Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 552 tanggal 15 – 24 Juli 1995
Bonus Novelet
IV
(EMPAT)
SAAT ini, ketika
kehamilanku mendekati sembilan bulan, segalanya masih aku belum memahami. Tapi,
kali ini aku benar-benar telah mengambil suatu sikap yang bijaksana. Suatu
sikap yang telah membuat pikiran dan perasaan begitu tenang.
Ya, aku tidak akan
bertanya-tanya lagi tentang kesibukan Mas Pri. Aku akan membiarkannya tenggelam
oleh segala kesibukannya. Yakin aku sekarang bahwa pilihanku benar.
Aku menunggu hari-hari
menentukan itu. Aku akan melahirkan anakku di saat aku masih bersama Mas Pri.
Di saat bayiku masih mempunyai bapaknya. Aku ingin masih ada seorang lelaki
yang sah untuk mengazankan bayiku nanti. Seorang bapak yang sibuk pun pasti
akan menunggui istrinya melahirkan.
Tidak! Aku bukannya pasrah
atau tak berdaya dan luluh begitu saja. Bukan begitu! Aku hanya punya sikap
yang tegas dan mantap. Bahwa, setelah anakku lahir nanti aku akan mengajukan
permintaan cerai. Aku akan hidup bersama anakku di sebuah tempat yang tentram
dan damai. Aku akan bekerja. Akan memanfaatkan ijazah kesarjanaan dan
keterampilan yang kumiliki.
Yap! Betapa akan
menyenangkan hari-hariku nanti. Silakan tunggu saja, Mas, Pri. Tunggulah
setelah anakku lahir dan kau akan tahu sikap dan pendirianku.
Dan keinginan itu
kubicarakan dengan Bi Anih pada suatu petang.
"Sesuatu yang tidak
masuk di akal, Pur," katanya.
“Mengapa tidak?! Bukankah
aku mampu?!"
"Dulu. Enam tahun
yang lalu. Saat kau baru menyelesaikan pendidikan tinggimu."
"Tapi aku masih mampu.
Bahasa Inggrisku lancar, komputerku mahir, dan aku cerdas."
"Ya. Tapi tetap tidak
mudah, Pur."
Aku memperhatikan mimik Bi
Anih. Dan akupun merasa sedikit sangsi dengan pendirianku. Kulihat mata
perempuan itu. Dan semakin aku tahu bahwa perempuan itu cerdik dan sama sekali
jauh dari kesan seorang pembantu. Memang, ayah dan ibu selalu mendatangkan
guru-guru privat untuk para pembantu. Dan hasilnya?: Pembantu kami amat pintar dan
menjadi kawan diskusi yang menyenangkan.
"Masih ada jalan
lain, Bi Anih," kataku.
"Apa?"
"Menerima tawaran
Ayah."
"Bekerja di
perusahaan sendiri tidak selalu begitu mudah, Pur."
"Ayah telah
menawarkan salah satu anak perusahaannya padaku sejak aku tamat dulu. Bahkan
hingga sekarang ayah masih sering melontarkannya. Tidakkah itu kesempatan
baik?"
"Ya, kesempatan baik,
Pur."
"Aku akan menjadi direktris
yang baik, bukan?"
"Semoga begitu. Tapi
aku tetap tidak setuju dengan rencana perceraianmu,"
"Apakah aku harus
terus hidup bersama suami yang hanya ada bayang-bayangnya? Sementara ia tenggelam
dalam pekerjaan dan kesibukannya?"
"Kau dapat
menentukan, Pur."
"Ya, dan aku telah
menentukan pilihanku."
“Tapi tetap bukan jalan
keluar yang bijaksana."
Kemudian kami terdiam.
Tidak ada yang ingin kukatakan lagi. Bi Anih membalik-balik majalah dan
sesekali membaca dengan serius. Kuperhatikan ia dalam kerlingan yang tidak
kentara. Duh, mengapa ia tidak ingin menikah? batinku. Pertanyaan yang telah
tertanam sejak lama dan tidak pernah aku lontarkan.
Bagai mengikuti irama
pikiranku, Bi Anih berkata, "Itulah sebabnya aku tidak ingin menikah.
Laki-laki itu egois dan menangnya sendiri. Meski begitu, laki-laki seperti itu,
tak dapat disalahkan begitu saja. Sudah kodratnya begitu."
“Lalu mengapa kau melarangku
untuk minta cerai?”
“Karena kau telah masuk ke
ruang itu. Kau telah menikah dan akan punya anak."
"Kalau hidup seperti
yang kualami sekarang ini?”
"Entahlah. Mungkin
benar kau kesepian dan merasa ditinggal suami. Tapi aku tidak yakin kalau
perceraian merupakan jalan keluar terbaik."
Dan, seterusnya, hari-hari
tetap bergulir. Semakin saja aku merasa amat penat.
V
(LIMA)
BARANGKALI dua minggu
lagi, atau bahkan kurang dari itu, aku akan melahirkan. Mas Pri, suamiku itu,
tetap tidak berubah. Ia tetaplah seperti mesin yang tidak kenal jenuh dan lelah
dengan tumpukan pekerjaannya.
Dan aku benar-benar paham
sekarang siapa suamiku.
Mas Pri sama sekali tidak
menyeleweng seperti yang diisukan selama bertahun-tahun oleh tetangga-tetanggaku.
Isu yang tidak berhenti dan tidak pernah pudar sekalipun aku tidak
mengacuhkannya. Sartini tetap berceloteh dan aku tetap tak peduli. Sartini
terus bercerita dan Mas Pri tak berhenti. Memang hari-hari yang datar bagi
kami.
Saat ini aku baru sadar,
sesadar-sadarnya bahwa aku telah menikah dengan seorang 'mesin'. Dengan benda
mekanik yang tidak mengenal lelah. Di dalam tingkahnya yang tenang, tidak
bicara mengumbar kata, dia sungguh-sungguh memperhitungkan detik ke detik yang
dilewatinya. Bahkan aku berpikir, Mas Pri laki-laki yang luar biasa.
Tepat! Aku telah membangun
rumah tangga dengan manusia yang super
workaholic. Manusia yang bahkan tidak akan peduli dengan anak istrinya, selain
pekerjaan yang selalu saja ada baginya. Entah jenis manusia macam itu.
Aku menyesal mengapa baru sekarang
aku menyadari karakter suamiku itu. Mengapa setelah bertahun-tahun pernikahan
kami dan bahkan menjelang kelahiran anak pertama kami. Shit! aku merasa sangat menyesalkannya.
Tapi, sama sekali aku
tidak perlu untuk meruntuknya. Bukankah aku akan segera mempunyai anak yang
berbapakkan seorang lelaki jenius dan bertenaga tak kenal lelah? Setidaknya
anakku akan lahir sangat mengesankan. Lahir dari dua tipe yang amat kontras.
Suamiku: dengan segala keluarbiasaannya akan menitiskan darah itu pada bayiku.
Aku: akan menitiskan kelembutan dan kesederhanaan yang membahagiakan.
Mengalirkan darah penuh cinta dan kasih dalam tubuhnya kelak. Bukankah anakku
akan luar biasa? Ya, perpaduan ambisius
dengan kepasrahan dan kesahajaan.
Hari terus berjalan.
Di hari aku akan
melahirkan, benar-benar aku makin sadar bahwa aku bersuamikan mesin yang tak
berperasaan. Aku hanya diantar Bi Anih ke rumah sakit sehari sebelumnya. Mas
Pri masih di Tokyo. Dan menurut rencana ia akan pulang tadi malam, setelah
ditelepon Bi Anih. Tapi sudah sesore ini ia belum juga datang!
Dokter memeriksaku teliti
dan hanya tersenyum. “Mungkin akan belum malam ini,” kata dokter itu lembut.
“Terima kasih, Dokter."
Dokter itu berlalu. Bi
Anih muncul dengan wajahnya yang keruh. "Benar-benar tak dapat dipercaya
kalau suamimu belum muncul, Pur," ujarnya.
"Biar saja, Bi
Anih."
"Keterlaluan sekali
dia. Siapa akan memberi kekuatan padamu saat melahirkan nanti, Pur."
“Aku sendiri. Ingatlah, Bi
Anih, pada masyarakat tradisional kelahiran berlangsung begitu saja. Bahkan suami
tidak boleh menyaksikan peristiwa itu. Dukun-dukun dapat menanganinya dengan
baik. Apalagi sekarang dengan kehebatan teknologi kedokteran," kataku
menghibur hatiku sendiri.
Jujur saja, dalam hati aku
merasakan lagi luluhan yang tak terperi. Benarkah aku telah menikah dengan Mas
Pri yang begitu berbeda dengan masa pacaran dulu? Sungguhkah aku akan melahirkan
anak dari seorang bapak yang tidak punya naluri? Ih, diam-diam aku berusaha keras
menghibur hatiku sendiri.
"Mungkin nanti malam
dia akan datang," kataku asal saja.
"Semoga begitu."
Pukul sepuluh malam
telepon di samping ranjangku berdering. Bi Anih yang sedari tadi duduk di
kursi, segera bangkit. "Biar aku yang mengangkatnya, Pur," katanya.
Beberapa saat kemudian Anih menyerahkannya padaku.
"Dari suamimu,"
katanya.
'Pur, maafkan aku. Aku
baru bisa kembali ke Indonesia lusa. Negosiasi di sini sangat rumit. Aku harus
melobi banyak pihak dan itu membutuhkan waktu banyak pula. Akhirnya penandatanganan
kontrak baru dapat dilakukan esok malam."
Aku diam saja.
"Kau mendengar aku,
Pur?"
"Ya."
"Kau mengerti,
kan?"
Duh, aku dimintanya untuk
mengerti? Shit! Lelaki dan suami
macam apa dia! makiku dalam hati. Dalam kemarahan yang tiba-tiba mengamuk di
benakku. Tapi aku masih diam saja.
"Pur, kau dengar aku?
Kau mengerti aku?'
Akhirnya, dengan sangat
berat, aku berkata juga, “Selesaikanlah urusanmu, Mas Pri. Aku mengerti dan aku
baik-baik saja."
"Syukurlah, Pur.
Semoga tak terjadi apa-apa!”
Uh, betul-betul kelewatan!
Enteng saja dia bicara begitu, makiku lagi dalam keluluhan tak berperi.
Beberapa waktu kemudian,
pukul sebelas malam, aku belum juga merasakan akan melahirkan bayiku. Aku masih
tenang-tenang saja. Bahkan aku tidak yakin akan segera melahirkan anakku. Dan
aku mengajak Bi Anih bicara.
“Bi, belum tidur,
kan?"
"Kau yang harus istirahat,
Pur."
“Aku belum merasakan
apa-apa. Mungkin aku belum akan melahirkan malam ini," ujarku. “Oya, Bi
Anih, apa sih sebenarnya tanda-tanda akan melahirkan?" tanyaku.
"Aku belum pernah
melahirkan, Pur."
Kami tertawa. Lepas.
"Sekarang, setelah
kaulihat keputusan suamiku, benarkah pilihan yang akan kuambil nanti, Bi Anih?"
Perempuan itu terdiam.
Agak lama. Setelah memperhatikan wajahku dalam-dalam, bagai mencari sesuatu,
dan kemudian tidak ditemukannya, ia berkata, "Barangkali, Pur. Tapi aku tidak
menyarankan "
Aku tersenyum.
"Terima kasih, Bi Anih.” Aku menggenggam tangannya sebagai sebentuk kekuatan
bagiku.
Kami kembali diam. Hening.
Rumah sakit benar-benar tidak bersuara apa pun di tengah malam seperti ini.
Sesekali hanya terdengar ketukan lembut sepatu-sepatu yang lewat, barangkali
para perawat yang sedang kontrol. Atau mungkin juga langkah orang-orang yang sedang
menunggui karib-kerabatnya dan ingin jalan-jalan melepaskan sesak di sepanjang
koridor rumah sakit.
“Bi, kalau aku bercerai,
kau akan bersamaku, bukan?"
“Tentu, Pur. Kau tidak
bisa hidup tanpa aku," katanya spontan saja. Dan itu membuatku tercenung.
Mungkin benar yang dikatakannya bahwa sejak kecil aku selalu tergantung
padanya. Apapun dan bagaimanapun.
“Sebaiknya kita tinggal di
rumah yang mana, ya?" kataku lagi.
"Bingung juga
jadinya. Ayahmu terlalu banyak membangun rumah dan sebagian besarnya kosong
melompong sekarang ini, selain ditunggui para penjaga," tutur Bi Anih.
"Tinggal di mana?
"
“Nanti sajalah. Kalau
perlu yang paling dekat dengan kantor tempat kau bekerja nanti."
"Ya, aku akan jalan
kaki saja ke kantor."
"Tidak ada direktris
yang jalan kaki ke kantornya kecuali sedikit jogging di pagi hari," ujar
Bi Anih, sedikit melepaskan tawa. Dan entah kenapa tawanya kudengar begitu renyah
di malam ini.
"Bi, kalau aku mati,
siapa yang akan merawat anakku?"
"Tidak ada yang akan
mati, Pur. Kau belum akan mati sebelum membesarkan anakmu," sambut Bi
Anih, tenang, seolah memberi kekuatan padaku yang sesungguhnya tengah diamuk
keIuluhan dan ketidakberdayaan. Aku yakin sekali kalau Bi Anih sangat tahu
bagaimana perasaan dan keadaan batinku saat ini.
"Itu seandainya,
Bi."
"Jangan
berandai-andai, Pur. Dengar, kau akan terus hidup dan kau akan bahagia bersama
anakmu. Jangan berpikir tentang kematian, Pur. Putus asa bukan jalan yang baik.
Tuhan benci itu. Bahkan aku juga."
Aku tersenyum. Dan dalam
hati aku kian tahu bahwa Bi Anih begitu berarti bagiku. Sebuah anugerah yang
telah dikirim Tuhan untukku. Seorang perempuan yang baik, tegas dengan segala sifat
dan sikap baik lainnya. Ah.
VII
(ENAM)
AKHIRNYA anakku lahir juga
di saat bapaknya tidak ada di sampingnya. Laki-laki. Dan ayahku sendiri yang
telah mengazankannya.
Sehari setelah kelahiran
itu baru Mas Pri muncul. Memang dia memperlihatkan wajah menyesal karena tidak dapat
menungguiku melahirkan. Tapi, lihatlah, dia tidak terlalu menyesal tampaknya.
"Syukurlah kau dan
anak kita sama-sama selamat, Pur. Kau tahu betapa aku sangat bahagia."
Aku hanya tersenyum
hambar. Mengawasi Mas Pri bagai tidak terlalu acuh. Perempuan mana yang tidak
luluh jika di saat-saat yang menentukan hidup dan mati, orang yang dicintainya
tidak berada di sisinya? Tapi sudahlah, aku merasa tidak memiliki harapan
apa-apa lagi. Bukannya aku putus asa, tapi aku telah menentukan pilihan. Dan
rasanya aku tidak akan merubahnya.
"Oy a, kita beri nama
siapa anak kita?"
"Terserah Mas Pri
saja."
'Lho, kok terserah. la kan
anak kita, Pur. Kita harus sama-sama mencarikan nama untuknya."
"Mana yang baik
sajalah, Mas."
Kulihat Mas Pri
mengernyitkan jidatnya. Matanya sedikit dipicingkan. Wajahnya terlihat Iucu,
tapi masih saja manik mata legam miliknya memancarkan pesona yang luar biasa.
Ketampanan dan kharismatisnya masih saja terkesan.
Aku hanya menelan ludah.
Membasahi kerongkonganku yang kelat. Tak berkata-kata aku hanya menunggu.
"Ah, tidak mudah
mencari nama untuk bayi yang segagah itu," kata Mas Pri, tiba-tiba. la
tersenyum. "Begitu, kan, Pur?"
Aku pun hanya tersenyum.
Tapi betapa hambarnya.
"Kalau menurutmu
siapa nama anak kita?"
"Sudah kukatakan itu
terserah Mas."
"Ya, setidak-tidaknya
engkau tentu telah mempersiapkannya, Pur."
Seperti ada yang
menyentakku, alam dan kehendak kewanitaanku seperti disadarkan. Seperti ada
hal-hal yang biasa dilakukan suami-istri menjelang kelahiran anaknya yang tidak
kulakukan.
Ya, kami tidak pernah berbicara
tentang nama anak yang akan dilahirkan. Kami tidak berdebat soal kelamin bayi
dalam kandungan. Kami tidak punya romantisisme demikian. Hari-hari kehamilanku
berjalan sangat tidak berarti dan seolah tak ada Iuar biasanya. Padahal
menunggu anak ini saja harus bertahun-tahun.
Betul, kami tidak mempunyai
malam-malam di mana sepasang suami-istri yang akan melahirkan bercerita tentang
banyak hal. Tentang banyak kisah. Tentang segalanya. Tentang bakal bayi yang
akan datang itu.
Malam-malam kehamilanku
adalah malam yang sendiri. Malam yang lengang dan penat. Malam yang panjang.
Malam di mana Mas Pri, suamiku, tenggelam dengan sejuta pekerjaannya. Sungguh
berbeda dengan pasangan suami istri lainnya, kukira.
Ufh, atau tidak perlukah
romantisisme seperti itu?! Benarkah di zaman moderen dan serba sibuk ini tidak
dibutuhkan Iagi romantisisme itu? Benarkah suami-istri tidak perlu membicarakan
soal bayi yang akan dilahirkan dengan penuh kebahagiaan dan sesuatu yang
bersifat manis dan romantis?!
Ah, ah, aku seperti
kehilangan sesuatu yang seharusnya aku dapatkan di masa kehamiIan itu!
"Kau melamun,
Pur?" sentak Mas Pri, menyentuh Iamunanku.
"Oh, tidak. Aku hanya
sedang memikirkan nama yang cocok untuk anak kita."
"Ya, begitu sulit
untuk mencari nama yang cocok untuk bayi yang luar biasa ini." Mas Pri tertawa.
Dan kulihat, sesungguhnya, tak ada yang berubah dari penampilannya. Tapi
sungguh, aku sangat tidak percaya kalau ternyata ia seorang super workaholic yang mengerikan.
"Sebaiknya soal nama
itu nanti saja kita bicarakan," ujarku, begitu saja, tanpa melihatnya.
"Ya, sebaiknya
begitu, Pur."
Sebentar kemudian Mas Pri
bermain-main dengan bayi kami yang diboks. Bayi yang tengah Ielap dengan
nyenyaknya. Bibir Mas Pri seperti komat-kamit, bercanda dengan bayinya yang beIum
mengerti apa-apa itu.
Ah, pada dasarnya dia
tetaplah seorang ayang membutuhkan dan menyayangi anaknya, batinku. Lihatlah,
betapa indah Iengkung bibir Mas Pri menatap buah hatinya.
Buah hatinya?! Shit! Bayi itu bukan buah hatinya. Tidak
ada seorang bapak yang meninggalkan istrinya saat melahirkan. Tidak ada Ielaki
yang begitu enteng berkata: Maaf, aku
terlalu sibuk malam itu hingga tak dapat menemanimu melahirkan. Lagi pula apa
yang dapat kuperbuat kalaupun aku ada? Damn!
Betul-betul tidak berperasaan!
Entah bagaimana, aku
merasa sangat marah pada suamiku sendiri. Pada Mas pri yang tengah mencandai
oroknya. Dengan berusaha sekuatnya aku berusaha untuk tidak memancing suasana keruh.
Biarlah segalanya berjalan sebagaimana adanya dulu. Nanti, setelah semuanya
selesai barulah akan dapat dilihat Iangkah mana yang sesungguhnya terbaik.
Terbaik bagiku. Terbaik bagi Mas Pri. Terbaik bagi anak kami.
Kemudian, setelah agaknya
puas dengan bayinya, Mas Pri mendekat padaku. Matanya seperti mencari
kesempatan yang baik untuk mengatakan sesuatu padaku. Kemudian, kemudiannya lagi,
setelah merasa yakin, ia pun bertutur.
“Pur, besok aku harus ke Amerika.
Kelanjutan kontrak di jepang itu akan dibicarakan lagi New York."
Aku terkesima. Tak percaya
menatapnya.
"Proyek ini sangat
penting. Sangat penting, Pur. Tak ada yang Iebih penting selain proyek yang
telah kuusahakan dan kurencanakan bertahun-tahun ini."
"Sangat
penting?"
"Sudah kukatakan, aku
mengupayakan sejak bertahun-tahun yang lalu. Segalanya akan menjadi sia-sia
kalau proyek ini tidak tuntas. Ini menyangkut kita, Pur. Menyangkut karyawanku.
Menyangkut banyak pihak. Bahkan menyangkut bangsa ini. Ini megaproyek yang akan
menampung ribuan tenaga kerja. Yang setidaknya akan membantu para penganggur
yang dari hari ke hari terus bertambah."
“Berapa lama, Mas
Pri?"
"Seminggu. Tapi
setelah itu aku harus kembali ke Tokyo. Maksudku langsung dari New York."
“Itu berarti kau akan
pergi lama?"
"Mungkin dua minggu
atau lebih sedikit dari itu. Tapi jangan kuatir, aku akan selalu
meneleponmu."
Dalam hati aku merutuk:
aku tidak butuh telepon, Tuan Pri! Dan aku hanya menarik nafas. Berat.
“Pur, tinggallah di rumah
sakit ini dulu sampai kau merasa benar-benar sehat dan kuat. Tidak perlu
terburu-buru pulang ke rumah."
Nasehatnya, nasehat Mas
Pri, mengalir bagai tidak berperasaan di telingaku. Uh, suami macam apa dia?!
Benarlah bahwa ia hanya mesin yang tidak berperasaan!
“Pur, aku berangkat dulu,
ya? Masih ada yang harus kuselesaikan di kantor siang ini. Kalau sempat,
sebelum berangkat dinihari esok, aku akan mampir ke sini....
Kalau sempat?! Shit!
“Setidaknya aku akan
meneleponmu. Percayalah, kau akan segera sehat dan pulang dengan bahagia
bersama anak kita."
Anak kita?! Damn!
Setelah Mas Pri pergi,
setelah aku sendiri Iagi, di kamar rumah sakit ini, ada kegetiran yang
mengaliri seluruh pembuluh darahku. Dan benar, aku tidak perlu punya harapan
lagi. Tidak perlu mengharap banyak dari manusia mesin yang tidak berperasaan
itu.
Dan, begitu saja, aku
tersenyum lepas. Bagai puas aku memandangi bayiku dari kisi-kisi boksnya.
"Bagaimana, Pur,
semuanya baik-baik saja, kan?" ujar Bi Anih, bagai tiba-tiba telah berdiri
di sampingku. “Kau seperti termenung. Ada apa, Pur?"
"Mas Pri akan ke Amerika,
lalu ke Jepang, lalu entah ke mana," tuturanku, di telingaku pun, amat
sengau.
Bi Anih tercenung. Dipandanginya
mataku lekat. Begitu saja, aku serasa tengah berenang di danau yang amat luas dan
damai. Mata perempuan itu penuh kasih menatapku amat dalam.
"Bi, aku merasa
keputusanku benar. Dan aku tidak akan menundanya....”
Dan, air mata yang telah kubendung
bertahun-tahun, bagai tak tertahan, tumpah-ruah. Penuh luka.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar