Dimuat dalam Majalah Wanita Sarinah
Nomor 252 tanggal 18 – 31 Mei 1992
Bonus Novelet
TANTE PIN
Duh, Pembaca yang
budiman, apakah Anda akan
menganggapku picik, kerdil dan tidak jantan? Karena tidak mengatakannya saja
pada Asih apa yang sebenarnya kurasakan? Atau, apakah Pembaca mencapku seperti
remaja SMA yang mencinta takut-takut dan menyembunyikannya jauh-jauh? Mungkin juga Pembaca telah menuduhku salah
mengartikan kebaikan orang lain —dalam hal ini Asih— dengan sebuah ungkapan manis cinta dan kerinduan.
Ya, Pembaca pasti telah menuduhku begitu. Bahwa aku, lelaki yang tidak muda
lagi, ternyata picik, pengecut dan tidak rasional. Pembaca akan bertanya: Mana
ada seorang pengarang yang sering menang lomba, dengan cerita-ceritanya yang
berbobot, seperti itu? Seperti bocah SMA itu?
Ah, baiklah para Pembaca yang budiman....
Latar belakangku
dengan latar belakang Asih jauh berbeda. Aku akan ceritakan tentang aku saja, karena pembaca telah mengetahui latar belakang Asih, bukan? Aku akan bercerita tentang kesebatangkaraanku.
Aku anak tunggal yang
ditinggal mati oleh ayah-ibu saat usiaku baru lima tahun. Pesawat yang mereka
tumpangi hilang di hutan Kalimantan, yang sampai saat ini bahkan tidak dapat
ditemukan. Seperti apa yang kuketahui kemudian, ternyata ayahku meninggalkan
harta kekayaan yang tidak sedikit. Perusahaan, industri, real estate, belum lagi uangnya di bank dan saham-sahamnya yang bertebaran. Kesemuanya
itu kemudian dikuasai oleh adik ayah, Tante Pin.
Tante Pin orangnya cantik, penuh vitalitas, dan terlihat cerdik. Seluruh apa
yang telah ditinggalkan Ayah, berkembang di tangannya. la tidak menikah. la hidup dengan
satu laki-laki ke satu laki-laki lain yang disukainya. Entah telah berapa
banyak lelaki yang memasuki kamarnya (sejak kecelakaan pesawat yang menewaskan
ayah-ibu itu, Tante Pin tinggal di rumah kami). Tante Pin perokok berat, suka minum, yang katanya untuk
menghilangkan stress karena bekerja berat. Tapi ia juga tidak lupa memelihara aku.
Tante Pin memasukkan aku ke sekolah-sekolah favorit, mendatangkan guru les
privat —bahasa, matematika sampai agama dan ngaji— dan membimbingku langsung bila ia punya waktu.
Itu berlangsung
hingga aku berusia delapan belas tahun.
Lima hari setelah
ulang tahunku ke delapan belas, Mas Tarjo, sepupu Tante Pin,
datang ke rumah. Waktu itu petang. Tante Pin sedang ke Singapura.
"Sam, kau sekarang sudah dewasa," katanya memulai percakapan di beranda rumah. "Sudah saatnya kautahu segala-galanya. Tak
perlu lagi ada yang disembunyikan."
Aku diam saja. Sama
sekali aku belum mengerti arah pembicaraan Mas Tarjo. la baru saja
pulang dari Inggris sebulan yang lalu. Dan sekarang, apa pula yang
dibicarakannya. Tapi benakku mulai menyusun berbagai dugaan-dugaan, seperti apa yang juga telah dipesankan oleh Tante Pin bulan lalu,
ketika Mas Tarjo baru enam hari berada di sini.
"Sam, bila Tarjo bicara macam-macam, jangan didengarkan. Tante bukan tidak
mempercayaimu. Kau sudah dewasa tentu telah dapat membedakan mana yang benar
dan mana yang buruk, yang salah," tutur
Tante Pin waktu itu. "Tante takut kau akan dipengaruhi oleh
Tarjo. Dari kecil dia telah di Inggris, jadi tidak tahu
apa pun dengan masalah di sini."
"Saya tidak mengerti, Tante.” Ujarku spontan.
"Yang Tante
minta hanya kau mempercayai Tante, Sam," kata Tante Pin serius. "Dan Tante yakin, kau akan
percaya pada Tante, bukan?" Tante Pin menatapku. Aku balas
menatapnya. Tapi kulihat ada garis-garis keraguan di matanya.
"Sebenarnya ada
apa, Tante?" tanyaku lagi.
Tante Pin terdiam. Beberapa kali ia menarik nafas berat. Dinyalakannya sebatang rokok kemudian dihirupnya dengan dalam.
Perlahan dihembuskannya asap-asap dari mulutnya. la kembali memandangku.
"Sam, Tante senang kaupunya
bakat mengarang dan menulis. Teruskanlah bakatmu itu. Tante yakin kau
akan berhasil dan besar dengan bakat itu. Percayalah, Sam, suatu saat kelak itu akan berguna besar untuk hidupmu."
Penuturan Tante
Pin menembus sampai ke dadaku. Ada suara ketidakmengertian yang memenuhi rongga
dadaku. Tapi aku yakin sekali, meskipun hidup Tante di mataku tidak
benar, ia sangat sayang kepadaku.
"Tante mencintaimu, Sam. Sebagaimana Mas Dahlan, ayahmu, mencintaimu. Tante akan terus menjagamu sampai kau berhasil menjadi orang...."
"Sam, kau melamun?" pertanyaan Mas Tarjo membuyarkan kalimat-kalimat
Tante Pin di benakku.
"Oh, maaf,
Mas. Saya hanya tidak mengerti."
Setelah menarik napas
dalam-dalam, Mas Tarjo bicara, "Sam, aku akan
bercerita tentang sesuatu yang belum pernah kaudengarkan. Aku yakin kau akan
tertarik dan untuk kemudian dapat mengambil tindakan."
Aku hanya
mendengarkan saja.
"Kau tentu tahu
bahwa kau dilahirkan dari keluarga kaya-raya.
Tapi aku yakin, sedikit pun kau tidak tahu berapa kekayaan ayahmu. Dan satu hal
lagi, kau tidak tahu atas nama siapa seluruh kekayaan itu sekarang. Baiklah
saya jawab sendiri: seluruh harta kekayaan yang tidak sedikit itu, yang
seharusnya atas namamu, kini dikuasai oleh Tante Pin. la telah mengambil
seluruh milik ayahmu."
"Mengambil?
Mengambil milik ayahku?"
"Ya,
mengambilnya untuk dirinya sendiri. Tantemu itu telah menggunakan harta
kekayaan yang seharusnya
jatuh ke tanganmu untuk biaya-biaya hura-huranya. Mabuk, plesiran, shoping ke
luar negeri, kencan dengan berbagai laki-laki. Itu semua dengan uangmu, Sam!"
Aku tercengang.
Menatap bagai tak percaya pada Mas Tarjo.
"Untuk menutupi
kebusukannya itu, dia berlaku baik kepadamu. Memanjakanmu, memilihkan
sekolah-sekolah yang favorit, mendatangkan guru les privat, dan sebagainya.
Tidakkah kau perhatikan semua keramahan yang dibuat-buat itu, Sam? Ah, kau telah terlena dengan kehidupan seperti ini. Kehidupan bikinan Tante Pin. Agar
kaulupa siapa kau sebenarnya."
Darah remajaku
seperti naik ke kepala. Apalagi bila
teringat ketika Tante Pin menolak permintaanku untuk dibelikan sebuah
mobil. Alasannya belum waktunya aku memiliki sebuah mobil. Kemudian Tante
Pin juga memaksakan kehendaknya padaku, agar aku belajar sungguh-sungguh,
disiplin dan keras. Setiap kali guru les privat datang aku harus sudah siap di
meja belajar. Bila tidak, Tante Pin akan marah-marah padaku.
Ya, Tante Pin telah mengatur
seluruh hidupku!
Darah remajaku
menggelegak. Apalagi ketika tahu seluruh harta peninggalan ayah dikuasainya!
"Kau harus
menuntut, Sam. Kau harus buktikan bahwa kaulah sesungguhnya pemilik sah harta itu. Bukan Tante Pin! Kau
mengerti apa yang kumaksud?" lanjut Mas Tarjo menatapku dengan tajam.
“Tapi...” aku tercekat oleh keraguanku sendiri. “Tante Pin sangat baik
padaku, Mas. Meskipun ketika aku minta mobil, Tante menolaknya."
"Nah itu
maksudku. Tante Pin hanya bersiasat manis kepadamu. Lihatlah, ketika
kauminta sebuah hadiah yang harus mengeluarkan banyak uang. Tante Pin
menolak. Dia tidak mau menghabiskan uang untukmu."
Mas Tarjo kian memanas-manasiku. Berbagai cerita dipaparkannya. Sesuai dengan
emosi remajaku dan kemampuan memilah benakku yang masih terbatas, aku menerima
semua omongannya. Aku benar-benar merasa ditipu oleh Tante Pin. Tante
Pin telah menyabot seluruh harta kekayaan yang seharusnya menjadi milikku.
Aku harus memintanya,
seperti kata Mas Tarjo!
Dua hari kemudian,
pukul tujuh tiga puluh malam, ketika Tante Pin baru saja pulang dari
Singapura, aku mencak-mencak masuk ke kamarnya. Memaki-maki Tante Pin
dengan kata- kata yang amat kasar.
"Kau ternyata
begundal, tengik, licik, jahat! Kau berpesta-pora dengan uang ayahku. Kau
merampas seluruh kekayaan yang seharusnya jatuh ke tanganku. Perempuan laknat! Perempuan setan!" makiku dengan darah yang telah sampai ke kepala.
Tapi Tante
Pin, seperti sudah menduga apa yang akan terjadi, berusaha tenang.
"Sam, tenangkan
hatimu, turunkan emosimu. Bicaralah yang jelas kepada Tante. Kau sudah
dewasa, Sam. Tidak baik berlaku begitu," tuturnya arif. Tapi aku memang muda, mentah.
"Kau jangan coba
merayuku dengan kata-kata manis, begundal! Semua kebusukanmu telah terbongkar!
Semua kelicikan dan kejahatanmu telah kuketahui. Jadi jangan coba-coba hendak
menipuku lagi. Sebelum aku bertindak lebih jauh, sebaiknya kau berterus terang
kepadaku. Serahkan semua apa yang seharusnya kumiliki!"
"Sam!"
Tante Pin berteriak keras menghentikan luapan emosiku. "Dengar dulu
penjelasan Tante. Duduklah dengan tenang."
"Tante, sekali lagi kuperingatkan, jangan coba-
coba merayuku! Mengerti?! Aku telah cukup dewasa untuk tahu semua
kebusukanmu!"
Tante Pin duduk tak berdaya di bibir dipan. Ini adalah kesempatan paling baik
bagiku untuk menelanjangi seluruh akal busuknya, seluruh perilaku jahatnya.
"Bagaimana
mungkin kau akan demikian baik kepadaku kalau tidak ada yang kauharapkan. Kau baik karena telah mengangkangi seluruh harta
ayah!"
Tante Pin menunduk dalam. Aku kian meradang.
"Aku tidak dapat
percaya bagaimana aku telah hidup bersama seorang perempuan terkutuk selama
ini. Aku tidak percaya kalau telah dibesarkan oleh seorang pelacur!"
"Sam!"
teriakan Tante Pin melengking keras. Bagai tidak percaya memandangiku.
"Apakah namanya
bukan pelacur jika setiap malam laki-laki yang tidur denganmu berganti-ganti?
Apakah itu namanya perempuan baik-baik? Tidak! Kau lebih terkutuk dari
pelacur!"
"Diaa...aamm!"
Tante Pin menghambur ke arahku. Tangannya melayang dan bersiap untuk
menampar mukaku. Tapi tubuhku yang tinggi dan besar, dengan mudah dapat
menangkapnya. Tante Pin menjadi tidak berdaya dalam cengkeraman kedua
tanganku.
“Tidak semudah itu untuk main tampar, Tante Genit!
Dengan mudah aku dapat membanting tubuhmu dan membuat kau tidak berdaya!"
aku menggeram, menikam matanya dengan sorot mataku yang seperti singa lapar.
Dengan kasar kudorong tubuh perempuan itu. la terhuyung kemudian terjatuh di
atas karpet.
"Saa...aamm...."
Suara Tante
Pin melemah. Pelan sekali. Dengan memelas ia memandangku yang berdiri
kelaparan! Matanya basah oleh air.
"Kau mau
mendengarkan penjelasan Tante?" lanjutnya dengan lemah.
“Penjelasan? Apakah kau mau menutupi kebusukanmu
dengan kata-kata manis? Aku telah tahu semuanya dari Mas Tarjo,"
balasku sambil membuang muka. "Beruntung sekali ia pulang dari Inggris.
Heh, aku akan kembali memiliki apa pun yang seharusnya
menjadi milikku."
“Kau keliru, Sam. Kau
keliru," ratap Tante Pin lagi.
“Sudahlah! Aku sudah muak melihat tampangmu! Yang
kuperlukan sekarang hanyalah pengakuanmu bahwa kau memang telah menipuku selama
ini. Esok pagi, kau harus memperlihatkan seluruh dokumen harta peninggalan ayah.
Seluruh akta-aktanya harus lengkap bahwa
akulah pewaris tunggalnya!"
Selesai berkata
begitu aku langsung berbalik. Dengan kasar pintu kubanting dan berjalan terburu
ke kamarku di lantai dua.
Pagi harinya, dengan
mata sembab, Tante Pin masuk ke kamarku. Masih dengan marah aku
membelakanginya.
"Sam, pagi ini kau harus sekolah. Satu bulan lagi kau akan ujian akhir,
bukan?"
"Tidak penting!
Yang kuinginkan adalah kejelasan, kepastian, bahwa harta peninggalan ayah
adalah milikku. Bukan milikmu!"
aku berbalik, menatap Tante Pin dengan tajam.
"Mana akta-akta
itu?"
"Kau harus
sekolah. Pukul satu siang temui Tante di kantor. Kita akan melihat
akta-akta itu," suara Tante Pin masih bergetar hebat.
"Kau
mengundur-undur waktu! Mengapa tidak sekarang saja?"
"Akta-akta itu
masih di tangan beberapa notaris. Ayahmu mencatatkannya di beberapa kantor
notaris yang berbeda."
"O,
begitukah?" aku berusaha sinis padahal sama sekali aku tidak mengerti
dengan akta-akta itu. Tidak mengerti dengan notaris-notaris. Ah, hanya kemarahan dan kepicikan yang kupaparkan di depan Tante Pin
yang benar-benar memelas.
"Baiklah. Aku
akan ke kantor pukul satu siang," kataku kemudian.
"Sebelumnya
Tante minta, datanglah jika kau telah siap untuk mengetahui semuanya. Kau
harus benar-benar siap, Sam. Tapi Tante
yakin, kedewasaanmu akan mampu untuk menerimanya."
Aku tidak mengerti ke
mana arah pembicaraannya. Yang jelas, kalimat-kalimat yang telah ditanamkan oleh Mas Tarjo di benakku,
menghunjam-hunjam, bahwa akulah si pemilik sah, si Raja muda yang kaya-raya!
Bukan Tante
Pin, si perempuan jahat!
Pukul satu kurang
sepuluh menit, aku sampai di kantor Tante Pin. Dengan berjalan tegap
bagai seorang panglima, aku memintasi karyawan-karyawan Tante Pin. Aku
benar-benar merasa menjadi
raja!
Tanpa permisi kepada
sekretaris yang menanyaiku, aku melangkah mendekati pintu. Tapi sungguh, ada debar yang tidak karuan di dadaku. Debaran yang
mengingatkanku kepada kalimat Tante Pin tadi pagi: Datanglah jika kau
telah siap.
"Sedang ada
tamu. Pak," kata sekretaris lagi padaku.
Tapi aku tidak
mengacuhkannya. Aku masih saja berdiri di depan pintu. Ragu dan mungkin takut.
Entah. Tapi kemudian kudengar suara memaki-maki dari kantor Tante Pin.
Aku terpaku. Diam di balik pintu mendengar makian itu.
"Harap dengar.
Pin! Kau harus serahkan separuh dari harta ini kepadaku. Kau harus membaginya. Dan hanya aku satu-satunya
orang yang tahu semua akal busukmu!"
"Akal busuk
apa?" tantang Tante Pin.
"Kau
mengangkangi seluruh harta Mas Dahlan tanpa sisa. Bahkan kau tidak
memberitahu Sam. Seluruh akta tentunya telah kausulap dan mencantumkan namamu di sana!"
"Kau tidak tahu
apa-apa, Tarjo. Dari kecil kau di Eropa sana. Dan sekarang,
datang-datang kau malah ngawur!"
"Aku tidak
ngawur. Bila kau tidak menerima tawaranku, maka bersama dengan Sam, aku akan menuntutmu!" balas lelaki itu dengan kasar.
Samar tapi jelas aku
dapat menangkap percakapan itu. Bagaimana tidak bila mereka bicara saling
keras. Bahkan si sekretaris pun seperti mendengar. Dia memandangku dengan
melongo. Aku masih saja berdiri terpaku.
"Baiklah, Tarjo.
Aku muak dengan rongronganmu, makianmu yang tidak terarah.
Bila kau ingin tahu, tunggulah Sam di sini. Dia akan
datang. Dan kukatakan kepadamu, semalam dia telah memaki-makiku, menghinaku dengan pedas. Itu karena
hasutanmu! Sam anak yang baik telah kauracuni maka kau harus menerima akibatnya...."
Belum lagi Tante
Pin selesai bicara, di belakangku terdengar suara yang berat bertanya pada sekretaris.
"Kami ingin
menemui Nyonya Pin. Di dalam ada Tuan Tarjo, kan?"
Aku menoleh. Polisi!
Lima orang polisi bertubuh tegap berdiri dengan mata awas. Kemudian mereka
menyebar ke berbagai penjuru ruangan. Yang satu menjaga lift, menjaga tangga,
menjaga pintu ke ruang lain, dan
menjaga lorong ke kanan ruangan.
Yang satunya lagi mendorong tubuhku dan segera
masuk ke ruang Tante Pin tanpa mengetuk, dengan senjata terpasang.
Kemudian kudengar perintah masuk kepada dua orangnya yang berdiri menjaga lorong dan pintu. Dua orang bersenjata itu dengan tangkas berlari. Melihat gelagat itu aku ingin kabur dan pulang saja. Tapi dua polisi yang mengawasi lift dan tangga memerintahkanku
untuk tidak bergerak.
Lima belas menit
kemudian baru aku dibolehkan turun. Tergesa kutinggalkan kantor Tante
Pin menuju rumah. Tidak lagi ingat di benakku tentang akta-akta yang ingin
kulihat. Jelas di mataku bagaimana tangan Mas Tarjo diborgol dan laras
senjata menempel di punggungnya. Belum lagi mobil-mobil patroli yang berderet
di sepanjang jalan depan kantor Tante Pin. Aku menggigil ketakutan.
Malam harinya
Tante Pin datang ke kamarku.
"Tante tahu, tentu kau tergoncang juga melihat Tarjo dibawa polisi. Tante
juga tidak mengira, Sam," tutur Tante
Pin dan duduk di kursi belajarku. Aku menggelosoh saja di dipan.
Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Apakah harus bertanya pada Tante Pin mengapa Mas Tarjo
ditangkap? Sanggupkah aku bertanya setelah semalam aku memaki-makinya?
Menyumpah-serapahi dengan kata-kata kotor? Ah, lebih baik diam saja.
Beberapa saat kamar
menjadi hening. Tante Pin hanya duduk sambil memandangiku. Kulirik
sekilas. Mata Tante Pin telah bening oleh air. Berkilat oleh lampu.
"Sam, mungkin Tante memang bejat, begundal, pemabuk, seperti katamu.
Tapi Tante tidak pernah mendustaimu. Sam. Tante tidak pernah menipumu. Tante selalu mencoba untuk mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepadamu.
Tante tidak mengira kalau kau mampu menyumpah-serapahi Tante. Tapi
Tante yakin, bahwa itu karena ulah Tarjo. Dia telah menghasutmu dan darah
remajamu menggelegak...."
Tuturan Tante
Pin hanya kudengar saja. Egoku melarangku untuk ikut terbawa arus ceritanya. Siapa tahu Tante
Pin telah mengatur skenario atas segalanya, termasuk dengan penangkapan Mas
Tarjo.
"Sam, sekali lagi, Tante menyayangimu. Kudengar suara Tante Pin menjadi serak. "Mengenai akta-akta
yang akan kaulihat itu, bila kau masih ingin, datanglah lagi besok ke kantor.
Tante telah menghubungi seluruh notaris pencatatnya."
Aku diam saja.
"Tapi siapkan mentalmu, Sam. Bila kau ragu,
jangan terburu-buru. Masih panjang waktu untuk itu.”
Tante Pin kemudian meninggalkan kamarku. Kulihat air mata meleleh di pipinya.
***
Pembaca yang budiman,
akhirnya, seperti apa yang ditekankan Tante Pin: datanglah jika telah
siap. kuturuti. Aku rasanya tidak siap (entah siap untuk apa) untuk datang menemui Tante Pin dan notaris-notaris itu.
Apalagi tak lama sesudah itu, koran dan media
massa lain telah memberitakan Mas Tarjo yang ditangkap, kemudian
diekstradisi ke Inggris: la terbukti melakukan beberapa kejahatan. Pemerkosaan
anak-anak di bawah umur, perampokan dan pencurian dan bahkan pembunuhan. Di
samping tuduhan-tuduhan baru yang akan segera terbukti bahwa ia ikut serta
dalam beberapa sabotase yang dilakukan oleh pihak Irlandia Utara yang menuntut
kemerdekaan.
Aku lambat-laun kian
merasa kerdil di depan Tante Pin. Entah telah bagaimana sakitnya hati Tante Pin mendengar makian,
cacianku beberapa waktu lalu. Tapi Tante Pin tetap tenang, dan
menghadapiku seperti biasa. Aku benar-benar kikuk ketika Tante Pin malah
memelukku dengan haru saat aku lulus SMA. Dan lebih malu lagi aku ketika
Tante Pin mengadakan pesta kecil saat aku lulus Sipenmaru dan diterima di Fakultas Ekonomi UI.
Tapi pada akhirnya,
kejahatanku pada Tante Pin pun seperti terbalaskan. Aku dipaksa
menghadapi kenyataan pahit. Benar-benar pahit!
Semuanya masih
dikarenakan oleh harta kekayaan ayah yang dikelola oleh Tante Pin. Kakak
Mas Tarjo muncul dan menuntut bagiannya. Pertengkaran-pertengkaran terjadi
lagi. Tapi yang membuatku kagum adalah usaha Tante Pin untuk
mempertahankannya agar harta kekayaan itu tidak hilang lenyap dengan perlakuan
ceroboh dan tradisi judi pada keluarga besar Mas Tarjo. Saat itulah aku
mengetahui segalanya, bahwa Tante Pin bermaksud mulia: menyelamatkan
harta kekayaan ayahku.
Memasuki tahun kedua
kuliahku, kulihat Tante Pin kian dirongrong oleh Mas Dodo, kakak
Mas Tarjo yang kabarnya dijatuhi hukuman mati. Hidup Tante Pin seperti penuh ancaman. Teror-teror Mas Dodo
dihadapinya dengan sesabar mungkin.
Perbedaan Mas
Dodo dengan Mas Tarjo adalah pandangan mereka kepadaku. Mas Tarjo memanfaatkan aku, sedangkan Mas Dodo sama sekali tidak
mengacuhkan aku. Seolah aku bukanlah manusia. Dia melecehkan aku begitu saja!
Sampai kemudian
kudengar Tante Pin bertengkar dengan Mas Dodo, di rumah kami
sendiri. Lagi-lagi aku mendengar dari balik pintu, karena waktu itu aku baru
saja pulang dari pesta ulang tahun temanku. Pukul sepuluh malam.
"Jangan ulangi
sekali lagi, Dodo. Aku muak dengan ucapanmu. Kau tidak pernah dewasa, kau
pengecut! Jangan hubung-hubungkan masalah ini dengan anak itu, dengan Sam. Sekali lagi jangan bawa-bawa Sam!"
Kudengar Mas
Dodo tertawa. "Pin, kau memang bodoh. Bersusah payah bekerja, mati- matian
mempertahankan harta Mas Dahlan hanya untuk anak tengik itu? Untuk anak
tidak berimba itu? Ah, yang benar
saja, Pin. Gunakan otakmu." Mas Dodo meneruskan tawanya.
"Kuminta jangan
bawa-bawa anak itu, Dodo! Aku akan marah jika semua ini terbongkar. Kau yang
bertanggung jawab!"
"Kau
mengancamku?" Kemudian kudengar lagi Mas Dodo tertawa keras.
Suaranya menjadi kacau. Terdengar dia sedikit mabuk.
"Ha...ha...Pin,
Pin. Pin yang bodoh!" ulangnya.
"Jangan
mendekatiku, Dodo! Jangan!' suara Tante Pin seperti cemas. Suaranya
bergetar hebat.
"Apakah aku,
sepupumu, tidak boleh menikmati tubuhmu yang menggiurkan?
“Ha...ha... Ayolah, aku juga tertarik melihat tubuhmu,
Pin."
Karena kudengar
Tante Pin telah berteriak,
aku menghambur masuk ke dalam. Sebuah vas bunga yang terletak di atas meja, kugunakan
untuk menghantam kepala Mas Dodo yang telah menindih Tante Pin.
Sekali vas pecah, lelaki itu menggelosoh terkapar.
***
Sejak aku mengetahui
pembicaraan Tante Pin yang menyangkut aku dan Mas Dodo, aku jadi ingin tahu mengapa ada suatu rahasia yang mereka simpan tentang aku.
Rahasia itulah kemudian yang benar-benar membuatku malu dan berdosa pada
Tante Pin. Aku telah menghina Tante Pin, mencaci-makinya dengan
kata-kata yang teramat kotor, menyakiti perasaannya.
Dengan diam-diam aku
menyelidiki segalanya....
Aku adalah anak
angkat Tuan Dahlan, yang dipungut dari sebuah rumah sakit. Ketika Tuan Dahlan
mempersiapkan akta-akta warisnya, ia menjadikan dua nama sebagai pewarisnya,
pertama Tante Pin dan kedua aku; jika kemudian Tante Pin
melihatku sebagai anak yang patut untuk itu. Tapi jika ternyata waris kedua (aku) dipandang tidak cocok dan tidak memungkinkan untuk memegang harta
yang ada, maka waris pertama harus menyerahkan harta kepada
lembaga-lembaga sosial....
Aku benar-benar
menangis di dada Tante Pin ketika tahu semuanya. Aku bersujud, bersimpuh
dan minta ampun di kakinya. Sungguh tidak kecil dosa yang telah kubuat terhadap
Tante Pin. Hingga kemudian aku memilih tinggal sendiri dan mengontrak
sebuah rumah. Aku tinggalkan Tante Pin yang telah kulukai. Yang telah kuhina dulu. Sungguh tak sanggup aku untuk terus berada di rumah itu dengan segala kebaikan dan ketulusannya. Meskipun Tante
Pin dengan keras melarangku pergi, tapi rasa bersalahku lebih keras lagi
menyuruhku pergi. Tante Pin melepasku dengan tangisannya. Satu yang
dimintanya agar aku menamatkan kuliahku (dan itu kupenuhi hingga aku menjadi
sarjana dan bekerja di sebuah perusahaan ekspor-impor seperti sekarang) dan
datang menemuinya setelah aku diwisuda.
Janji untuk menemuinya
setelah wisuda tak pernah terlaksana karena dua tahun setelah kepergianku dari
rumah, Tante Pin terbunuh. Mas Dodo telah melakukannya. Kemudian
kuketahui juga seluruh harta kekayaan ayah yang berada di tangan Tante
Pin dihibahkan kepada banyak lembaga sosial. Sementara aku tidak pernah dapat
menemukan orang tuaku yang sesungguhnya. Maka dengan tulus dan perasaan bersalah yang dalam, aku mengangkat Tante Pin
sebagai ibuku. Aku berdoa dengan khusyuk di makamnya, berdoa sebagai seorang
anak terhadap ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar