Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 479 tanggal 29 Maret – 11 April 1993
Bonus Novelet
LIMA
DUA PULUH hari
lamanya Darsih "bersafari" dari satu cabang ke satu cabang lainnya
menyelesaikan berbagai urusan penting. Membenahi manajemen beberapa cabang yang
dianggapnya lemah. Dan, memang, kali ini, seperti biasanya, Darsih berhasil
mengatasi dengan baik. Dan, hari ini, pukul sepuluh malam ia sampai di rumah.
Dirasakannya tubuh yang penat dan amat letih.
Mbi datang mendekat ke Darsih yang bersandar di
pintu masuk. Perempuan abdi yang setia itu membungkuk-bungkuk menyambut
kedatangan majikannya.
"Mbi, ke mana
anak-anak," tanya Darsih
datar.
"Den Pras, empat hari lalu
ke Bandung,Nya. Katanya dipanggil untuk kerja membuat kapal terbang," tutur Mbi lugu, sesuai banyolan
Pras sebelum berangkat. "Non Sandra dan
Non Mia ke Bogor bersama Tuan. Pagi-pagi sekali," lanjutnya.
"Ke Bogor?”
“Ya, Nya."
"Ada pesan?"
"Tidak ada pesan apa-apa, Nya. Habis
terburu-buru sih. Mana berani saya nanya macam-macam," jelas Mbi.
"Ya, sudah."
Darsih beranjak menuju tangga, kemudian menaikinya
lambat, bagai bimbang. Setelah mengganti
pakaiannya dengan daster. Darsih bermaksud untuk segera tidur. Tapi seperti ada
yang mengganjal pikirannya, ia bangkit dan berjalan menuju pintu kamar menuju
balkon luar. Dibukanya pintu. Angin malam yang beraroma khas berserabutan
masuk. Diayunkannya kaki menuju teras-atas-luar itu.
Dalam buram malam, dalam sorot lampu taman yang
redup, dalam tarian kabut yang dilihatnya bimbang, Darsih
memandangi segalanya dengan dada yang kosong. Seperti biasa, perasaannya
seperti melambung ke suatu ketinggian, yang selalu saja membuat ia gamang.
Memintas semua kisah yang dijalaninya akhir-akhir
ini, terutama sejak pulangnya Pras dari Jerman. Ada perobahan dalam diri
mereka, pikir Darsih, dalam diri anak-anaknya. Mereka serasa menjauhi, serasa
mengucilkan ia dengan akrabnya mereka pada Rustam. Bermanja, bercengkerama, bermain
musik dengan lelaki itu. Dan, malam ini, ia merasa ada sesuatu yang hilang
dalam kehidupannya. Sesuatu yang sesungguhnya tidaklah pernah dimilikinya:
keluarga!
Di malam menjelang esoknya Darsih meninggalkan
rumah hendak "bersafari", anak-anak tengah bercengkerama dengan
Rustam di ruang tengah. Memang, malam itu Darsih bermaksud untuk istirahat
saja. Tapi meski begitu, ada keirian yang mengalir di sanubarinya sebagai ibu
dari mereka.
Malam itu, dentingan piano yang dimainkan Mia, melodi senar gitar yang dimainkan Pras,
dan sesekali gesekan biola di tangan Rustam, mengalir amat
bening, sayup sampai ke telinga
Darsih. Dan, ketika diintipnya,
bahkan Sandra sibuk mengambil sudut-sudut yang tepat untuk dipotret! Duh,
mereka melupakan aku, seorang perempuan yang tidak boleh dilecehkan di rumah
ini... batin Darsih waktu itu.
Nyanyian terus mengalir, menderu, membahana,
mendenting, menyengat dalam telinga Darsih yang kecil. Dalam kesendirian, yang kali itu, dirasanya sakit.... Darsih terus
menikmati alunan itu. Jauh. Sayup, dan sampai....
Suara ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunan
Darsih. la ingat sekarang bahwa malam telah larut. Bergegas ia kembali masuk ke
kamar dan berjalan mendekati pintu. Dikuaknya dengan lambat. Didapatinya Mia
berdiri dengan sorot mata yang cemas.
"Mama baru pulang, ya? Mbi bilang Mama tadi terlihat kurang
sehat," sambut Mia mengamati Darsih.
Darsih merasa kerongkongannya tercekat, kelat
sekali. Mia, anak yang selama ini dalam hati tidak disukanya, kini muncul
membawa perhatian dan keramahan yang luar biasa. Perhatian yang penuh akan
dirinya. Duhai, aku telah menimbun dosa untuk anak ini.
"Ma," ulang
Mia cemas. "Mama sakit?"
"Oh, tidak."
Darsih menjawab agak gagap. Dinanapnya Mia dengan haru. "Baru kembali dari
Bogor?" lanjutnya.
"Ya, Tio yang sembilan tahun lalu dioperasi
ginjal, akhirnya meninggal juga. Entah sebab apa, ginjal
cangkoknya tidak berfungsi dengan baik akhir- akhir ini...."
Kali ini, Darsih tercekat lebih hebat. Terasa ia
menjadi susah bernafas. Lihatlah, ia tersengal. Terbayang kembali bagaimana
kesalnya ia ketika mengetahui Rustam membantu biaya operasi anak itu. Bertahun
lalu... bagaimana ia memaki-maki suaminya sendiri.
"Pak De dan Bu De titip salam untuk Mama. Juga
dari seluruh anak- anaknya," lanjut Mia. "Mereka berterima kasih
sekali atas bantuan perawatan dari Mama."
Bantuan? Kapan aku memberi bantuan?! Ya, pasti
Rustam berkata begitu setiap memberikan bantuannya. Duh, lelaki itu masih saja
menyelamatkan muka istrinya dari keluarga besarnya... maafkanlah aku!
"Ngg ... mana papamu?"
tanya Darsih, gugup.
"Di kamar, Ma. Capek
katanya."
"Sandra?"
"Mengambilkan minuman untuk Papa. Papa minta
segelas susu hangat." Mia memperhatikan Darsih. Sangat tidak biasa
mamanya bertanya perihal Papa. Mia merasa sedikit bingung. "Selamat tidur,
Ma. Sudah larut,” lanjutnya
kemudian.
Darsih kembali menutup pintu. Diseretnya tubuh yang
terasa letih. Dadanya terasa pepat, perasaannya mengambang jauh. Jauh. Menembus
batas waktu dan ruang!
Entah telah berapa lama ia melupakan Rustam
suaminya. Membiarkan laki-laki itu dalam kesendirian. Selama
itu pula Darsih tenggelam dalam kebahagiaan dan kegairahannya bersama Surya. Hidup
dalam gelora cinta dan kasih yang
tak terbatas. Hingga kemudian, saat Darsih berusia empat puluh empat tahun,
Surya mati karena stroke. Mati meninggalkan
Darsih yang kemudian teramat guncang. Amat goyah ia: bahwa ternyata hidup,
adalah mati di jalan paling ujungnya! Dan sejak itu pula Darsih amat takut akan
ulang tahun dan pestanya.
Darsih pun kian melampiaskan semua perasaannya pada
pekerjaan, pada usaha, pada bisnis yang telah dijadikan segala-galanya!
ENAM
DARSIH terhenyak
di kursi kantornya. Seperti tahun-tahun yang lalu, kembali kali ini hari yang
ditakutinya akan segera datang. Lima hari lagi ulang tahunnya ke lima puluh
tiga! Ya, setengah abad lebih tiga tahun! Duh, kian tua saja
ia. Kian diseret waktu juga mendekati batas akhirnya!
Tapi tidak! Darsih tidak renta, tidak tak berdaya. la masih wanita eksekutif yang jelita, yang masih
gesit. Yang masih memimpin banyak perusahaan, mengontrol sekian belas ribu
karyawan, menghidupi puluhan ribunya lagi. Yang terus memberi
sumbangan ke berbagai yayasan, kunjungan ke berbagai
panti, ke daerah kumuh.... Ya, Darsih masih
seperti dulu-dulu.
Darsih terus mengawasi angka-angka kalender meja.
Sementara di rumah, Rustam, Sandra dan Mia tengah berdiskusi di taman belakang,
mempersiapkan sebuah acara besar untuk tahun ini: pesta ulang tahun Darsih
sekaligus peringatan ke empat windu pernikahan mereka. Dan Rustam ingin acara
kali ini benar-benar terlaksana meriah.
Satu hal lagi, pada saat pesta
itu nanti, Rustam akan
bernyanyi. Ya, sebuah lagu yang
diciptanya sendiri. Yang liriknya adalah puisinya sendiri, Lembaran Nomor
Tujuh. Dan itu diutarakannya pada Sandra dan Mia.
"Papa mau menyanyikan puisi?"
" Ya. Tentu akan
menyenangkan."
"Papa sudah bikin nada dan not-notnya?"
"Sudah. Sudah lama malah. Tinggal sedikit
merampungkannya."
Sandra dan Mia pun hanya tersenyum.
Maka dilakukanlah persiapan untuk acara besar itu.
Acara yang masih tiga hari lagi. Kesibukan mulai terasa. Untuk penataan kebun
belakang yang akan dijadikan arena pesta, bahkan diserahkan pada pendesain yang
membidangi itu. Termasuk beberapa bagian di dalam ruang utama, depan dan
samping rumah.
Terus. Kesibukan semakin meningkat. Semakin terasa
akan ketmeriahan di malam nanti. Ya, pasti sangat
luar biasa! Pesta besar yang eksklusif,
demikian pikiran orang-orang yang kebetulan melihat para pekerja yarng hilir mudik, atau menyaksikan kesibukan
lainnya. Sementara Rustam rmasih terus
berusaha menyempurnakan tembang yang akan dilantunkannya. Selalu saja dirasanya ada yang kurang.
"O ya," teriak Sandra seperti teringat
sesuatu, "Undangan belum dibagi!"
Tanya Papa saja, Mbak, siapa-siapa yang pantas
dikirimi undangan," usul Mia.
Kemudian terlihat dua gadis itu menaiki tangga
menuju kamar Rustam sembari menenteng undangan. Rustam membukakan sendiri pintu
kamarnya ketika didengarnya langkah-langkah menaiki tangga. Dua gadis itu
masuk.
"Selesai lagunya, Pa?" tanya
Mia sembari menyusun kartu-kartu itu di atas meja.
"Sedikit lagi. Rasanya ada saja yang kurang.
Oya, bagaimana, selesai seluruh persiapan dekorasi?"
"Sedikit lagi, Pa. Pastilah hasilnya nanti
akan terlihat menakjubkan," jawab Sandra. Diambilnya sebuah pena dan
kertas. Lalu, "Siapa-siapa yang mesti diundang, Pa?"
Rustam sebentar berpikir-pikir. Kemudian, satu per
satu disebutkan nama demi nama. Setelah puluhan nama yang tercatat, Rustam
seperti mendadak ingat sesuatu.
'O ya," serunya, "Undang seorang kyai
untuk membacakan doa keselamatan dan kesejahteraan untuk kita semua. Kali ini
kita membutuhkannya."
"Kyai?" tanya dua gadis itu bagai sangsi.
"Ya. Kyai!"
"Untuk apa Kyai, Pa?" tanya Mia bingung.
"Ya, Pa, tidak biasa kan ada Kyai di pesta ulang tahun.
Malam hari lagi," sabung Sandra.
"Tidak. Kali ini kita perlu seorang
Kyai," sanggah Rustam serius. "Ini sekaligus peringatan perkawinan
Papa yang ke empat windu, bukan? Dan empat windu itu waktu yang sangat
panjang."
Sandra dan Mia tidak membantah lagi. Barangkali
saja, setelah empat windu menikah, Papa ingin mengadakan acara yang lain dari biasa,
pikir mereka. Sandra pun mencatat nama seorang Kyai yang disebutkan Rustam.
Dua hari lagi Lembaran Nomor Tujuh-nya akan
dilantunkan Rustam. Semua persiapan kian mendekati usai.
Darsih, melihat semua itu, termasuk melihat kartu undangan yang didesain
sedemikian rupa, tidak bisa berkata
banyak lagi. la tidak akan mengecewakan banyak orang kali ini. la akan hadir di
pesta itu, meski sebuah pesta yang, menurutnya, melepasnya ke kerentaan, ke
ketidakberdayaan. Lusa, saat pesta itu, Darsih akan memperlihatkan pada tamunya
bahwa ia adalah wanita eksekutif yang berbahagia dalam rumahtangga.
"Kenapa Mbak Dian belum datang, ya,” gumam Mia.
"Barangkali besok. Mas Pras juga belum,"
sambut Sandra.
Begitu, hari yang direncanakan tinggal satu hari
lagi.
"Baru besok malam pesta itu," desah
Rustam seperti tengah kecewa. "Mengapa terasa
lama, ya?"
"Sabar, Pa," hibur Mia. “Tidak berapa
lama lagi kok. Mudah-mudahan nanti
sore atau paling lambat esok siang Mbak Dian datang.”
"Pras?" tanya Rustam lagi.
"Mas Pras sudah pasti sore nanti. Dia telepon
tadi pagi.”
"Ya, sudahlah, Papa akan siapkan lagu itu
lagi. Masih sedikit lagi.”
Sandra yang sedang menata bunga di jambangan di
ruang depan, bicara, "Iramanya
jangan crescendo, ya, Pa." Kemudian ia mendekat. "Bisa-bisa
semua tamu jalan di tempat saking semangatnya," tuturnya
tertawa.
Rustam dan Mia pun tertawa. Mbi yang tidak mengerti
apa itu crescendo tak peduli ikut tergelak. Bahkan lebih kencang lagi.
Dan, Rustam, menikmati
setiap nada riang itu.
Malamnya, piano kesayangan Rustam telah diangkat ke
belakang. Ditaruh di antara alat-alat musik pengiring yang sengaja didatangkan.
Rustam ingin melantunkan lagunya dengan piano putih itu.
"Lagunya berapa lama, Pa?” tanya Pras yang tadi sore tadi datang dari Bandung.
"Tiga menit. Ya, mungkin cuma tiga menit.”
"Terlalu singkat, Pa," protes Mia.
"Ah, panjang pendeknya sebuah lagu yang penting kan makna
yang dialirkannya pada pendengar atau
penikmat. Kalau penikmat senang, ya, lagu itu bisa jadi panjang. Tapi percayalah, ini adalah lagu yang akan menyentuh, bahkan bagi yang
berperasaan peka, sentimentil,
papa yakin dia akan menangis."
"Mama juga akan memangis?"
tanya Mia bimbang.
Rustam menarik nafas. Lama ia diam. Kemudian, setelah menarik nafas, lirih ia berkata, “Ah, ya, tidak perlu menangis.
Bukankah menangis hanya milik orang
lemah?"
Pras dan Sandra seperti tidak mengerti. Tapi mereka hanya tersenyum. Mengikuti senyum Rustam.
Senyum Rustam yang jauh. Jauh sekali.
***
Sebuah krono di hari Rustam akan melantunkan
Lembaran Nomor Tujuh
PAGI HARI
Darsih masih berangkat ke kantor. Inspeksi mendadak
yang dilakukan oleh pejabat
berwenang yang mengatur tentang ketenagakerjaan tidak dapat ditunda. Tapi
Darsih berjanji akan segera di rumah setelah semuanya selesai.
Rustam segera rampung memindahkan not-not ke spasi
balok dengan cermat dan sungguh.
PUKUL EMPAT
SORE
Dian datang dengan anaknya. Yanto, suaminya, benar-benar minta maaf atas
ketidakhadirannya. Pekerjaannya sungguh-sungguh tidak dapat ditinggalkan.
"Dalam surat kamu bilang Papa akan memainkan
lagu," ujar Dian selesai memandikan anaknya.
"Ya, benar. Pasti sebuah lagu yang
sempurna," tegas Sandra yakin.
PUKUL LIMA SORE
Seorang gadis cantik, keturunan Pakistan, telah
ikut hadir bersama mereka di rumah itu. Ya, pacar Pras, yang akan diumumkan
malam ini sebagai tunangannya.
Duh, kelengkapan sebuah pesta, pikir Rustam.
PUKUL TUJUH TIGA PULUH MALAM
Seluruh undangan tampaknya telah hadir. Setidaknya
arena pesta yang disiapkan telah terisi banyak orang. Juga Kyai Marzuki dengan
sorban putihnya. Darsih, yang malam ini mengenakan gaun terbaiknya, terlihat
amat bersahaya dan anggun. Acara akan segera dibuka.
"Mia!"
teriak Pras dari taman samping pada Mia yang tengah memberi pengarahan ulang
pada Mbi dan seluruh staf, "Sini!" Mia pun mendekat. Setelah
benar-benar dekat, Pras berbisik, "Panggil Papa. Kan lagunya yang pertama
untuk membuka acara?" i
Setelah berjalan
berkitar, Mia masuk ke ruang tengah kemudian menuju tangga.
Dibayangkannya kebahagiaan papanya
malam ini. Malam ini, pikirnya, Papa akan terbebas dari kesepian, keterasingan, kedukaannya. Ya, malam ini Mama
akan menyadari arti
cinta dan kasih dari sepasang suami dan
istri. Mama akan tersedu melihat Papa memainkan lagunya. Mama akan tersadar,
kemudian minta maaf pada Papa.
Duh, betapa bahagianya kini, pikir Mia sembari
menaiki tangga. Lagu Father and Son, kesukaannya dengan
Papa, dilantunkannya dengan lunak. Bahkan sampai ia mengetuk pintu. Sampai ia
tidak mendengar jawaban.
Mia membuka pintu yang tidak terkunci. Dilihatnya
Rustam sedang mengaso dengan berpakaian lengkap: jas hitam dan dasi kupu-kupu
berhem putih. Mungkin Papa sedikit capek dan perlu mengaso sebelum melantunkan
lagunya. Sebelum benar-benar muncul utuh di depan tamu-tamu. Terutama, di depan
Mama. Yak! Papa memang mengaso.
Di atas meja terletak salinan not balok yang rapi.
Mia mengikuti nada lagu itu dalam hati. Ah, irama yang
manis dan romantis sekali....
Mia berjalan mendekati ranjang Rustam. Mia akan
membangunkan laki-laki kesayangannya itu,
Papa, dengan mencium pipinya sembari membisikkan: “Selamat tinggal
kesepian dan keterasingan. Di malam ini aku
akan berbahagia,” kemudian, kata berikutnya, “Selamat berbahagia, Papa."
Mia kemudian merasakan bibirnya menyentuh pipi yang dingin dan kaku….
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar