Dimuat di Majalah Wanita Kartini
Nomor 616 14 Mei 1997 hal 80 - 82
Ayi
meremas jemari tangannya, sekeras mungkin. la tidak lagi mengacuhkan ketika
kletukan dijemarinya membuat nyeri. la merasakan benar betapa sakitnya hati
seorang perempuan ketika mengetahui suaminya jatuh cinta lagi. la paham itu. la
mengerti meski ia belum lagi bersuami. Duh, benarkah hati perempuan itu sangat
sakit dan terluka?
Tapi
kini, hati perempuannya, ingin menangis. la menjerit. la ingin menggugu dan
menumpahruahkan segala air yang telah dibendungnya di kelopak mata sejak siang
tadi. Sejak suara lirih dan tergugu itu mengalir dari horn telepon ke liang
telinganya yang kecil.
Sungguh,
ia, Ayi, benar-benar ingin menangis. Ia ingin merintihkan perasaan
keperempuannya, perasaan semua perempuan dalam kepelikan persoalan hati. Tapi
ia merasa sangat lelah dan dadanya amat sesak. Sering, dalam kelelahan dan
kesesakan, orang tak bisa lagi menangis, tak lagi bisa menikmati air mata dan
kesedihan. Dan kini, saat ini, ketika nyeri dijemarinya mulai terasa, ia
kembali dipalun rasa. Diombang oleh amuk yang ia tak kuasa memahaminya.
Benarkah ia akan begitu tega menerima permintaan itu? Permintaan yang bahkan
tak akan dilakukan oleh wanita manapun?!
Tapi
kini ia harus menghadapi permintaan itu. Harus bertempur dengan segala
perasaan, pikiran, dan jiwa keperempuannya sendiri.
Ia,
Ayi, sangat gulana.
Ayi
mendesah. Ayi menelan gundah.
Dan
ia, lambat-lambat, berjalan ke arena parkir yang mulai kosong. Angin senja
Jakarta yang sesak dan panas, membuat ia ingin cepat-cepat masuk ke mobil.
Mengunci diri dalam ruangan ber-AC itu dan kemudian menghembuskan segala yang
menyesak dadanya.
"Mbak,
biarkanlah suami saya mencintai, Mbak. Jangan biarkan ia frustasi dan kecewa
dengan perasaannya. la laki-laki yang baik, Mbak. Ia penuh tanggungjawab dan
sangat setia. Benar, kami keluarga yang bahagia, Mbak. Kami menjalani
kebahagiaan itu seolah kami tak ingin melepaskannya ... tapi bukankah
kebahagiaan tidak akan selamanya kita miliki? Adakalanya kita harus
melepaskannya dan memberikan kebahagiaan itu kepada orang lain..."
demikian suara lirih itu mengalir dalam horn telepon ke telinga Ayi, berdenging
lagi, mendentang lagi dan membuat perempuan itu menarik nafas dalam-dalam.
Mobil telah distarternya, tapi tangannya belum jua menyentuh handle
porseneling. la hanya menatap kosong ke pelataran parkir yang diseraki
daun-daun mahoni.
"Mbak,
sejak suami saya kenal dengan Mbak, ia seperti menemukan gairah hidupnya
kembali. la berbahagia. la pernah bergumam dalam tidurnya, menyebut nama Mbak
dengan bahagia. Ya, bibirnya tersenyum sangat puas, Mbak. Kalau saja Mbak
melihat tidurnya itu, Mbak akan sependapat dengan saya, bahwa ia, lelaki yang
sedang jatuh cinta..." Dan suara di telepon itu kian lirih. Dalam. Dan, di
telinga Ayi, terdengar menyayat. Ayi merasakan lidahnya amat kelu. la merasa
tidak mengerti tapi ia mencoba untuk memahami situasi.
"Mbak,
kabulkanlah permintaan saya ini ... biarkan dia mencintai, Mbak..."
Ayi
merasakan dadanya sangat sepat. Bergalauan dan bergelombang tidak teratur. la
tidak mengenal perempuan yang tengah bicara itu, tapi ia mendengarkan juga. la
bisa mengira-kira siapa gerangan lelaki yang dimaksud, tetapi ia belum paham
benar. Ayi lagi-lagi menarik nafas panjang.
"Saya
istri Joseph, Mbak..."
Dan,
Ayi tercekat. la merasakan kerongkongannya sangat kelat. Pahit. Lihat, serupa
mendengar sesuatu yang sulit dipercaya, ia, Ayi, memejamkan matanya.
"Saya
ingin bertemu dengan Mbak. Saya harap, lusa kita bisa bertemu. Saya akan
menunggu Mbak di Restoran Central Palace, jam makan siang. Saya mengenakan gaun
merah jambu, duduk di meja pojok kanan. Maafkan saya, Mbak, kalau siang ini
saya telah mengganggu."
Tidak
menunggu jawaban Ayi, perempuan di seberang itu telah menutup telepon. Tapi Ayi
masih saja memegangi horn itu dan membiarkan dengingannya memasuki setiap celah
anak telinganya. la terpaku dan merasa sangat tidak mengerti.
"Maaf,
Bu, ada kesulitan dengan mobil Ibu?" Satpam kantor, seperti begitu saja,
telah ada di samping mobilnya. Ayi menoleh dan melihat keramahan Satpam itu
dari kaca yang setengah terbuka. Dan ia tergagap.
"Oh,
tidak apa-apa, Pak. Saya hanya sedikit lelah."
"Baiklah,
hati-hati menyetir, Bu. Dalam kelelahan sering kita tidak konsentrasi."
Ayi
hanya tersenyum dan kemudian menjalankan mobilnya.
***
INI
HARI yang ditentukan. Setiap detak jam, dari tadi pagi, seperti dentuman yang
menggalaukan hati Ayi. Tumpukan berkas-berkas di mejanya tak tersentuh. Serasa
ia melihat tumpukan persoalan yang membelit, berserakan dan membenturkan setiap
gerak bola matanya. Tak satupun berkas-berkas itu diperiksanya. la berpeluh dan
berkali-kali melap keringat dengan tisu.
Pukul
10.45. Jam makan siang masih dua jam lagi. Tapi ia merasa waktu terlalu cepat.
Sekali ia bangkit dan melempar pandangnya ke luar kaca. Deretan mobil di
pelataran parkir di bawah sana, terlihat seperti barisan mainan anak-anak:
kecil-kecil dan berwarna-warni. Dari ruang kantornya di lantai 23 ini, ia
merasa seperti tengah berada dalam awan yang sangat pekat. Dalam gemuruh angin
yang bergulung-gulung.
"Bu,
ada tamu dari Dinas Kota," suara Indri, sekretarisnya, seperti sebuah
guntur yang mendentum tiba-tiba. Dan ia menoleh sangat kaget.
"Kalau
mau masuk, ketuk dulu. Sudah berapa kali saya peringatkan!"
"Saya
sudah mengetuk berkali-kali, Bu. Tetapi tidak ada jawaban. Saya pikir ada
apa-apa dengan lbu."
Fuh,
ada apa-apa?! Apa dikiranya aku ini perempuan lemah yang tengah sekarat terduduk
lemas di kursi?!
Tamu
yang mengaku dari Dinas Kota itu membuat ia semakin sesak. Permintaan tamu itu
agar perusahaannya menjadi salah satu donatur dalam sebuah acara, yang
disampaikan dengan tidak simpatik, membuat Ayi mual. Maka ia tidak mengambil keputusan.
Terlalu banyak yang masih harus dipikirkannya!
"Sudah
pukul 12.30, Bu. Katanya Ibu ada janji makan siang di Central Palace,"
begitu Indri mengingatkannya ketika ia masih saja terduduk di depan meja kerja,
memandangi berkas-berkas tanpa berbuat apa-apa.
Tapi
ia bimbang. Haruskah ia datang ke sana dan berbicara dengan seorang perempuan
yang istri dari laki-laki yang akhir-akhir ini sangat dekat dengannya?
Ayi
segera mengambil kunci mobil.
***
PEREMPUAN
itu berusia sekitar tiga puluh lima, begitu Ayi mengira. Kulitnya putih bersih
dan terawat dengan sempurna. Rambutnya pendek, pirang dan cenderung kemerahan.
Tubuh putih yang dibalut gaun merah jambu itu terlihat sangat cantik.
"Sandra.
Saya Sandra Koenigh." Begitu perempuan itu menyebutkan nama dan mengulurkan
tangan. "Mbak Isti Windayanti, bukan?" Ayi mengangguk sambil
melepaskan senyumnya yang bagus. la hanya masih belum paham. "Silakan
duduk, Mbak. Oya, saya telah memesan beberapa jenis makanan. Akan segera
diantar. Maaf, Mbak, kalau Mbak tidak suka salah satunya, tentu bisa memilih
yang lainnya."
Seperti
orang yang tidak mengerti apa-apa, dan mungkin terlihat bodoh, Ayi duduk.
Sebentar saja beberapa pelayan telah menghidangkan beragam makanan.
Perempuan
itu, Sandra, mulai makan. Seperti tidak dalam masalah yang besar, ia makan
sedikit lahap. "Saya memang belum makan dari pagi. Dan kebetulan ini
makanan kesukaan saya dan Josep." Tapi Ayi hanya memakan sepotong steak.
Dan sebentar-sebentar menyedot minumannya seolah sangat haus.
Masih
dalam wajah yang sangat tenang, selesai makan, Sandra memulai pembicaraannya.
Pembicaraan yang sangat ditunggu oleh Ayi. Pembicaraan yang bahkan membuat ia
sangat galau.
"Mbak,
sekali lagi saya minta maaf karena dengan lancang telah mengundang Mbak untuk
makan siang. Ya, undangan yang sama sekali belum Mbak setujui. Tapi dengan
kedatangan Mbak ke sini, bukankah itu persetujuan?" perempuan berkulit
putih itu sedikit tersenyum. Tapi Ayi melihatnya sebagai suatu kegetiran. Duh,
perempuan berkulit putih, yang bersahaja, yang kesantunannya bahkan melebihi
perempuan Jawa sekalipun. Inikah perempuan yang perasaannya telah kulukai? Yang
suaminya telah kucintai? Ah, ah, betapa teganya aku... rutuk Ayi, amat galau.
"Seperti
saya katakan di telepon, saya merelakan dan mengizinkan Joseph untuk mencintai
Mbak. Dia lelaki baik dan setia. Dia pun sangat menyayangi kami, maksudku, aku
dan Aloisa, anak kami. Sekarang yang sangat saya harapkan adalah, biarkanlah
dia mencintai Mbak dan terimalah cintanya sebagaimana perasaan dan hati Mbak
menuntutnya..."
Kali
ini Ayi tidak saja merasa kerongkongannya kelat, tapi ia merasa tercekik.
Seperti kehabisan udara, dadanya sangat sesak. Semua cerita cintanya dengan
Joseph hadir utuh di meja makan. Ia seperti melihat seluruh apa yang telah
dijalaninya bersama lelaki itu dipiring-piring yang sebagian besar belum
tersentuh.
"Saya
tidak mengerti maksud pembicaraan Anda..."
Fuh!
Ayi menyesali kalimatnya yang baru saja terlontar. Ia merasa sangat naif dengan
kata-kata. itu. Dan mukanya menjadi merah.
"Saya
tahu semuanya, Mbak, karena saya mempunyai seribu mata dan seribu telinga. Dan
saya memahaminya. Saya mengerti dan bahkan saya bahagia bila benar Joseph telah
menemukan lagi pengganti saya..."
Tapi
suara itu, di telinga Ayi, terdengar sangat merintih dan sakit. Suara yang
keluar dari dada yang koyak-moyak.
"Tahun
ini adalah tahun kelima kami tidak melakukan, maaf, apa yang seharusnya
dilakukan sepasang suami dan istri. Mungkin saya telah menjadi patung, menjadi
manekin yang hanya bisa dipandangi. Ini tahun kelima pula saya menjalani
hari-hari sebagai pesakitan penderita kanker darah. Dan itu berarti perjalanan
saya semakin dekat dengan akhir. Dengan sesuatu yang pasti akan dilalui semua
manusia, semua makhluk yang bernyawa....”
Kembali
Ayi tersedak. Dan kini dadanya sendiri sarasa dicabik-cabik. Begitu beratkah
derita yang ditanggung wanita cantik di depannya? Dan, bukankah itu berarti, ia
telah begitu jahat kepada wanita ini? Merampas kebahagiaan orang lain dengan
merebut suaminya?
Ayi
merasakan sakit yang sangat di relung dadanya. Dan ia mengutuk hatinya yang
telah begitu tega mencintai dan menerima cinta suami orang lain! Suami wanita
yang tengah sekarat. Betapa terkutuknya aku, batinnya dengan gulana.
"Aloisa
sekarang delapan tahun. la anak baik, cantik dan cerdas. Sudilah Mbak untuk
menjadi Ibunya. Oya, saya kira ia akan segera datang. Saya telah pesan pada
sopir saya untuk mengantarnya ke sini sepulang sekolah." Wanita itu
melihat jam tangannya. "Ya, ia akan segera datang."
Ayi
kembali membasahi kerongkongannya.
"Saya
taHu Aloisa akan menyukai Mbak. Dia akan menyukai dan menyayangi Mbak seperti
dia menyayangi saya..."Wanita itu berhenti bicara dan menoleh ke lobby
yang kelihatan dari balkon yang ditutupi kaca ini. "Nah, itu Aloisa. Dia
akan ke sini."
Ayi
melempar pandangnya. Gadis kecil berseragam itu memegangi tangan seorang lelaki
kurus tinggi --mungkin sopirnya, pikir Ayi, melangkah menuju lift. Beberapa
saat saja gadis itu telah berlari memasuki ruangan dan memeluk ibunya.
"Ini
Ibu Isti, yang Mama ceritakan itu, Loisa," kata Sandra membantu
menjulurkan tangan anaknya untuk bersalaman dengan Ayi. Ayi menangkap tangan
kecil yang halus dan lembut itu dengan perasaan bergetar. Ibu? Aku disebutkan
sebagai lbu? Duhai, aku tak paham...
Dan
gadis kecil itu memang cepat menjadi akrab.
"Nah,
sekarang, Loisa kembali ke mobil, ya, dengan Pak Pung. Mama akan segera
menyusul." Gadis kecil itu segera berlari lincah menuju lelaki kurus
tinggi, yang sopir itu, yang berdiri sangat hormat beberapa jarak dari meja.
"Sering
main ke rumah Loisa, ya, Bu..."gadis kecil itu berteriak dengan ceria dan
melambaikan tangan pada Ayi. Dan, sempurnalah sudah, hati Ayi dikepung oleh
perasaan-perasaan yang campur aduk.
"Maafkan
saya, Mbak. Saya sering menceritakan tentang Anda pada Loisa. Saya sengaja
menyebut Ibu untuk sapaan pada Anda. Agar dia terbiasa..."
Ayi
menelan ludahnya. Sangat pahit. Ia seperti merasa sangat dungu untuk memahami
apa yang terjadi. Ia seperti sangat pandir hingga tak bisa mengucapkan banyak
kata. Perasaannya telah diamuk oleh perasaan bersalah pada Sandra dan Loisa,
pada orang-orang yang mencintai Joseph, laki-laki yang juga dicintainya.
Kembali Ayi, berpeluh.
Entahlah,
Ayi tidak banyak berkata-kata. la tidak tahu harus mengucapkan apa. Hingga
kemudian mereka berpisah. Hingga kemudian ia membaca sebuah iklan dukacita di
sebuah harian besar ibukota:
Selamat
Jalan... Sandra Satelnick Koenigh. Kami akan selalu berdoa untuk
kebahagiaanmu...Yang senantiasa menyayangimu: Joseph Concordius Alamba dan
Aloisa Dwiningrum Darmapathni.
Ayi
merasakan air mata jatuh satu-satu dari sudut matanya. Tawa ceria gadis kecil
itu hadir utuh di ruangan kantornya. Dan Ayi, kemudian menekurkan kepala.
Amat
khusyuk dia berdoa. Berdoa untuk perempuan bersahaja yang bahkan belum sempurna
dipahaminya.
Ayi
membiarkan air matanya jatuh. Dan ia merasakan aroma melati yang tertebar dan
hawa tanah basah pemakaman. Ia terus membiarkan air matanya jatuh dan ia terus
mengirimkan doa-doa. Ayi sangat berduka.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar