil dalam hati mengucap syukur pada Ilahi bahwa kita masih diberi waktu untuk hadir dalam hari nan fitri ini kali. Berdoalah dengan khidmat, biarkan perasaanmu melayang dibawa embun pagi dan sukmamu berlari ke latar suci.
Setelah matahari kian naik, yang pertama kaulakukan adalah sungkem di hadapan Ayah dan Bunda. Mintakan reda dan maaf atas semua salah dan khilaf yang mungkin selama ini begitu sering melukai perasaan mereka. Pusatkan pikiranmu, satukan raga dengan sukmamu, agar kau tahu bahwa Yanda Bunda selalu begitu mulia. Dan yakinlah bila kau khidmat minta maaf, khusuk mengingat semua khilaf, akan ada beberapa tetes air mata yang menggulir di pipimu. Air mata haru nan bahagia.
Dik, di hari yang fitri itu, jangan sekali-kali kau pusatkan mata-diri ke kemilauan, gerlap-kilau dalam suasana kemewahan, hambur uang berpora berpesta. Jangan, Dik. Aku akan sedih bila kau manfaatkan hari fitri itu untuk pamer kemewahan, lomba pakaian dan proklamirkan keangkuhan. Pada hari nan fitri itu, yang harus kaulakukan bukanlah hal-hal seperti itu. Tapi tolehkan kepala ke perkampungan miskin yang dina-papa. Perkampungan yang sebagian besar bangsamu berada di sana. Perhatikan mereka dengan kesungguhan dan ketulusan. Dan semoga dengan demikian kau akan sadar bahwa tidak semua orang dilahirkan seperti engkau. Masih begitu banyaknya kaum dina yang perlu disantuni, butuh disedekahi. Mengapa uangmu yang melimpah-ruah itu tidak kaubelikan baju-baju atau kue-kue dan kemudian kau kunjungi mereka? Bersalamanlah dan meleburlah bersama kehidupan mereka. Larutkan dirimu dalam kepapaan dan kedinaan seperti itu.
Dik, camkanlah petuahku ini. Aku, Kakakmu dari negerl yang jauh, turut berdoa, semoga kau sehat bahagia serta di hari fitri nanti. Aku juga berharap semoga kau bukanlah adikku yang penuh kemilau nan angkuh, penuh kemewahan yang dipamer di depan mata bangsamu nan masih papa. Jangan membuat gap dengan mereka, jangan menghindar, jangan meleceh, dan jangan memberi bantuan dengan cara melemparkannya dengan ujung kaki. Tapi, jadikanlah mereka sebagai bagian dari dirimu sendiri: ikut merasakan kebahagiaan setidaknya di hari fitri nanti. Dan satu yang harus kauingat, Dik, tidak semua orang seberuntung kau dalam mengarungi hidup ini. Amat banyak yang tersuruk dalam ketiadaan dan kepapaan yang menyedihkan.
Ah, betapa aku akan bahagia, Dik. Betapa aku bersyukur pada Ilahi jika kau adalah adikku yang pemurah-tulus-suci. Sekali lagi, lebaran bukan ajang pamer kemewahan. Lebaran adalah hari suci, tempat di mana kita saling memaafkan dalam ketulusan nan murni. Lebaran adalah kala di mana kita tampil sederhana dengan bersahaja, bukan kilau mewah tak berkira. Begitu kan, Dik?
Kakak akan selalu berdoa semoga kau tetap adikku seperti dulu-dulu. Tidak menyalahgunakan lebaran untuk ajang pesta pora yang melenakan.
KMS Minggu Ketiga April/NO.74/Tahun VIII/1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar