Dimuat dalam Majalah Wanita Sarinah
Nomor 252 tanggal 18 – 31 Mei 1992
Bonus Novelet
langit pecah dan bulan jatuh
menggolek di padang. Jauh
aku: terbaring serta 'sama bulan yang luka
—matahari di atas tertawa
sambil melangkah pulang
KEADAAN...
Aku duduk dengan
tidak bersemangat di ruang tamu. Koran sore yang baru saja diantar loper kubalik-balik dengan enggan. Secangkir teh dan biskuit kaleng terhidang di atas meja. Asih duduk tenang
sambil terus menyelesaikan bacaannya, sebuah novelet di majalah wanita. la tidak sekali-sekali menoleh atau melirik padaku yang terus saja
memaparkan kegelisahan.
Sekali aku berdiri,
berjalan mendekati dinding dan kemudian duduk lagi. Betapa sangat inginnya aku
kalau Asih bertanya: Sam, mengapa gelisah? Adakah yang sedang kaupikirkan?
Tapi pertanyaan itu
tidak juga kunjung tiba.
Dengan perasaan
mengambang jauh aku berjalan ke teras dan kemudian duduk dengan malas. Sekuntum
kembang yang mekar di pot, kuperhatikan. Ah, bunga, betapa segarnya kau sore
ini, setelah beberapa saat lalu Uning menyirammu. Saat ini tentulah kau tengah
berbahagia-cita, menikmati rona merah matahari yang akan tenggelam.
"Sam, engkau jadi mengadakan pertemuan malam ini?" tanya Asih yang tiba-tiba
saja telah berdiri di sampingku.
"Aku membatalkannya."
"Itu artinya,
usahamu menjadi sia-sia."
"Aku tidak akan
menyesal," selingku malas.
"Ya, kuharap
begitu," sambut Asih datar.
Sungguh, aku
benar-benar jengkel, marah dan benci padanya. Tidakkah Asih ingin tahu mengapa
pertemuan itu kubatalkan begitu saja? Duh, Asih benar-benar tidak peduli!
Sampai malamnya Asih
tidak juga bertanya, la sibuk dengan pekerjaannya: memeriksa PR dan ulangan
para muridnya!
Perkenalanku dengan
Asih waktu masih SMA. Tak ada yang istimewa: teman satu sekolah. Tamat SMA kami tidak pernah berjumpa lagi. Begitupun aku tidak ingin tahu ke mana ia pergi, sama halnya —tentunya— dengan ia yang juga tidak mau tahu ke mana aku pergi. Toh, perkenalan kami hanya biasa.
Tapi ketika pada
suatu senja, tiga tahun setelah
menamatkan SMA, tak sengaja kami bertemu di sebuah halte. Aku baru saja dari mengantar Fitri, pacarku. Tapi
karena hujan yang terlalu deras
aku memutuskan unttuk berteduh dulu.
Setelah motor kuparkirkan begitu saja, ternyata ada seorang gadis yang duduk di bangku halte. Sontak saja aku memakukan sorot mata padanya, ia juga berlaku
serupa.
Seperti tak Ada yanq terlalu istimewa kami hanya salaman, sebagai layaknya pertemuan dengan sahabat lama yang bukan istimewa. Kemudian sedikit cerita basa-basi.
"Telah lebih
setengah jam aku duduk di sini menunggu jemputan. Tapi belum juga datang,” tuturnya sambil mengawasi mobil yang lalu satu-satu. "Tadinya, aku sudah takut kemalaman di tempat yang sepi ini.”
"Syukurlah aku
datang," timpalku tersenyum.
Asih tertawa. Hujan belum juga reda.
"Kau dari
mana?" tanyaku sedikit heran – halte ini terbilang sepi dan jarang
dilewati bis kota di jam-jam
begini.
"Hanya menunggu
jemputan. Seharusnya setengah jam yang lalu aku telah duduk di mobil, dan saat
ini tentu telah ada di rumah," ujarnya tanpa menjawab pertanyaanku.
"Hujan tidak
akan reda sampai larut malam. Mendung masih terlalu tebal," kataku
kemudian sembari melihat ke langit. "Aku tidak akan keberatan
mengantarmu."
"Dengan motor? Hujan-hujan?"
"Kalau engkau
tidak menolak."
Asih melihat ke langit kemudian mengalihkan
pandangannya ke jam tangan. Dia berkata, “Aku tidak punya pilihan," lanjutnya lalu tertawa.
"Tempat ini rawan kata orang."
"Ya. Sebentar
lagi matahari tenggelam. Tak satu mobil pun akan melewati tempat ini."
Hujan yang tidak ada
gelagat akan reda akhirnya kami tembus saja.
"Rupanya engkau
masih di kota ini!" kataku setengah berteriak, meningkahi deru hujan dan
raung sepeda motor.
"Mau pergi ke
mana lagi? Hanya di sini rumahku!" balasnya.
"Asih, kau kuliah?"
"IKIP jurusan
PDU!
Sempat juga aku
terperanjat. Apakah memang ada dalam kenyataannya seorang anak dari keluarga
kaya kuliah di IKIP? Kuliah untuk kemudian mengabdi menjadi seorang guru?
Bukankah Asih dapat saja sekolah ke Amerika atau ke mana ia suka?
“Di mana?"
ulangku setengah tak percaya.
"IKIP! Kau
dengar? Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan!" tegasnya lebih keras.
Aku tidak dapat
berkomentar lagi ketika gemuruh hujan kian deras. Asih menunjuk-nunjuk jalan
yang harus kulalui untuk sampai kerumahnya.
"Terima kasih, Sam. Nggak mampir dulu?" tawarnya setelah turun dan
berdiri di depan pintu pagar rumahnya yang tinggi.
“Hujan.
Tanggung," jawabku sambil segera saja melaju lagi. Sempat kulihat di kaca
spion Asih melambaikan tangan.
Lambaian tangan! Ya, lambaian tangan itulah yang beberapa menit kemudian
membuatku seperti orang sinting. Dengan nekat aku kembali berjalan berputar, menembus hujan. Tepat di depan rumannya, depan pagar, aku menghentikan motor.
Asih telah tak ada. Tentu saat ini ia tengah duduk di depan perapian sembari
menyantap sepotong roti bakar dan segelas cokelat susu hangat. Kuperhatikan
saja rumah mentereng itu.
Bangunan
berarsitektur klasik, pelataran yang luas, taman yang apik. Kembali pikiran
awamku menyergap mengapa seorang kaya begitu kuliah di IKIP? Padahal hampir
dari seluruh mahasiswa IKIP yang kukenal berasal dari golongan menengah ke
bawah. Temanku yang kebetulan berada, kaya, tidak satu pun yang memilih kuliah di
IKIP. Tapi Asih? Bukankah seharusnya — sebagaimana lazimnya orang yang punya uang— pergi ke
Amerika, Inggris, Australia atau Jepang, atau ke mana saja untuk kuliah?
Pikiran itu terus
kubawa sampai pulang.
Sejak saat itu aku
tidak lagi bertemu Asih. Kuliah dan pekerjaanku sebagai jurnalis
lepas sekaligus pengarang, terus kujalani. Hingga akhirnya, hampir pula tiga
tahun setelah menamatkan kuliah, aku kembali punya kesempatan bertemu dengan
Asih. Sementara hubunganku dengan Fitri ambruk ketika ia kemudian menikah
dengan teman sekerjanya di suatu bank. Aku sama sekali tidak menyesali
perpisahan itu. Karena memang tak ada satu paham yang sama, yang dapat
mempertemukan kami dalam satu rumah tangga.
Pertemuanku dengan
Asih itu, ketika aku dimintai tolong direkturku, mewakilinya memenuhi panggilan
kepala sekolah sebuah SMA negeri. Dasar anak direkturku kerjanya hanya
hura-hura, dalam pertemuan
itu aku seperti ditelanjangi. Kepala sekolah menegur direkturku, tentu
saja dalam pertemuan itu menegurku, agar lebih
memperhatikan anaknya. Kalau tidak rokok, pisau atau pil-pil penenang yang ditemukan dalam tas
anaknya, tentulah gambar-gambar cabul atau alat kontrasepsi. Dan kali ini tidak
main-main lagi ketika seorang guru memergoki dalam tas Randi sejumput ganja.
"Tuan Sam, anak boss Anda, Randi, telah
melewati batas yang sangat jauh. Penemuan oleh salah seorang guru kami kali ini
tidak main-main lagi. Sesuai permintaan kami agar Tuan Sudiro sendiri yang
datang menghadap tidak dipenuhi, dan ternyata mewakilkannya pada Anda, maka
kami menganggap apa pun yang kami putuskan bersama Anda akan dapat diterima
oleh Tuan Sudiro," tegas kepala sekolah dengan berwibawa.
Aku sudah dapat
mereka-reka kelanjutan pembicaraan kepala sekolah: Randi akan dipecat!
"Setelah dengan
melalui empat surat panggilan —yang
seharusnya hanya tiga—Tuan
Sudiro tidak juga menggubrisnya, maka atas keputusan kami bersama, Randi kami
pecat dari sekolah ini. Sekaligus keputusan terakhir yang tidak akan ditinjau
lagi!"
lanjut kepala sekolah menekankan.
"Kalau itu sudah
keputusan yang terakhir, dan tidak akan ditinjau lagi, apa boleh buat. Tapi
tidak adakah pertimbangan sekali lagi?"
"Ini adalah
pertimbangan kelima dan terakhir."
Melihat ketegasan
kepala sekolah sudah tak mungkin lagi bagiku untuk banyak debat. Lagi pula ini
adalah kenyataan yang sudah seharusnya diberi tindakan seperti itu. Tuan Sudiro tidak mengacuhkan
surat-surat teguran dan surat-surat panggilan. Malah dengan entengnya ia
memintaku untuk mewakilinya.
“Pergi saja, Sam. Aku percaya
padamu," katanya tadi pagi.
“Tapi ini surat panggilan yang penting sekali, Pak."
“Jangan kuatir. Aku tahu di surat itu ada
kemungkinan besar Randi akan dikeluarkan. Tapi itu tidak soal. Randi memang
telah malas untuk terus sekolah di Indonesia. Lihatlah, mana sekarang
guru-gurunya banyak yang muda lagi," tutur Tuan Sudiro sedikit sinis. "Permintaan Randi untuk
disekolahkan ke luar negeri akan segera saja saya penuhi."
"Bagaimana, Tuan Sam? Anda bersedia menandatangani surat ini?"
"Saya bukan ayah Randi, tapi saya diberi kepercayaan untuk itu. Maka tidak ada
alasan bagi saya untuk menghindar."
“Anda orang yang sportif sekali, Tuan Sam," ujar kepala sekolah sembari tersenyum.
Selesai
menandatangani surat itu, ada suatu keingintahuan dalam benakku, gerangan siapa
guru yang menemukan sejumput ganja dalam tas Randi.
"Oh, itu
tanggung jawab kami bersama, Tuan Sam. Tak akan saya izinkan siapa pun untuk mengetahuinya. Artinya, adalah kami
semua yang memergoki."
Setelah bersalaman
dengan kepala sekolah, aku berjalan ke luar kantornya. Dan setelah di luar
itulah aku tidak sengaja bertemu Asih.
"Oh, telah jadi guru engkau rupanya," tuturku senang.
"Seperti yang
kaulihat," katanya tersenyum. "Oya, ada keperluan apa kau datang ke sini?”
"Menandatangani
surat pemecatan Randi.”
“Randi," Asih bergumam. "Anak keluarga
kaya yang nakalnya bukan main.”
"la lebih dari
nakal. Kautahu, aku pernah disuruh medorong mobilnya yang mogok. Apakah
dikiranya aku ini tukang dorong, apa? Malah sekali waktu mencoret-coret sebuah
novel milikku. Minta ampun deh. Padahal, melihat usianya, ia dapat dikata telah mulai dewasa."
Asih tertawa. “Aku juga pernah dikerjai. Dengan enaknya ditulisnya sebuah surat cinta lalu
menyelipkannya di tasku. Isinya? Menjengkelkan sekali!" umpat Asih.
"Bu Guru Asih yang cantik. .. Kata orang Bu Guru sudah cukup tua, ya? Tapi
kenapa belum menikah juga?" lanjut Asih menirukan. "Nah, apa ini
namanya tidak kurang ajar?"
Aku tertawa
terpingkal. "Jeli juga anak itu," selingku bergurau.
"Itulah nasib
tragis seorang anak yang dimanja, dituruti apa yang diminta. Bahkan, seperti kata Randi, ayahnya
menyokongnya, untuk disekolahkan ke luar negeri. Malu katanya kalau tidak ke luar negeri.
Salah kaprah, kan?"
Mata Asih yang
sedikit mendelik, bagaimana pun seolah memakukan gerak mataku sendiri. Ada yang
menggeletar-geletar dalam relung sanubariku sendiri. Duhai, kau memang cantik, Asih. Dan kau
memang sudah waktunya untuk berumah tangga.
"Kau
memandangiku?"
"Oh, maaf. Rasanya aku ingin sekali bicara panjang denganmu.”
“Tapi ini jam kerja. Datanglah ke rumah," tawarnya.
***
Tiga minggu setelah
pertemuan di sekolah itu, aku pun datang ke rumah Asih. Masih rumah yang dulu,
dengan pelataran luas-apik. Asih sendiri yang menyambutku di teras.
"Wah, sekarang kau tidak lagi kelihatan sebagai guru SMA," gurauku melihat penampilan Asih. Bercelana pendek, kaus oblong putih dan rambut yang dibiarkan tergerai lepas.
"Dan kau tidak
kelihatan sebagai seniman lagi,"
balasnya. "Bercelana disetrika rapi. kemeja lengan pendek dan sepatu yang
mengkilap."
"Seniman? Aku
bukan seniman," ujarku setelah duduk di kursi teras.
Asih tak mengomentari,
la segera masuk. Tak lama kemudian ke luar lagi dengan minuman dan kue ringan.
“Kau sekarang telah doktorandus rupanya,"
katanya kemudian. Pengarang yang sarjana."
Aku tertawa saja. Rasanya tak perlu pura-pura tidak tahu darimana Asih mengetahui semuanya
itu. Tentulah ia telah baca di majalah-majalah. Bukankah sebagai pemenang
sebuah lomba mengarang selalu disertai dengan biodata pengarangnya? Dan tak
sekali-dua aku telah menjuarai perlombaan sejenis.
"Aku membaca
tulisanmu sejak dulu. Sambra Adiguna, sarjana ekonomi yang bekerja di sebuah
perusahaan ekspor-impor, adalah pemenang satu lomba penulisan novel tahun ini.
Aktif menulis di berbagai media," tutur Asih menirukan sebuah penulisan biodata oleh sebuah majalah.
"Terima kasih
engkau memperhatikannya," selingku gembira.
"Bagaimana
tidak, jika pengarangnya adalah teman satu SMA dan kebetulan kukenal?"
Asih mendelikkan matanya. "O ya, beberapa novelmu yang telah diterbitkan
juga kumiliki."
"Ya, enam buah
novel."
"Enam? Astaga!
Aku baru memiliki empat.”
"Itu artinya
engkau bukan penggemar yang setia," balasku tertawa lebar. "Nantilah,
aku akan kirimi kalau engkau suka."
"Eiit, jangan! Jangan main kirim. Kalau setiap orang kau kirimi novelmu, siapa
lagi yang akan membeli?"
"Untukmu,
berapapun akan kukirimkan."
Asih tertawa
menyambutnya. "Kumat lagi bakat gombalmu, eh, mengarangmu," tuturnya
dan meneruskan tawanya.
Petang meremang.
Matahari turun dari singgasananya. Hampir dua jam di rumah Asih, di teras, tiada satu yang dapat kutangkap. Maksudku, suatu seperti apa yang
sebenarnya kuinginkan. Seperti apa yang kurasakan.
Rasanya, dalam usia
kami yang tidak lagi remaja ini, adalah sangat
tidak pantas bila aku punya pengharapan di balik keramahan dan kebersahajaan
seseorang. Mengartikan keramahan dengan goresan cinta adalah teramat tabu. Tabu
sekali. Tapi kadang, sesuatu yang dianggap tabu itu, tiada kuasa dipungkiri
akan muncul dengan sendirinya. Dan justru itu yang tidak boleh kubiarkan
berlanjut! Tolehlah lagi latar diri: siapa Asih dan siapa aku.
Dari perasaan tidak
menemukan apa-apa itulah kemudian aku tidak punya gairah lagi untuk datang ke
rumahnya. Maka kembalilah aku ke duniaku dan Asih ke dunianya.
"Sam, novelet terakhirmu sangat menarik," komentar Asih ketika berkunjung ke
rumah kontrakanku, yang katanya
sengaja datang karena telah lama aku tidak datang lagi ke rumahnya. Tapi,
sekali lagi —meski itu
tabu— aku benar-benar kecewa ketika tidak menangkap sorot
kerinduan di matanya.
“Terima kasih," jawabku ramah. “Terima kasih
juga kau berkunjung.”
"Apakah
salah?"
"Tidak. O, ya,
dengan siapa?"
"Diantar."
Asih berjalan
mengelilingi ruangan. "Ternyata kau bisa melukis juga. Oo, ini
lukisanku!" katanya setengah teriak. "Ini lukisan wajahku. Kau
melukisnya, Sam?!"
Sebentar aku
tersentak. Ah, ketahuan sudah kejutan yang hendak kuberikan padanya bulan
depan.
"Apa boleh buat,
engkau keburu tahu. Itu lukisan yang kupersiapkan untuk ulang tahunmu bulan
depan."
"Apa boleh
buat?"
"Ya, ini tidak
lagi sebagai kejutan."
Asih hanya tertawa.
Kecil. Manis sekali.
Dari dapur, ketika
menyiapkan minuman, aku bertanya, "Asih, kau tidak keberatan
kulukis?"
"Aku
senang." la masih memperhatikan wajahnya di lukisan itu. "Lukisan ini
lebih cantik dari aku."
"O ya?" Aku
berikan padanya secangkir minuman. “Tapi bagiku, jelas lebih cantik orangnya." Aku berharap ada perubahan
di rona wajah Asih. Tapi itu tidak kutemukan. Biasa saja. la tidak bersemburat merah, tidak tertawa jengah, tidak menunduk malu dan
tidak....
"Ke mana malam
ini, Sam?" Asih menoleh padaku.
"Tidak ada
rencana."
"Kalau kausuka,
datanglah ke rumah. Adikku ulang tahun, la ingin dirayakan besar-besaran. Tentu
saja ia juga ingin kalau engkau datang. Siapa yang tidak akan senang kalau
pengarang besar datang bertamu?"
lanjut Asih.
"Pesta ulang
tahun? Pesta besar-besaran? Ah, itu bukan tempat seniman," gurauku dengan
bebas kemudian tertawa. "Akan
tidak pantas tampil di sana dengan jean belel, kaus oblong dan rambut panjang
yang acak-acakan."
"Rambutmu
pendek."
"Banyak orang
jual wig."
Asih lagi tertawa.
Setelah diberikannya undangan itu, ia segera pamit.
"Aku yakin kau
tidak akan datang dengan jean belel, kaus oblong dan wig yang
acak-acakan," tuturnya lalu tertawa lagi.
Aku mengantarnya
sampai ke pagar. Astaga! Asih ditunggui rupanya.
"Mengapa tidak
kauajak laki-laki itu masuk? Kasihan ia harus menunggu di mobil begitu."
Aku bicara dengan perasaan yang kacau-balau. Inikah pacarnya? Tunangannya
mungkin? Yang akan menjadi suaminya? Duh, laki-laki yang gagah, parlente dan menakjubkan!
"Oh, tidak
apa-apa. Saya senang melihat pemandangan di sekitar sini," tutur laki-laki
itu seolah mendengar apa yang kukatakan. la membukakan pintu untuk Asih.
"Maaf, ya. Di
dalam keasyikan bicara," kata
Asih sembari tersenyum manis pada
laki-laki itu.
"Tidak
apa," balas laki-laki itu sopan. "Kami permisi dulu, Mas,"
katanya setelah berbalik menghadapku.
"Sayang Anda
tidak mampir."
"Lain kali saja.
Senang bertemu Anda," katanya lagi sebelum akhirnya berlalu. BMW metalik
itu meluncur tenang.
Dadaku benar-benar
terasa pepat ketika dari kejauhan kulihat tangan lelaki itu menjulur ke arah
Asih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar