Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 618 tanggal 25 Mei – 4 Juni 1997
Bonus Novelet
Sedikit
tentang Kasih Sayang
(Satu:
Deviasi Tutur)
BULAN pertama telah
berlalu. Program demi program tengah berjalan. Sejauh ini semuanya baik.
Berjalan sebagaimana kami merencanakannya. Begitulah yang disampaikan
masing-masing tim pada evaluasi program setelah berjalan sebulan.
Dan, satu hal yang perlu aku beritahu, hubungan kami –aku dan Tio, berkembang
ke arah yang menyenangkan. Ke arah yang membuat aku harus mengakui bahwa
kebersamaan sering menautkan dua hati dan dua rasa dalam satu wadah yang
disebut kasih sayang, yang disebut cinta.
Lantas salahkah kami bila begitu?
Entahlah. Cinta lahir dan tumbuh dari jiwa, dari hati dan rasa. Tidak banyak
orang yang mampu untuk tidak mengakuinya. Buktinya Ano dan Hera, sejauh yang
aku amati, sepertinya juga begitu. Padahal, Hera punya pacar yang telah tiga
tahun menjalin kasih. Dan dalam waktu yang tidak lama, di lokasi KKN ini, telah
meruntuhkan hubungan itu. Benar, kebersamaan mereka dalam membenahi
administrasi desa, mempertemukan perasaan itu. Dan mungkin benar kata banyak
orang bahwa KKN adalah tempat cinta bersemi dan sekaligus satu tempat yang
tidak jarang menghancurkan jalinan kasih dengan pasangan sebelumnya. Duhai.
Ah, sudahlah. Mungkin
tidak perlu dicaritahu siapa yang salah dan siapa yang benar dalam kehancuran
hubungan percintaan - atau dalam terbentuknya cinta sepasang manusia.
Perasaan kasih, sayang dan
cinta, lahir dari kesatuan pikiran, kesamaan pandangan. Ia adalah percakapan pikiran
ke pikiran, jiwa ke jiwa dan hati ke hati. la melompat begitu saja dan kemudian
hinggap dengan kuat. Dari sanalah orang-orang belajar menyatukan perbedaan,
menyelaraskan ketidaksesuaian dan berusaha mempertemukan dua kepentingan. Ya,
benar Pembaca yang Budiman, tidak jarang dua perbedaan itu tidak berhasil
dipertemukan. Duhai, betapa beratnya bila ini terjadi. Serupa menjalin tanpa
benang, merajut tanpa jarum atau membaca tanpa kacamata yang memadai bagi mata yang
merabun. Ah, jangan katakan perumpamaan terakhir ini konyol. Benar, bukan,
membaca bagi mata yang merabun, alangkah sulitnya tanpa dibantu kacamata yang
memadai?
Aku sering tidak
sependapat dengan banyak orang tentang cinta. Bukankah banyak yang berpaham
bahwa cinta adalah buta? Bahwa cinta adalah proses pembutaan atas seekor babi?
Buh, bayangkanlah seekor babi yang buta, yang berlarian dengan liar, menyeruduk
ke sana dan ke sini tak terkendali (meski aku sendiri belum pernah melihat babi
buta). Bagiku cinta adalah sebuah lembah yang terpencil jauh, yang senyap namun
sangat teduh. Lembah di mana pikiran dengan pikiran, perasaan dengan perasaan dan
hati dengan hati, bercakap-cakap dengan lembut. Lembah di mana angin bertiup
sangat semilir, air mengalir memercik, atau piano mendenting begitu rupa. Atau
mungkin petikan harpa yang selaras dalam sebuah malam yang senyap. Duhai terlalu
berlebihankah aku?
Percakapan hati adalah
percakapan yang paling sempurna, bukan? Dan semua orang akan bercakap-cakap
dengan hati dan hati, bila perasaan kasih dan sayang itu mencuat utuh. Kemudian
ia akan tumbuh, bersemi dan mekar amat semerbak. Kemudian, dan kemudiannya lagi,
setiap perbedaan seperti tidak ada. la seperti melebur dalam satu keseragaman
pikiran. Keseragaman yang senantiasa diwujudkan dalam bentuk kebersamaan.
(Dua:
Kasih Sayang Tanah Gambut)
ANAK-anak itu membuat aku
menghela nafas. Dengan tubuh yang kelihatan kuat, jauh lebih kuat dari usia
mereka sebenarnya, mereka bekerja dengan tangkas. Memanggul jerami-jerami,
mencangkul dengan pacul yang kelihatan besar, menyabit rumput-rumput atau
mencabut gulma-gulma, menjadi pemandangan keseharian. Atau gadis-gadis kecil
yang memanggul kayu bakar!
Mereka bekerja padahal
saat ini pukul sepuluh pagi! Bukankah pada jam-jam segini anak-anak ada
dipelataran sekolah, tengah beristirahat dari pelajaran dan bermain-main dengan
leluasa?
Ya, kampung ini hanya
diisi orang-orang yang menjelang tua dan anak-anak. Setiap anak yang berangkat
dewasa pergi meninggalkan desa, mencari penghidupan lain di kota atau di desa
lain. Begitu terus menerus. Seperti sebuah siklus yang baku. Seperti sebuah ban
berjalan, sebagai suatu sistim. Bila tidak ada tenaga muda di tanah ini,
bagaimana mungkin perekonomian kampung ini membaik?
Dan aku bertanya juga dalam
kebimbangan, bagaimana bentuk kasih sayang yang dirasakan anak-anak ini? Bocah-bocah
pekerja ini, adakah mereka pernah berpikir bahwa teman sebayanya tengah asyik belajar
dan bermain di sekolahan? Atau, apakah mereka tidak pernah tahu bahwa
sebenarnya mereka punya hak untak bermain? Untuk bercengkerama sepanjang hari
sebagai anak yang benar-benar leluasa? Buruknya lahan pertanian, semakin tingginya
kebutuhan hidup, membuat tak banyak yang dapat dipikirkan selain bekerja,
bekerja dan bekerja. Bekerja untuk tidak menghasilkan apa-apa!
Ah, betapa ironisnya. Atau
apakah aku yang terlalu mendramatisirnya.
"Kasih sayang," ujar
Tio begitu saja sambil mencabut sehelai rumput dan mempermainkannya. Seperti
ada sesuatu di daun itu, ia memperhatikan seksama. Agak lama, baru ia
melanjutkan, "Aku melihatnya tidak seperti itu. Kasih sayang yang dimiliki
orang lain, baik kapasitas, kualitas dan cara mewujudkannya, berbeda-beda. Kita
tidak dapat menentukan dengan mudah bentuk kasih dan sayang orang lain."
"Di usia mereka seperti
itu, seharusnya mereka tengah bermain dengan anak-anak sebaya di halaman
sekolah. Berkejaran, bermain bola, atau apa saja. Tapi lihatlah, di tengah sawah
sana, kanak-kanak itu bekerja seperti orang dewasa."
"Kehidupan membuat
mereka memilih jalan yang semestinya dipilih.”
"Tapi di sini ada
sekolah dasar. Kaulihat, bukan, paling-paling mereka hanya sekolah sampai kelas
tiga atau empat. Dan paling hebat cuma sampai selesai SD. Bisa dihitung dengan jari
berapa orang yang masuk ke tingkat yang lebih tinggi."
Di kejauhan, burung-burung
sawah masih terlihat melompat-lompat. Angin tengah hari yang panas membuat kami
merasa lebih betah duduk di atas pelepah kelapa, di tanah guguk ini. Di onggokan tanah di tengah persawahan yang luas.
"Sam, mungkin benar
mereka kekurangan kasih sayang, kasih sayang yang seperti kita definisikan,
kita rasakan, atau kasih sayang sebagaimana logika kita menerjemahkannya. Tapi,
bukankah kita tidak tahu, dan kita tidak akan pernah paham, bagaimana wujud
kasih sayang di antara mereka. Kaulihat sendiri, kan, mereka masih bisa
tertawa, bercanda, dan bercengkerama sekeluarga. Dalam beratnya kerja mereka
masih punya kesempatan untuk saling berbagi kasih dan sayang itu. Dalam dan
dengan cara mereka sendiri."
"Cara mereka
sendiri," aku mengulangi dengan ragu-ragu. "Apa pun harus mereka beli
untuk hidup. Tanah tidak menyediakan banyak untuk mereka. Mungkinkah dalam situasi
seperti itu mereka berpikir tentang rekreasi, plesiran atau week end di sebuah tempat yang bagai
surgawi?"
"Jangan memaksakan
pikiran kita tentang hiburan seperti itu pada mereka. Mereka tidak butuh itu.
Bisa jadi kerja adalah semacam hiburan."
"Kalau begitu mereka
rekreasi sepanjang hari," aku tertawa lunak. Tio hanya mendelik dan
tersenyum tertahan. Mungkin pahit. Sepahit kehidupan tanah ini.
"Sudahlah, Sam ...
dalam waktu yang Cuma dua buIan kita tidak bisa berbuat banyak untuk mereka.
Mereka punya sistem, cara dan pola hidup sendiri. Kita tidak akan pernah paham
dan tidak akan pernah benar-benar merasakan bagaimana bentuk kasih sayang,
rekreasi, hiburan atau week end ala
mereka. Bukankah ikan air tawar tidak akan paham bagaimana ikan air laut bisa
bertahan di air seperti itu?"
Aku mengiyakan dan
mengangkat wajah, melihat ke langit. Garis awan putih yang tipis semakin
menguatkan teriknya tengah hari. Sangat silau. Dan di kejauhan, di sawah-sawah
yang lumpurnya bisa sedalam dada itu, orang-orang masih dengan tekun
melaksanakan pekerjaannya.
"Oya, aku kuatir
benih padi yang telah tumbuh itu tidak akan kuat bertahan dalam musim ini."
"Kenapa?"
"Tidak lama lagi kita
akan meninggalkan kampung ini. Dan itu artinya tidak ada yang akan mengawasi
benih itu."
"Aku juga berpikir
begitu. Minggu depan sudah saatnya benih itu dipindah ke sawah. Dan seminggu
setelah itu kita akan pergi." Tio berkata seperti bergumam. Berat.
"Padahal setiap perkembangannya harus diamati dan diawasi dengan
cermat." la menegaskan seperti putus asa. "Akankah semua ini menjadi
sia-sia, Sam?"
Aku tidak mengangguk, tidak
menggeleng. Aku duduk lebih dekat dan menyentuh jemarinya yang masih memainkan
daun. Menggenggam jemari itu.
"Tio, barangkali saja,
segala sesuatunya akan berjalan di luar perkiraan matematis seperti itu. Kalau
benar demikian, bisa jadi benih itu nanti akan tumbuh menakjubkan sekalipun
tanpa pengawasan yang cermat. Lagi pula, Pak Cang, yang sejak awal penyemaian
benih sampai sekarang selalu mendampingimu, yang selalu dengan tekun memperhatikan
setiap proses, kupikir akan mengawasinya dengan cermat. Buku petunjuk itu dan
catatan-catatan yang kauberikan akan membantu Pak Cang. Aku yakin dia mampu
menggantikanmu sampai nanti saatnya padi di panen."
"Kau membangun sebuah
harapan, Sam?"
"Setidaknya, harapan
masih akan membuat kita mempunyai tujuan."
Tio mengerlingkan mata bundarnya.
Tersenyum ia melepaskan genggaman tangan dan bangkit. Sambil membersihkan
daun-daun kering yang menempel di celananya, ia berkata, "Siang ini, selepas
lohor, kita punya program bersama, ya?"
"Ya, mendatangi beberapa
rumah untuk masalah sanitasi hngkungan."
"Kalau begitu, sebaiknya
kita ke posko saja."
Kami berjalan beriringan.
Sesekali tertawa. Pematang yang lembek telah membuat jalan tidak sempurna. Akan
tidak bagus jadinya bila sempat jatuh ke sawah karena lumpur itu akan
menenggelamkan tubuh hingga ke dada. Tapi aku sengaja menggoda Tio yang berjalan
di depan. Sekali aku melompat di pematang dan membuat tanah itu bergerak.
Lompatan itu, seperti biasa, akan membuat Tio setengah menjerit dan berteriak
kesal: "Mengapa kau tidak mendorongku saja ke lumpur sawah ini?!"
Dan kemudian aku akan
tertawa. Tertawa menikmati tawa Tio yang begitu leluasa. Aku akan terus
menggodanya, melompat-lompat di pematang yang tidak keras dan membiarkan Tio
berteriak dalam kecemasan.
"Sam, lumpur ini akan
menenggelamkanku!"
Aku hanya akan tersenyum dan
melepaskan tawa sukacita. Ah.
***
SENJA telah turun. Langit merah
yang membayangi seisi lembah, begitu saja seperti membuat dadaku bergalauan.
Ada yang menyesak dan menekan. Entah firasat buruk apa, aku begitu saja berteriak
ditengah angin.
"Tio, sebaiknya kita
membuat parit yang lebih dalam di sekeliling benih ini!"
Semua berhenti bekerja dan
melihat kepadaku. Seperti ada yang memerintahkan, kami telah berkumpul berkeliling,
membentuk lingkaran. Pak Cang yang masih memegangi cangkulnya juga mendekat dan
seperti heran.
"Kurasa tidak perlu
lagi, Sam. Lusa benih ini sudah akan dipindah ke lahan yang telah siap
itu," jelas Pri, memperhatikan benih-benih yang telah tumbuh besar itu.
“Ya, kupikir juga
begitu," Toni berjongkok dan memegangi daun-daun muda yang hijau itu.
"Lihatlah, benih ini sangat bagus dan tumbuh dengan subur, Sam. Bukankah
begitu, Tio?"
Tio melihat kepadaku. Kemudian
ia menengadahkan wajah. Melihat ke langit dengan seksama. Agak lama ia kembali
melihat kepadaku, dan beralih pada Pak Cang yang juga baru saja selesai
menengadah.
"Pak Cang, apakah
malam ini akan turun hujan?" tanyanya.
"Kalau benar demikian,
ada kemungkinan hujan yang akan turun sangat deras." Pak Cang memperbaiki destamya.
"Telah lama hujan tidak turun. Sejak kalian di sini belum pemah, kan?
Mungkin ada baiknya kita membuat parit yang lebih dalam di sekitar benih ini.”
Apa boleh buat. Meski
sudah menjelang Magrib, kami harus bekerja cepat untuk membuat parit.
Berjaga-jaga kalau hujan benar-benar akan menyerang. Cerita Pak Cang, kalau
hujan yang turun dalam situasi yang tidak bisa ditebak ini, angin dan badai
akan menyertainya. Dan biasanya badai lembah --angin yang turun cepat dari ketinggian,
kemudian membentur ke dinding-dinding batu-- tidak jarang akan merusak semua
tanaman. Dan bila itu memang terjadi ... entah apa yang akan dialami benih ini
esok hari.
Akhimya pembuatan parit
itu selesai juga. Bahkan benih telah sempuma ditutupi dengan pelepah-pelepah
kelapa. Tiang-tiang pendek penyangganya ditanam di antara rumpun-rampun benih. Dan
untuk lebih meyakinkan bahwa pelepah-pelepah itu tidak akan ambruk dan menimpa
benih, kami semua mengikatnya dengan tali plastik. Dan semuanya baru selesai
setelah langit benar-benar gelap.
Malam ini kami hanya duduk
menunggu di posko. Duduk berkitar sambil tak banyak yang bisa dilakukan. Sesekali
kami berpandangan seperti mencari-cari jawaban dari keresahan yang tiba-tiba
saja menyelimuti kami. Keresahan pada cuaca yang ganjil.
"Kalau benar hujan
dan badai lembah akan datang malam ini, aku juga kuatir dengan bak penampungan
air itu." Pri bangkit dan mendekati jendela yang terbuka. Angin lembah
yang dingin menerobos masuk. "Baru tadi siang bak air itu dipoles. Tentu
semennya belum mengering dengan sempuma."
"Kupikir tidak akan
apa-apa, Pri," Lukman, yang sama-sama menangani masalah itu, ikut bangkit.
"Tadi siang sangat panas. Lagipula tadi siang kita kan cuma memolesnya.
Kalau pun rusak paling-paling cuma polesan semennya. Tidak akan meruntuhkan
bangunannya. Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Yang jelas aku sangat senang
karena ketika ujicoba tiga hari lalu pompa yang kita buat berjalan
sempuma."
"Pekerjaan yang
bagus. Aku mendengar sendiri, Kepala Kampung sangat terkesan dengan proyek air
bersih dan pompa sederhana itu." Aku menimpali, melihat kepada Lukman dan
Pri yang telah kembali duduk. "Sepertinya semua yang kita kerjakan
berhasil, ya?"
"Seluruh administrasi
desa juga telah rapi dan tersusun dengan baik. Sistematis dan sangat memudahkan
mereka untuk menuliskan berbagai pendataan," Rani melepaskan senyumnya.
"Yang belum rampung hanya peta desa. Tapi akan segera selesai. Kami
sengaja tidak memprioritaskan pembuatan peta desa itu. Kupikir dua tiga hari
selesai, ya An?"
"Ya. Pasti selesai.
Bingkainya bahkan tinggal dipasang. Tadi siang Pak Mur mengantarkannya."
Ano menegaskan.
"Pak Mur?"
"Tukang kayu yang
pekerjaannya sangat rapi."
"Pak Mur juga tukang batu
yang terampil. la. membantu kita membuat bak air itu, bukan?"
"Lalu, bagaimana
dengan penyuluhan petemakan?"
"Apa kita sedang
rapat evaluasi akhir?" Hera bertanya dan kemudian tertawa.
"Masih seminggu
lagi," Lukman menyelingi.
"Sepertinya kita
memang sedang rapat evaluasi, ya?" aku ikut menimpali dan melepaskan tawa.
Tapi angin yang tiba-tiba menjadi deras menggelombangkan cahaya petromak,
membuat aku bangkit dengan mendadak dan melihat keluar jendela.
"Akan segera
hujan?"
"Entahlah. Langit
sangat hitam."
"Tenang saja, Sam.
Benih-benih itu bukankah sudah kita lindungi sedemikian rupa. Berdoa saja
semoga tidak terjadi apa-apa malam ini." Toni menarik tanganku untuk kembali
duduk. "Memang, pada benih-benih itu sebagian besar harapan kita tertanam.
Benih-benih itulah yang akan lebih memberi arti bagi penduduk kampung. Tapi
kita tidak boleh lupa bahwa kita hanya berusaha."
"Kita memang sudah
bekerja keras untuk benih-benih itu. Mulai sejak kahan mendatangi Balitan
Sukarami, hingga sekarang. Kita benar-benar seperti menjadi petani, ya?"
Rani tersenyum, seolah baginya sangat berkesan. "Aku benar-benar mendapatkan
kesenangan yang luar biasa saat mencangkul, mempersiapkan lahan persemaian dan bahkan
membantu para penduduk menyiapkan lahan yang akan ditanami."
"Pekerjaan kita itu
tidak akan sia-sia, kan, Tio?" Hera memandangi Tio yang sedari tadi hanya
diam, duduk bersandar pada dinding.
"Aku selalu berdoa
untuk itu. Kalau benih-benih ini gagal, pada akhimya kita tidak memberikan
sumbangan yang berarti bagi penduduk di sini. Bagi tanah yang sangat tidak bagus
ini."
Sekali guntur menggelegar.
Pukul sebelas malam. Dan ketegangan itu membuat kami berpeluh. Angin lembah
yang menusuk terasa membawa hawa basah. Dan, yak!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar