Dimuat di Majalah MODE Indonesia
Nomor 08 Tahun XVIII April 1994 hal 34-37
denting, ketuk,
detak
jadi nada tak
terurai tala
senyap, sayup,
sunyi - sampai
mengalir dalam
kesepian; tak berujung
Dengan gerakan yang teramat lemah, Liona menarik
tubuhnya yang terduduk pasrah di
bangku. Sekali diusapnya keningnya yang berkeringat. Doa-doa terus meluncur
dari lubuk hatinya: Sembuhkan ia, Tuhan!
Liona memindahkan
bobot tubuhnya yang terasa menjadi
beban ke dinding. Bersandar. Dipandangnya perempuan empat puluhan yang terbaring di ranjang. Ibu, kau terlalu tua
untuk usiamu sebenarnya...
"Liona..." Belum lagi selesai perempuan itu dengan desahannya, Liona telah menghambur
lagi mendekati ranjang.
"Liona, suatu
saat, kau harus pergi ke suatu tempat. Tempat di mana kau dapat menata masa
depanmu dengan lebih baik," tuturan perempuan itu lirih, dan, amat fasih.
"Yakinkan dirimu bahwa kau sanggup berdiri di atas kakimu sendiri."
"Bu, Liona akan
selalu menemani, Ibu. Jangan bicara seperti itu lagi. Bukankah pesimis itu
tidak baik?"
Perempuan itu menarik
nafas.
"Kita akan
selalu bersama, kan, Bu?"
"Liona, ibu
tidak pesimis. Tapi ingatlah, Nak, bahwa tidak satu kebersamaan pun yang akan
abadi. Semuanya akan berakhir pada satu titik: perpisahan. Ibu minta, jangan menangisi
sepatah kata itu. Tegakkan kepalamu, tatap ke depan," suara perempuan itu
terdengar kian lirih saja, amat fasihnya. Dan, bening.
Liona tertunduk,
dalam. Digenggamnya jemari ibunya yang terasa kian dingin.
“Liona, sejak dulu kita selalu bersama. Selama itu, ibu lihat, kau punya keteguhan, kesabaran dan keuletan.
Pertahankan itu!" Sebentar wanita itu memperhatikan wajah Liona.
"Tersenyumlah, Liona. Ibu akan bahagia jika kau tersenyum sembari menatap
ibu."
Liona mengangkat mukanya.
Dengan paksa dilengkungkannya bibirnya, membentuk segaris senyum. Mencoba
membuatnya semanis mungkin. Tapi, akhirnya, kegetiran mengalahkan segalanya.
Air merebak di mata
Liona!
"Jangan
menangis, Liona. Lepaslah ibu dengan ketulusan. Engkau tidak akan sendiri, Nak.
Keteguhan, kesabaran dan keuletan adalah teman-teman yang luar biasa
bergunanya."
"Ya, Bu."
Liona merasa dadanya dicabik-cabik. Sekuatnya ditahannya isak yang kian
menggeletarkan pita suaranya.
"Berjanjilah,
Liona. Jangan murung dan meruntuk kondisi yang tercipta."
Liona mengangguk.
Lemah, genggaman jemarinya di tangan ibunya, terasa kian dingin. Sekali Liona
menjerit.
Kemudian, kemudiannya
lagi, amat senyap...
Telah tidak ada lagi
air yang harus ditumpahkan Liona dari matanya, telah tidak ada lagi kesedihan
yang harus diratapi. Sempurnalah sudah, amat sempurna,
seluruh jalan hidupnya dijalani dengan kesedihan, penderitaan dan kesepian.
Angin yang mengalir
lambat, mengelus rambut Liona. Aroma melati yang baru saja ditaburnya, lambat
menyebar ke pelataran pemakaman. Liona berdiri kaku di sisi makam yang baru
saja selesai ditimbun. Aroma tanahnya yang khas, dalam tiap teriakan nafas
Liona, serasa getir mengaliri seluruh arterinya. Ingin ia menjerit sekuatnya:
menumpahkan kesakitan yang tengah dirasakan!
Gerimis kemudian
tampak seperti sapuan kuas di atas kanvas. Tubuh gadis itu, Liona, yang
bersimpuh di sisi makam, bagai siluet arca ungu: sendu.
***
"Maafkan bapak,
Liona. Apa boleh buat, telah hampir dua bulan bapak memberi keringanan. Itu karena
ibumu sakit. Tapi sekarang... sekali lagi
maafkanlah bapak, engkau harus meninggalkan rumah ini," suara berat Pak Mur, pemilik rumah kontrakan, memenuhi telinga Liona
yang kecil.
Pelan, sekali ia
mendesah, menarik nafas dengan susah.
"Pak Mur, terima
kasih untuk kebaikan Bapak selama ini," suara Liona berubah serak, sakit. "Saya
akan telah tidak ada pukul tiga sore nanti…” Dan, pecahlah semua pertentangan batin yang dirasakannya: meninggalkan sebuah rumah yang te tempatinya bertahun, merangkai berbagai cerita — suka dan duka bersama ibunya!
"Terima kasih untuk
pengertianmu, Liona.”
Setelah lelaki itu pergi,
Liona kembali terduduk dengan lemas. Kasur, sebuah lemari tua, meja dan beberapa kursi yang rapuh, —bahkan seluruh peralatan dapur yang amat sederhana, telah
dijualnya pagi tadi. Liona merasa tidak kuat lagi untuk bertahan di sini, sekalipun perasaan dan hati kecilnya menuntut untuk itu. Ah, apa boleh buat, aku tidak punya
uang lagi untuk menyewanya, batin Liona getir. Dua bulan ini saja, berkat kebaikan Pak Mur, mereka masih
dapat tinggal tanpa membayar. Ibunya sakit-sakitan,
sementara Liona harus
membayar berbagai keperluan untuk menyelesaikan SMA-nya.
Duh, aku harus pergi
kemana? Liona merasa dadanya meletupkan kerinduan pada sang Ibu: Ingin sekali
ia minta nasehat, merasakan belaian, mendengar suara yang lirih....
Ah, semua bagai
rangkaian keinginan yang terkumpul dalam satu
cerana: mimpi!
Mimpi? Tidak! Bukanlah mimpi akan materi yang dipendamnya. Bukan mimpi
punya rumah lapang-besar, kamar tenang-nyaman, mobil mewah, boneka besar-harum,
atau sekedar susu hangat dan roti selai di pagi hari…. Bukan itu!
Duh, Liona merasa
dadanya bertambah pepat ketika kerinduan akan belaian ayah mencuat, ketika
satu-satunya orang tempat ia bergantung telah tiada: Ibu pergi dengan sejuta
penderitaan dan kesakitannya!
Liona duduk terpaku
di depan tingkap yang terbuka. Kembali disapunya gubuk-gubuk reyot di sepanjang
bibir sungai; kembali ditatapnya anak-anak yang bermain di alirannya yang kotor
dan bau; kembali disapanya kembang-kembang di halamannya yang kecil; kembali...
Segalanya!
Di sinilah ia lahir,
besar, tanpa seorang ayah. Lahir di kota yang keras dan kasar. Dan, sejak
tangisan pertamanya, sejak itu pulalah semua tualang dalam belantara kota
dimulai!
Liona yang malang....
Tidak! Aku bukan anak
malang.... batin Liona menegaskan.
Untuk terakhir
kalinya, kembali ditatapinya, dijilatinya, disapunya, dirasakannya, disapanya,
dengan matahatinya: seluruh tempat di mana ia telah hidup, telah hadir
sebagai seorang manusia. Tempat di mana ia merasakan pahit-getir hidup bersama ibunya.
Setitik air bergulir
di pipinya yang bagus.
Pelan ia, Liona,
berdiri. Mengitari ruangan sekali lagi. Melalap semuanya sebagai ia tak akan
pernah kembali lagi. Kemudian, sebuah tas berukuran sedang, disandangnya. Hanya
ini hartaku satu-satunya, batinnya sembari melihat sekali lagi ke pekarangan
rumah yang dipenuhi kembang.
Langkahnya yang
satu-satu, kepala yang tertunduk, terlihat serasi dengan gugusan kemiskinan
sepanjang sungai yang kotor; sepanjang pemukiman yang sesak-sumpek, sepanjang
tatapan ibu-ibu, anak-anak, nenek-nenek, yang melepasnya dengan buliran air
mata.... Tuhan, jangan biarkan mereka menangis. Telah cukup penderitaan dan
kemiskinan yang mereka ratapi. Jangan biarkan aku larut, Tuhan.
Please, bantu aku!
Liona mempercepat langkah.
Pergilah ke suatu tempat di mana kau dapat hidup tenang, dapat menata masa depanmu dengan
lebih baik. Liona merasa
mendengar lagi suara ibunya yang
lirih, fasih. Ke mana? Kembali setitik air bergulir menuruni pipinya. Dengan menangis, tak satu pun persoalan yang akan selesai, Liona.... Kembali suara ibunya mengalir, bening, di dada Liona yang terasa garing,
bergegas disusutnya air itu dan kembali melangkah: Entah ke mana!
Liona, ibu merasa,
temanmu Resa, adalah gadis yang baik. Tapi lebih dari itu, ibu melihat sesuatu
dalam diri Resa. Entah apa.
Itulah kalimat ibu
ketika Resa telah pergi lagi sehabis mengantar Liona, ketika mengambil ijazah
SMA. Ya, ibu dan Resa sering terlihat akrab. Berbincang, entah tentang apa.
Lantas, apakah aku harus minta tolong Resa? Numpang menginap di rumahnya?
Tidak! Ibu juga
menganjurkan agar aku mampu berdiri di atas kakiku sendiri, bantah hatinya,
tegas.
Atau ke rumah Handi?
Ah, laki-laki simpatik, teman satu SMA yang baik. Handi-lah selama ini yang
sering menanamkan kepercayaan diri, memberikan sugesti pada Liona. Handi yang
mengerti Liona — meski sekali pun
mereka tidak pernah bicara tentang hubungan cinta. Tapi gadis itu, Liona,
yakin kalau pancaran mata jauh lebih berarti dari kata. Tapi, usai menerima
ijazah minggu lalu, Handi ke Bukittinggi, membesuk kakeknya yang sakit.
***
Malam merangkak.
Metropolitan yang
gemerlap seolah hadir bagai sebentuk rupa yang begitu asing di mata Liona:
orang-orang yang bergegas, mobil yang berseliweran, perempuan-perempuan malam
yang bergincu tebal, dan sejuta pandangan lainnya yang sungguh asing! Rasanya
baru kali ini Liona menatap dan merasakan langsung bahwa ibukota memang penuh
ketidakpedulian, serba bergegas dan keras. Dan, penuh teka-teki janggal.
Biasanya, ketika ibu masih hidup, tiap malam Liona membuat kue-kue yang akan
dijual esok hari. Lalu, kapan ia harus melihat keberadaan kota ini? Pulang
sekolah? Duh, tempo yang seharusnya digunakan untuk tidur siang sebagaimana
bagi banyak temannya, bagi Liona, adalah suatu waktu yang sarat dengan kerja:
menyetrika cucian, mengantar ke, dan mengambil cucian
berikut ... Begitu. Dan, begitu!
Dengan mata nanar
Liona berdiri terpaku di bawah rambu letter P.
Tak ada rencana di
benaknya. la terlalu amat penat dengan pertentangan hatinya: apa yang dapat
dilakukan dengan ijazah SMA yang baru seminggu didapatnya? Duh, tentu saat ini,
teman-temannya, tengah sibuk menyiapkan diri untuk ujian Sipenmaru. Sementara
Liona, berdiri termangu, menatap kosong, di pinggiran jalan yang terlihat buas.
Di seberang jalan,
segerombolan pemuda berjalan sempoyongan. Mabuk. Tertawa-tawa sambil
menunjuk-nunjuk ke arah Liona. la merasa bulu tengkuknya merinding. Ketakutan
mulai menjalari pembuluh darahnya. Ya, inilah ketidakramahan berikut dari
ibukota yang mulai mendekatinya!
Derit rem yang
mendadak, pintu sebuah mobil yang segera terbuka, dan teriakan seorang gadis
dari dalamnya, membuat Liona terkesiap, perhatiannya beralih pada si punya
suara.
"Liona, masuk
sini!"
Pemuda-pemuda yang
tengah berjalan menyeberangi lalu lintas yang cukup padat itu kian dekat. Tak
ada pilihan, Liona segera saja masuk dan duduk di samping Resa.
"Tak tahukah kau
bahwa berdiri di letter P begitu semua orang
akan mengiramu menjajakan diri?" tutur Resa setelah mobil kembali
berjalan. "Mengapa kau ada di tempat ini," lanjutnya tanpa nada
tanya, lebih terkesan mengecam.
"Aku tak tahu,
Resa," Liona menjawab getir. Ditolehnya ke belakang. Pemuda-pemuda mabuk
itu mengacung-acungkan kepalannya ke arah mobil. Liona mengucap syukur, pelan. Lalu, "Kau bawa
ke mana aku?" tanyanya kemudian.
"Daripada
berdiri di letter P, celingak-celinguk bagai menunggu om-om, lebih baik kau ikut aku!"
tegas Resa. "Seharusnya kau telepon aku kalau ada apa-apa dengan ibumu.
Bukankah aku sudah pesan!" Masih saja Resa mengecam.
"Maafkan aku,
Resa." Liona menekan ulu hatinya yang terasa sakit. "Aku tidak mau
mengganggumu, menyusahkanmu."
Kemudian, mereka —Resa, Liona dan
sopir— diam. Agak lama. Hingga kemudian Resa mencairkan kekakuan.
"Aku baru saja
dari rumah sakit. Membezuk Sam."
"Sam sakit? Kalian tetap pacaran rupanya," seling Liona.
"He-eh, sudah
hampir sembuh kok."
Mobil terus melaju.
Tenang. Hingga akhirnya masuk ke pekarangan sebuah rumah yang di mata Liona,
tetap saja bagai istana dalam negeri impian.
"Liona,"
ujar Resa memulai ketika mereka akan tidur, “sore tadi aku ke rumahmu. Kosong. Betapa kecewanya aku mendengar keterangan tetanggamu. Yang pergi saja tanpa bermaksud membagi
kesedihanmu denganku. Lebih sedihnya aku ketika mendengar kau pergi membawa
sebuah tas, dengan jeans, kaos oblong dan
jaket. Aku pikir, pastilah engkau telah pergi jauh dari Jakarta. Pergi tanpa memberitahu aku!"
"Maafkan aku,
Resa."
"Aku ingin kau
tinggal di sini. Eit, jangan membantah. Aku anak tunggal, Liona. Dan terutama,
hidupku saat ini adalah sambungan hidup yang pernah kalian, engkau dan
teman-teman, berikan kepadaku. Engkau telah menyelamatkan aku dan aku pantas
berterima kasih untuk itu. Eit, jangan menyela, sudah kukatakan jangan membantah. Aku
tidak suka memaksa, Liona. Tinggallah di sini. Setidaknya sampai kau mendengar suatu
penjelasan dari papaku."
"Penjelasan?"
"Ya, tunggulah,
penjelasan yang amat penting
kukira.”
***
Memang, sebuah kehidupan yang luar bisa baru bagi Liona. Apa-apa yang hendak dikerjakannya, selalu begitu, meluncur satu
kata: Jangan! Ya, memang jangan. Apa
yang harus
dikerjakannya: mencuci, memasak, membersihkan rumah, menyiram
kembang, atau apa saja, semuanya
telah ada petugasnya.
Duh.
Tugas kita hanya belajar, Liona, belajar untuk mengikuti ujian Sipenmaru," tutur Resa.
Ah, lagi-lagi Liona mendesah. Kebaikan yang lebih dari sekedar
bantuan!
"Resa, mengapa
kau ngotot membantuku,"
tanya Liona, lebih terdengar sebagai gumaman.
Resa tersenyum. Lalu, “Aku mengantarmu, terakhir, ketika menerima ijazah. Ingat? Waktu itu ibumu sakit," tutur Resa. "Ah, dia perempuan yang luar biasa. la menjaga apa yang disebutnya cinta. Cinta ke seorang lelaki yang juga amat mencintainya.”
"Aku tidak mengerti, Resa.”
"Aku mengerti setelah membicarakannya dengan papaku, tiga hari yang lalu, sebelum papa berangkat ke Jepang. Seperti yang kau tahu, aku ditinggal mama karena tragedi penerbangan ketika usiaku baru dua tahun."
"Aku bingung dengan bicaramu," pintas Liona
"Dengarkan saja dan kau akan tahu."
Resa bangkit, berjalan ke luar kamar. Sebentar, ia kembali dengan sebuah album.
"Pandanglah
potret ini.” Resa menyodorkan album yang telah terbuka. “Enkau juga memiliki potret ini, kan? Tidak sengaja aku melihatnya di kamar ibumu. Dan sekarang, aku yakin, potret itu ada
di tanganmu.”
Liona terperangah. Ya, Tuhan, ini potret ibu. Ibu dengan seorang laki-laki yang selalu
diceritakannya sebagai lelaki yang dicintainya!
"Itulah papaku,
potret mereka ketika masih memadu kasih, pacaran maksudku. Mereka berpisah
karena ibumu dipaksa kawin dengan seorang lelaki pilihan kakekmu. Menurut papa,
saat usia kandungan ibumu baru empat bulan — mengandungmu, ayahmu
kawin lagi dengan perempuan lain. Ibumu kecewa, marah dan putus asa. Lihatlah,
setelah cintanya direnggut, ia pun dipaksa menerima kenyataan yang amat pahit
itu. Kemudian ibumu lari. Lari membawa deritanya. Hingga kemudian sampai di
kota ini..."
Liona tersedak.
Dadanya terasa amat sakit. Mengapa baru sekarang semua terungkap? Mengapa ibu
tidak pernah cerita padaku?
"Sementara,
papaku pun menikah dengan seorang perempuan yang juga dijodohkan oleh kakekku.
Semula papa menolak, tapi karena waktu itu ibumu pun telah menikah, ia tidak
punya pilihan lain. la menerimanya. Tapi sayang, ketika usiaku baru dua tahun, mama
meninggal. Waktu itu ia pulang dari Medan. Mama pulang duluan
dari papa."
"Mengapa mereka
tidak membawamu?"
"Aku, kata papa,
masih terlalu kecil untuk perjalanan jauh. Lagi pula, mama pergi cuma untuk
satu malam saja. Menghadiri resepsi pernikahan seorang kolega papa. Mama pulang
duluan karena papa menyelesaikan dulu beberapa urusannya."
"Resa,
kauceritakan semuanya pada papamu tentang potret itu?"
"Itulah sebabnya
aku menjadi tahu semua masa lalu mereka."
Kemudian senyap.
Keduanya diam dalam jalan
pikiran masing-masing.
"Sejak mama
meninggal," tutur Resa memecah kesenyapan, "papa terus mencari-cari
wanita yang amat dicintainya itu. Ibumu. Hingga akhirnya, tak sengaja, aku
melihat potret itu juga ada pada ibumu. Semuanya kupaparkan pada papa ... Beliau sangat ingin bertemu dengan ibumu. Tapi waktu itu ia harus ke
Jepang, papa memintaku untuk menemaninya ke rumahmu sepulang dari Jepang,
lusa."
“Tapi sayang, ibu telah pergi ..." suara Liona mengalir sengau.
"Liona, papa akan
sangat gembira jika tahu kau ada di sini," tutur Resa, mengalihkan suasana
yang menjadi murung. Ditatapnya Liona penuh senyum.
"Sekali pun
tanpa ibu?"
Sebentar Resa diam.
Lalu, "Ya, papa memang belum tahu peristiwa duka ini," tuturnya
lunak. Kemudian, setelah agak lama, Resa meneruskan, "Aku menceritakan
segalanya pada papa, termasuk tentang kamu, Liona. Dalam buku harian papa, bertanggal tiga hari lalu, ditulisnya bahwa ia akan segera mempunyai anak baru, seorang gadis bernama Liona. Mungkin
sewaktu akan ke Jepang, papa lupa memasukkan kembali diary-nya ke laci. Saat ini masih
ada di meja."
Duh, Tuhan, inikah
arti sebuah kasih suci? Yang tetap terjaga
dan dijaga meski waktu dan tempat telah menjadi jarak yang amat jauh?
Kamar menjadi senyap
lagi. Liona menatap manik mata ibunya lewat potret di album yang terus
dipegangnya. Duh, pancaran mata bahagia seorang wanita yang tengah berada di
sisi lelaki yang dicintainya!
Sementara, gadis di
sisi Liona, Resa seperti ikut larut. la juga menatap dalam pada papanya lewat potret itu.
Ah, laki-laki yang
amat mencintai perempuan yang kemudian tak pernah lagi ditemuinya. Papa, aku
anakmu, ikut dengan segala derita dan kesepianmu...
"Liona, sejak
saat ini, kita bersaudara, bukan? Kita akan selalu bersama sampai masa depan
yang kita impikan tergapai. Ya, kita bersaudara Liona!"
Kesenyapan pecah
sudah dengan tuturan Resa yang haru. Liona menatap pada gadis di sampingnya.
Mencari ketulusan seorang teman yang lebih dari sekedar sahabat.
Dan, mata mereka,
Resa dan Liona, bening. Berkaca-kaca.
***
Lima hari kemudian,
dua gadis berpakaian hitam, berjalan meninggalkan arena pemakaman. Puluhan
mobil yang berderet, ratusan mata yang menatap iba, mengiringi satu-satu
langkah mereka. Seorang sopir membukakan pintu.
Diam dalam irama
duka.
Mercedes hitam itu
meluncur tenang. Puluhan mobil lainnya kemudian mengikuti. Sama pelannya.
Hingga akhirnya, pelataran pemakaman itu kembali senyap: desiran angin yang mengusap kemboja, nisan-nisan yang berdiri kaku,
dan melati-melati yag tertebar.
"Liona, kita
tinggal berdua. Kita akan melangkah bersama, bukan?"
Liona merasa tidak
mempunyai jawaban yang tepat. Dilemparnya tatap ke arah langit, ke cakrawala
yang berawan, ke burung-burung yang terbang menyusuri angin.... Kembali matanya menjadi bening
(Pesawat yang ditumpangi papa Resa, mencoba melakukan pendaratan darurat di Palembang, dalam perjalanannya Singapura-Jakarta. Belum diketahui secara pasti sebab-sebab pendaratan darurat yang tidak berhasil itu...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar