Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 468 tanggal 26 Oktober – 8 November 1992
Bonus Novelet
MAK Ina bermaksud menyuguhkan penganan kecil, tapi ketika didengarnya percakapan Ning dan Assegaf di ruang depan, langkahnya tertegun.
"Ning, kau sudah dewasa, matang, sudah bekerja. Cantik lagi. Om kira sudah waktunya untuk
memikirkan...."
"Ning tahu maksud, Om," Ning memotong. "Tapi rasanya untuk saat sekarang, belum, Om."
"Usiamu sudah hampir kepala tiga. Tunggu apa lagi?" Assegaf
menyernyitkan jidatnya.
Ning diam. Terlintas Gunadi di benaknya. Ah, hanya lelaki itu yang sering mendekatinya, yang sering berdua dengannya. Apakah
itu berarti Gunadi adalah laki-laki yang bakal jadi pendampingnya?
Tidak! Ning meralat sendiri pertanyaannya. la lelaki
perlente yang hidup dalam dunia yang lain. Dunia priyayi! Tapi, bukankah Gunadi
lelaki yang simpatik, sopan dan sangat menarik?
"Kau memikirkan seorang laki-laki, Ning?"
Assegaf menebak dengan tepat pikiran Ning. Ning tersipu.
“Entahlah, Om,"
Ning mencoba menetralisir hatinya yang galau.
"Tidak baik terlalu banyak
pertimbangan,” Assegaf mengangkat cangkir kopi. Mereguknya. Lalu, "Kau lihat
kan, sampai sekarang Om hidup membujang. Itu karena banyak
pertimbangan." Assegaf tertawa.
"Untuk Ning, belum waktunya saja, Om."
Assegaf mengeluarkan sebatang kretek. Menyulutnya dan menghisapnya
dalam-dalam. Kemudian dihembuskannya asap itu perlahan-lahan. la menoleh pada Ning.
"Ingat usiamu, Ning."
"Ning tahu, Om. Tapi…."
"Tapi apa?"
Ning diam. Dilemparkan tatapannya pada langit-langit. Ditelan ludahnya yang
terasa pahit. Assegaf memperhatikan serius. Ditangkapnya kegelisahan di bola
mata Ning. Sementara Mak Ina mendengar hati-hati dari balik gorden.
"Om," Ning menarik nafas. "Ning
merasa belum siap. Ning merasa — tanpa kehadiran Papa
dan Mama apalah arti sebuah perkawinan. "
Mak Ina tercekat. Kerongkongannya seperti terasa tercekik. Suara Ning yang
lirih menghunjam dadanya. Memilin rabunya.
"Apalah arti sebuah perkawinan tanpa ada orang tua untuk disungkemi,
untuk berlutut minta restu. Sungguh, Ning merasa tak siap tanpa mereka,"
suara Ning menjadi parau, bergetar.
Assegaf merasakan kepahitan itu. Merasakan bagaimana suasana hati seorang
gadis yang telah ditinggal mati sejak kecil. Assegaf tahu benar bagaimana perasaan Ning yang hanya diasuh pembantu. Pembantu!
Ah, Mak Ina bukan pembantu! la bukan pembantumu, Ning, desah Assegaf dalam
hati.
Di ruang dalam, Mak Ina merasa tidak tahan
mendengar kepedihan itu. Luka dalam dadanya, yang sekian tahun tertanam, akhirnya mengalir
lewat isaknya. Tubuhnya bergetar. Jemarinya tak lagi sanggup menahan piring penganan yang dipegangnya. Piring itu jatuh.
Menimbulkan suara gaduh. Ning dan Assegaf menoleh cepat dan bergegas
masuk.
“Ada apa, Mak?"
Ning memegangi tangan Mak Ina yana gemetar. Assegaf berdiri pilu di
belakangnya.
Mak Ina tak kuasa lagi membendung air matanya, menahan air yang seperempat abad lebih telah
dibendungnya. Air matanya, air mata ibunda yang merindukan si
anak hilang. Si anak yang sesungguhnya selalu bersama dalam kesehariannya.
Selalu bersama.
"Mak…,” suara Ning terdengar khawatir.
Mak Ina segera tersadar. Dengan cepat dihapusnya air matanya. "Maafkan
saya, Non. Mak tidak sengaja."
"Mak, sakit?" tanya Ning sambil meraba keningnya.
"Oh, tidak. Cuma... barangkali sedikit
lelah, Non."
"Sudahlah. Sekarang Mak istirahat saja. Biar Ning yang membereskan
pecahan ini."
Ning menuntun perempuan itu ke kamar. Mak Ina entah sedang merasa di mana. Terasa ia melambung ke ketinggian.
Ke suatu puncak yang penuh warna bahagia. Kerinduannya dipapah anaknya
sendiri, malam ini seperti terobati. Tapi justru dalam hati Mak Ina, perlakuan
seperti ini, sekaligus melukainya: keramahan seorang majikan yang kasihan pada
pembantunya!
Setelah membaringkan dan menyelimuti Mak Ina, Ning segera kembali ke ruang
tengah. Assegaf sedang mengumpulkan pecahan- pecahan kaca itu.
"Kasihan Mak Ina," Ning bicara pada Assegaf sambil membantu
mengemasi, "la sobatang kara. Katanya, sejak ia kecil, telah ditinggal
seluruh sanak keluarganya yang tertimpa bencana alam."
Assegaf mendengar bimbang.
"Petaka dan bencana memang tak memandang waktu dan tempat," sambung
Ning. "Betapa malangnya perempuan itu."
Ya, betapa malangnya, batin Assegaf pilu.
2 (Dua)
SENJA baru saja turun. Langit mendung. Gerimis yang turun satu-satu
menambah kelam suasana senja. Ning dan Martini, sahabat satu kantornya, duduk
tenang di teras, menikmati week end mereka di villa Gunadi. Gunadi dengan baik hati telah menawarkan
peristirahatannya pada mereka. la sendiri, Sabtu
ini, ada urusan bisnis ke Medan.
"Ning, rasanya aku mimpi punya villa sendiri," kata
Martini sambil memperhatikan langit yang mendung. "Jujur saja, baru kali
ini aku merasakan hidup damai di sebuah peristirahatan. Merasakan kesunyian
setelah hampir setiap detik kita dipaksa mendekam dalam kebisingan
ibukota."
Ning tersenyum. "Aku juga baru pertama. Sejak Papa dan Mama ditimpa
musibah, aku tak pernah merasakan lagi menyepi di villa."
"Tapi sayang ya, tanpa boss?" Martini mengerling.
"Boss? Siapa?"
"Ya Gunadi!" Martini melepaskan tawanya yang renyah.
Ning terdiam. Dalam dadanya ada gemuruh, galauan yang campur aduk. Anjuran
pernikahan dari Assegaf mengusik kalbunya. Dalam kediamannya, kembali ia
bertanya; Gunadikah lelaki yang akan mengawininya? Lelaki itu menyiratkan hal
ini sejak beberapa waktu lalu. Aku yakin, dia mempunyai suatu perasaan
terhadapku. Ya, aku yakin sekali!
Tidak! Ning menjerit dalam dadanya. Penyakit yang bersarang dalam tubuhnya,
telah menjadi penghalang bagi setiap perasaan cintanya. Dan Ning tak ingin laki-laki yang mencintainya
tahu dan merasakan penderitaan itu.
"Ning, kau akan menikah, bukan?" suara Martini terdengar mendadak
dalam telinga Ning.
"Ngg…. "
"Dia... maksudku kalian cocok untuk menikah."
"Aku belum memikirkan itu."
"Kau harus memikirkannya."
"Aku tidak berani."
"Aku mengerti. Aku juga dengar cerita-cerita tentang Gunadi. Negatif
sekali. Tapi siapa pun tahu itu dilakukannya sebelum bertemu denganmu. Sebelum
ia menemukan gadis yang cocok untuk menjadi istrinya." Martini
menghentikan kalimatnya. Diangkatnya cangkir teh di meja dan diteguknya. Lalu
sambungnya. "Kata orang, lelaki jadi begitu hanya karena kesepian."
"Kesepian?" Ning menoleh.
"Ya. Menjelang ada dermaga terakhir tempat ia berlabuh."
"Klise sekali," desah Ning. Terngiang lagi cerita orang-orang
tentang Gunadi. Kisah klasik dari seorang pengusaha muda, bujangan, kaya,
ganteng dan perlente.
"Mungkin. Tapi aku yakin, Gunadi telah menjadi lain. Aku mengamati itu
tiap kali ia datang ke perusahaan kita. Aku menemukan sesuatu yang lain dari
sosok lelaki yang diceritakan buruk oleh orang lain. la simpatik dan menarik
sekali."
Pertemuan Ning dan Gunadi sebenarnya tidak sengaja. Waktu itu Gunadi
bertamu ke perusahaan tempat Ning bekerja, merundingkan kerja sama dengan perusahaannya. Ketika Gunadi diajak
berkeliling oleh Pak Sudiro, direktur perusahaan tempat Ning bekerja, mereka
bertatapan. Ada suatu yang lain yang ditemui Gunadi di mata Ning dan juga ada suatu yang istimewa yang didapati Ning dalam mata Gunadi.
Sejak itu, Gunadi dan Ning sering bertemu.
"Aku juga menangkap itu dalam mata dan tingkah
lakunya," ulas Ning. "Tapi aku tetap waspada kok, waspada terhadap segala kemungkinan."
"Itu bagus," sela Martini.
"Tin, jujur kuakui, Gunadilah laki-laki pertama yang
menggugah perasaanku. Tidak! Jangan katakan aku terdorong oleh perasaan semata.
Aku telah memikirkannya dengan sungguh-sungguh. Rasanya tidak wajar jika kita mengkambinghitamkan masa lalu seseorang. Aku
hanya ingin melihat dan menilainya di saat sekarang, di
saat ia mengenalku," Ning bicara panjang, "Bukankah kita semua punya masa lalu, Tin?"
“Ya. Kita semua punya
masa lalu," Tini menegaskan.
Sebuah mobil memasuki pekarangan villa. Sedan merah hati itu
berhenti tepat di depan teras. Seorang gadis manis keluar dari dalamnya dan
berjalan tergesa mendekati Ning dan Martini.
"Ada apa, Linda?" cegat Martini cepat.
“Mas mBang pulang. la
perlu bertemu, Mbak, malam ini," jelas adik Bambang, pacar Martini yang
kini di Amerika.
“Mas mBang tidak
memberi kabar dulu?"
“Nqqak. Tahu-tahu sudah nongol di rumah. Bicara sedikit pada Papa, langsung nyari mBak. Tanya di rumah, kata Dandi, mBak ke
sini dengan teman mBak. O ya, ini kan, teman, mBak?"
Ning mengulurkan tangan.
"Maaf, mBak Ning. Saya tidak bermaksud mengganggu, kok. Tapi
kata Mas mBang ini penting."
"Nggak apa-apa kok, Lin." Ning menoleh pada Martini yang gelisah.
"Sudahlah, berangkat saja."
"Tapi...."
"Kan ada Bik Sur yang akan menemaniku."
Dengan masih sedikit ragu akhirnya Martini berangkat juga. Hari telah
menjelang malam. Matahari tak tampak lagi. Ning memandangi sedan merah hati itu
meluncur menuruni jalan yang berliku.
"Ah, kasihan si Non. Sendirian," kata Bik Sur setelah mobil itu
tak lagi kelihatan.
"Kan ada Bik Sur?"
Perempuan bertubuh tambur itu tersenyum senang. Mereka berjalan memasuki villa. Langit yang tadi mendung telah mulai meneteskan hujan.
***
Gunadi pengusaha kaya, berhasil, priyayi, perlente, dan berbagai kata
lainnya diucapkan Bik Sur beberapa saat satelah makan malam. Ning mendengarkan
dengan serius. Tapi ketika Bik Sur mengucapkan sebuah kalimat sederhana yang
tidak sulit untuk ditangkap maknanya, Ning merasa nalurinya tersentuh.
"Den Gun, tiap kali datang, kalau tidak bawa makanan-makanan
mahal, pastilah bawa majalah, novel atau kaset-kaset kesukaan saya,"
cerita Bik Sur dengan sungguh-sungguh. "Apalagi sejak beberapa tahun
terakhir, sejak Den Gun sering sendirian ke
sini, saya dan Mang Urip sering diajak menemani sampai larut malam. Kami nonton video, main kartu, main halma, atau ngobrol
ngalor-ngidul," sambung Bik Sur.
"Dulu, Den Gun sering bawa
siapa?" Ning bertanya ragu-ragu.
"Kalau dulu, kalau nggak Non Lisa pastilah Non ..." Bik Sur mengernyitkan jidatnya; berpikir keras meningat-ingat nama gadis pacar Gunadi dulu.
Tapi kemudian ia hanya mendesah. "Wah, sudah lupa, Non. Tapi, orangnya
nggak ada yang secantik, Non.”
Ning tersenyum hambar. Berapa wanita yang pernah ke
sini dan menikmati malam yang dingin bersama Gunadi? Ah, masa
lalu memang berwarna-warni!
"Sejak kapan Den Gun nggak bawa perempuan
lagi?"
"Sudah lama juga, Non. Pokoknya sangat lama deh."
"Mengapa?" tanya Ning mendesak.
"Kata Den Gun sih waktu ditanya Mang
Urip, takut dosa. Kalau nggak salah, kata Den Gun waktu itu, juga karena ia menemukan seorang gadis yang luar biasa. Dan
gadis itu telah merubah seluruh tingkah lakunya. Saya sih nggak berani
bertanya terlalu banyak, Non. Soalnya,
Den Gunadi ingin buat surprise pada saya dan Mang Urip."
"Lalu?"
"Ya, kata Den Gun nggak bakalan ngajak gadis itu ke villa ini sebelum resmi," jawab Bik Sur lagi, "Villa ini, mulai saat itu,
hanya boleh didatangi oleh calon istrinya."
"Bik Sur pernah bertemu gadis itu?"
"Pernah, Non, sekali. La, orangnya memang kayak
bidadari. Saya saja, perempuan, berdesir-desir jadinya."
Ning tertawa. Galau. Bik Sur menangkap kegalauan itu dalam mata Ning,
hingga perempuan tambur itu tersenyum lebar. Yakin sekali ia bahwa Ning sedang dilanda was-was. Cemburu pada
gadis dalam ceritanya!
"Non ingin tahu siapa gadisnya?"
Sebenarnya Ning merasa sedikit malu untuk mengatakan 'ya', tapi rasanya
untuk sekadar mengangguk, ia masih mampu. Bik Sur mengerti sekali itu. Apalagi kemurungan di wajah Ning turut mewarnai
malam. Bik Sur mengacungkan jari-jarinya, kemudian memutar-mutarnya di atas
kepalanya. la berdiri. Tubuhnya
yang gemuk turut bergoyang-goyang mengikuti perputaran jarinya di kepala.
Beberapa kali memutar, usahanya untuk melucu
dan memancing Ning agar tertawa, berhasil. Ning memang tertawa. Bik Sur mendekati pintu kamar utama. Diputarnya gerendel pintu. Setelah pintu
terbuka, Ning mendekati Bik Sur yang tubuhnya hampir
menutupi seluruh pintu.
"Nah, itu bidadarinya, Non," Bik Sur bicara
sambil menunjuk pada sebuah potret berukuran besar berbingkai kayu jati yang
menempel di dinding. Ning tersentak kaget.
"Cantik, kan, Non?" goda
perempuan itu lagi.
Ning mengamati cermat wajahnya dalam bingkai itu.
Suara klakson mobil di halaman villa mengagetkan Ning dan
Bik Sur. Perempuan itu kembali menutup pintu kamar. Dari luar didengarnya
teriakan Mang Urip.
"Bik Sur! Ada Den Gun...!" teriaknya meningkahi suara hujan yang deras.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar