NEW KID ON THE BOOK


Dimuat di Majalah Remaja Mingguan HAI 

Nomor 45 Tahun XVI 10 November 1992 hal 68-70





Bing bela-belain diri menekuri buku-buku sastra. Padahal selama ini doi sama sekali nggak tertarik pada cerita-cerita, yang katanya, musingin plus mbosenin itu. Bing bersikukuh bahwa cerita sastra hanya menghabiskan enerji belaka. Kelewat berat, komentarnya suatu kali.
Alhasil, akhir-akhir ini, Bing disibukkan oleh buku-buku yang super dibencinya itu. Mondar-mandir ke toko buku. Habis-habisan di perpustakaan. Konsentrasi penuh di kamar tanpa peduli lagi sama Guns N'Roses, Poison, Extreme apalagi sama Onang Sutra dan lis Dahlia. Malah Bing tega-teganya menendang kaset-kaset yang nekat merengek-rengek minta diputar. Singkatnya, Bing nggak peduli pada apa pun, kecuali buku-buku sastranya.
Pangkal pasal Bing jadi kayak gini karena doi lagi naksir berat sama Prita, cewek yang kelewat suka dengan sastra-sastraan. Demikian banyaknya buku-buku cerita sastra di rumahnya, nasional dan internasional, hingga Bing yang suatu kali maksain diri mampir, merasa amat kecil di hadapan Prita. Satu persatu Bing mengamati buku-buku yang tersusun di rak, di ruang baca Prita. The Old Man and the Sea-nya Ernest Hemingway, War and Peace dan Anna Karenina-nya Leo Tolstoy, Gustave Flaubert, Eyodor Dostoyevsky dan entah apa lagi.
Belum lagi kumpulan cerita pendek. Ada Anton Chekov, Nikolai Gogol, Guy de Maupassant.... Ah, pokoknya Bing benar-benar tujuh keliling. Belum sekalipun dialaminya peristiwa sefantastis ini.
Keresahan Bing kian hebat setiap kali Prita diajaknya bicara. Gimana nggak, Prita lebih tertarik membicarakan isi sebuah cerita pendek ketimbang ngerumpiin pe­musik-pemusik. Lebih menyakinkan lagi ternyata Prita juga banyak tahu tentang penulis "pop" dunia. Seperti Agatha Cristie yang sudah kelewat kesohor, Barbara Cartland, Edgar Allan Poe sampai pada Sydney Sheldon segala. Duh, Bing benar-benar amat keteter!
Makanya, sejak minggu-minggu terakhir, Bing mati-matian ngumpulin cerita seperti yang Prita punya. Biar nggak malu-maluin, katanya. Bahkan Bing juga cuek aja digodain Timi, adiknya, yang menjulukin Bing sebagai New Kid On The Book. Yang penting, gue harus berhasil, tekad Bing mantap.
***
Bing baru saja menyelesaikan bacaan karya Anton Chekov. Dia tersenyum. Dalam hati disusunnya rencana bahwa dia akan membicarakan cerpen ini dengan Prita, sekalian memproklamirkan diri: gue juga ngerti sastra kok!
Maka pada suatu senja, selesai mengikuti pelajaran tambahan di sekolah, Bing nekat menawarkan diri pada Prita untuk mengantarnya pulang. Prita nggak keberatan karena Bing mengaku kebetulan rumahnya searah dengan rumah Prita. Padahal? nggak begitu. Tapi Bing rela meski nanti sepulang mengantar Prita harus balik arah belasan kilo ke rumahnya.
Bing duduk di teras, menunggu Prita yang baru saja masuk. Dalam hati Bing mengingat-ingat keras karya yang telah dibacanya. Bing yakin Prita akan memujinya. Ah, inilah first step yang mem­banggakan! Lagi pikir-pikir begitu, Prita muncul membawa baki. Belum lagi Prita selesai meletakkan gelas dan sepiring penganan, Bing sudah mulai bicara.
"Wah, karyanya si Anton bagus lho, Prit. Lucu dan segar, tapi sarat dengan filosofis- filosofis yang mengena." Bing menghentikan kalimatnya. Dipandanginya Prita yang senyum-senyum saja. Manis Prita duduk di kursi. Didengarnya Bing yang antusias. Bing senang sekali diperhatikan.
"Kamu tahu nggak apanya yang menarik," lanjut Bing yakin. "Gara-gara sebuah patung perunggu, orang sekotamadya dibikin ribut. Wah, apalagi patung itu sensual juga. Saya aja yang cuma baca sempet terpengaruh. Pokoknya hebat deh. Patung perunggu milik...." Bing mendadak terhenti. Susah payah diingatnya si empunya patung. Tapi dasar otaknya yang payah, diperas sekeras apapun, malah kian nggak ingat. Bing merasa keringat nengalir di jidat sampai ke lututnya.
"Sasha Smirnov," bantu Prita kalem. la dapat membaca gelagat bahwa sesungguhnya Bing hanya bermaksud ingin dekat dengannya. Beberapa kali Prita menergoki Bing lagi khusuk di perpustakaan, bahkan Prita juga pernah melihat Bing di toko buku langganannya.
"Ya, Sasha Smirov," ulang Bing yakin.
"Smirnov."
"Ya, Smirnov. Ah, patung perunggu milik Sasha itu benar-benar indah dan menakjubkan," Bing melanjutkan tanpa sadar bahwa sesungguhnya ia telah kian tolol saja. Tapi Prita arif saja. Mendengar dengan serius, la nggak ingin mengecewakan Bing.
Sesungguhnya Bing ingin sekali melanjutkan ceritanya. Tapi tiap kali dimulainya selalu saja plot kian berantakan. Bing nggak ingat lagi. Bing malu. Bing sedih. Tapi melihat pandangan Prita yang serius bangkit lagi noraknya Bing.
"Wah, rugi kamu nggak baca itu karya,” ujarnya rada sombong. "Banyak manfaat yang dapat ditarik dari sana...."
Prita dongkol juga lihat gaya Bing yang mulai sok lagi. "Sudah deh, Bing. Saya sudah baca kok. Kali waktu masih SD."
Alamak! Bing gelagapan. Dirutuknya hatinya sendiri.
***
Sejak saat itu Bing kian mengkhusukkan diri pada cerita-cerita begituan. Saking seriusnya, kewajibannya sebagai pelajar malah kedodoran. Beberapa kali ditegor Bu Guru karena mengantuk. Tak jarang malah disuruh ke luar cuci muka dulu. Ah, kasihan banget lo, Bing, desah Prita dalam hatinya. Ini nggak boleh dibiarkan.
Tapi Prita belum menemukan cara terbaik untuk menghentikan Bing.
Akhirnya, setelah lebih dari empat minggu Bing disibukkan oleh buku-buku itu, ia merasa amat lelah. Direbahkannya tubuhnya yang super letih. Dipejamkannya matanya. Tapi sialnya, tiap kali matanya merem, yang terbayang malah Prita. Prita yang manis, Prita yang asik membicarakan isi cerita: mengulas berbagai karakter manusia, mengutip berbagai filosofisnya, menyimpulkan isi, dan....
Ah, Bing nggak sanggup memejamkan mata. Rasa sentimentilnya nongol utuh ke permukaan. Aku terlalu jauh di bawah Prita, batinnya memelas. Ya, Tuhan, kuatkan daya ingatku agar hamba-Mu ini nggak keteter lagi di depan Prita. Kata Timi, Bing kian norak saja.
"Eh, lo taunya apa sih? Udah deh, lo pergi sana. Masak kek, nyuci kek, atau nyapu juga boleh,” maki Bing kesal dibilangin norak.
“Bing, Bing. Naksir cewek aja matia-matian nurutin hobinya. Mending kalo ada hasilnya. Lha, sekarang malah banyak negatifnya. Bangun kesiangan, ngantuk di sekolah, nggak sempet makan-minum, nggak ada hari main...."
"Udah deh, lo nyingkir sana.
"Ee, diingetin malah ngamuk. Ntar deh, lo bakal sadar nggak ada manfaatnya maksain hobi. Norak deh. Apa lagi buat nyaingin cewek yang ditaksir. Udah deh, Bing. Insaf!
Bing menutup kuping. Nggak ada gunanya meladeni Timi berantem.
"Huh. dasar New Kid On The Book!" teriak Timi lalu ngacir.
Bing tersentak. Teriakan Bufz sahabatnya di halaman samping membuyarkan segalanya. Bing merutuk mengkal.
"Nih. gue bawain Sydney Sheldon terbaru, ujar Bufz berpartisipasi sesampai di kamar Bing.
"Ah, itu kurang sreg, Bufz. Prita paling doyan sama cerita yang lebih nyastra. Paling cuma buat selingan."
"Lha, dibantu malah kecewa. Biar selingan kan juga afdol kalau lo menguasai."
"Ya, deh. Gue terima. Trim's banget buat partisipasi lo." Bing mengambil novel yang dijulurkan Bufz.
Memang, partisipasi Bufz dalam hal ini nggak kecil. Bufz bela-belain datang ke tukang loak, ngubek-ngubek pustaka umum, buat bantuin nyari buku yang dibutuhkan Bing.
***
Puncak keprihatinan Prita atas polah Bing adalah ketika tahu nilai ulangan cowok itu pada kebakar. Prita berduka cita, berbelasungkawa. Aku harus menemuinya, pikir cewek itu dengan sedih.
Meski ulangannya pada kebakar, Bing nggak ambil pusing. Tekadnya tetap. Harus mendapatkan Prita yang nyastra. Bing nggak peduli lagi pada Bufz yang mengundurkan diri karena nilai Bing jadi kebakar semua. Bing juga cuek saja pada Timi yang sudah bosan menasehati. Prita harus jadi milik gue!
Duh, bila membayangkan itu, Bing senyum-senyum sendiri. Betapa indah masa-masa pacarannya kelak jika Prita telah ditaklukkan. Hari-hari kita akan dilalui dengan diskusi-diskusi sastra, pikir Bing romantis.
Yang paling resah dengan tingkah laku Bing adalah Bunda. Anak lakinya kerasukan setan baca. Gimana Bunda nggak kaget kalau hari-hari lalu Bing selalu pesta musik cadas di kamarnya. Sekarang kamar anaknya nggak kalah sepi sama kuburan di waktu malam dalam sebuah hutan yang terpencil sangat jauh.
"Pokoknya nggak usah khawatir deh, Bunda," jelas Bing suatu kali. "Saya sehat-sehat saja kok. Banyak lho manfaatnya membaca buku-buku ini."
"Bunda tahu. Tapi akhir-akhir ini kamu sering lalai membersihkan WC, menyiram kembang, telat ngasih makan tekukurmu. Sampai-sampai Timi yang harus merawat burung semata wayangmu itu. Apa nggak norak?!" beber Bunda.
"Tenang deh, Bunda. Ini masih dalam rangka pelaksanaan cita-cita kok. Biar deh Timi yang merawat si burung. Biar dia juga tahu gimana susahnya merawat burung semata wayang."
"Dia kan perempuan, Bing. Mana ada sih perempuan suka merawat burung?" sergah Bunda lagi. "Sekarang gini saja, kalau kamu sudah bosan sama burungmu, lepasin saja. Jangan sibukkan Timi segala."
"Lha, kan saya .bakal nggak punya burung lagi, Bunda?" protes Bing. "Jangan biasa memanjakan anak perempuan, Bunda. Masa sih bisanya cuma merawat bunga. Lagian ini kan pengalaman baru buat Timi. Kali saja besok-besok ada manfaatnya."
Bunda langsung saja kabur melihat Bing yang kembali sibuk dengan bacaannya.
***
Bing tengah sibuk dengan cerita pendek Octavio Paz, pemenang Nobel Sastra itu, di pelataran parkir sekolah. Nggak dipedulikannya sorot mata teman-temannya yang kian merasa aneh dengan polah Bing.
Belum lagi Bing selesai, Bufz datang menenteng dua es plastik dan dua potong bakwan. Makanan yang sangat disukainya.
"Makan dulu, Bing," tawarnya sambil mengulurkan bagian Bing.
Maka sibuklah mereka dengan makan siang yang amat sederhana itu. Sambal bakwan sempat membuat mulut Bing belepotan. Tapi dia cuek. Yang penting makan. Begitu pula Bufz. Mulutnya berkilau kena minyak bakwan yang ukurannya gede itu. Saking gedenya, sebagaimana pen­dapat mereka berdua, sang bakwan mampu menjamin perut buat empat atau lima jam.
Selesai makan, lonceng masuk belum lagi berbunyi.
"Bing, ada kabar menarik," ujar Bufz sambil menyeka mulutnya dengan sehelai daun bunga. "Tapi ada syaratnya jika lo mau denger."
"Kabar apa?"
"Syaratnya dulu."
"Heh?"
"Lo harus janji untuk insaf. Soalnya, akhir-akhir ini nilai lo pada kebakar. Apa nggak kasihan tu."
"Gue ngerti, Bufz. Tapi mau gimana lagi? Perasaan gue nggak dapat dikontrol lagi."
"Nah, itu yang harus lo janji sekarang. Akan ngontrol perasaan lo agar nggak hancur sekolah lo!"
"Maksud lo apa sih?"
"Prita mengundang lo untuk datang ke rumahnya."
Seketika darah Bing seperti dipompa dengan keras. Seluruh pembuluhnya bertonjolan saking hepinya. Matanya mendelik-delik bagai orang kesurupan. Lebih jelek lagi mulutnya menganga dengan amat lebar.
“Eh, lo epilepsi, ya?” Bufz menepuk pundak Bing.
“Enak aja lo. Gue lagi seneng nih. O ya, apa lagi yang dibilang Prita," kata Bing bersemangat.
Pokoknya lo dateng aja deh. Malam Jumat, tanggal tiga belas lusa."
Malam Jumat? Tanggal tiga belas? Apa nggak salah informasi lo, Bufz?"
“Ya udah kalo lo nggak percaya."
Bukan  demikian. Tapi kok aneh ya. Ngundang malam Jumat, tanggal paling brengsek lagi.”
"Lo takut, ya?
"Ya, nggak. Tapi gue nggak habis pikir juga sih.
Lonceng masuk telah berdentang lagi.
***
Sang New Kid On The Book telah menyiapkan segala keperluan buat datang ke rumah Prita. Sepeda Bufz telah nangkring di halaman, yang dipinjam Bing tadi siang. Sebotol aqua disiapkan dalam tas plastik, kalau-kalau di perjalanan nanti Bing merasa haus. Tak tanggung-tanggung Bing juga membawa handuk kecil, per­siapan buat melap keringat. Soalnya harus mendayung sepeda belasan kilo. Pokoknya Bing telah menyiapkan segalanya. Tinggal sekarang pamit sama Bunda.
Setelah semua urusan pelepasan dari rumah, Bing mengayuh sepedanya dengan semangat luar biasa. Nggak peduli lobang, nggak peduli batu, jalan terus. Alhasil, Bing harus terguling-guling di sebuah tikungan. Tapi syukurlah, nggak ada cidera yang berarti. Hanya saja sepeda itu nggak dapat dipakai lagi. Bing merutuk-rutuk sambil menuntun sepeda milik Bufz yang bikin sial itu.
Akhirnya Bing sampai juga di rumah Prita meski harus menuntun sepeda!
"Sebuah kehormatan bagi saya untuk datang memenuhi undangan Anda," ujar Bing di depan Prita yang telah menunggunya. "Boleh saya duduk?"
"Silakan, Bing. Saya senang Anda datang meski sudah telat satu jam."
Mereka tertawa.
Setelah beberapa saat terdiam (Bing sedang deg-degan dengan perasaannya dan Prita sedang mikir-mikir gimana memulainya) seorang pembantu muncul dan meletakkan minuman dan makanan ringan.
"Makasih, Mbok." Prita lalu menoleh pada Bing. Entah kenapa Bing merasa darahnya seperti dalam turbin. Barangkali karena menyadari bahwa gadis yang ada di sebelahnya adalah cewek yang selalu memenuhi mimpinya setiap malam. Bing menjadi gugup ketika matanya bersirobok dengan mata Prita.
"Silakan diminum, Bing."
Kemudian suasana menjadi aman tentram, sepi. Prita tak tahu harus mulai dari mana sementara Bing juga nggak ngerti kenapa ia jadi amat kikuk.
"Bing," akhirnya Prita bersuara. "Aku prihatin, akhir-akhir ini kamu kok sering ngantuk di kelas? Apalagi nilai ulanganmu pada kebakar. Sebenarnya ada apa sih?" Prita bertanya juga meski ia telah tahu jawabnya.
Bing kian kikuk. "Ngg...heh?"
Setelah meyakinkan diri bahwa tindakannya benar, Prita bicara lagi, "Bing, sangat nggak ada manfaatnya maksain diri untuk suatu hal yang nggak disukai. Apalagi malah menghasilkan kenegatifan. Sayang sekali kan kalau harus mengorbankan waktu belajar, waktu main, waktu santai, waktu makan, waktu bekerja dan sebagainya. Aku tahu semuanya. Bufz sering laporan."
Bufz! runtuk Bing dalam hati. Huh, kelewatan tu bocah!
"Kata Bufz, Timi adikmu, sedih karena nggak sempat lagi main sama kamu. Kamu nggak punya waktu lagi buat godain dia, ngusilin dia, ngebantu dia. Kamu tahu itu kan? Timi itu butuh kamu, Bing. Jangan larutin diri dalam hal-hal yang malah bikin sengsara. Apalagi ada orang lain yang ikutan menanggungnya. Bufz juga nggak bantuin kamu lagi, kan? Dia nggak ingin kesibukan barumu itu bikin kamu berantakan."
Bing merasa mukanya merah menahan malu, sedih, sebel, terharu dan entah apa lagi. Bing hanya menunduk.
"Sudahlah, Bing. Aku menghargai usahamu, kok. Tapi jangan buang-buang waktu begitu. Memekuni buku-buku seperti selama ini, baik sih untuk nambah-nambah wawasan, tapi jangan membuat keteter hal lain yang lebih wajib."
Bing merasa tubuhnya melayang. Ah, aku telah melupakan segala-galanya demi Prita, batinnya masygul. Dan Bing mengangkat wajahnya, menatap Prita. Sepasang mata yang indah tengah mengamatinya.
Sepulang dari rumah Prita, di perjalanan yang gelap, Bing baru menyadari bahwa kini malam Jumat. Matanya liar berkeliling. Gemersik daun, suara kodok lagi pacaran, gesekan sendalnya sendiri di jalan, membuat Bing ketakutan luar biasa. Sepeda pinjaman Bufz yang dituntunnya dinaiki saja dengan terburu. Nggak peduli rodanya sudah membentuk trapesium. Bing nekat terus mengayuh pedalnya. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Bing harus secepatnya sampai di rumah.
Bing merasa nggak sudi lagi dijuluki New Kid On The Book oleh Timi. Terbayang jelas di matanya senyum Prita yang manis.


***


Tidak ada komentar: