Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 468 tanggal 26 Oktober – 8 November 1992
Bonus Novelet
4 (Empat)
MENURUT logika yang sehat, orang tua mana atau keluarga mana yang mau
menerima calon anggota keluarganya dari golongan yang tidak menentu. Golongan
yang stratanya benar-benar berada di dasar. Apalagi, bila strata itu dipandang
secara moral dan norma yang berlaku. Sekalipun itu menyangkut masa lalu!
Inilah yang tengah dihadapi RM
Sutopo. Dan sekaligus problema yang sama bagi Gunadi.
Gunadi masih belum menemukan cara terbaik untuk semua masalah ini. Ternyata
jelas bahwa ini jauh lebih sulit daripada keputusan-keputusan yang diambilnya
di perusahaan. Mem-PHK- pun tidak sesulit ini! Apakah ia harus berterus terang
pada Ning dan menceritakan semuanya? Apakah ia harus memutus hubungannya
dengan Ning tanpa sebab? Tidak! Itu pengecut. Itu bukan sifat Gunadi!
"Pa, saya tidak tahu harus bagaimana menyelesaikan semua ini,"
kata Gunadi suatu kali.
"Saya mengerti. Tapi saya sebagai ayahmu akan tetap berdiri di sisimu
sepanjang kau telah memutuskan segala sesuatunya dengan benar dan tepat. Benar
sebagaimana sebuah kebenaran logika, dan tepat sebagaimana posisi kita
menghendakinya!" tegas Sutopo
"Ya," kembali Gunadi hanya mendesah. "Tapi, saya juga punya
masa lalu yang buruk. Dan Ning tidak pernah menggugatnya. Dia menerima saya sebagaimana
saya adanya saat ini. Bukan masa lalu."
"Gun, ketahuilah. Seringkali para wanita mendahulukan perasaan mereka. Wanita seringkali tidak berpikir secara logis realis. Mereka kerap
dipengaruhi oleh situasi, kondisi dan suasana hati — emosi."
"Entahlah," kembali Gun bicara berat.
"Gun, kembali saya katakan, saya akan tetap di sisimu sepanjang kau mengambil
jalan yang benar dan tepat," kembali Sutopo menegaskan dalam kebimbangan
perasaannya sendiri. Dalam perang batinnya, Sutopo harus hadir sebagaimana
Sutopo adanya. Logika dan realita adalah di atas segala-galanya.
Dan Gun membenarkan. Bahwa logika dan realita harus di atas segala-galanya.
Perasaan dan emosi seringkali memojokkan manusia ke
sudut-sudut yang paling sulit dalam kehidupan. Cikal dari banyak kehancuran dan
kefatalan adalah perasaan yang telah mendominasi seluruh tubuh manusia.
Manusia yang baik adalah manusia yang menempatkan logika di atas perasaannya!
Duhai… begitukah?
Dan kembali Gunadi mengiyakan sambil tersenyum pahit.
***
Kecemasan Ning akan penyakit yang tengah menggerogoti
berakhir dengan opname. Daya tahan tubuhnya benar-benar melemah dan kemudian ambruk. Tak sadarkan diri hingga dia harus dirawat secara intensif di ruangan ICU.
Dokter Pribadi keluar dari ruangan itu. Entah karena wajah laki-laki itu yang
bersih dan terlihat makmur, atau karena memang ada
keperluan masing-masing, setiap orang yang duduk di bangku di depan ruangan itu, dengan cepat
melihatnya.
"Bagaimana, Dok?" tanya Assegaf berdiri terburu.
"Ya, bagaimana keadaannya, Dok?" ulang Gunadi
Sebentar dokter Pribadi diam. Diamatinya wajah-waiah cemas yang berdiri
mengelilinginya. Baginya, secemas apapun sebuah wajah, adalah suatu hal yang
biasa. Tak sekali dua ia telah menyampaikan berita-berita 'tragis' pada raut
wajah seperti itu, dengan raut wajahnya sendiri setenang mungkin.
"Bapak ayahnya?" tanya dokter itu pada Assegaf.
"Kedua orang tuanya telah tiada. Sayalah sekarang yang bertanggung
jawab."
“Dan, Anda?"
tanya dokter itu lagi pada Gunadi.
"Saya temannya," Gunadi menjawab ragu. Tapi setelah melihat mata
Assegaf dan Mak Ina yang heran. Gunadi mengulangi dengan tegas, "Saya
calon suaminya!"
"O, bagus kalau begitu. Anda pacarnya, bukan?"
“Calon suami lebih
dari sekedar pacar, Dok,” ulang
Gunadi.
Dokter Pribadi mengalihkan tatapannya pada Mak Ina. "Dan,
Nyonya?"
"Mak Ina yang telah mengasuh Ning sejak kecil, ia yang menjadi ibu bagi gadis itu," jelas
Assegaf.
Gunadi merasa perasaannya tidak enak mendengar penjelasan itu.
"Baiklah, Anda semua berhak mengetahui keadaan si pasien sebenarnya.
Kita bicara di kantor saja," kata dokter itu sambil segera saja berjalan
mendahului.
"Saya tidak akan berbelit-belit, sebab kebanyakan dokter, bila ingin
menyampaikan sesuatu kepada keluarga pasien, harus dengan kalimat-kalimat yang
pada umumnya tidak relevan," dokter itu bicara setelah mereka duduk dalam
ruangan kantornya. "Bagi saya, menyampaikan sesuatu yang harus diketahui
oleh keluarga pasien adalah suatu kewajiban yang tidak perlu membuang-buang
waktu untuk bicara.
"Itulah sebabnya semua saya ajak ke ruangan saya
ini untuk membicarakan penyakit yang diderita salah seorang anggota keluarga Anda. Sekali lagi, saya tidak suka
menghibur dan memberi harapan yang manis-manis. Sebab pengalaman mengajarkan,
pada akhirnya malah menjerumuskan keluarga pasien."
"Kami mengerti, Dok. Katakan saja penyakit Ning!" cegat Assegaf
dengan kesal.
"Baiklah," dokter Pribadi menghela nafasnya. "Ning telah
melewati masa-masa kritis. Tapi saya tidak dapat menjamin keadaan seperti itu
tidak akan terulang lagi."
"Tidak menjamin!" desis Gunadi. "Dengan kata lain tidak ada
harapan untuk sembuh?"
"Saya tidak katakan demikian. Tapi untuk saat ini, saya hanya dapat
berusaha sebatas kemampuan saya."
"Saya tahu Anda telah mengusahakannya dengan maksimal," sambung
Gunadi, "Tapi tolong katakan apa yang dapat kami lakukan!"
"Ya. Katakanlah. Dan kami akan berbuat apa saja," ulas Assegaf.
Mak Ina tak mampu berkata-kata. Matanya digenangi air yang bening.
"Kondisi tubuhnya sangat lemah. Apalagi dia bersikeras untuk menolak
operasi yang kami anjurkan. Tapi memang, ada kecenderungan membaik dari
beberapa jaringan syarafnya yang terkena kanker. Dengan catatan, saya tetap
tidak menjanjikan."
"Ya. Apa yang dapat kami lakukan?" tegas Gunadi.
"Yang sangat dibutuhkan gadis itu saat ini adalah semacam kekuatan
moral, semangat hidup maksud saya. Jadi harus ada orang yang betul-betul mampu
mengembalikan semangat hidupnya. Saya tahu, gadis itu sedang menghadapi dilema
berat, kan? Justru itu, beri dia
kekuatan. Dan biasanya, hal seperti ini lebih baik dilakukan oleh orang yang dicintainya. Maksud saya
kekasih atau pacarnya."
Gunadi tersentak. Perasaannya terasa kocar-kacir tak menentu.
"Ning harus diberi cerita-cerita yang meyakinkan bahwa ia masih akan
terus hidup dan bahwa hidupnya akan sangat berarti bagi orang lain,"
lanjut dokter Pribadi, "Entahlah, secara empiris memang sulit untuk
menerangkan kausalitas ini; kesembuhan penyakit dan emosional individual. Tapi
ini realita. Dan ya, anggaplah sebagai suatu
'yurisprudensi' seperti dalam ilmu hukum, suatu putusan
yang mempedomani pada putusan-putusan sebelumnya dalam kasus yang sama. Dan
saya kira, kita memang tak dapat menolak kenyataan seperti ini."
Gunadi merasa berada di atas suatu ketinggian. Di tangannyalah sekarang
terletak hidup dan mati Ning. Dilihatnya jauh ke bawah dan ia merasa gamang.
***
"Selamat," dokter Pribadi tersenyum cerah
sambil menyalami Ning yang masih terbaring, "Saya sendiri, bila ditanya
oleh sidang para dokter, tidak akan mampu menerangkan bagaimana proses
sembuhnya Nona Ning dari kanker itu. Untuk sementara saya tetap beranggapan ini
sebuah mukjizat di samping kekuatan luar biasa yang dimiliki oleh cinta dua anak
manusia.”
Dokter Pribadi melepaskan genggaman tangannya dan kemudian beralih pada
Gunadi yang terlihat lelah. Ditepuknya pundak lelaki itu.
"Selamat, calon pengantin. Saya doakan Anda akan berbahagia sepanjang
masa." Dokter Pribadi tertawa senang.
Setelah sang dokter keluar, Gunadi mendekati Ning. Sungguh tak akan pernah
ada keberaniannya untuk memutus hubungan mereka; sekalipun yang namanya logika
menuntut.
Gunadi membungkukkan wajahnya. Mereka berhadapan sangat dekat.
"Izinkan aku menciummu, Sayang," bisiknya lembut.
Ning membiarkan saja ketika Gunadi menciumnya. Diam saja hingga batuk Assegaf di luar kamar menyadarkan
mereka bahwa dunia memang bukan milik berdua.
5 (Lima)
GUNADI tercekat. Ditatapnya Ning dengan kebingungan yang entah berarti apa.
Ning balas menatapnya masih dengan suatu ketidakmengertian.
"Gun," Ning memecah kebisuan, "Adalah suatu yang
sangat wajar bila kita mengakhiri semuanya, bukan?"
Gunadi hanya diam. Bagaimanapun, ia memang masih terkungkung oleh suatu
keterikatan pada posisinya sendiri. Tidak wajar bila tradisi yang telah dianut
sekian puluh tahun, atau mungkin ratusan tahun oleh keluarganya, dilanggarnya
begitu saja.
"Kita punya logika," sambung Ning, "Dan kita punya kehidupan
masing-masing, posisi dan situasi yang saling berbeda. Aku tahu, Gun, berat bagi kita untuk menerima kenyataan ini. Tapi akan semakin berat bila
kita tidak mengikuti kemauan lingkungan dan posisi kita itu."
Ning berhenti. Dadanya terasa sakit mendengar suaranya sendiri, kalimatnya
sendiri.
"Gun, salah bila kau memaksakan aku untuk masuk ke dalam
lingkunganmu. Bagiku, itu nantinya juga akan menjadi suatu beban. Dalam hal
ini, cinta bukanlah segala-galanya, bukan?"
Ning menangis dalam hatinya. Gunadi ingin sekali meronta dan meruntuhkan dinding-dinding gelap masa lalu. Tapi ia juga tidak kuasa.
"Gun, terima kasih kau telah menyelamatkan hidupku.
Bisikan-bisikanmu telah menyambung nyawaku. Lihatlah, sekarang aku telah
sembuh, bukan?"
Untuk kesekian kali Ning menjerit, merintih dan menangis dalam hatinya.
Begitu pun Gunadi. Untuk keberapa kali dia ingin meronta, entah! Yang pasti
dia tetap tidak kuasa.
"Tapi masa lalulah yang menyebabkan ini semua." Akhirnya Gunadi
berhasil juga untuk bicara.
"Tak ada kotak-kotak waktu untuk sebuah kenyataan. Semua telah hadir, berjalan dan tumbuh sebagaimana mestinya, sebagaimana adanya. Sekali lagi, suatu yang paling bijaksana bila kita kembali ke logika dan realita kita masing-masing," Ning menegaskan dengan dada yang
kian terkoyak. la tak lagi punya air mata untuk menangis. Tak punya lagi kesedihan untuk menggugu.
"Dan yakinlah, semua orang akan sependapat dengan logika yang kita
punya," sambungnya lirih.
Ning melemparkan tatapannya pada langit yarg buram. Ditatapnya
bintang-bintang yang mengerjap-kerjap. Ah, kehidupan seperti bintang, batinnya, yang hanya boleh hadir dalam suatu waktu yang telah ditentukan. Matahari
akan merampas kerjap bintang.
Gunadi berdiri. Berjalan mendekati Ning. Diikutinya tatapan Ning. Bintang
yang berkelip, bulan yang termangu, dan kelelawar yang melintasi
langit.
"Ning," Gunadi membelai rambut Ning. Ning menoleh. "Aku
ingin memelukmu. Entah pelukan perpisahan,"
sambungnya dengan getir.
"Sungguh, aku juga tidak akan menolaknya," balas Ning setengah
berbisik.
Logika, seperti apa yang mereka katakan, telah memisahkan dua cinta anak
manusia itu.
6 (Enam)
HAMPIR sepertiga abad hidup dalam sebuah sandiwara yang dirancang dengan tak
sengaja, adalah sebuah rekor yang mengagumkan. Dan adalah wajar bila akhirnya
drama itu berakhir, setelah berjalan tanpa cacat.
Tak perlulah menangis meski kebohongan itu telah dihadapi dan dijalani
sekian lama. Realita hari ini, bagaimanapun, adalah sebuah realita yang memang
harus dihadapi. Dengan menangis pun, waktu yang telah terlanjur mengajarkan
kebohongan itu, tidak akan kembali lagi ke titik nadir; untuk memulai lagi
suatu yang lain dari yang telah berjalan.
Ning tahu benar itu. Ning tak perlu menangis, menjerit atau merasa pangling bahwa ia dilahirkan oleh seorang
wanita yang selama ini dianggapnya sebagai pembantu. Ning memahami kalau ia
lahir akibat perkosaan laki-laki tidak waras. Itu artinya ayahnya gila! Toh, semuanya memang telah begitu, seperti apa yang
telah diajarkan waktu.
Ning tidak merasa perlu lagi untuk bertanya lebih banyak pada Mak Ina,
Assegaf, atau siapa saja, tentang kerahasiaan yang ditanam dalam tubuhnya.
Ning yakin pasti bahwa jawaban yang akan diterimanya setiap kali tidak akan
beda: demi kebaikan!
Ning merenung dalam kamarnya yang temaram. Lepas tengah malam rasanya
kurang baik untuk memasang lampu puluhan watt. Jemarinya menggurat-gurat sisi
buku hariannya.
Sementara di kamar lain, Mak Ina termangu.
Di kamar satunya lagi, Assegaf tengah menulis. Sebuah novel yang pasti akan
menarik, pikirnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar