Dimuat dalam Majalah Wanita Sarinah
Nomor 252 tanggal 18 – 31 Mei 1992
Bonus Novelet
PERISTIWA YANG DAHSYAT
Pembaca yang budiman,
sekarang aku lanjutkan lagi cerita cintaku sebelum berumah tangga dengan Asih.
Sejak aku memutuskan
untuk tidak datang menghadiri pesta ulang tahun itu, kian terasa mengental saja
kerinduanku pada Asih. Aku tidak pernah datang lagi ke rumahnya dan begitu pula
ia. Asih mulai kusingkirkan dengan cara yang lebih keji lagi: aku gonta-ganti
teman kencan. Toh, untuk apa memikirkan seseorang yang tidak mungkin lagi untuk
dicintai? Sampai akhirnya Asih muncul di rumah kontrakanku.
"Kau pengecut! Banci!" teriaknya histeris. "Kau bukan laki-laki! Ayo pakai rok,
kebaya, konde, kutang! Kau lebih pantas jadi—."
Asih menangis. Tak
kuasa lagi ia meneruskan kalimat-kalimatnya. Tubuhnya bergetar. Lama ia diam. Aku pun hanya memandangi dengan tidak mengerti.
"Aku telah dua
sembilan, Sam. Aku telah tua. Telah sekian tahun aku menunggu lamaran dari seseorang, tapi
tak kunjung datang. Kuimpikan lamaran dari laki-laki yang selalu titip salam
lewat puisi, cerita dan tulisannya. Seorang laki- laki yang memancarkan gelora
cinta dari matanya."
Asih menghentikan
kalimatnya. Akukah lelaki itu?
"Sam, aku mengira dengan bertambahnya usia akan membuat kian matang dan
dewasa,"
"Ya, aku mengira
begitu juga," potongku setelah tahu apa yang sesungguhnya dimaksudkan Asih.
"Kita memang kian kanak- kanak, pengecut dan tidak mampu untuk bicara
jujur.”
"Kau yang tidak
mampu!” sergah Asih.
"Kaulah si pengecut tak berbatas!"
"Rasanya kita
seperti remaja SMP yang saling jatuh cinta," tuturku kemudian.
"Memendam dan tidak punya nyali untuk mengakui. Asih, kalau saja kau
memberiku sedikit isyarat, tentu telah lama aku meminangmu, melamarmu menjadi
istriku. Tapi kau telah mencoba angkuh dengan ketidakpedulianmu."
"Kau yang tidak
peduli. Ingatlah, Sam. Tak sekali pun kau bertanya siapa kekasihku atau tunanganku. Rasanya tak
sekalipun arah bicara ke sebuah hubungan cinta. Padahal yang kuingin: Sih, kau
sudah punya pacar? Sih, laki- laki
macam apa yang kaudambakan? Ah, tidak pernah kau lakukan itu."
"Dengar, Asih.
Apakah kau juga pernah bertanya seperti apa yang kau tuntut padaku? Kau hanya
bercerita tentang muridmu, tentang guru laki-laki yang menggodamu. Ingat,
kan?"
"Aku tidak perlu
menanyakan itu, Sam. Aku tahu kau masih
sendiri. Aku tahu bahwa kau mencintaiku." Asih menatap mataku. "Aku
pun menunggu lamaranmu. Hingga saat ini, ketika usiaku hampir tiga puluh
tahun!" lanjut Asih lambat.
Aku tercekat. Tak
kuasa aku memandang sorot mata
Asih. Perlahan aku melempar tatap ke dinding.
"Sam, pandanglah mataku. Galilah apa yang ada dalam dadaku. Selama ini kau tidak
pernah manantang mataku, selain curi-curi pandang seperti kucing kepergok
nyolong!"
Perlahan aku tatap
lagi mata Asih. Deburan dalam dadaku entah sedahsyat apa. la tidak mengerjap.
Matanya lurus menembus sampai ke jantungku. Entah telah berapa lama kami saling
bersitatap, kemudian yang kutahu akau telah memeluk tubuhnya. Bergumul di atas
sofa. Sampai akhirnya asbak terlempar jatuh.
Tiga bulan kemudian
kami menikah.
...RUMAH TANGGA KAMI
Malam kian larut.
Asih telah selesai
dengan pekerjaannya: memeriksa PR dan ulangan para siswanya.
Aku telah beranjak
dari teras, duduk di kamar kami.
Asih duduk di depan
toilet. Dirapikannya rambutnya dan diolesinya wajahnya dengan sedikit cream. Aku duduk diam di
bibir ranjang.
"Sam, rencana yang telah kaususun tentu jadi berantakan karena tidak menemui
penerbit itu malam ini," katanya sambil terus menggosok-gosok pipinya
dengan jarinya. "Padahal, katamu, novel kali ini adalah langkah pertamamu
ke jenjang yang paling serius dari seluruh karyamu."
"Biarkan saja.
Aku tidak akan menyesal," kataku seperti apa yang telah kuucapkan petang tadi.
Kulihat Asih. la
memandangku dari kaca. "Ya, kuharap begitu," tuturnya sembari kembali
merapikan rambutnya. Kemudian ia beranjak ke ranjang. Duduk di sampingku.
"Sudah larut.
Tidur, ya." ujarnya datar. Sekali ia menguap kemudian merebahkan tubuhnya.
"Pukul sebelas tiga puluh,"
lanjutnya. la tidur membelakangiku, menghadap ke dinding.
Aku hanya menarik
napas. Berat. Belum lagi aku selesai menghembuskan napas, Asih kembali bicara,
hingga nada suaranya seperti terpantul dari dinding ke anak telingaku.
"Sam, aku yakin novel terakhirmu akan mendapat perhatian yang serius pula. Siapa
tahu ada penghargaan untuk itu. Aku sudah baca. Tapi sayang, mengapa penerbitannya kau batalkan begitu saja."
Harapanku
terpenuhi sudah ketika Asih menyelesaikan tuturannya: Asih telah bertanya! Duh,
apakah untuk mendengar sebuah pertanyaan saja aku harus menunggu dengan
gelisah? *
"Kau
sungguh-sungguh dengan pertanyaanmu? Perhatianmu, Sih?"
Kudengar seprei
tergesek. Asih memutar tidurnya dan menghadap ke punggungku. "Apa
maksudmu, Sam," tanyanya datar.
"Kau
memperhatikan novelku? Kau menyayangkan jika penerbitannya dibatalkan? Engkau
me-nya-yang-kan-nya?" Aku memutar duduk. Sebelah kaki kuangkat dan kulipat
di atas kasur. Kaki yang satunya lagi kubiarkan terlonjor di sisi dipan.
"Apakah salah
bila aku bertanya? Apakah salah seorang istri memperhatikan pekerjaan
suaminya?" la menatap mataku, seolah mencari jawabannya. Aku hanya
mendesah. "Sam,
apa yang kaupikirkan saat ini.
Mengapa harus saat- saat seperti ini? Di saat kerja seriusmu?" lanjutnya.
"Asih." Aku
menghela
napas dalam-dalam. "Telah setahun lebih kita berumah tangga,”
"Empat belas
bulan," potongnya.
“Tapi
mengapa kita seperti orang asing. Menjaga jarak. Tidak pernah mencoba melebur
untuk satu percakapan sebagai layaknya suami-istri. Kau tidak punya perhatian
apa pun."
"Aku tidak
mengerti, Sam,"
sergahnya. Asih bangkit dari
rebahnya. Disandarkannya tubuhnya ke dinding. Sebuah bantal yang diraihnya,
dipeluknya. Pelan dia bertutur sembari menatap pada bantal dalam dekapannya
itu. "Tidak dapat kutangkap apa yang kaumaksud. Apakah ini masih dalam
proses penciptaan karyamu?"
“Aku
serius, Sih."
"Baiklah. Kau
keberatan aku bekerja? Engkau tidak setuju kalau aku menjadi guru?
Begitu?" Asih memelototkan matanya padaku. "Dari kecil cita-cita itu
kupupuk, kusirami. hingga aku menjadi guru seperti sekarang. Bahkan, cita-cita
ini kudapatkan setelah berdebat keras dengan Mama. Beliau tidak menyetujuinya."
Aku tak bermaksud
menyanggah cerita Asih. Biarlah ia terus bercerita sebab sudah lama aku ingin
mengetahuinya. Keingintahuan yang tak pernah kutanyakan.
"Mama memintaku
untuk meneruskan sekolah ke luar negeri. Mama ingin aku mengambil spesialisasi
ekonomi agar dapat melanjutkan usaha Papa. Mati-matian Mama mempertahankan
usulnya. Cukup berat bagiku untuk terus meyakinkan Mama sampai akhirnya beliau
mengerti, memahami maksudku. Meski keluargaku telah menerima, tapi cobaan terus
datang bersilih. Kalau tidak dari teman-teman, maka sepupu-sepupuku akan
menyindir dengan kalimat-kalimatnya yang menjengkelkan."
Sebentar Asih
berhenti, lalu, "Kau tahu, Sam, apa
kata mereka?: Asih, Asih. Mimpi apa kamu? Mau mencoba hidup melarat, ya? Mau
makan dengan aturan-aturan keuangan yang serba minim? Mencoba hidup sederhana?
Ah, jangan bodoh. Sih! Untuk hidup sederhana pun kau tidak akan mampu."
Aku hanya memandangi
Asih yang bicara serius.
"Asih, kalau
jadi guru nanti, nilai rapor anak-anakku dijamin delapan semua, ya? Jangan
kuatir dengan.... Sam, kalimat
seperti itulah yang paling menyakitkan bagiku. Aku bangkit dan melabrak mereka.
Balas menyumpahi mereka. Aku merasa dihina, aku tersinggung. Apakah dikiranya
begitu gampangnya bagi-bagi nilai untuk anak-anak mereka? Bah, aku benar-benar
benci pada kehidupan, pikiran dan wawasan mereka yang picik!"
Ah, Asih. Aku tidak melarangmu jadi guru. Bukan itu yang
kumaksud. Sih....
"Sam,
katakanlah dengan jujur bahwa kau tidak suka aku menjadi guru. Tapi sebelumnya, aku batasi, aku akan terus bertahan
dengan apa yang telah kurintis.
Kau dengar, Sam? Aku akan bertahan."
"Asih, kau salah
mengerti. Bukan itu yang kumaksud."
"Lalu apa?"
burunya lagi.
"Hubungan antara
kita."
"Apa hubungannya
dengan novel yang kaubatalkan itu."
"Entahlah. Aku
tidak mengerti."
"Lalu apalagi, Sam?"
Kembali aku menghela
napas berat. Kucari ekspresi lain dari wajah Asih. Tapi tidak kutemukan.
"Hubungan kita
terasa hambar, formalitas dan kaku."
"Pernahkah aku
menolak setiap cumbuanmu? Telah demikian lancangkah aku?" sergap Asih
menikam mataku dengan tatap matanya.
"Bukan, bukan
soal itu," kelitku terburu. "Tapi rasanya tidak untuk kita bicarakan
malam ini.
Esok pagi kau harus mengajar, aku ke kantor. Biarlah kita cari malam yang lain
untuk bicara."
Asih tidak menolak.
Segera saja kembali direbahkannya tubuhnya. Malam larut. Di luar terdengar
hujan demikian derasnya. Musim kali ini tiada hari terlewati tanpa hujan.
SUATU MALAM KE PENYELESAIAN
Suatu malam di
liburan semesteran Asih, cuti
tahunanku. Di rumah peristirahatan keluarga Asih, di luar kota. Pukul sepuluh
malam.
Cuaca dingin sekali.
Aku duduk menghenyak
di kursi teras. Angin malam cukup deras membawa hawa tanah yang khas. Langit
mendung. Nyaris tak ada cahaya di langit. Hanya ada satu-dua bintang yang mengerjap dengan lemah.
Mengerjap dengan lemah! Ah, apakah rumah tangga yang kubangun juga tengah mengerjap dengan
lemah dan kemudian mati, pudur? Dan akhirnya kepekatan yang menyelubungi? Dan
tiada jarak lagi walau hanya untuk sekadar meraba? Bulu tengkukku merinding.
Tidak! Aku tidak boleh membiarkan rumah tangga ini mengerjap dengan lemah
kemudian pudur seperti bintang di langit yang terselubung awan tebal. Rumah tangga ini harus utuh. Dan aku harus kembali menyalakan
pijar-pijarnya, cahayanya, membakarnya, agar tak pudur!
Dua tahun sudah rumah tangga ini kami arungi. Melewati hari-hari, rutinitas yang terasa
hambar. Hubungan yang tak lebih-dari sepasang laki-laki dan perempuan: bersama
dalam satu gelora jika keadaan membutuhkan. Tapi menjadi asing ketika bagian
terbesarnya membentang di depan mata. Duh, inilah padang kasih yang mahaluas
yang tiada beronak-duri. Tak ada hal- hal yang membuat kami bertengkar, membuat kami untuk saling
marah. Tidak ada! Apa pun kataku, Asih mengikuti. Apa pun kata Asih, aku
mengikuti.
Kapankah kami pernah
bertengkar?
Ada nada marah dalam
suaraku, Asih minta maaf kemudian bungkam. Ada nada marah
dalam suara Asih aku minta maaf kemudian diam. Mungkin ini juga dikarenakan
oleh jarangnya kami bicara panjang-lebar, berlama-lama. Ya, tak banyak yang kami bicarakan.
Aku menarik napas,
berat. Dadaku menjadi pepat. Dalam dua tahun perkawinan ini terasa ada yang
kurang. Yang kurang? Apa? Anak? Tidak! Tidak ada kesalahan di masing-masing
kami. Dokter-dokter yang kami datangi selalu berkata sama: Berdoalah pada
Tuhan. Sabar dan selalu berusaha. Anda pasangan yang sehat, normal. Barangkali
hanya soal waktu saja.
Lalu apa yang kurang?
Duh, aku sendiri tidak dapat menjawab. Apakah kami telah saling menanam
rahasia? Sembunyi-sembunyi dalam permainan masing-masing? Tidak. Kurasa tidak.
Yang kutahu. Asih
tidak pernah marah padaku. Tidak pernah protes,
menegur, bertanya apa pun padaku. Seolah yang kulakukan adalah benar semata!
Padahal yang kuharap Asih bertanya jika aku pulang terlambat, jika aku menginap
di tempat lain. Bahkan beberapa kali aku tidur meringkuk di kursi kantor hanya
untuk membuat Asih marah, untuk membuatnya curiga, bertanya. Tapi yang kudapat
apa? Ketika pulang esoknya, jangankan marah, curiga, bertanya pun tidak. Paling dia hanya bilang: Sam, kalau nginap telepon
dulu, biar aku tidak menunggu, biar Uning tidak susah-susah menjaga bel.
Hanya itu!
Bahkan, beberapa
bulan yang lalu, terang- terangan aku menelepon Asih dari sebuah hotel.
Operator hotel yang kuminta untuk menghubungkan aku dengannya.
"Sam, malam ini kau tidur di hotel? Kalau begitu, tentu aku tidak perlu
menunggumu makan malam."
Malah aku sendiri
yang menjadi gelagapan. Bingung. Padahal aku sengaja menghabiskan sejumlah uang
hanya untuk membangkitkan kecurigaan Asih, untuk membuatnya bertanya dan marah-marah.
"Asih, selamat tidur, ya," kataku setelah tak tahu lagi apa yang harus
kuomongkan.
Terngiang di benakku
kalimat Rustam, teman sekantorku: istri yang tidak pernah curiga patut
dicurigai!
"Dicurigai? Maksudmu?"
tanyaku penuh selidik.
Rustam tertawa. Lama
juga ia melepaskan tawanya dengan keras. Setelah aku membiarkan ia
menyelesaikan tawanya, aku mengulangi pertanyaanku.
“Sam, jangan salah duga dulu. Maksudku begini; Bila seorang istri tidak pernah bertanya
pada suami tentang apa-apa saja kegiatan suaminya di luar rumah, di luar jam
kerja, maka itulah yang perlu dicurigai. Artinya, kadar cinta si istri harus
disangsikan. Mana mungkin seorang istri yang mencintai suaminya tidak bakal
bertanya?" Rustam menyernyitkan
jidatnya. "Kautahu, Sam, aku saja, tiap kali pulang terlambat, istriku cemberut. Lantas bertanya: Mas, kok
baru pulang? Plesiran dulu, ya? Dengan siapa sih? Pasti perempuan
itu cantik, genit dan manja, ya?"
Aku tersenyum
memperhatikan Rustam yang menirukan gaya istrinya. "Begitukah?"
tanyaku kemudian.
"Tapi
kadang-kadang jengkel juga, Sam. Bagaimana tidak
jengkel, jika kita kerja mati- matian di kantor, lembur dan kemudian pulang
terlambat. Eee, sampai di rumah malah dicurigai, ditanyai macam-macam," lanjut Rustam. “Tapi saya
bangga juga punya istri begitu. Itu tandanya dia takut kehilangan kita,
kan?"
"Apakah
pertanyaan-pertanyaan begitu tidak malah membuat kesal? Memancing pertengkaran?"
tanyaku memancing.
"Tergantung
bagaimana kita menerima. Kalau seorang suami dengan tulus menganggap bahwa
kecurigaan istrinya itu bermaksud baik, maka itu tidak akan masalah. Mana ada istri-istri yang ingin meneror
suaminya terus menerus? Maka dari itu semuanya tergantung kepada suami juga.
Tapi kalau istri kelewat ekspresif, ya mana ada suami yang tahan. Lihat Sutarji, rumah tangganya jadi berantakan karena setiap menit istrinya memonitor
geraknya. Menelepon tiap-tiap sebentarlah, menyewa seorang mata-matalah. Lha, kalau seperti itu, saya juga tidak bakal sanggup."
"Apakah
perempuan yang tidak curiga, itu berarti ia tidak cinta?" tanyaku lagi.
"Tidak selalu. Mungkin saja si istri kelewat percaya, terlalu yakin suaminya tidak bakal
menyeleweng..., hmm... atau mungkin juga karena memang tidak terlalu cinta...."
Jawaban Rustam
tercerna cepat dalam benakku. Barangkali benar karena memang tidak cinta. Tapi,
tidak cintakah Asih padaku?
"Tapi jangan
terlalu cepat mengambil kesimpulan," lanjut Rustam. "Perempuan itu banyak misterinya. Dan misteri itulah yang harus dipecahkan oleh seorang
suami."
“Tapi seorang istri juga membutuhkan teguran, protes
dan pertanyaan-pertanyaan dari suaminya, lho," tutur Astuti nimbrung.
Aku memalingkan muka
padanya. "Maksudmu?"
tanyaku tertarik.
"Istri itu juga
manusia. Juga membutuhkan perhatian dan cinta dari suaminya. Kalau seorang
istri tidak pernah ditegur, tidak pernah ditanya, tidak dicurigai, tidak
dicemburui, ya mana berani ia macam-macam pada suaminya."
"Artinya?"
seling Rustam bertanya.
"Si istri tidak akan berani menegur, bertanya, mencurigai, atau menteror suaminya, sementara
ia sendiri tidak pernah dicemburui," tutur Astuti. "Logis, kan?"
Sekali guntur
menggema, lamunanku kembali beralih ke bintang yang mengerjap lemah. Duh, kian
lemah saja ia di antara pekat awan yang tebal.
"Sam, belum tidur?" tiba-tiba saja Asih telah menyentuh kepalaku. Tangannya
dengan lembut membelai-belai rambutku. "Begadang cari inspirasi?"
lanjutnya.
Aku diam saja. Mimpi
apa semalam hingga Asih begini mesranya.
"Di sini banyak
angin. Ada yang akan kaubicarakan denganku?" tanyanya kemudian.
"Asih, aku
mencintaimu," desahku pasti.
Kudengar Asih tertawa
kecil. "Sudah lama aku tahu itu. Bahkan jauh sebelum kau mampu
mengutarakannya padaku."
"Duduklah.
Barangkali malam inilah saat yang tepat untuk bicara. Di sini menyenangkan
sekali," tawarku menggenggam tangannya.
"Aku akan duduk
bila kauizinkan di kursi yang engkau duduki.”
"Silakan,"
kataku segera bangkit.
"Eit, jangan
pindah. Kita duduk bersama. Aku duduk di pangkuanmu...."
Kalimat Asih bagai
hujan deras dalam kemarau yang panjang. Aku kembali duduk. Asih pun dengan
enteng duduk menyilang di pangkuanku. Tangannya digayutkan ke leherku. Kami berhadapan.... Duh, dadaku seperti bergelora. Cintaku seperti
menggebu-terbakar. Hasratku untuk mencumbunya menjulang ke puncak yang tinggi,
puncak yang menggairahkan. Tapi, tidak malam
ini. Aku harus bicara padanya. Bukan bercinta!
"Ada apa, Sam. Tidakkah terlalu larut untuk bicara?" tanyanya dengan kemanjaan yang
kian melambungkanku. "Tentang momongankah? Jangan terlalu dipikirkan, Sam. Dokter bilang kita sama-sama sehat, normal. Hanya tinggal menunggu saja,
kan?"
"Bukan. Bukan
itu, Asih."
Aku melemparkan
tatapan ke langit yang kian kelam. Bintang yang tadi masih kulihat mengerjap dengan lemah, kali ini benar-benar telah hilang, mati, pudur.
“Tentang hubungan kita," lanjutku dengan nada
yang bahkan terasa asing di telingaku sendiri.
Asih terdiam.
Digelosohkannya tubuhnya
sedikit, hingga beban tubuhnya yang tadi tertumpu pada kedua pahaku, kini
berpindah sebagiannya ke kursi, la masih duduk menyilang.
"Engkau
merasakan sesuatu kelainan dalam rumah tangga kita?" tanyaku.
Asih melepaskan
gayutan tangannya. Kemudian
digurat-guratnya sisi kursi dengan kukunya.
"Kita saling menyintai, bukan?" Asih balik
bertanya setelah terdiam beberapa lama.
Aku merasa tidak
perlu menjawab.
Asih berdiri. Lambat
dia berjalan ke tepi teras. Diusapnya daun pinus kecil di pot dengan lembut.
"Sam, yakinkah kau bahwa kita saling mencintai?"
Kembali aku diam.
Menatap lurus pada matanya. Beberapa saat kunikmati sorot matanya, kurangkum
makna siratannya dengan kalimat-kalimat skeptis: antara cinta dan tidak peduli!
Ketidakpeduliankah yang tengah mengiringi perjalanan rumah tangga kami?
"Asih,"
kataku kemudian. “Tak ada
onak-duri dalam rumah tangga kita. Tak ada kecurigaan, was-was, cemburu dan
pertengkaran. Rumah tangga kita adalah rumah tangga diam. Diam."
“Tak ada onak-duri," gumam Asih setengah
mengeja. "Tak ada onak-duri," ulangnya sekali lagi. "Apa maksudmu?"
"Kau tidak
pernah mencurigaiku, Sih. Seolah apa yang kulakukan adalah benar. Bermalam di
hotel, tak pulang semalaman, tanpa pamit
pun, kau tidak pernah bertanya. Kau tidak mencurigaiku. Kau tidak
mencemburuiku, Sih.”
Asih sedikit
mengangkat mukanya, sedikit tengadah. Ditariknya napas. Lalu, "Perlukah onak-duri itu, Sam? Haruskah aku
bertanya ini-itu padamu? Kemudian kita malah akan bertengkar? Tidak, Sam. Aku percaya padamu."
"Orang yang
mencintai punya kecemburuan, Sih. Punya kecurigaan dan kekuatiran."
"Itu artinya
mencintai yang setengah-setengah. Sepasang manusia yang benar-benar mencintai
dengan tulus, sejati dan sungguh-sungguh, tidak memerlukan semua itu."
"Begitukah?"
"Cinta dan
kepercayaan akan menghapus cemburu," gumam Asih kemudian, dengan nada ragu
di telingaku.
Aku tercenung.
Menatap pada satu titik: cincin pernikahan kami di jari manis Asih. Lama.
Menari-narilah bayangan masa lalu, ketika aku menyusupkan cincin itu ke jari
Asih.
"Asih, aku
membutuhkan cemburumu, kecurigaanmu.
Aku butuh semua itu, Sih," kataku dengan lambat, tanpa melihat mimik Asih.
Sebentar Asih
terdiam. "Sam," katanya kemudian. "Pernahkah kau berpikir bahwa aku juga membutuhkan
itu?”
"Maksudmu?"
Asih memutar
tubuhnya. Ditengadahkannya wajah. Lurus menatap langit yang hitam. Tanpa
melihatku ia bicara, "Kau tidak pernah mencemburuiku, mencurigaiku, apalagi memarahiku, Sam.”
"Aku tidak punya
alasan untuk itu."
"Kaupunya, tapi
tidak kaulakukan!"
"Begitukah?"
tanyaku seperti membodoh.
Asih berbalik,
melihatku. “Tidak sekali-dua aku diantar pulang oleh seseorang.
Laki-laki. Di luar jam-jam seharusnya aku telah pulang. Pernahkah kau bertanya:
Asih, siapa laki-laki itu? Mengapa pulang terlambat?"
"Haruskah aku
mencurigai seorang laki-laki yang dengan baik hati telah mengantar istriku
pulang? Bukankah itu picik namanya?"
"Tidakkah
kaulihat bagaimana aku melambaikan tangan dan tersenyum manis padanya? Tidakkah
kau menaruh curiga?"
"Tidak lebih
dari ekspresi terima kasih di mataku."
"Itu yang
kumaksud. Kau tidak punya perasaan cemburu. Kau tidak punya perhatian terhadap
apa yang kulakukan. Semuanya seolah baik di matamu."
"Aku mempercayaimu,
Sih.Tidak ada alasan untuk bertanya, curiga, apalagi untuk marah-marah."
"Lalu, mengapa
kau harus bertanya mengapa aku tidak cemburu, tidak bertanya padamu jika pulang
terlambat, jika tidur di hotel?"
Aku diam saja.
"Engkau tahu, Sam. Aku tidak mencurigaimu karena kau tidak mencurigaiku. Seiring aku mulai
menanam keyakinan bahwa kau tidak punya perhatian padaku. Kau tidak
memperhatikanku. Tidak jarang kau menginap di tempat lain tanpa bicara, tanpa
pamit. Lalu aku harus bagaimana, Sam? Itu
hakmu," suara Asih mulai terdengar sengau. "Kalau pun pulang ke
rumah, akhir-akhir ini kita jarang bermesraan. Kau memilih tidur di depan
televisi. Sementara aku kau biarkan tidur sendiri di kamar. Kau tidak lagi ada
di saat aku membutuhkanmu, Sam...."
"Sejauh itukah,
Sih?" potongku.
"Aku tidak mau
mengganggu kesenanganmu, kebebasanmu hidup di luar sana. Aku tidak ingin
mengganggumu, Sam!"
Akhirnya Asih
benar-benar menangis.
"Asih, kau
menangis?"
"Rumah tangga
kita, apakah hanya basa-basi, Sam?" Asih menghapus air matanya. "Apakah memang tidak ada lagi kecemburuan
di antara kita? Tidak boleh marah? Sam, aku butuh
sekali waktu kau menegurku, memarahiku."
"Begitu pun
aku," ulasku getir. "Saling tidak peduli, percaya penuh pada pasangan
masing-masing, pada akhirnya membuat kita kalah, Sih?"
Sebuah guntur yang
keras menggelegar. Satu-dua kilat menyabung. Langit pekat berwarna terang.
"Hidup tanpa
kecurigaan, ternyata tidak enak," gumamku
lambat.
Asih menyusut air
matanya. Dipandanginya aku yang menunduk memandangi lantai. "Sam, onak-duri itukah yang kau maksud?"
Aku mengangguk.
Hujan turun perlahan.
Perlahan menuju
deras. Tiga kali petir menyambar, air mengucur deras. Turun tak terkendali.
"Malam kian
larut," tuturku sambil memperhatikan air mencucur di talang rumah.
Asih berjalan
mendekat.
"Esok lusa aku
akan sering marah-marah padamu," gurauku pada Asih. la tersenyum lebar.
"Ya, esok lusa
akan menyambutmu dengan semburan tanya dan kecurigaan," balasnya.
Kami tertawa.
Aku berdiri.
Asih berbalik, seolah memberi jalan untukku agar dapat memeluknya dari
belakang. Kurengkuh tubuhnya dalam-dalam. Menggesek-gesekkan bibirku di
belakang telinganya.”
"Hujan telah
turun deras, Sayang. Tidakkah kau ingin kita secepatnya punya momongan?"
tuturnya sambil menggeliat manja.
Aku tertawa keras.
Dengan sigap kuseret tubuh Asih ke dalam.
"Jangan biarkan
pintu terbuka," katanya mengerling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar