DUA PASANG MATA DUKA

Dimuat di Majalah Remaja Aneka
Nomor 07 Tahun III 06 April 1992 hal 14-17

Angin yang berhembus menebarkan aroma laut ke setiap penjuru kampus. Beberapa daun mahoni melayang-layang terbawa angin dan kemudian jatuh di pelataran parkir. Beberapa pipit kecil bercengkrama di dahan yang bergerak-gerak. Melompat-lompat gembira. Duh, kalau saja hidup sebahagia mereka, adakah yang lebih indah daripada itu? Aku memperhatikan diam-diam.

"Tentunya burung-burung itu sangat menarik," tutur sebuah suara padat dari belakangku, "Kebetulan sekali, aku juga menyenangi burung-burung."
Sedikit kutoleh lelaki itu. "Kau membuatku kaget. Untung sekali aku tidak memelihara jantungan," tuturku, kemudian tertawa lunak.
"Sendiri?"
"Ada banyak teman di sini. Burung, mahoni, bangku-bangku beton, buku,"
"Cukup," sergahnya, "Kalau begitu ada tempat untukku, bukan?"
"Tidak ada rambu verboden." Aku menggeser duduk dan memberinya tempat.
Sepintas kutangkap sebuah wajah yang terasa kuakrabi sekian tahun lalu. Ah, kuakrabi? Tidak! Aku telah mempermainkan wajah itu, menjadikannya badut demi taruhan sesama teman. Sekali lagi kuperhatikan wajah lelaki yang duduk sambil senyum-senyum di sampingku : benar, dia punya wajah yang...Oh, Tuhan! Tidak. Biarlah semua terkubur dalam perjalanan waktu. Izinkan zaman menggilas kesalahan dan kesombonganku.
"Oya, anak ekonomi, kan?" tanyanya membuyarkan lamunanku. Dia memperhatikan diktat manajemen dalam pangkuanku.
"Bukan."
"Lho? Bukan?"
"Anak ayah dan ibu."
"Fantastis!" celetuknya nyaring, "Manusia secantik Anda berbakat menjadi badut," tuturnya dan kemudian tertawa dengan keras. Beberapa burung beterbangan karena ketakutan. Aku hanya dapat memaki dalam hati; Sialan! Apakah wajahku seperti badut?
Itulah kali pertamanya aku berkenalan dengan Prasta, cowok yang terkadang kocak dan menggelikan. Tapi sungguh, aku tidak pernah berharap untuk dapat berkenalan dengannya. Semua orang tahu kalau dia playboy tulen, tanpa tedeng aling-aling. Tapi sekarang? Aku malah terperangkap dalam bayang- bayangnya.
Aku kembali duduk di tempat pertama aku mengenalnya, beberapa bulan lalu. Tempat ini terasa lengang, kosong dan jauh. Padahal dulu-dulu, sebelum ada Pras yang menggodaku di sini, aku biasa duduk sendirian sambil memandangi punggung ombak, bibir laut dan burung- burung kecil.
Duh, mengapa begitu sulitnya untuk berkompromi dengan perasaan? Oh Tuhan, Prasta telah mengingatkan aku pada dosa masa laluku, pada kesalahan yang sengaja dibuat untuk mempermainkan Yogi...
"Sendiri?"
Suara di belakangku benar-benar membuatku tergagap. Semua lamunanku seolah di­paksa dilempar ke tengah lautan dan gulungan ombak menelannya. Getar suara yang baru saja lalu itu, melambungkan aku ke suatu ketinggian dan aku merasa gamang! Gamang sekali. Suara Prasta!
"Oh, tidak. Ada burung, mahoni, bangku…."
"Kalau begitu, ada tempat untukku, bukan?"
"Konyol ah!" Aku menepis galau yang terasa menyesak dalam dadaku. Prasta yang baru saja kulamunkan kini telah duduk kembali di sisiku. Ah, ke mana saja kau selama ini? Tidak tahukah kau bahwa aku memikirkanmu? Bahwa aku selalu datang ke tempat ini hanya untuk menunggumu?
Perlahan aku menoleh. Prasta menatap lurus ke arah langit. Matanya nyaris tak berkedip. Keceriaan yang dulu begitu jelas di raut mukanya kini terlihat bagai penuh beban, persoalan dan entah apa lagi.
"Pras," sapaku hati-hati, "Melamun?"
Tanpa menjawab dia menoleh padaku. Memandang lekat-lekat wajahku. Seperti ada yang dicarinya dalam wajahku, dan kemudian didapatkannya, dia mendesah berat. Pelan sekali ia menarik nafasnya tanpa memindahkan tatapannya.
"Jangan memandang seperti itu, Pras."
Kembali ia mendesah berat. Awan yang menggumpal di langit terlihat kehitaman. Se­tebal itukah masalah yang tengah kau hadapi? . "Fik," desahnya lunak, "Terus terang, bila aku melihatmu, aku seperti dilempar­kan ke masa lalu. Sebuah kenangan menyakitkan terasa muncul kembali dalam lensa mataku."
"Apakah aku telah membuatmu jadi sakit?"
"Maksudku bukan begitu," ia kembali mendesah. Jemarinya yang kokoh meremas rambutnya yang pendek. "Maukah kau mendengar ceritaku?" tanyanya kemudian.
Aku menatapnya heran. Ada apa gerangan, ini baru perjumpaanku yang kedua dengannya dan ia ingin cerita tentang masa lalunya. Ah, aku harus mendengar. Dia terlihat menderita, ada beban berat yang ditanggungnya. Biarlah cerita tentang ke-playboy-annya kusingkirkan dulu. Dan aku siap mendengar...
"Beberapa tahun yang lalu aku menjalin hubungan dengan seorang gadis. Aku mencintainya lebih dari sekedar tulus. Entahlah, waktu itu aku merasa bahwa tiada yang lebih mulia selain daripada ketulusan dan kesungguhan. Tapi kau tahu, Fik?"
Kuperhatikan mata Pras yang menerawang.
"Ternyata dia mempermainkan aku, memperalatku. Dia jadikan aku batu loncatan untuk menggaet temanku!" intonasi suara Pras terdengar sedikit tinggi.
"Kalau begitu, betapa bodohnya gadis itu," aku memberi komentar, datar. Ada bayangan masa laluku yang turut memintas.
"Fik, gadis itu amat mirip denganmu," tegas Pras mantap sembari menatapku dengan dalam.
"Kau amat kecewa?" tanyaku mengalihkan suasana.
"Ya, sekaligus dendam!" jawaban Pras diiringi gemeletuk giginya.Aku menjadi kecut juga melihat wajahnya berubah menjadi kaku.
Pras meneruskan ceritanya, mengisahkan tentang petualangannya selanjutnya dengan mempermainkan gadis lain. Menjadikan dirinya sebagai raja yang dengan mudah menundukkan banyak gadis. Prasta melompat satu gadis ke gadis lain, demi marah yang tiada terbalas dalam dadanya.
“Aku tidak bermaksud balas dendam pada gadis-gadis lain,” jelas Prasta kemudian. Aku hanya ingin tunjukkan pada Lani, gadis angkuh bahwa aku pun mampu untuk berbuat sama."
“Betapa pengecutnya kau!” aku merasa nada suaraku menjadi marah.
Pras menunduk dalam sambil mempermainkan pasir dengan kakinya. "Ya," jawabnya lunak. "Dan aku menyesal."
"Menyesal..." aku bergumam lambat. Terbayang di mataku wajah Yogi. Lelaki yang pernah kupermainkan beberapa tahun lalu. Tuhan! Tentu dia juga telah menjadi lelaki seperti Pras. Yogi, di mana kau sekarang? Semoga kau tidak menjadi seperti Prasta.
Langit bergemuruh. Ombak semakin keras menghempas pantai, diiringi angin yang terdengar getir mendesir. Ratusan camar terbang menyusuri; langit, memintas awan yang seperti akan segera menjadi hujan.
"Kini aku merasa telah mendapatkan kembali Lani yang hilang. Lani yang hilang.” Pras menekan kalimatnya. “Tapi bukan Lanin yang mempermainkan aku.”
Aku terpana. Apakah dia tertarik padaku hanya karena aku menyerupai Lani-nya? Pras menoleh padaku, "Fik, ijinkan aku mengakhiri petualanganku itu."
"Pras," suaraku terdengar sengau di telingaku sendiri.
"Tidak perlu menjawab, Fik. Aku telah menyesal dan aku akan menghentikan semua kebodohanku."
Lalu, apakah dosaku pada Yogi akan tertebus begitu saja? Apakah karena aku mirip Lani lalu Pras dengan seenaknya dapat mengumbar cinta? Dan apakah karena Pras mirip Yogi lalu aku bisa menerimanya dan menjadikannya sebagai permintaan maafku?
"Aku sangat simpati pada Yogi," tutur Pras datar. Suaranya menyengat ubun-ubunku, "Dia pun mengalami nasib yang sama denganku. Dipermainkan seorang gadis! Tapi Yogi lebih dewasa. Dia melampiaskan dendamnya pada arena sirkuit. Dia telah menjadi pembalap."
Aku mendengarkan dengan nada jantung yang tidak beraturan. Yogi! Apakah dia Yogi yang dulu? Bagaimana mungkin Pras mengenalnya, sementara jarak Jakarta - Padang amat jauh? Tidak! Dia pasti bukan Yogi yang dulu. Perasaanku terasa kebat-kebit, menjerit-jerit.
"Yogi menjadi pembalap yang disegani," lanjut Pras. "Tropi-tropinya sampai sekarang masih tertata rapi di kamarnya yang telah tak bertuan." Pras menghentikan kalimatnya dan menelan ludahnya yang mungkin terasa pahit. '
Tanpa kutanya Pras meneruskan ceritanya, "Yogi mendapat kecelakaan dua bulan lalu. Sebulan lebih ia dirawat. Tapi takdir memang memutuskan lain. la meninggal..." suara Pras serak bergetar.
"Yogi?" aku bertanya terburu. "Siapa Yogi?"
"Kembarku. Dulu, ia melewati masa SMA-nya di kolta ini."
Aku terhenyak, terhempas dengan keras. Bayangan Yogi memintas dalam lensa mataku. Keringat dingin dengan cepat mengucur menuruni pelipisku.
Terbayang mobil yang menggelinding cepat dalam sorak-sorai penonton memberi semangat. Tikungan-tikungan tajam dilalui tanpa mengurangi kecepatan. Ah, di sebuah tikungan Yogi tidak mampu lagi mengendalikan mobilnya dan... mobil itu jungkir-balik, meluncur deras, meledak! Kulihat tangan Yogi menggapai-gapai di balik gumpalan asap hitam. Matanya menatapku dalam kesakitan yang dalam. Oh, Tuhan! Sorot matanya masih saja memelas, mengharap suatu jawaban dariku.
Langit bergemuruh keras. Angin semakin deras. Bayangan Yogi lenyap dari mataku ketika Pras telah menyeret ku berdiri.
"Hujan akan segera turun. Mari, kuantar pulang."
Hujan deras, seperti di komando, turun dengan cepat. Garis hujan yang kasar meliuk-liuk dipermainkan angin. Duh, dalam garis-garis hujan itu ada Yogi, melayang dalam ujud bayangan putih. Bayangan itu melayang kian mendekat, mendekat dan akhirnya mengulurkan tangan pada Pras yang sedang mengemudikan mobil...
Sebentar Pras menoleh padaku dan tersenyum lebar. "Aku yakin, Yogi akan bahagia sekali bila tahu aku telah berubah. Akan lebih senang lagi ia bila tahu bahwa aku telah mendapatkan gadis yang jauh lebih baik dari Lani," tuturnya.
Aku hanya tersenyum tipis. Tipis sekali. Sementara, dengan tiba-tiba, seolah bayangan Yogi muncul lagi. Wajahnya pucat, tapi masih saja dia tersenyum, padaku. Dan, Oh Tuhan, dia merangkul Pras dan menepuk-nepuk pundak kembarnya...
"Fik, aku sangat bahagia hari ini. Aku akan melupakan semua masa lalu dan berjanji — akan mencintai satu wanita. Dulu Yogi bilang padaku, 'Pras, sekalipun kita disakiti dan dilukai oleh wanita, janganlah membalaskan dendam itu pada gadis lain.' Begitu kata Yogi padaku," tutur Pras setengah tersenyum.
"Praaass! Lintasan keretaaa...!!"
Aku tidak merasakan apa-apa lagi. Hitam pekat. Dan kemudian yang aku tahu aku telah mendapatkan diriku terbaring di rumah sakit yang serba putih. Aroma khasnya memenuhi hidungku. Kuedarkan pandang ke sekeliling.
"Mama, Pras mana?" tanyaku lemah.
Mama hanya menatapku dalam. Tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Air matanya turun satu-satu sambil ia berusaha untuk menahannya. Kualihkan tatapanku yang kabur pada Papa. Papa pun hanya menatapku kosong. Perawat-perawat yang kupandangi satu-satu pun tidak bersuara.
Aku merasa bumi berpendar cepat, tak beraturan. Dengan tiba-tiba, sebuah layar seperti dipaksa dipampangkan di depanku. Dan aku dipaksa untuk memperhatikan gambar-gambarnya. Dua senyum yang hambar menatapku tidak mengerti.


***



Tidak ada komentar: