Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 468 tanggal 26 Oktober – 8 November 1992
Bonus Novelet
NING duduk gelisah menunggu Gunadi selesai mandi. Mang Urip dan Bik Sur
sedang bercanda di beranda sambil makan daging dengan sayur berkuah kental.
"Sayang sekali Martini harus kembali," ujar Gunadi saat hendak
duduk di sofa di depan Ning, "Padahal aku sengaja menyelesaikan semua
urusan hari ini."
"Ya, sayang sekali ia harus kembali," ulang Ning.
"Aku menyukai guyonan dan candanya."
"Martini memang sering melucu. Tapi juga usil," Ning tertawa.
Mencoba menepiskan keraguannya sendiri.
Gunadi memperbaiki duduknya. Matanya menatap lurus pada Ning yang duduk
tepat di hadapannya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dadanya yang bidang
mengembang. Perlahan sekali dihembuskannya kembali.
Sebentar-sebentar Ning melirik jam dinding. Entahlah, dia merasa sangat
gelisah malam ini. Berdua dalam sebuah villa yang terpencil, dalam
malam yang berhujan, dalam kedinginan dan kesepian, perempuan mana yang tidak was-was. Ning menjadi ragu akan kepercayaannya pada Gunadi. Dan sesungguhnya Gunadi
telah menangkap kecurigaan itu.
"Ning," katanya pelan,
"Aku ingin bicara serius malam ini. Mumpung kita punya waktu yang
tepat."
Ning hanya melirik pada Gunadi kemudian kembali menatap meja. Ning mencoba
untuk percaya kepada laki-laki ini, percaya kepada apa yang selama ini telah
disaksikannya sendiri; kesopanan, keramahan dan kesimpatikannya!
Tapi kepercayaan Ning seperti dibuai angin deras. Menggelombang. Meliuk-liuk.
"Kamu mengantuk, Ning?" kembali Gunadi menangkap kegelisahan di
mata gadis itu.
"Oh... tidak."
"Baiklah, aku segera saja bicara." Wajah Gunadi berubah menjadi
serius. Ada kesan tegang dalam matanya. Ning memperhatikan seksama.
"Ning, aku ingin kau tahu siapa aku sesungguhnya."
"Aku sudah tahu. Kau pengusaha yang sukses." Ning tertawa lunak;
menepiskan ketegangan perasaannya sendiri.
Sebentar Gunadi juga tertawa. "Bukan begitu maksudku. Tapi ada sesuatu
yang harus kau tahu."
"Untuk apa?" sergah Ning.
"Untuk apa? Entah. Entah untuk apa," Gunadi mendesah kecewa.
"Barangkali karena ada dorongan perasaan yang sulit untuk
diucapkan."
Ning diam. Hujan masih turun dengan deras.
"Perlu kau tahu, Ning, aku harus berterus terang padamu, karena aku
mencintaimu,” tanpa ragu suara
Gunadi menyengat telinga Ning.
Ning terdiam lagi. Baru kali ini, setelah sekian lama mereka berkenalan — kalau selama ini tak boleh disebut kencan — Gunadi mengucapkan
kalimat itu. Kalimat yang sesungguhnya telah diketahui Ning, telah
dirasakannya.
"Ning, dulu aku hidup dari satu gadis ke gadis lain. Selalu saja aku
menemukan kekurangan dalam diri mereka. Kalau tidak mereka yang kurang, akulah
yang tak dapat menyesuaikan diri. Sekian lama aku mencari….”
Ning tercekat. Dadanya merasa dicabik mendengar pengakuan yang telah
diketahuinya itu.
"Sejak aku bertemu denganmu, aku merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu
yang tidak kutemui pada gadis lain."
Ning tidak merasa Gunadi tengah merayunya. Ada getar tulus yang
ditangkapnya.
"Begitulah, maafkan aku, aku bermaksud melamarmu."
Pernyataan lugas Gunadi membetot sukma Ning. Tubuhnya terasa sedikit
tegang. Perasaan yang sama, yang juga dimiliki
Ning, malam ini terasa muncul utuh ke permukaan.
Kejujuran Gunadi, keterusterangannya, menyentuh lubuk hati Ning.
"Ning, aku mengerti. Berat bagimu untuk
menerima aku. Aku lelaki bajingan, terkutuk… "
"Jangan teruskan, Gun!" cegat Ning cepat.
Suara Gunadi yang parau menekan ulu hatinya. Kejujuran telah merobek sukmanya. "Gun, aku telah tahu semua masa lalumu. Aku banyak dengar
tentang itu. Maafkan aku. Tapi kita semua punya masa lalu, kan?”
"Ya. Aku bermasa lalu kelam," Gunadi meringis.
Hujan deras di luar menambah murung suasana.
"Gun. Sudahlah. Jangan mengungkit-ungkit masa lalu,"
Ning bicara hati-hati.
"Tidak mudah bagiku untuk mengatakan cinta pada wanita. Maafkan aku
telah mengatakannya."
"Tidak apa. Aku menyukai pengakuanmu."
"Jadi, kau tidak
keberatan?"
Ning diam.
"Maafkan aku. Barangkali aku terlalu cepat mengambil kesimpulan," katanya kembali murung.
"Kadang-kadang kita harus berani untuk mengambil kesimpulan. Dan kita
harus yakin bahwa kesimpulan itu benar."
"Benar kau juga mencintaiku?" kata Gunadi gembira.
"Aku tidak mengatakan begitu."
"Tapi kau tidak menolak, kan?'
"Tidak ada alasan bagiku."
"Kau menerima pernyataanku?"
"Perlu dijawab?"
Gunadi tersenyum lebar. Ditikamnya mata Ning dengan tatapannya. Ning
membalas, mengalirkan segenap cinta dan kerinduan yang
dimilikinya. Tak perlu berbicara lebih panjang. Gunadi menghambur ke sofa
panjang tempat Ning duduk. Dengan tak berusaha menolak Ning tertawa renyah.
3 (Tiga)
RUSTANDI memang wartawan spesialisasi penyelidikan dan pembuktian peristiwa-peristiwa karatan.
Artinya. Rustandi punya suatu
kemampuan untuk membongkar suatu skandal, kasus atau apalah
namanya yang telah terjadi sekian tahun lalu. Ini jelas tidak dimiliki oleh semua wartawan. Ada indera
ke enam yang seolah dimilikinya.
Kali ini, dengan cara yang hanya diketahuinya sendiri, Rustandi berhasil
menemui Rukmini; mengorek keterangan yang diperlukannya.
Rustandi diperintah RM Sutopo untuk menyelidiki asal-usul calon menantunya, setelah mendapat informasi yang
tidak enak dari pembantunya sendiri, Sukiyem.
Waktu itu Sukiyem sedang berbelanja di pasar pusat. Tak sengaja ia bertemu lagi dengan Sukina, temannya sama-sama hidup
dalam kemelaratan di pinggir Ciliwung dulu. Mereka pun bercerita melepas rindu yang belasan
tahun tidak bertemu. Sukiyem, yang tahu sedikit tentang masalah yang dihadapi Sukina dulu, bertanya alasan mengapa Sukina dan
Rukmini kabur dari lokasi mereka.
Walau sudah dua puluh lima tahun lebih, kenangan itu rasanya memang tak
mudah dilupakan. Apalagi itu menyangkut soal-soal pribadi mereka. Sukiyem
menduga-duga kejadian selanjutnya dari kehidupan Sukina. Inilah yang kemudian
diceritakannya pada RM Sutopo, majikannya.
RM Sutopo mengangkat gagang telepon. Ditekannya tombol-tombol angka. Tak
lama ia menunggu, telepon di seberang sana telah diangkat.
"Bagaimana, dapat datang sore ini?" tanya Sutopo setengah
memerintah. Suara di seberang pun menjawab dengan riang, pertanda baik bagi
mereka.
Setelah kembali meletakkan gagang telepon, Sutopo berjalan ke ruang depan;
menunggu kedatangan Rustandi.
Seorang laki-laki yang berumur kira-kira tiga puluh tahun muncul di pintu
sambil menenteng tas yang sarat. Sutopo yang telah menunggu segera
mempersilakan duduk.
"Bagaimana, rampung?" tanyanya.
"Wah, saya harap Bapak akan senang mendengar hasil penyelidikan saya.
Semuanya telah menjadi jelas," ujar Rustandi diplomatis. "Ternyata
keterangan pembantu Bapak tidak sepenuhnya keliru."
Sutopo mengangguk-angguk. Diterimanya sebuah map yang diserahkan Rustandi.
Dibukanya dan dibacanya dengan teliti. Setelah beberapa saat, ia tertegun. Raut
mukanya bagai tidak percaya.
"Bagaimana, Pak?" Rustandi bertanya cemas.
Sutopo menarik napas panjang, lalu, "Saya benar-benar tidak menduga
kalau demikian tragis nasib gadis itu."
"Itulah kenyataan. Dan saya kira kita tidak akan pernah dapat untuk
mendustai sebuah realita. Bukan begitu, Pak?"
"Ya," Sutopo menjawab berat. Ada kasihan, iba yang memenuhi
rongga dadanya, yang mengaliri kemanusiaannya. Tapi apa boleh buat. Ini soal esensial yang tidak boleh
dilanggarnya. Inilah adat kebiasaan yang telah menjadi wajib.
Sutopo merasa dalam pilihan yang sulit.
"O ya, Pak. Saya juga telah menemui Assegaf SH. Lelaki tua itu tidak
mungkin untuk berkata tidak ketika saya sodorkan beberapa bukti yang terlebih
dahulu saya perdapat. Dia tidak punya pilihan lain selain bercerita detail
peristiwanya."
Sutopo mendengar serius.
"Saya juga telah menemui Sukina. Sulit memang. Sebab perempuan
seringkali menjawab dengan air mata dan isakan. Wanita tua itu
tak banyak bicara, selain mengakui bahwa gadis itu memang anaknya."
Rustandi menghentikan kalimatnya dengan bangga. Tapi ketika dilihatnya Sutopo
hanya termangu, dia bertanya.
"Ada yang kurang beres, Pak?"
"Rustandi, terima kasih untuk semua bantuanmu. Aku sangat
menghargainya. Kau tidak bermaksud membuat kisah fiktif, bukan?"
"Demi Tuhan, Pak. Saya rasa saya tidak punya kepentingan untuk
membuat cerita bohong. Bapak dapat buktikan semuanya bahwa itu benar dan nyata
dengan mendengarkan lagi rekaman wawancara yang saya lakukan."
"Rekaman?"
"Setiap wawancara saya merekamnya diam-diam dengan recorder kecil dalam tas saya."
"Aku percaya." Sutopo menatap tajam pada Rustandi yang seolah menjadi tidak mengerti.
“Ada apa, Pak?"
tanyanya hati-hati.
"Kasihan sekali gadis itu," kembali Sutopo mendesah berat. “Tapi aku tidak punya
pilihan lain. Aku wajib menjaga keutuhan dan kemurnian darah keluarga besarku dari noda dan aib turunan, seperti apa yang juga telah dilakukan
oleh leluhurku.”
"Ya, saya mengerti, Pak. Saya memahami kesulitan Bapak,” sambung Rustandi
kembali hati-hati. P
Sutopo berdiri lambat, la berjalan ke ruang dalam. Setelah beberapa saat ia kembali dengan sebuah amplop yang tidak tipis. Ditaruhnya atas meja. y
"Ambillah," katanya datar.
Rustandi memperhatikan amplop itu. Ah, uang untuk prestasiku,
pikirnya bangga. Rustandi mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam tas.
"Terima kasih, Pak."
"Yang kuminta lagi, jangan ceritakan semua ini pada siapa pun! Hanya
kau dan aku yang mengetahuinya. Saya harap kau mengerti."
"Demi Tuhan! Saya juga tidak berkepentingan untuk bercerita pada
pihak-pihak lain. Saya akan menjaganya."
Setelah sedikit berbasa-basi Rustandi segera mohon diri. Wajah RM Sutopo
yang murung, membuatnya
sedikit tidak enak. Dan ia mengerti perasaan laki-laki itu.
***
Berhari-hari RM Sutopo menimbang-nimbang. Memecahkan sebuah kesulitan
sungguh tidak mudah. Batinnya bertempur hebat. Masalahnya adalah antara naluri
kemanusiaan dan realita yang tengah dihadapinya. Calon mantunya lahir dari
ketidaktentuan; ayah yang tidak waras dan ibu yang hidup dalam kisah-kisah yang
sulit untuk diucapkan.
Ah, aku benar-benar terpojok, pikir Sutopo.
Akhirnya, setelah menimang-nimang lagi dengan matang, Sutopo menemukan jalan terbaik. Setidaknya adalah
cara terbaik yang dapat
dilaksanakannya pada saat dan posisi seperti ini. Dikumpulkannya berkas-berkas
laporan Rustandi, kaset-kaset rekaman, dan
beberapa foto yang dianggap perlu. Setelah semua dirasanya cukup rapi, Sutopo kembali meminta bantuan Rustandi untuk menyampaikannya pada Gunadi, putranya.
***
Sabtu, menjelang lepas siang, kiriman paket yang diantar tukang pos
diterima Sutopo; untuk Gunadi. Dan kebetulan sekali Gunadi baru saja pulang
dari kantornya, berpapasan dengan tukang pos yang
segera meninggalkan rumahnya.
"Gun, ada kiriman," kata Sutopo tenang. "Tukang
pos itu yang mengantarkannya."
Gunadi membawa masuk bungkusan itu. Tanpa membuka dulu sepatu dan dasinya,
Gunadi membukanya.
Laki-laki muda itu terperangah. Keringat mengalir dari kening dan seluruh
tubuhnya. Keterangan-keterangan lengkap dari berbagai sumber yang tidak
mungkin lagi untuk dipungkirinya membuat seluruh sendi-sendinya melemah.
Dengan nanar Gunadi memandangi berkas-berkas itu.
RM Sutopo tahu, saat ini adalah saat yang paling sulit yang tengah dihadapi anaknya. Sebaiknya saya tidak
berbicara dengannya, pikir Sutopo sambil
bermaksud segera masuk ke ruang dalam.
“Papa,” suara Gunadi yang berat menghentikan
langkahnya.
Sutopo menoleh. Memperhatikan keresahan anaknya.
"Saya tidak mengerti, tapi saya ingin Papa mengetahui semuanya,"
sambung Gunadi lunak, "Seseorang telah mengirimkan semua ini pada saya."
"Siapa?" tanya Sutopo sambil mendekat.
"Dia mengaku salah seorang kerabat kita."
Sutopo mengambil berkas-berkas itu. Dibacanya surat pengantar. Ah,
Rustandi memang pandai sekali memainkan sandiwara, katanya dalam hati.
Rustandi telah menulis kata pengantar yang meyakinkan dan terasa logis
sekali. Mengaku sebagai kerabat yang memperhatikan keutuhan dan kemurnian keluarga besar. Dan memang, surat Rustandi yang mengiringi
kiriman itu, sangat tidak mungkin untuk mengada-ada.
Sebentar Sutopo memperhatikan Gunadi yang tertunduk lesu. Dia sangat
mengerti bagaimana perasaan putranya saat ini.
"Saya sungguh tidak ingin mempercayainya, tapi semua ini adalah
realita. Otentik. Dan masuk akal," Gunadi bicara seperti pada dirinya
sendiri. "Aku tidak tahu lagi apakah aku akan menikah dengan seorang gadis
yang — Ah, tidak! Tidak pantas untuk disebut-sebut. Sungguh, aku tidak tahu harus
bagaimana," jerit Gunadi dalam suaranya yang pilu.
"Gun, saya mengerti perasaanmu. Dan saya yakin kau akan
memutuskan semuanya ini dengan logis."
"Saya tahu itu. Saya tahu semua syarat yang harus dimiliki seseorang
untuk menjadi anggota keluarga kita. Dan bagaimanapun, seluruh ajaran dan
didikan yang saya terima sejak kecil, termasuk soal jodoh, adalah suatu
kebenaran yang tidak perlu dibantah dengan rumus-rumus abstrak."
Sutopo mengangguk-angguk.
"Tapi sudahlah. Saya akan istirahat dulu," kata Gunadi sambil
segera bangkit.
"Ya, semoga kau menemukan jalan terbaik," ulas Sutopo dengan nada
yang sangat berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar