RINDU DI RUMAH RUNTUH (Bagian 2)

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 552 tanggal 15 – 24 Juli  1995
Bonus Novelet


II (DUA)

INI entah bulan ke berapa aku seperti kehilangan suamiku sendiri. Mas Pri masih saja sibuk dan nyaris tidak punya waktu lagi buatku, selain mengantarku ke dokter, memeriksakan kandunganku yang sudah mendekati tujuh bulan. Ya, hanya itu saat-saat yang kumiliki bersamanya. Selebihnya, hanya kesendirian dan kesunyian yang mengeliling hari-hariku. Terasa amat panjang dan penat.
Dan, malam ini, entah malam ke berapa, masih saja aku duduk di beranda yang jendelanya terbuka. Menikmati hawa malam yang khas dan tiupan angin lembab yang bagiku setidaknya menjadi teman yang setia.



Di halaman masih saja terdengar sesekali mersik daun dan suara ranting-ranting yang bergesekan. Sesekali lampu mobil yang lewat menerangi malam yang pekat. Merkuri yang berjejer sepanjang jalan terasa terlalu lemah untuk dapat mengimbangi kepekatan malam, yang bagiku, sangat janggal. Tapi masih saja aku menikmatinya dalam keperihan dan kepasrahan yang tidak berujung. Dan, di teras, masih terdengar sesekali gesekan si Bleki dan dengusannya yang lembut.
Semuanya begitu memberi arti!
Perlahan mataku yang lelah melirik jam dinding: telah 12.36! Dan, tak ada tanda-tanda Mas Pri akan segera pulang.
Akhirnya, dalam kepasrahan dan ketidakberdayaan, aku tertidur di sofa. Tertidur sebagai perempuan hamil yang kehilangan pegangan. Amat lelahnya!
Ketika aku membuka mata, dan tepat mengarah ke jam dinding yang menunjukkan pukul 2.20 dinihari, Mas Pri tengah berada di sampingku, sedikit membungkuk. Tangannya yang dingin menempel di pipiku.
“Pur, mengapa tidur di sini? Lihat, jendela kau biarkan terbuka. Kau tidak perlu menungguku pulang, Pur. Toh, ada Bi Anih, kan?"
Aku hanya mengamati Mas Pri. Dalam temaramnya lampu beranda masih dapat kutangkap wajahnya yang letih.
"Kau sedang hamil, Pur. Tidak baik begadang terus, bagi engkau dan anak kita. Kau harus banyak istirahat," lanjut Mas Pri lagi sembari menuntunku berdiri. Kemudian dibimbingnya ke kamar.
"Mulai besok, jangan ulangi lagi, Pur."
Lagi-lagi aku hanya diam sambil mengamatinya. Mas Pri membuka bajunya dan mengganti dengan piyama. Masih dalam kesenduan yang dalam aku berusaha untuk tenang. Berusaha untuk tidak meletupkan kemarahan. Dan, dengan perasaan yang seperti dicabik-cabik, aku duduk di bibir ranjang.
Seperti biasanya, bagai diluluhkan oleh kharismanya, aku bertanya kelu, “Mas, apakah masih ada waktu untuk kita bicara? Bicara terbuka dan sejujurnya?"
Sebentar Mas Pri memperhatikan raut wajahku. Lalu ia berjalan mendekat dan duduk di sampingku.
"Mengapa tidak, Pur. Kita selalu punya waktu untuk bicara dan bukankah kita selalu jujur dan apa adanya?" Mas Pri menyentuh pundakku, tapi seperti ada yang memintanya aku menepis tangannya dengan lunak.
"Apakah saat ini tepat untuk berbicara, Pur? Sudah pukul tiga pagi." Mas Pri sekali menguap kemudian berkata, "Aku rasanya sangat lelah malam ini. Sebaiknya kita tidur saja, ya?" Tanpa menunggu jawabanku Mas Pri telah merebahkan tubuhnya. Dikepitnya guling dan ia tidur miring menghadap ke dinding. Punggungnya tepat menghadap padaku. Dan aku hanya menarik nafas.
“Mas, ada sesuatu yang tengah terjadi di antara kita sejak beberapa bulan yang lalu," tuturku, pelan, nyaris terdengar sebagai keluhan. "Apakah Mas tidak merasakannya?"'
Mas Pri memutar tubuhnya dan menghadap ke arahku. Matanya yang legam, kurasa, tengah menatapku tanpa kedip. "Aku tidak merasa apa-apa kok, Pur," katanya, tenang.
Lagi-lagi, hanya nafas yang dapat kutarik. Berat.
"Sudahlah. Sebaiknya sekarang tidur. Tidak baik bagi janin dalam kandunganmu. Ayolah, jangan membantah, Pur. Sudah pagi," katanya lagi, amat takzim.
Dan, seperti biasa, kembali aku hanya menurut. Mungkin benar tidak tepat untuk berbicara malam ini. Perlahan, dalam kesenduan yang kembali mengepung, aku merebahkan tubuh yang telah menjadi penat.
Waktu beranjak. Hening. Hingga kokok ayam pertama aku masih saja belum dapat memejamkan mata.


III (TIGA)

DELAPAN bulan sudah janinku tumbuh dan hentakannya semakin terasa. Dan, masih saja aku sendiri, merasa tidak dipedulikan lagi oleh suamiku sendiri. Duh, apa sebenarnya yang tengah terjadi, Mas Pri? Tak kau tahu hagaimana di saat-saat kehamilan seperti ini aku selalu ingin ditemani?
Dan, di beranda ini, pukul sebelas malam, masih saja aku hanya duduk sambil menikmati hawa malam yang menerobos masuk lewat jendela yang terbuka. Setiap kali terpaan angin menyentuh poriku, setiap kali itu pula kegetiran seperti menggalaukan perasaanku.
Malam ini aku tidak akan mendapatkan Mas Pri yang pulang larut malam. Kemarin pagi ia ke Semarang, urusan kantornya. Yang jelas kemarin Mas Pri hanya berkata akan pergi lima hari.
Lima hari! Ah, persetan dengan hari-hari! Apakah ia akan pergi lima hari, sepuluh hari, seratus hari, atau seberapa ia mau. Aku merasa telah amat pasrah akan kenyataan atas rumah tangga kami. Entahlah.
Dering telepon tiba-tiba menyentakku. Kudengar bagai dengingan yang memekakkan. Biarlah telepon itu terus berdering. Biar saja. Aku tidak akan menjawabnya, batinku dalam suasana hati yang tiada menentu. Beberapa kali berdering kemudian hening.
"Pur," begitu Bi Anih selalu memanggilku, bersuara, "telepon dari Pak Pri."
"Semalam ini?"
"Beliau ingin bicara dengan Pur."
“Kau katakan aku belum tidur?"
"Apa boleh buat, saya telah berkata begitu."
"Seharusnya di malam selarut ini kau tidak berkata begitu," ketusku begitu saja. Perempuan abdi setengah baya itu sedikit terkejut melihat padaku.
"Dia suamimu, Pur. Bagaimanapun larutnya!”
"Sudahlah, tak perlu menggurui, Bi Anih," aku bangkit dan berjalan ke ruang tengah.
“Kalau ada apa-apa saya di kamar," ujar Bi Anih dan berlalu menuju kamarnya.
Baru saja horn telepon kudekatkan ke telinga, terdengar suara:
"Mengapa belum tidur, Pur? Sudah larut."
"Karena Mas meneleponku," jawabku asal saja.
Sebentar ia seperti terdiam. Lalu berkata, "Ada sesuatu yang kaupikirkan, Pur?"
Aku menarik nafas. Dalam hati kukuatkan untuk bicara sejelas-jelasnya. Barangkali lewat media telepon seperti ini aku lebih bisa berkata terang dan jelas. Menuntaskan segala permasalahan di antara kami.
"Banyak yang kupikirkan, Mas ... sejak berbuIan-bulan yang lalu!"
“Aku tidak mengerti, Pur."
“Mas selalu tidak mengerti! Tidak punya perhatian sedikitpun! Aku merasa tak lagi punya suami!"
"Aku suamimu, Pur.”
"Suami yang lari dan menjauhi!"
"Kau berubah, Pur."
"Kau yang berubah!" suaraku bagai meradang, telah menghardik suamiku, Mas Pri. Dan kudengar dari horn telepon ia menarik nafas panjang. Terdengar sengau.
"Bicaralah, biar aku tahu, Pur ..." ujarnya, kembali bagai sediakala, tenang dan berwibawa.
"Kau di hotel, Mas?"
"Ya.”
"Sendiri?"
"Dengan siapa lagi, Pur. Jangan berprasangka."
"Anakku akan lahir tanpa bapaknya," kudengar suaraku sendiri amat galau.
"Aku suamimu, Pur. Aku bapak dari anak kita!”
"Kau bicara begitu sekarang setelah berbulan-bulan aku kau telantarkan?!"
"Pur!" Untuk pertama kali kudengar suara Mas Pri, suamiku, begitu garang. Ada nada yang janggal dari teriaknya. "Jangan berpikiran begitu, Pur. Kita akan segera punya anak dan kita akan membesarkannya bersama-sama. Akan membimbingnya dengan sepenuh kasih kita di istana yang kita impikan dulu. Kaulupa itu, Pur?"
Aku hanya diam. Tak tahu aku harus bagaimana. Benarkah Mas Pri ingat akan janji itu? Akan impian kami di masa pacaran dulu?
“Pur, aku ingin anak kita lahir di saat kita benar-benar siap menerimanya. Moril dan materil.”
"Maksud, Mas?"
“Saat ini tidak tepat untuk bicara. Tidurlah, Pur. Ingat anak kita dalam kandunganmu."
Uh! Selalu itu yang dikatakannya setiap kuajak bicara. Bukan waktunya! Lalu kapan ada waktu untuk berbicara? Setelah semuanya semakin kabur dan tidak jelas? Bagai tak terleraikan, perasaanku terasa terkapar dan tak berdaya. Kubanting telepon sebelum guguan dan isakku didengarnya. Aku ingin menangis. Menjerit. Selepas-lepasnya.
Tapi, bukankah Ini terlalu malam untuk menjerit? Apa kata tetangga nanti? Uh, persetan dengan semuanya!
BeIum aku beranjak dari sisi meja telepon, deringnya menggema lagi. Tapi aku hanya memandangi tanpa ada niat untuk mengangkatnya. Pikirku pasti Mas Pri lagi karena aku telah menutup telepon begitu saja.
Terus berdering. Lama.
Terus kupandangi. Tak berbuat apa-apa.
"Mengapa telapon itu tidak diangkat, Pur?" suara Bi Anih, di belakangku, bagai terdengar seperti perintah. Aku berbalik dan menatapnya dengan tajam.
“Diangkat atau tidak, itu urusanku!" teriakku marah. Tapi perempuan itu malah mendekat.
“Siapa tahu penting, sementara kita hanya memandangi dan mendengarkan tanpa berbuat apa-apa. Bukankah ini bodoh?!"
Shit! Perempuan itu mengajariku! Betapa lancangnya dia.
"Jangan coba-coba mengangkatnya, Bi Anih! Kukatakan, itu urusanku!"
Telepon masih berdering. Berulang-ulang.
"Baiklah, itu urusanmu, Pur. Kalau ada apa-apa, aku di kamar." Perempuan baya itu berjalan kembali ke kamarnya.
Aku terhenyak. Dan aku hanya memandangi pintu kamar Bi Anih tertutup. Dia perempuan yang telah bersamaku sejak kecil. la dulu bekerja di rumah kami sejak berusia delapan tahun. Ketika aku lahir ia telah berusia sebelas tahun. la memperlakukan kami --aku dan saudara-saudaraku begitu keras. Dan ayah-ibuku amat mempercayainya, terlebih setelah Bi Anih berusia dua puluh tahun. Dan, sesuatu yang berbeda mungkin, di rumah tangga kami dulu, semua pembantu diperlakukan seperti seorang pengasuh yang mesti dihormati. Dan entah kenapa, pola hubungan seperti itu terasa menyenangkan bagi kami. Suasana demokratis yang sangat dijunjung oleh ayah ibu. Akibatnya, meski bukan suatu yang buruk, pembantu-pembantu kami dapat saja bicara keras. jika dibanding Bi Anih, Bi Sum jauh lebih keras dan tegas. Usianya lima tahun lebih muda dari ibuku. Dan sekarang ia ikut Bram, kakakku.
Begitu saja, aku masih memandangi pintu kamarnya.
Ketika suara telepon tak lagi berbunyi, aku kembali ke beranda. Perlahan-lahan berjalan mendekat ke jendela. Lama kunanapi langit yang pekat. Angin masih saja bergerak tidak teratur. Kadang deras menggerakkan dahan-dahan, kadang begitu lembut jatuh di kulit. Dan aku seperti menikmatinya.
Malam ini, lagi-lagi, aku merasa sangat penat.


***


Tidak ada komentar: