Dimuat di Majalah MODE Indonesia
Nomor 02 Tahun XX Januari 1996 hal
86-88
“Serahkan semuanya pada waktu, Raga. Tidak perlu terburu-buru mengambil keputusan, kesimpulan atau apa pun
namanya. Kita hanya dapat mengikuti kehendak waktu, bukan?"
"Tio, tidak
sedikit yang telah kita ungkapkan,
telah kita tuturkan sebagai wakil dari rasa yang kita punya. Sekarang, begitu saja, kau renggut kebanggaanku. Kau lempar ke jurang yang
teramat dalam. Please, jangan berolok-olok, Tio!"
Lalu hening. Hempasan ombak seperti mengalun amat bimbang. Raga meremas rambutnya yang
pendek, tengadah menatap langit. Angin laut yang berhembus, kali ini, dirasanya amat janggal. Begitu menggalaukan. Sementara, gadis di sisinya, Tio, hanya menekuri berkas-berkas laporan
pertanggungjawaban kegiatan yang telah mereka laksanakan. Tidak! Dia, Tio, tidak memikirkan laporan itu... hanya saja ia
merasa sangat tidak paham dengan perasaannya sendiri.
"Raga,"
katanya kemudian, "kita,
selama ini, bertemu hanya karena kebetulan mengemban tugas yang sama. Kita dipertemukan
oleh hubungan koordinasi."
Sebentar gadis itu membasahi kerongkongannya yang amat kelat. Lalu diteruskannya, "Ya, koordinasi. Tidak
lebih.”
Serupa tidak mengerti
Raga bertanya, "Maksudmu?"
"Aku ditunjuk
sebagai sekretaris pelaksana kejuaraan basket sepropinsi yang diadakan sekolah
kita, sedang engkau sendiri ketua pelaksananya. Bukankah setelah laporan pertanggungjawaban
ini selesai,
semuanya juga akan usai?"
Raga terperangah. Lihat, serupa tidak percaya
ia memandangi Tio. Nanap tanpa kata.
Dan tiba-tiba
dirasakannya hawa pantai begitu sumpek-sesak. la merasa amat gerah.
"Begitukah,
Tio?" tanyanya bagai tak paham.
"Ya, begitulah, Raga."
Jawaban Tio amat pelan, sebagai bicara pada dirinya sendiri. Tapi kemudian dilanjutkannya juga dengan berusaha tegas, “Sulitkah bagimu untuk menerjemahkannya? Untuk memahaminya?"
Kemudian, terus
kemudiannya lagi, kembali senyap. Ombak terus saja menghempas. Setiap kali lidah air itu menepi setiap kali itu pula seperti disentak
kembali ke tengah laut. Ah, lidah air di pesisir, bagai membuat cowok itu disekap buih yang mengerikan: putih namun amat kental.
Seperti telah
memahaminya, Raga bertutur fasih, "Tio, lima hari lagi akan dilaksanakan rapat pertanggungjawaban sekaligus
pembubaran panitia pelaksana. Menurutmu bukankah itu berarti kita tidak akan
berhubungan lagi? Kelas kita
tidak sama. Begitukah yang kaumaksud?"
Raga, yak, menelan getirnya!
Tio melirik. Bagai
enggan, dihelanya
nafas. Lalu, katanya,
"Sudahlah,
Raga,yang penting kita harus segera selesaikan laporan ini. Setelah itu, semuanya,
kembali kita serahkan pada waktu."
"Pada
waktu?"
"Ya, pada waktu,
Raga. Biarkan waktu yang menuntun kita ke arah yang dimauinya. Anggaplah semua apa yang pernah terjalin dan tumbuh
di antara kita sebagai suatu kefanaan yang membahagiakan!"
Shit, dari mana aku
dapat kalimat itu?! runtuk Tio, dalam hatinya. Dan dilihatnya Raga kembali
terperangah.
Tanpa melihat pada
Tio, pada gadis berambut sebahu itu, Raga bicara, "Kalau dari dulu kamu
tidak memperlihatkan perasaan yang lain padaku, tentu
semuanya akan jadi lain, Tio. Aku tidaklah akan berharap banyak pada apa yang
kita sebut faktor X itu. Ya, faktor X sesuai kesepakatan kita menamai keadaan
perasaan antara kita. Perasaan yang tumbuh begitu saja. Benar, kita tidak
pernah merencanakannya, bukan? Tapi beginilah adanya, Tio. Mengapa kita
tidak menjujurinya saja?" Raga memalingkan wajahnya, menatap lurus pada Tio.
Tio tercenung. Kali
ini ia mendesah. Menelan suatu rasa yang juga tiada dipahaminya. Rasa tumbuh di luar kesadarannya,
di luar kehendaknya. Benar, ia, Tio, juga merasakan bahwa ada yang bersemi di lubuk hatinya, menggelitik kalbu. Yang mewarnai hari-harinya yang panjang bersama Raga,
sejak awal persiapan hingga saat ini. Ya, ya, betapa ia, Tio, merasa amat
senang berada di samping cowok itu, Sang Mata Legam!
Dan, lihat, ia, Tio,
seperti tidak tahu harus berkata apa. Diangkatnya saja kotak Cappucini
dan disedotnya minuman itu lewat pipa plastik. Kerongkongannya terasa amat kelat. la pun merasakan hawa pantai mejadi
sesak-sumpek. la berpeluh.
"Baiklah. Tio, kalau begitu biarkan
aku kembali ke alamku yang terasing, sunyi dan senyap. Alam yang amat akrab denganku," tutur Raga lagi, amat pahit.
Kali ini Tio
menolehkan mukanya, menatap lurus
cowok itu. Lantas ia pun berkata, "Raga, aku minta, jangan menyiksa diri
dengan mengurung kembali semua potensi yang kaumiliki. Kau punya
banyak kemampuan untuk memimpin aktivitas di sekolah ini. Tidak sayangkah kau kalau semua itu hanya akan terkubur dalam dinding kamarmu?"
"Dari dulu aku
sudah begitu, Tio. Sekarang aku
tidak punya pilihan lain." Duhai, suara cowok itu
terdengar kelu.
"Engkau punya
pilihan tapi engkau tidak memilihnya!" tandas Tio tiba-tiba,
bagai marah pada lemahnya Raga.
Entah kenapa, kemudian, Raga hanya
mendesah. Dia bangkit.
"Mari kita
pulang. Sudah sore. Lagi pula laporan itu sudah rampung, tinggal mengajukannya pada rapat pleno
nanti."
Di kamarnya, Tio
bagai merasakan lagi bahwa ia telah keliru. Bahwa ia amat pantas didakwa oleh Raga, oleh Supra Raga Nugraha, sang cowok itu. Cowok pendiam yang sangat cemerlang dengan
konsep-konsepnya. Tipe pekerja
keras dan penuh tanggung jawab. Tio pun mengakui betapa cowok itu punya daya
tarik yang kharismatis. Kesahajaan yang
sangat isimewa. Tapi, demi ingat Prasetyo Amboro, ia, Tio, laksana mengeluh. Yap, Pras, cowok yang
telah menjalin hubungan dengannya sejak kelas tiga SMP. Sekarang Pras
melanjutkan se kolahnya di Bukittinggi, di kota yang amat jauh dari kotanya
sendiri.
God, benarkah aku
telah jatuh cinta pada Raga? Benarkah aku telah melupakan Prasetyo? Atau, adakah yang dimiliki Raga
sebagai sesuatu yang lebih dibanding Prasetyo? Kalau iya, apa?!
Lagi, Tio meruntuk
kata hatinya. la menekan ulu hatinya yang serasa menjadi ngilu. Ah, ah, ia harus akui,
langsung atau tidak ia telah
menebar benih-benih kasih pada Raga. Pada cowok pendiam dan sederhana itu. Lalu, bagaimana dengan Prasetyo?
Lagi-lagi Tio merasa
tak berdaya. Lambat
direbahkannya tubuh di dipan. la merasa amat
penat dan harus istirahat.
***
Begitulah. Sore hari setelah laporan pertanggungjawaban dan rapat pembubaran kepanitiaan selesai, mereka, Tio dan Raga bicara lagi. Bicara di ruang
kelas yang telah kosong. Deretan
bangku-bangku seperti
mengalirkan nada getir. Dan, petang
itu, Tio ingin menuntaskan segalanya, menjelaskan apa adanya....
"Raga, salahkah aku bila berterus terang padamu?"
"Berceritalah,
aku akan dengar, Tio. Apa pun itu."
Kemudian, entah
bagaimana awalnya, begitu saja Raga telah diberitahukan oleh Tio tentang Prasetyo: Prasetyo Amboro! Dan, cowok itu, Raga, terperangah bagai
tak punya daya.
Serasa hatinya luluhlantak,
perasaannya tercabik-cabik. Lihat lah, ia serupa
pesakitan yang siap menunggu eksekusi. Pengakuan Tio, dirasanya, telah
memporak-perandakan bangunan kasih yang menjelang utuh dalam hatinya. Betapa sakit ia. Dan ia bertutur amat kelu,
“Tio, mengapa tidak kau ceritakan dari dulu semua itu. Kenapa baru sekarang, di saat ada yang tumbuh dan bersemi?! Kenapa menutupi itu, Tio?" suara Raga terdengar meradang. la tak tahu lagi entah pada siapa
kemarahannya.
Tio, gadis berkaca
mata itu, menarik nafas dalam-dalam. Setelah ditahannya beberapa jenak lantas
dihembuskannya pelan. Lalu, "Raga, aku juga tidak tahu mengapa aku harus
menutupinya padamu. Yang jelas, jika kau tahu semua itu, tentu kau akan menjauh dariku. Jujur saja, awalnya aku juga takut
kehilanganmu."
Ah, ah, begitu saja,
dada Raga bergalauan lagi. Bagai meradang ia bertutur, “Tahukah kau bahwa aku
merasa telah dipermainkan, Tio? Apakah kaukira aku adalah Teddy Bear yang bisa
dipermainkan sesukamu?!"
Tio melempar pandang
ke deretan bangku-bangku. Tak kuasa ia balas menatap mata legam milik Raga yang
dirasakannya telah menjadi merah dan menakutkan.
"Baik, Tio, sekarang
jelaskan padaku mengapa kau menutupi semua itu, sementara kita telah berbicara
jauh tentang perasaan kasih yang kita sebut faktor X itu! Please, jangan berbelit-belit.” Tuturan Raga, kali ini, terdengar bagai pasrah. Lihatlah, ia seperti sudah tak punya
harapan lagi selain menerima apa pun penjelasan Tio.
Sekali lagi Tio
menarik nafas. Bagai pedang bermata dua yang tengah mengayun-ayun di depannya, ia terlihat amat bimbang. Telah lama tidak ada kabar berita dari Prasetyo.
Bahkan suratnya yang ketiga kalinya empat
bulan lalu belum juga punya balasan. Sekarang, adilkah namanya jika masih terus memupuk rindu-harap pada cowok yang telah jauh itu?
Sementara, saat ini, Raga tengah
menuntut penjelasan darinya.
Lantas, harus bagaimanakah aku, batinnya lagi amat masygul.
“Bicaralah, Tio, biar
semuanya jelas!”
Setelah berusaha
menguatkan diri, Tio mulai bertutur,
“Baiklah, Raga, kalau memang itu yang terbaik bagi kita. Jujur saja, aku pun suka padamu… tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Aku pun tidak
paham bagaimana sebenarnya bentuk hubunganku dengan Prasetyo
saat ini. Semuanya amat kabur dan sulit dipahami. Sedang di sisi lain aku sangat takut kehilanganmu. Lalu, salahkah aku, Raga? Tolong, tunjuki aku jalan. Jangan menatapku begitu, Raga, please, jangan melihat begitu.”
Raga terdiam. Kali
ini ia pun mengalihkan tatap ke deretan bangku-bangku, la merasa hampa dan tak
memahami.
“Raga, kau memahami posisiku, bukan?" tanya
Tio, kelu.
Sebentar cowok itu
membalas tatapan gadis di sampingnya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dan, lagi-lagi ia membuang keluh.
Kemudian, agak lama
setelah itu, ruangan kelas kembali amat senyap. Lamat-lamat terdengar seretan
langkah kaki penjaga sekolah yang
akan segera mengunci pintu-pintu.
"Entahlah, Tio, begitu sulit untuk memahami kenyataan di antara kita kini,"
tutur Raga, lirih.
"Ya, entah, Raga. Hanya kita yang tahu
perasaan kita, bukan?" ujar
Tio, terdengar fasih dan arif. Matanya penuh
binar menatap mata legam cowok itu.
Raga menyambut dengan senyum amat lepas
"Ya, hanya kita yang tahu perasaan kita,” katanya
serupa baru terlepas dari beban yang tiada
tertanggungkan. Matanya yang legam menatap dalam manik mata Tio, mata gadis di sisinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar