Feather or Hair


Beauty on the Twig


Kunjungan ke Kesuraman



dari kejauhan kita memandangi pelayat
yang membawa buket-buket dan kantung bunga
siap ditaruh dengan penghormatan
siap ditebar dengan ketakziman
kita melihat awan turun menyelimuti makam
angin menebarkan bau melati dan
kita memejamkan mata:
                nanti kita terbaring di sana

peziarah membicarakan si mati sambil bercakap
dengan nada yang tak sedih
di makam yang lain, penggali kubur
tertawa berderai-derai menyiapkan rumah terakhir
                tukang-tukang bersuka ria memahat peti mati

dik, kita telah berkunjung ke segala keburaman
kedukaan ternyata begitu tipis
pengantar mayat pulang sambil bersenda
kita hanya terdiam

pelan-pelan kita pulang, bergenggaman tangan dan
kemudian membisikkan selamat tinggal
aku merasakan angin menerbangkan, jauh
dan aku menghitung-hitung hari hingga akhir


1997

Mempertimbangkan Ada



telah berkali-kali didiskusikan –antara hati dan logika–, seberkali mata dikedipkan
namun masih saja awan tidak menambah mendung. panas dan membuat kita berkeringat
berlelehan. angin begitu saja menukik, menghunjam
dan tidak memberikan jawaban: sekalipun bertanya pada angin adalah kekonyolan

mempertimbangkan sesuatu yang kadang kita bantah
bahwa ia ada, membuat kita tak pernah sepakat
mungkin tak sepakat tak apa, tapi bila ia membuat lelah
bukankah kita tak perlu berdebat?

dulu kita bertengkar tentang banyak hal, tapi sekarang
hanya satu soal. tapi kenapa malah
membuat kita kehabisan energi

dalam kelelahan kita kemudian hanya diam
tak ada lagi yang perlu dibicarakan meski kata-kata belum utuh dilontarkan
sayang sekali. bagaimanakah kita mempertimbangkannya
dalam kelelahan dan kehabisan energi begini?
tapi biarlah barangkali saja esok atau lusa kita bisa berdiskusi lagi
meski hanya untuk kelelahan dan buang energi belaka



1997

Lengkung Kaki Langit



laut beriak tetapi angin menukik
menara berpasir dijauhi elang laut
sungai menangisi kesepian
       “mengiangkan kau begitu jauh”
ketika salam menggamit angin membeku
ada yang berkedip, telentang sunyi

dari adam hawa, nafas cinta dihembuskan
namun keraguan yang sederhana membelit
tengadah: “engkau amat berliku, jauh…”
rumah tempat pulang telah menutup pintu
terpalang penjaga yang kaku
: bukankah mata telah mengalirkan darah?

aku cintai engkau jauh, dari pelabuhan di haluan
kapal yang mulai oleng
       “Biyung yang agung, lihatlah sunyi anakmu”
waktu melesat, menjerembabkan matahari
namun matamu mengerjapkan permintaan
“terbangkan aku!” sambil mengelupas kelopak bunga

aku melangkah di lengkung kaki langit
menikmati sunyi memintal sepi teriris
dari arah menghilang dalam sunset
mencari engkau yang berliku, jauh…


1997

Catatan Rumah Sakit

(sebuah sajak)


pulang kepada ketakberdayaan
tubuhku terbelit kamar putih yang mungkin telah dihuni
seribu raga berjiwa atau tanpanya
“telah berapa jiwa dikecup malaikat di kamar ini?”
kuyakini, betapa tipis ruang hidup dan sunyi

derap kaki di koridor menghitung-hitung jarak
adakah ia pengunjung atau pelayat
atau peziarah dengan buket melati
apa bedanya, Tuhan
di atas angin jiwa sama
sunyi merenda harapan menjadi mimpi

ini kesenyapan datanglah
sebagai pengunjung
pelayat atau peziarah
merontokkan melati dan menaburnya dengan berkedip
tapi kau melenggang sangat jauh
jemariku memeluk serpihan kaca
tempat kau menjentikkan jari bersapu tangan putih
aku melihat seperti surai
menggelombang kusimpan



1997

Catatan Rumah Sakit

(sebuah prosa)


Dik, kamar ini putih. AC mendesis seperti kehausan. Perawat-perawat datang dan pergi dengan tak banyak pertanyaan: “Selamat pagi, terasa lebih segar?” Di luar kereta dorong bersiliweran, entah membawa ransum, entah membawa pasien yang buntung dengan erangannya, entah membawa wanita hamil yang dituntun malaikat atau membawa mayat yang siap dikerandakan. Entah. Siapa yang hendak memberi tahu?
Kembali Dik, aku melihat engkau berliku, jauh. Mengerjapkan mata beningmu, memainkan bolanya yang kelam. Kau lemparkan senyum yang ragu.
Tidak, aku taklah putus asa. Bukankah putus asa adalah surutnya permukaan laut jiwa ke titik paling rendah? Semua telah kusimpan karena percaya kasih dan sayang tidak terpaut ruang.
Malam larut. Perawat-perawat datang dan pergi dengan tak banyak pertanyaan: “Selamat malam, tidak bisa tidur?” Gamang senantiasa menggoyahkan namun musim kan tetap sentiasa datang menggembalakan adam dan hawa. Sebatang hidup tentu taklah sia-sia. Dan suatu waktu kelak aku akan memberimu kado semangkuk hujan. 
Tapi dari atas angin kau bercahaya bersinar, menyepuhku.



1997

Hujan dari Lantai Lima



garis air membujur waktu hujan dari lantai lima
daun-daun menatap langit, sesunyi rumput
di atas, mendung tak berkesudahan
esok lusa adalah musim terampas
yang pernah kungiang-ngerikan

angin mengeluskan keputusasaan yang mempertemukan
kesunyian dan kesepian
dari batas hujan terbawa angin atas kasih tak teruraikan

waktu hujan dari lantai lima
aku menjadi serapuh nyawa
disela tarikan nafas yang tersengal
kemanakah harus berteduh
langit tak lagi berpayung
aku menyerupai daun
meliuk melayang
terjerembab


1998

Mengemasi Cemas


kau serumpun bunga
telah berkuntum duapuluh lima
“deru angin tak menggugurkan
deru panas tak melayukan”
anak-anak menembangkan sejarah benih
memulai metamorfosa rama-rama

jemariku menggamitkan tawa bahagia
dari musim-musim yang amat bersahaja
tiba-tiba kita saling tatap sebelum berpaling layu
sungguh telah letih kita dibuatnya

usia (mungkin) seperti orang-orang di setasiun
yang datang dan pergi tak bertegur sapa
menunggu kereta
seperti bagi kelahiran, nafas ditiupkan
menggetarkan jentera di batangan baja
o, indah nian dirimu terbang bersama rama-rama

hari ini kita berjabat tangan
“selamat ulang tahun…” senyum mengudara
kepompongku hampir jadi rama-rama
tiba-tiba kita saling tatap
tapi sepi memalingkan tergesa
kita mengemasi cemas


1998

Sepi


terasa benar laut terkubur
hawa amis darah menuruni gunung
menyerupai kaki melangkah satu-satu
terseret menyentuh ubun-ubunku
tersenyum seperti karang
sungai mengaliri harapan kerontang
memunggungi langit
tertidur pasrah


2000