Alhasil, akhir-akhir ini, Bing
disibukkan oleh buku-buku yang super dibencinya itu. Mondar-mandir ke toko
buku. Habis-habisan di perpustakaan. Konsentrasi penuh di kamar tanpa peduli
lagi sama Guns N'Roses, Poison, Extreme apalagi sama Onang Sutra dan lis
Dahlia. Malah Bing tega-teganya menendang
kaset-kaset yang nekat merengek-rengek minta diputar. Singkatnya, Bing nggak
peduli pada apa pun, kecuali buku-buku sastranya.
Pangkal pasal Bing jadi kayak
gini karena doi lagi naksir berat sama Prita, cewek yang kelewat suka dengan
sastra-sastraan. Demikian banyaknya buku-buku cerita sastra di rumahnya,
nasional dan internasional, hingga Bing yang suatu kali maksain diri mampir, merasa amat kecil di hadapan Prita. Satu persatu Bing mengamati
buku-buku yang tersusun di rak, di ruang baca Prita. The Old Man and the Sea-nya Ernest Hemingway, War and Peace
dan Anna Karenina-nya Leo Tolstoy, Gustave Flaubert, Eyodor Dostoyevsky
dan entah apa lagi.
Belum lagi kumpulan cerita
pendek. Ada Anton Chekov, Nikolai Gogol, Guy de Maupassant.... Ah, pokoknya Bing benar-benar tujuh keliling. Belum sekalipun dialaminya
peristiwa sefantastis ini.
Keresahan Bing kian hebat setiap
kali Prita diajaknya bicara. Gimana nggak, Prita lebih tertarik membicarakan
isi sebuah cerita pendek ketimbang ngerumpiin pemusik-pemusik. Lebih
menyakinkan lagi ternyata Prita juga banyak tahu tentang penulis
"pop" dunia. Seperti Agatha Cristie yang sudah kelewat kesohor, Barbara Cartland, Edgar Allan Poe sampai pada Sydney
Sheldon segala. Duh, Bing benar-benar
amat keteter!
Makanya, sejak minggu-minggu
terakhir, Bing mati-matian ngumpulin cerita seperti yang Prita punya. Biar
nggak malu-maluin, katanya. Bahkan Bing juga cuek aja digodain Timi, adiknya,
yang menjulukin Bing sebagai New Kid
On The Book. Yang penting, gue harus berhasil, tekad Bing mantap.
***
Bing baru saja menyelesaikan
bacaan karya Anton Chekov. Dia tersenyum. Dalam hati disusunnya rencana bahwa dia akan
membicarakan cerpen ini dengan Prita, sekalian memproklamirkan diri: gue juga ngerti sastra kok!
Maka pada suatu senja, selesai
mengikuti pelajaran tambahan di sekolah, Bing nekat menawarkan diri pada Prita
untuk mengantarnya pulang. Prita nggak keberatan karena Bing mengaku kebetulan
rumahnya searah dengan rumah Prita. Padahal? nggak begitu. Tapi Bing rela meski
nanti sepulang mengantar Prita harus balik arah belasan kilo ke rumahnya.
Bing duduk di teras, menunggu
Prita yang baru saja masuk. Dalam hati Bing mengingat-ingat keras karya yang
telah dibacanya. Bing yakin Prita akan memujinya. Ah, inilah first step yang membanggakan! Lagi pikir-pikir begitu, Prita muncul membawa baki. Belum lagi Prita
selesai meletakkan gelas dan sepiring penganan, Bing sudah mulai bicara.
"Wah, karyanya si Anton bagus lho, Prit. Lucu dan segar, tapi sarat dengan filosofis- filosofis
yang mengena." Bing menghentikan kalimatnya. Dipandanginya Prita yang senyum-senyum saja. Manis Prita duduk di kursi. Didengarnya Bing yang
antusias. Bing senang sekali diperhatikan.
"Kamu tahu nggak apanya yang
menarik," lanjut Bing yakin. "Gara-gara sebuah patung perunggu, orang
sekotamadya dibikin ribut. Wah, apalagi patung itu sensual juga. Saya aja yang cuma baca sempet terpengaruh. Pokoknya hebat deh.
Patung perunggu milik...." Bing mendadak terhenti. Susah payah diingatnya
si empunya patung. Tapi dasar otaknya yang payah, diperas sekeras apapun, malah kian nggak ingat. Bing merasa keringat nengalir di jidat sampai ke
lututnya.
"Sasha Smirnov," bantu
Prita kalem. la dapat membaca gelagat bahwa sesungguhnya Bing hanya bermaksud ingin dekat dengannya. Beberapa kali Prita menergoki Bing lagi khusuk di
perpustakaan, bahkan Prita juga pernah melihat Bing di toko buku langganannya.
"Ya, Sasha Smirov,"
ulang Bing yakin.
"Smirnov."
"Ya, Smirnov. Ah, patung perunggu milik Sasha itu benar-benar indah dan menakjubkan,"
Bing melanjutkan tanpa sadar bahwa sesungguhnya ia telah kian tolol saja. Tapi
Prita arif saja. Mendengar dengan serius, la nggak ingin mengecewakan Bing.
Sesungguhnya Bing ingin sekali melanjutkan ceritanya. Tapi tiap kali dimulainya selalu saja plot kian
berantakan. Bing nggak ingat lagi. Bing malu. Bing sedih. Tapi melihat
pandangan Prita yang serius bangkit lagi noraknya Bing.
"Wah, rugi kamu nggak baca
itu karya,” ujarnya rada sombong. "Banyak manfaat yang dapat ditarik dari
sana...."
Prita dongkol juga lihat gaya
Bing yang mulai sok lagi. "Sudah deh, Bing. Saya sudah baca kok. Kali
waktu masih SD."
Alamak! Bing gelagapan.
Dirutuknya hatinya sendiri.
***
Sejak saat itu Bing kian
mengkhusukkan diri pada cerita-cerita begituan. Saking seriusnya, kewajibannya
sebagai pelajar malah kedodoran. Beberapa kali
ditegor Bu Guru karena mengantuk. Tak jarang malah disuruh ke luar cuci muka
dulu. Ah, kasihan banget lo, Bing, desah Prita dalam hatinya. Ini nggak boleh
dibiarkan.
Tapi Prita belum menemukan cara
terbaik untuk menghentikan Bing.
Akhirnya, setelah lebih dari
empat minggu Bing disibukkan oleh buku-buku itu, ia merasa amat lelah.
Direbahkannya tubuhnya yang super letih. Dipejamkannya matanya. Tapi sialnya,
tiap kali matanya merem, yang terbayang malah Prita. Prita yang manis, Prita
yang asik membicarakan isi cerita: mengulas berbagai karakter manusia, mengutip
berbagai filosofisnya, menyimpulkan isi, dan....
Ah, Bing nggak sanggup memejamkan
mata. Rasa sentimentilnya nongol utuh ke permukaan. Aku terlalu jauh di bawah
Prita, batinnya memelas. Ya, Tuhan, kuatkan daya ingatku agar hamba-Mu ini nggak
keteter lagi di depan Prita. Kata Timi, Bing kian norak saja.
"Eh, lo taunya apa sih? Udah
deh, lo pergi sana. Masak kek, nyuci kek, atau nyapu juga boleh,” maki Bing kesal
dibilangin norak.
“Bing, Bing.
Naksir cewek aja matia-matian nurutin hobinya. Mending kalo ada hasilnya. Lha,
sekarang malah banyak negatifnya. Bangun kesiangan, ngantuk di sekolah, nggak sempet makan-minum, nggak ada hari main...."
"Udah deh, lo nyingkir sana.”
"Ee, diingetin
malah ngamuk. Ntar deh, lo bakal sadar
nggak ada manfaatnya maksain hobi. Norak deh. Apa lagi buat nyaingin cewek yang ditaksir. Udah deh, Bing. Insaf!
Bing menutup kuping. Nggak ada
gunanya meladeni Timi berantem.
"Huh. dasar New Kid
On The Book!" teriak Timi lalu ngacir.
Bing tersentak. Teriakan Bufz sahabatnya di halaman samping membuyarkan
segalanya. Bing merutuk mengkal.
"Nih. gue bawain Sydney Sheldon terbaru,” ujar Bufz berpartisipasi sesampai di kamar Bing.
"Ah, itu kurang sreg, Bufz.
Prita paling doyan sama cerita yang lebih nyastra. Paling cuma buat
selingan."
"Lha, dibantu malah kecewa.
Biar selingan kan juga afdol kalau lo menguasai."
"Ya, deh. Gue terima. Trim's banget buat partisipasi lo." Bing mengambil
novel yang dijulurkan Bufz.
Memang, partisipasi Bufz dalam hal ini nggak kecil. Bufz bela-belain datang ke tukang loak, ngubek-ngubek pustaka umum, buat bantuin nyari buku yang dibutuhkan Bing.
***
Puncak keprihatinan Prita atas
polah Bing adalah ketika tahu nilai ulangan cowok itu pada kebakar. Prita
berduka cita, berbelasungkawa. Aku harus menemuinya, pikir cewek itu dengan
sedih.
Meski ulangannya pada kebakar, Bing nggak ambil pusing. Tekadnya tetap. Harus mendapatkan Prita yang nyastra.
Bing nggak peduli lagi pada Bufz yang mengundurkan diri karena nilai Bing jadi
kebakar semua. Bing juga cuek saja pada Timi yang sudah bosan menasehati. Prita
harus jadi milik gue!
Duh, bila membayangkan itu, Bing
senyum-senyum sendiri. Betapa indah masa-masa pacarannya kelak jika Prita telah
ditaklukkan. Hari-hari kita akan dilalui dengan diskusi-diskusi sastra, pikir Bing
romantis.
Yang paling resah dengan tingkah
laku Bing adalah Bunda. Anak lakinya kerasukan setan baca. Gimana Bunda nggak
kaget kalau hari-hari lalu Bing selalu pesta musik cadas di kamarnya. Sekarang kamar anaknya nggak kalah sepi sama kuburan di waktu
malam dalam sebuah hutan yang terpencil sangat jauh.
"Pokoknya nggak usah
khawatir deh, Bunda," jelas Bing suatu kali. "Saya sehat-sehat saja kok. Banyak lho manfaatnya membaca buku-buku ini."
"Bunda tahu. Tapi
akhir-akhir ini kamu sering lalai membersihkan WC, menyiram kembang, telat
ngasih makan tekukurmu. Sampai-sampai Timi yang harus merawat burung semata
wayangmu itu. Apa nggak norak?!" beber Bunda.
"Tenang deh, Bunda. Ini
masih dalam rangka pelaksanaan cita-cita kok. Biar deh Timi yang merawat si
burung. Biar dia juga tahu gimana susahnya merawat burung semata wayang."
"Dia kan perempuan, Bing.
Mana ada sih perempuan suka merawat burung?" sergah Bunda lagi.
"Sekarang gini saja, kalau kamu sudah bosan sama burungmu, lepasin saja.
Jangan sibukkan Timi segala."
"Lha, kan saya .bakal nggak
punya burung lagi, Bunda?" protes Bing. "Jangan biasa memanjakan anak
perempuan, Bunda. Masa sih bisanya cuma merawat bunga. Lagian ini kan
pengalaman baru buat Timi. Kali saja besok-besok ada manfaatnya."
Bunda langsung saja kabur melihat
Bing yang kembali sibuk dengan bacaannya.
***
Bing tengah sibuk dengan cerita
pendek Octavio Paz, pemenang Nobel Sastra itu, di pelataran parkir sekolah.
Nggak dipedulikannya sorot mata teman-temannya yang kian merasa aneh dengan
polah Bing.
Belum lagi Bing selesai, Bufz
datang menenteng dua es plastik dan dua potong bakwan. Makanan yang sangat
disukainya.
"Makan dulu, Bing,"
tawarnya sambil mengulurkan bagian Bing.
Maka sibuklah mereka dengan makan
siang yang amat sederhana itu. Sambal bakwan sempat membuat mulut Bing
belepotan. Tapi dia cuek. Yang penting makan. Begitu pula Bufz. Mulutnya
berkilau kena minyak bakwan yang ukurannya gede itu. Saking gedenya,
sebagaimana pendapat mereka berdua, sang bakwan mampu menjamin perut buat
empat atau lima jam.
Selesai makan, lonceng masuk
belum lagi berbunyi.
"Bing, ada kabar
menarik," ujar Bufz sambil menyeka mulutnya dengan sehelai daun bunga.
"Tapi ada syaratnya jika lo mau denger."
"Kabar apa?"
"Syaratnya dulu."
"Heh?"
"Lo harus janji untuk insaf.
Soalnya, akhir-akhir ini nilai lo pada kebakar. Apa nggak kasihan tu."
"Gue ngerti, Bufz. Tapi mau
gimana lagi? Perasaan gue nggak dapat dikontrol lagi."
"Nah, itu yang harus lo
janji sekarang. Akan ngontrol perasaan lo agar nggak hancur sekolah lo!"
"Maksud lo apa sih?"
"Prita mengundang lo untuk
datang ke rumahnya."
Seketika darah Bing seperti
dipompa dengan keras. Seluruh pembuluhnya bertonjolan saking hepinya. Matanya
mendelik-delik bagai orang kesurupan. Lebih jelek lagi mulutnya menganga dengan
amat lebar.
“Eh, lo
epilepsi, ya?” Bufz menepuk pundak Bing.
“Enak aja lo. Gue lagi seneng nih. O ya, apa lagi yang dibilang Prita," kata
Bing bersemangat.
“Pokoknya lo dateng aja deh. Malam Jumat, tanggal tiga belas lusa."
“Malam Jumat? Tanggal tiga belas? Apa nggak salah informasi lo, Bufz?"
“Ya udah kalo lo nggak percaya."
“Bukan demikian. Tapi kok aneh ya. Ngundang malam Jumat, tanggal paling brengsek lagi.”
"Lo takut, ya?
"Ya, nggak. Tapi gue nggak habis pikir juga sih.”
Lonceng masuk telah berdentang lagi.
***
Sang New Kid On
The Book telah menyiapkan segala keperluan buat datang ke rumah Prita. Sepeda Bufz telah nangkring di halaman, yang dipinjam Bing tadi siang. Sebotol aqua disiapkan dalam tas plastik,
kalau-kalau di perjalanan nanti Bing merasa haus. Tak tanggung-tanggung Bing juga membawa handuk kecil, persiapan buat melap keringat. Soalnya harus
mendayung sepeda belasan kilo. Pokoknya Bing telah menyiapkan segalanya. Tinggal
sekarang pamit sama Bunda.
Setelah semua urusan pelepasan dari rumah, Bing mengayuh sepedanya dengan
semangat luar biasa. Nggak peduli lobang, nggak peduli batu, jalan terus.
Alhasil, Bing harus terguling-guling di sebuah tikungan. Tapi syukurlah, nggak
ada cidera yang berarti. Hanya saja sepeda itu nggak dapat dipakai lagi. Bing merutuk-rutuk sambil menuntun sepeda milik Bufz yang bikin sial
itu.
Akhirnya Bing sampai juga di
rumah Prita meski harus menuntun sepeda!
"Sebuah kehormatan bagi saya untuk datang memenuhi undangan Anda," ujar Bing di depan Prita yang telah menunggunya.
"Boleh saya duduk?"
"Silakan, Bing. Saya senang
Anda datang meski sudah telat satu jam."
Mereka tertawa.
Setelah beberapa saat terdiam
(Bing sedang deg-degan dengan perasaannya dan Prita sedang mikir-mikir gimana
memulainya) seorang pembantu muncul dan meletakkan minuman dan makanan ringan.
"Makasih, Mbok." Prita
lalu menoleh pada Bing. Entah kenapa Bing merasa darahnya seperti dalam turbin.
Barangkali karena menyadari bahwa gadis yang ada di sebelahnya adalah cewek
yang selalu memenuhi mimpinya setiap malam. Bing menjadi gugup ketika matanya
bersirobok dengan mata Prita.
"Silakan diminum,
Bing."
Kemudian suasana menjadi aman
tentram, sepi. Prita tak tahu harus mulai dari mana sementara Bing juga nggak ngerti kenapa ia jadi amat kikuk.
"Bing," akhirnya Prita
bersuara. "Aku prihatin, akhir-akhir ini kamu kok sering ngantuk di kelas?
Apalagi nilai ulanganmu pada kebakar. Sebenarnya ada apa sih?" Prita
bertanya juga meski ia telah tahu jawabnya.
Bing kian kikuk.
"Ngg...heh?"
Setelah meyakinkan diri bahwa
tindakannya benar, Prita bicara lagi, "Bing, sangat nggak ada manfaatnya
maksain diri untuk suatu hal yang nggak disukai. Apalagi malah menghasilkan
kenegatifan. Sayang sekali kan kalau harus mengorbankan waktu belajar, waktu
main, waktu santai, waktu makan, waktu bekerja dan sebagainya. Aku tahu
semuanya. Bufz sering laporan."
Bufz! runtuk Bing dalam hati. Huh, kelewatan tu bocah!
"Kata Bufz, Timi adikmu,
sedih karena nggak sempat lagi main sama kamu. Kamu nggak punya waktu lagi buat
godain dia, ngusilin dia, ngebantu dia. Kamu tahu itu kan? Timi itu butuh kamu,
Bing. Jangan larutin diri dalam hal-hal yang malah bikin sengsara. Apalagi ada
orang lain yang ikutan menanggungnya. Bufz juga nggak bantuin kamu lagi, kan? Dia nggak ingin kesibukan barumu itu bikin kamu berantakan."
Bing merasa mukanya merah menahan
malu, sedih, sebel, terharu dan entah apa lagi.
Bing hanya menunduk.
"Sudahlah, Bing. Aku
menghargai usahamu, kok. Tapi jangan buang-buang waktu begitu. Memekuni
buku-buku seperti selama ini, baik sih untuk nambah-nambah wawasan, tapi jangan
membuat keteter hal lain yang lebih wajib."
Bing merasa tubuhnya melayang.
Ah, aku telah melupakan segala-galanya demi Prita, batinnya masygul. Dan Bing mengangkat wajahnya, menatap Prita. Sepasang mata yang indah
tengah mengamatinya.
Sepulang dari rumah Prita, di perjalanan yang gelap, Bing baru menyadari bahwa kini
malam Jumat. Matanya liar berkeliling. Gemersik daun, suara kodok lagi pacaran,
gesekan sendalnya sendiri di jalan, membuat Bing ketakutan luar biasa. Sepeda
pinjaman Bufz yang dituntunnya dinaiki saja dengan terburu. Nggak peduli
rodanya sudah membentuk trapesium. Bing nekat terus mengayuh pedalnya. Keringat
bercucuran di sekujur tubuhnya. Bing harus secepatnya sampai di rumah.
Bing merasa nggak sudi
lagi dijuluki New Kid On The Book oleh Timi. Terbayang jelas di matanya senyum Prita yang manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar