(sebuah prosa)
Dik, kamar ini
putih. AC mendesis seperti kehausan. Perawat-perawat datang dan pergi dengan
tak banyak pertanyaan: “Selamat pagi, terasa lebih segar?” Di luar kereta
dorong bersiliweran, entah membawa ransum, entah membawa pasien yang buntung
dengan erangannya, entah membawa wanita hamil yang dituntun malaikat atau
membawa mayat yang siap dikerandakan. Entah. Siapa yang hendak memberi tahu?
Kembali Dik,
aku melihat engkau berliku, jauh. Mengerjapkan mata beningmu, memainkan bolanya
yang kelam. Kau lemparkan senyum yang ragu.
Tidak, aku
taklah putus asa. Bukankah putus asa adalah surutnya permukaan laut jiwa ke
titik paling rendah? Semua telah kusimpan karena percaya kasih dan sayang tidak
terpaut ruang.
Malam larut.
Perawat-perawat datang dan pergi dengan tak banyak pertanyaan: “Selamat malam,
tidak bisa tidur?” Gamang senantiasa menggoyahkan namun musim kan tetap
sentiasa datang menggembalakan adam dan hawa. Sebatang hidup tentu taklah
sia-sia. Dan suatu waktu kelak aku akan memberimu kado semangkuk hujan.
Tapi dari atas angin kau bercahaya bersinar, menyepuhku.
Tapi dari atas angin kau bercahaya bersinar, menyepuhku.
1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar