BINGKAI NUANSA UNGU

Dimuat di Majalah Remaja ANEKA
Nomor 17 Tahun V 27 Agustus 1994 hal 26-29

Senja seperti terlalu cepat direnggut malam. Hujan yang bagai ditumpah-ruahkan dari langit baru saja reda. Dan, masih saja, aku seperti berada di tengah-tengah kesunyian dan keterasingan yang dilingkar oleh keceriaan arena camping.
"Titi... melamun?"
Suara berat Amboro menyentak kesunyianku. Duhai, mengapa tiba-tiba aku harus berdegup? Kikuk dan kelihatan amat tolol di depan camping-out leader ini? Ah, tidak boleh dibiarkan!

"Selamat malam, Amboro," tanpa memandang aku berkata dengan suara yang kurasa janggal.
Lambat, kesunyian merambat lagi. Senyap. Seperti ada sebentuk kekuatan gaib yang membekukan segalanya. Angin perbukitan yang mengalir tenang tetap saja terdengar asing. Dan, agak lama kemudian, kesenyapan pecah.
"Sebaiknya kita jalan-jalan... menikmati malam sehabis hujan," tuturnya, tenang. Uhf, tanpa menunggu persetujuanku, Amboro telah berjalan, melompat menghindari genangan air. Begitu dilihatnya aku tidak beringsut, ia menoleh dan berkata:
"Atau kita ikut teman-teman bermain gitar? Ah, tidak. Ada sesuatu yang dapat kita bicarakan. Ayolah kita nikmati angin dan sapuan semilir yang lembut ini."
Begitu saja, lagi, seperti kekuatan gaib yang janggal, aku telah terseret untuk menjejeri langkahnya.
"Aku tidak melihat kamu seperti biasanya. Kau banyak menyendiri, merenung," berat, suara Amboro seolah tengah menghakimi, "Punya masalah, Titi?" Tanpa menoleh dia menghentikan langkah.
"Oh, tidak. Maksudku — tentu... tidak ada masalah!" Ufh, gagapkah aku? Kalau iya, mengapa harus gagap?! Cepat, aku melempar tatap ke langit yang buram. Bulan sepotong bagai tengah menggigil dalam dekapan kabut.
"Well, tapi kau sering menyendiri. Katakan, Ti, katakan padaku apa yang tengah kau hadapi," burunya lagi.
"Jangan mendesak, Am!" Ah, aku telah bertutur dalam warna yang meradang. "Please, aku tidak punya masalah apapun," lanjutku kemudian, sedikit bergumam.
Dia hanya menarik nafas untuk kemudian dihembuskannya dengan pelan lalu menengadah. Lurus sorot matanya bagai tengah berusaha membedah cakrawala, menyelami sesuatu yang barangkali sulit dimengertinya. Dagunya yang kukuh, dengan rahang yang sempurna, terlihat begitu indah dengan tengadahnya. Ah, ah, kenapa berpikir begini? Cepat-cepat aku membuang tatap pada pinus-pinus yang lebih menyerupai bayangan hitam.
Kemudian, "Engkau yang tidak seperti biasanya," ujarku tanpa bermaksud untuk mengamati ekspresinya. "Engkau berusaha untuk kukuh, untuk tegak dengan kewajaran. Dan, kau telah gagal untuk itu, Am!"
Seperti terhenyak, ia segera terpekur. Setelah agak lama baru berkata:
"Entahlah, Ti... aku tidak pernah dapat mengerti." Sebentar ia diam, menarik nafas dan bagai tengah membasahi kerongkongannya. "Sekat! Ya, sekat!" ujarnya tiba-tiba. "Engkau telah membuat sekat yang seharusnya tidak ada. Mengertikah engkau apa yang kumaksud, Ti?" Dia menatapku, yang kurasa, amat tajam. "Ah, ya, kau mengerti itu, tapi kau telah menghindarinya. Dengan sengaja! Kau menciptakan dalil-dalil lain, sematematis selogis mungkin. Perasaan bukan matematika, Ti. Ayo, ceritalah padaku."
Sekat?! Bah, sekat macam apa itu? Lantas, akukah itu yang telah lari dari apa yang disebutnya: sesungguhnya mudah dipahami?
Dan, akukah yang telah membuat dalil baru sematematis selogis mungkin? Ah, ah….
"Am, ada seorang gadis yang amat mencintaimu,” tuturku kemudian, sumbang. “Cinta yang telah dipeliharanya dengan setia, sungguh-sungguh dan cinta yang....”
"Cinta yang diingkari!” sambar Amboro, cepat. “Cinta yang berusaha ditutupi dengan dalil-dalil aneh!"
Susah payah aku berusaha menelan nafasku sendiri. Benar, serasa ada yang menyekatnya. Kutundukkan wajah, menyembunyikan kegalauan, keresahan, dan entah apa lagi namanya.
Segalanya mengapung amat cepat.
"Cinta yang diingkari, Ti. Engkau mengerti itu?"
“Di-ing-ka-ri..." ejaku dalam desisan yang lunak. "Aku tidak mengerti arti kata itu, Am."
"Artinya didustai, dibohongi, setidaknya berusaha untuk ditampilkan berbeda.”
“Engkau didustai? Dibohongi? Wah, betapa bodohnya perempuan itu. Kamu terlalu baik, terlalu gagah, dan terlalu cerdas untuk diperlakukan begitu, Am."
"Begitukah?” Amboro mengayun langkah lagi. Kujejeri dengan ragu. "Manis sekali apa yang baru saja kau utarakan, Titi. Tapi kenyataannya tahukah kau?" Amboro menoleh padaku dengan sorot mata yang masih saja kurasa tajam.
Gegas, aku menguasai degup-debur jantung yang tidak teratur. Kuperhatikan bayangan pinus di kejauhan yang hitam, yang berdesir oleh angin malam bukit. Tapi, kemudian, kurasakan dia masih saja menatapku.
"Jangan menatap begitu, Am!"
Kemudian, kembali senyap.
Kemudiannya lagi, setelah cukup lama kami dikungkung kekakuan, Amboro berkata, "Titi, ada yang ingin kuceritakan kepadamu."
"Ya, berceritalah padaku seperti biasanya engkau bercerita, Am. Aku akan mendengarkan." Sedikit, dan mungkin sebentar, aku membalas tatapannya yang kurasa asing.
“Tidak sekali dua-kali aku telah berusaha memupus gadis itu... gadis yang mengingkari cinta itu, yang mematematiskan segalanya. Kecengengan yang, katakanlah, tidak logis dan tidak dewasa." Amboro menghentikan tuturannya dan memandangku lekat. "Engkau tahu, Ti, aku gagal. Dan aku merasa terasing dari diriku sendiri."
"Duh, fantastis sekali, Am. Mengapa selama ini kau menutupinya padaku? Ah, kau mementahkan arti persaudaraan."
Saudara? Begitukah? Fuh, aku merasa pangling dengan ucapanku yang baru saja berlalu.
"Maafkanlah." Amboro mempercepat langkah.
"Dapat kutebak nama gadis itu," aku menjejeri lagi ayun kakinya. "Wisesa, kan? Percayalah, dia sangat mencintaimu, Am. Dan..." Seperti tidak kuasa, galau kini benar-benar telah mengepung dan memenuhi dadaku. "Dan... aku tahu pasti itu!”
Yak, sempurnalah sudah bahwa telingaku begitu asing mendengar suaraku sendiri.
Amboro mempercepat langkah, memaksaku sedikit bergegas menjejerinya.
"Aku tidak mencintai Wisesa! Dan —," Amboro menghentikan langkahnya, amat tiba-tiba. Berbalik ia menatapku. “Tidak akan pernah bisa. Sesungguhnya kautahu itu, Titi!"
Yak, benar, lenyap sudah segala kesangsian. Ah, God, berarti tertutup sudah semua pintu untuk Wisesa. Ingin benar aku menjerit, memaki Amboro yang terlalu sombong. Fuah, apa sih kurangnya Wisesa?!
Tapi kemudian aku hanya bertanya lunak, "Lalu, siapa yang telah menolakmu, yang telah mendustai, yang telah mematematiskan perasaan itu?"
"Gadis yang kucintai, tak lebih menganggapku saudara, sebagai bagian dari keluarganya. Tapi ia sungguh-sungguh telah membohongi katahati dan perasaannya sendiri!"
Jelas, suara Amboro yang tidak keras, di anak telingaku bagai terasa menusuk, menyayat, mengiris. Dan, teranglah sudah bahwa....
Yak, akulah gadis itu!
Tetapi dengan tolol aku pun bertanya: "Siapa gadis itu, Am?"
Kali ini, bagai dengan marah, dia menatapku tajam. Tapi tiada dapat dia pungkiri bahwa ada kabut yang amat tebal di matanya. Ah, ah, jangan biarkan aku larut. Jangan biarkan aku merasa iba dengan kekecewaannya. God, ada gadis lain yang tulus dan sungguh-sungguh yang lebih kecewa!
"Haruskah itu dijawab? Tolong, jangan menyiksa, Ti!"
"Lebih baik begitu, sedikitnya dapat menenangkan perasaanmu," lagi-lagi aku telah berkata tolol.
"Ow, alangkah bijaknya, Titi," sergap Amboro, tersenyum dengan getir. "Well, aku sebutkan nama gadis itu."
Satu-dua-tiga...yak! Kupejamkan mata sambil membuang muka ke arah lain. Kuingsut kaki yang tiba-tiba jadi kaku.
"Lihatlah padaku, Ti. Cari, selami, dan temukan apapun yang ada dalam mataku," Amboro menyentuh pundakku, memutarnya dengan pelan, dan menghadap ke arahnya. "Ayolah, Ti, tataplah. Seharusnya sejak dulu engkau lakukan itu. Jangan menunduk. Jangan teruskan permainan yang menyakitkan ini. Aku telah bosan dengan matematika dan logika yang kau pasangkan pada perasaan kita, Titi."
Pelan, amat pelan, aku mengangkat muka.... Blash! Mata yang bening, yang legam... menangiskah kau, Amboro? Merintihkah kau atas semua ini? Tidak, Amboro! Engkau tidak boleh mencintaiku. Engkau bukan milikku, Am....
"Ya, teruslah, Ti, teruslah tatap. Gali semuanya."
Seorang gadis telah menunggumu dengan cinta dan segenap kasihnya. Seorang gadis yang menunggu....
"Bertahun, Titi, bertahun aku menyimpannya dalam mataku."
... yang menunggu cinta dan kasihmu, Amboro. Ya, yang penuh kesungguhan dan pengharapan. Akan tegakah engkau mengkhianatinya, Amboro?
"Titi!" Amboro mengguncang pundakku.
"Tidak..!"cepat aku berkelit. Membuang muka membelakanginya. “Tidak, Am, telah kukatakan, berulang-ulang, kita bersaudara. Hanya itu. Seharusnya kau tahu, dan memang kau telah tahu, bukan? Amboro, ada gadis lain yang benar-benar menunggumu. Ayolah, jangan angkuh, Am."
"Angkuh?! Oh, apa definisi keangkuhan bagimu?!" suara Amboro meninggi, meradang dalam nada kekecewaan.
"Am," aku melepas cekalan tangannya dan kulihat sebentar kekecewaan di raut wajahnya. Lalu, "Maafkanlah, maafkanlah aku. Barangkali, untuk malam ini, kita akhiri saja pembicaraan sampai di sini. Ah, jangan membantah. Mungkin esok atau lusa kita masih punya waktu. Ayolah jangan menatap begitu. Aku mengerti kamu. Kumohon, kamu juga mengerti aku, Am." Dan, aku menutup tutur, "Sudah larut. Selamat malam, Am." Aku berbalik. Terburu mengayun kaki, gegas menuju tenda. Tapi suara Amboro yang amat berat mengiringiku:
"Titi, percayalah, bahwa masa lalu adalah suatu tempat di mana kita pernah hadir. Dan, sungguh, tidak mudah melupakan masa lalu. Yang kuminta hanya, engkau berani jujur pada hati dan perasaanmu sendiri, Ti. Selamat malam."
Air mata tak terbendung lagi ketika aku makin jauh dari Amboro, yang aku yakin ia tengah berdiri kecewa. Sekali aku menoleh, kemudian setengah berlari aku memasuki tenda.
Pagi berikutnya, tenda-tenda pun di buka.

***

Sepanjang koridor yang menghubungkan aula A dengan gedung F terlihat sepi. Satu-dua mahasiswa sesekali terlihat memotong koridor, berjalan gegas ke gedung lain. Aku melangkah sasu-satu, dijejeri Wisesa. Sesekali aku — atau dia, melirik.
"Wi, aku tidak..."
"Sudahlah, Titi, ini bukan salah siapa-siapa. Tidak salah siapa-siapa," Wisesa seperti mencairkan kekakuan yang tak sengaja telah terbangun. "Semua ini terjadi atas suatu ketentuan yang sudah seharusnya kita terima begitu saja.
Tidak ada pertanyaan, penjelasan atau apa pun namanya untuk sebuah takdir. Untuk sebuah keputusan yang telah ditetapkan untuk masing-masing kita. Begitu, bukan?"
"Wi, jangan bicara seperti itu." Aku mengedarkan pandang ke gedung C di seberang, lalu, "Bagaimanapun kita harus berusaha, bukan?"
"Usaha..." Wisesa bergumam, hambar. "Ya, kita memang hanya dapat berusaha. Ti, bukankah di ujungnya adalah hasil? Dan bukankah hasil adalah keputusan yang paling akhir dari itu?" Wisesa menghentikan langkah, menggamit tanganku. "Dan, sebuah keputusan adalah apa yang telah disuratkan," tuturnya, lunak dan jernih.
“Takdir?"
"Ya, takdir, Ti. Itulah kata yang paling tepat untuk apa yang kita dapati dari usaha."
Aku membalas tatapannya. Begitu saja, betapa ingin aku menangis untuk Wisesa.
"Jangan menangis, Ti. Aku tidak suka melihat orang menangis, apalagi tangis untukku." Wisesa, dengan sinar mata yang berusaha diperlihatkan kukuh, menatapku. "Aku kuat, Titi. Aku telah siap menghadapi kemungkinan apapun. Tuhan itu Mahabesar, bukan?"
Aku hanya mengangguk lemah, menyusut air mata. Gadis ringkih yang tengah berjuang melawan sakitnya, berdiri mengawasi dengan senyum yang amat hambar.

***

Masih pagi. Pukul sepuluh. Tapi keringat seperti dipompakan untuk mengalir ke luar dari seluruh poriku. Dokter Lina, wanita baya yang berkaca mata tebal dan berseragam putih, gegas ke luar dari ruang Intensive Care Unit. Aku mencegatnya.
“Bisa saya bicara dengan Anda, Dokter?" aku menjejeri langkahnya.
"Adik siapa?" tanyanya terus melangkah."
"Saya temannya… Ngg, maksud saya... saudaranya."
“Mana orang tuanya?"
“Dua hari yang lalu ke Bangkok. Tadi subuh saya telah interlokal. Sungguh, saya ingin bicara dengan Anda, Dokter."
Dia terus saja berjalan, hingga kemudian di depan sebuah kamar ia berkata, "Silakan masuk," dan membuka pintu kantornya. "Percayalah, untuk sementara dia akan lebih baik. Oya, silakan duduk."
Sebentar dokter itu telah meletakkan jubah putih, sarung tangan dan penutup mulutnya di sebuah lemari khusus. Dipencetnya intercome. Beberapa saat kemudian, seseorang membawa sesuatu.
"Ya, beginilah tugas seorang paramedis. Tengah malam, dini hari, atau kapan saja dibutuhkan, harus datang ke rumah sakit. Maklumlah, rumah sakit ini masih kekurangan tenaga ahli. Oya, siapa nama adik?" tanyanya lebih akrab.
"Titi. Saya Titi, Dokter."
"Panggil mbak saja," potongnya. "Lebih santai, kan?"
"Eh, iya, Mbak Lina, saya teman akrab Wisesa. Telah dua malam saya menginap di rumahnya, karena papanya ke Bangkok. Kalau mamanya telah meninggal dua tahun yang lalu."
"Ah, kasihan sekali temanmu itu." Sebentar dokter itu menarik nafas. Matanya terlihat lelah. "Kondisi temanmu agak kritis. Susahnya, ia tidak memiliki semangat juang untuk bertahan, untuk hidup. Ini mempersulit upaya medis. Sepertinya ada tekanan, atau katakanlah, semacam beban psikis yang cukup berat. Lebih diperburuk oleh kondisi kesehatannya yang memang tidak baik."
"Apakah dia masih akan bertahan, Mbak? Maksud saya apakah selamanya dia akan tergantung pada mesin cuci darah?"
"Pemecahannya hanyalah donor. Kami telah menghubungi beberapa Yayasan Ginjal. Belum ada jawaban lengkap. Ya, seperti biasanya, memperoleh ginjal memang sulit."
"Mbak," aku mulai terbata, tercekat dalam keinginan hendak bertutur. "Apakah Wisesa... tidak akan terselamatkan, ngg...maksud saya tidak ada harapan lagi?"
Dokter Lina hanya tersenyum. Amat lembut. Pelan ia bangkit. Masih sambil tersenyum ia mengemasi barang-barangnya. Dan ia bertutur arif, "Peruntungan, jodoh atau ajal, semua itu ada di tangan Tuhan, Dik Titi. Kita hanya dapat berdoa dan berusaha, untuk kemudian menerima apa pun yang diberikanNya. Ah, ayolah jangan menangis. Tuhan benci pada umatnya yang lemah."
Akhirnya, selesai mengemasi barang-barangnya dan sedikit memperbaiki dandanan, dokter Lina berkata, "Saya kira sebaiknya kita pulang dulu. Istirahatlah. Jangan kuatir, telah ada doter lain yang berjaga. Oya, apa jawaban orang tuanya ketika dihubungi?"
"Saya tidak berhasil, Mbak. Tapi pihak perusahaan papa Wisesa berjanji untuk membantu segera."

***

Ya, Amboro memang tidak pernah tahu akan penyakit yang diderita Wisesa. Aku telah dilarang keras olehnya untuk memberitahu siapapun penyakit yang dirundungnya. Pernah Wisesa berkata:
"Ti, kumohon, jangan bilang siapa-siapa. Terutama Amboro!”
Awalnya mereka berpacaran. Tidak lama, entah karena apa, Wisesa tergoda oleh Bram. Itu pun tidak bertahan lama karena Bram tergaet lagi oleh Ayuning.
Dan, sejak itulah Wisesa sadar: betapa kelirunya ia telah memilih Bram! Ah, ah, Wisesa kemudian menjaga diri dan cintanya untuk Amboro, cowok yang pernah disakitinya. Duhai, benar, hidup memang penuh warna!
Dan, pada akhirnya, aku terduduk lemas di sisi ranjang Wisesa (setelah kerelaanku sebagai donor ditolak: dengan alasan medis), tiga hari setelah itu, saat papanya menghubungi berbagai Yayasan Ginjal dan mencari donor lain.
"Please, tersenyumlah, Ti. Aku saja tidak menangis. Ah, jangan terus memperlihatkan kedukaan di wajah cantikmu. Aku jadi sedih."
Tapi, ketegaran yang hendak diperlihatkan Wisesa, telah dihancurkan oleh sinar matanya yang amat lemah dan putus asa. Suaranya mengalir amat getir, bening, dan luka.
“Semuanya,” lanjut Wisesa lunak, "berawal dari kesalahanku. Tidak! Jangan salahkan Amboro, Ti. la berada pada posisi yang benar, la bertahan untuk sebuah harga diri."
"Harga diri?" aku memintas, meradang murka. "Tidak! Itu bukan harga diri! Amboro harus bertanggungjawab untuk semua ini, Wi!"
"Titi, jangan begitu. Amboro mencintaimu. Alirkanlah seluruh rasa dan kasihku dalam nadimu dan persembahkanlah dengan utuh pada Amboro. Aku tahu, kalian saling mencintai.
Dan, kalian akan serasi, Ti. Aku tahu ia —," sekali Wisesa batuk, "la cowok yang penuh tanggung jawab."
"Justru itu, Amboro harus bertanggungjawab kalau sampai terjadi apa-apa denganmu, Wi. Engkau jadi lemah dan kehilangan semangat juang karena dia. Dia harus bertanggung jawab!"
“Tolong, jangan bawa-bawa dia, Ti."
"Wi, mengapa harus menyerah? Hidup masih panjang dan penuh kebahagiaan. Ingat itu, Wi. Please, bangkitlah. Engkau akan sembuh."
Wisesa sekilas tersenyum. Perlahan ia mengangkat tangan dan mengusapkannya di daguku. Masih dalam tersenyum dia berkata, "Pulanglah, Ti, kamu harus tidur. Sampaikan salamku pada semua teman-teman. Ah, mereka semua orang yang baik, ya?" Wisesa menarik tangannya dan melipat di dada. "Ayolah, jangan murung, Ti. Kau harus pulang dan beristirahat. Masih ada hari esok, bukan?"
Dan, amat cepat, air mata telah membasahi pipiku. Begitu saja aku bertutur marah: "Amboro harus bertanggung­jawab untuk semua ini. Aku akan menuntut kedewasaannya, Wi!"
Tapi Wisesa hanya tersenyum. "Pulang dan tidurlah, Ti. kalau engkau memang sahabatku, penuhi permintaan yang satu ini. Ah, jangan menangis, Titi."
Sempurnalah, tuturan Wisesa mencabik dadaku. Gegas aku berbalik, kemudian berlari menyusuri koridor rumah sakit yang lengang dengan satu tekad: mendatangi Amboro dan minta tanggung jawabnya! Amboro harus tahu bahwa gadis itu tengah sekarat, tengah putus asa, tengah kehilangan segala harapannya....
Sebuah sentakan yang amat halus menggetarkan jantungku. Suara yang amat lirih memanggilku dengan pelan, fasih. Dan, sepasang sorot mata yang bening dan lemah menyenyumiku. Bagai ada satu panggilan segera aku berbalik lagi dan berlari menyusuri koridor menuju kamar Wisesa. Uh, Tuhan, mengapa koridor ini begitu panjang? Mengapa kamar Wisesa menjadi amat jauh? Tolong, Tuhan, dia harus hidup.
Kemudian, aku mendapati diriku telah terbaring di ranjang yang putih. Dokter Lina, ketika aku membuka mata, berdiri tenang mengawasi. Matanya yang jernih telah berkata: Wisesa telah mendahului kita... biarkan ia tenang di sana, Ti. Ah, ah, demikian saja, kembali terlihat di mataku ketika dokter Lina menutupkan kain putih di wajah Wisesa.
Dan, kembali dunia berpendar amat cepat. Hitam. Ketika aku telah kembali tersadar, Amboro dengan wajahnya yang lelah, menatapku amat dalam.


***



Tidak ada komentar: