Sajak Bidak


lagu-lagu lama yang mendentang-dentang dalam tiap alunan kata
mendayu-dayu, dayukan kepuasan pada titik-titik yang telah ada
walau sang titik hanyalah noktah yang tidak bermakna
kupasan alunan terus didayukan sampai
cinta dirasa cukup untuk sebuah kejujuran nurani
padahal, jiwa menjajah dan jiwa terjajah tiada mampu lagi
untuk sekedar dibedakan
selain manisnya kata-kata mendayukan tentang kejujuran
nurani yang sesungguhnya amat rapuh
: tanah lempung, pasir tanpa semen, bata tersusun

(hidup bersama dalam gedung yang rapuh)

mari teman, mari
duduk berbicara tentang bangunan kita yang rapuh
biar rayap, lipan, kecoa dan semut-semut pemangsa
bermain di mata kaki

bercerita tentang kerapuhan dan ketidakmampuan kita membangun
diri sendiri yang dikoyak-moyak kasarnya jam
dinding bangunan kita retak tiap kali ia mendentang
dan hanya diam yang kita lakukan

mari teman, mari
duduk saja di pelataran masjid
menunggu malaikat datang menyapa dan bertanya
jawab saja: "kami bidak yang tak tahu apa-apa..."



1991

Tidak ada komentar: