Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 552 tanggal 15 – 24 Juli 1995
Bonus Novelet
I
(SATU)
ANGIN malam mengibaskan
gorden jendela yang terbuka. Hawa dingin yang khas dan lembab itu memenuhi
segenap kisi ruangan. Dan, sungguh, betapa aku tidak punya kemauan sedikit pun
untuk menutup jendela. Biar, biarlah seluruh pori-poriku menerima terpaannya,
usapannya yang lembut. Bahkan betapa aku ingin hawa dingin itu membuatku
menggigil. Kalau perlu biarlah hanya angin yang mengerti akan belitan persoalan
dalam benak dan dadaku.
Yap, toh tidak ada yang
peduli. Juga Mas Pri, suamiku! Suami yang ditelan kesibukannya.
Ingin rasanya aku mati
saja membawa semua ocehan dan gunjingan tetangga tentang kami, tentang rumah
tangga kami. Benar, rasanya, tiap pagi aku hanya mendengar suara burung yang
kehilangan nada. Suara yang buruk dan menyakitkan gendang telinga. Suara burung
yang telah berubah menjadi nyanyian teror, nyanyian mengerikan dan senandung
yang amat menggetirkan sanubari. Dan, barangkali juga begitu, nyanyian yang
mengadu domba aku dengan Mas Pri.
Tapi, benarkah nyanyian
yang mengadu domba? Tidakkah senandung itu kebenaran belaka? Ah, ah….
Sejak lima bulan terakhir
tak ada lagi kemesraan di antara aku dengan Mas Pri. Kemesraan seperti telah
terbang jauh ke balik cakrawala yang pekat. Kemesraan laksana dongeng yang
serasa pernah kualami, dan dongeng itu seperti amat memerihkan di saat-saat
seperti ini.
Kesibukan telah
memporak-porandakan segalanya!
Kesibukan? Betulkah
kesibukan Mas Pri yang telah merampas kebahagiaan dan kemesraan kami? Tidakkah
itu hanya alasan klasik para suami yang jenuh pada rumah tangga dan istrinya?!
Jenuh? Shit! Bagaimana kalau istri
yang jenuh?!
Diam-diam aku berpikir:
betapa beruntungnya menjadi seorang suami, menjadi seorang laki-laki....
Sejak lima bulan terakhir,
bila pulang kerja, suamiku, Mas Pri, selalu larut malam. Bahkan tidak jarang ia
baru muncul di pagi hari berikut dan berangkat lagi setelah salin dan sarapan
secukupnya. Sungguh, inilah rutinitas Mas Pri yang amat menjengkelkan,
menimbulkan rasa muak dan benci yang dahsyat dalam rongga dadaku.
Bagaimana tidak, jika
setiap kali kutanya, Mas Pri hanya tersenyum dan berkata, "Maaf, Pur, aku
sibuk." Hanya itu. Dan begitu itulah Mas Pri: tenang, tidak banyak bicara dan
mengesankan.
Ketenangan dan tidak
banyak bicara itulah justru yang dulu membuatku sangat menyukai Mas Pri. Waktu
pacaran, tipe lelaki seperti itu menjadi suatu kebanggaan yang luar biasa bagiku.
Bahkan, dulu, aku mengira orang yang tidak banyak bicara akan sangat
menyenangkan dan tidak banyak aturan. Dan itu memang aku dapatkan dari Mas Pri.
Dia tidak pernah melarangku, mengatur untuk begini atau begitu. Semuanya, ya, semuanya,
terserah aku. Tapi kini, sikap dan sifat seperti itu, malah menjadi bumerang
bagiku. Perasaan yang muncul saat ini : Mas Pri tak lagi punya perhatian!
Benarlah bahwa masa
pacaran tidaklah sama dengan situasi rumah tangga. Segalanya amat berbeda.
Perlahan kulirik jam
dinding: 11.47 malam. Amat larut mestinya. Kupasang telinga tajam-tajam
kalau-kalau deru mobil Mas Pri memasuki halaman. Tapi yang terdengar hanya deru
angin dan gemersiknya di halaman. Sesekali dengus si Bleki di teras. Hanya itu.
Lantas, sampai kapankah aku harus menunggu? Sampai pagi? Atau sampai pagi
berikutnya lagi? Saat ceracauan mulut tetangga kian menyakitkan gendang
telinga? Sampai nyanyian burung-burung semakin tidak indah untuk dinikmati?
Atau, sampai seorang perempuan lain menggandeng tangan Mas Pri dan minta restu
kepadaku?!
Fuh, aku berpikiran
begitu? Shit, peduli amat!
Ah, ternyata aku
benar-benar tidak mampu untuk sekedar tak peduli sekali pun! Ada yang bergalauan
dalam dadaku. Ada deru-deram dan detak jantung yang tidak selaras kini. Benar!
Ada kegetiran yang tiba-tiba sangat menyekat kerongkongan. Amat sakit. Dan
dadaku terasa amat sesak. Serasa ribuan jarum mengalir di setiap pembuluh dan perlahan-lahan
jarum-jarum itu laksana mengalir serentak menuju pusat kehidupan: jantung!
Tapi biarlah! Biarlah aku
tetap duduk di beranda ini sambil tetap menikmati hawa malam yang dingin dan
kaku. Biarlah aku hanya di sini sambil merajut lagi lamunan-lamunan masa indah pacaran
kami ....
"Mas, kaIau kita
menikah nanti," ujarku suatu kali di masa pacaran kami, "bukankah
kita akan berbahagia?"
"Ya, Pur. Tentu kita
akan bahagia." Mas Pri mengusap rambutku amat kasih.
"Mas, aku ingin punya
anak tiga. Dua laki-laki dan satu perempuan. Betapa menyenangkan, Mas
Pri." Aku menatap manik mata Mas Pri yang legam dan penuh kasih. Mata
lelaki yang sangat luar biasa dalam pandanganku. Lihatlah, manik mata legam itu
memancarkan suatu pesona Iuar biasa yang serasa menyeret setiap wanita ke dalam
rengkuhannya.
"Ya, kita akan punya
anak tiga," ulang Mas Pri sembari melepaskan senyum.
"Kita akan mengasuh
mereka dengan penuh kasih. Kita akan membesarkan anak-anak lucu itu dalam
segala hakikat cinta dan sayang. Membimbing dan menyekolahkan mereka
setinggi-tingginya. Semampu kita dan semampu mereka. Bukankah itu filosofis
demokratis yang membahagiakan, Mas?" ujarku sambil melemparkan semua lamunan
panjang tentang masa depan bahtera rumah tangga kami.
Mas Pri masih saja hanya
tersenyum.
“Dan bila kita tua nanti,
kita akan melewati hari-hari yang indah dan membahagiakan di sebuah istana.
Istana cinta kita berdua, Mas."
Lagi-lagi Mas Pri hanya
tersenyum amat arif. Tenang sekali. Dan, memang; dia tidak banyak bicara. Meski
aku merasa pembicaraanku tidak terlalu menarik baginya, tapi aku merasa ingin
terus berbicara. Membangun impian tentang masa depan rumah tangga yang luar biasa.
Biar saja. Biarlah aku yang mengajaknya melanglang jauh, menembus ruang dan waktu,
ke masa depan. Jauh di lubuk hatiku, Mas Pri pastilah juga tengah membayangkan
istana cinta itu.
Yak, sebuah bangunan putih
yang penuh bunga dan ketulusan. Yang penuh kedamaian dan kesahajaan. Di sana
kami hidup damai penuh kewelasasihan. Perempuan manakah yang tidak mempunyai
impian dan harapan seperti itu?
Tapi, bagai tiba-tiba, lamunan
masa laluku seperti dirampas oleh keterasingan dan ketersisihanku dari
kehidupan suamiku sendiri. Dari rutinitas Mas Pri yang seolah telah melupakan
aku, Purwanti, istrinya, kekasihnya yang selalu menyetiai hari.
Angin malam yang terasa
menjadi deras menyentuh kulitku dan melempar semua lamunan itu ke sebuah jurang
yang mengerikan. Jurang yang gelap, hitam-pekat, dan senyap! Di sanalah kini
seluruh raga dan jiwaku menggelosoh tidak berdaya. Terhempas dalam keluluhan
yang menyakitkan.
Lambat, ya amat lambat,
kurasa pipiku mulai hangat. Sebentuk air bening yang disebut air mata mengalir
begitu getir. Air mata yang terus mengalir, mengalir, mengalir sampai ke
segenap ruang kasih dan sayang yang telah dibangun bertahun-tahun. Mengalir
sampai ke dadaku, ke jantung, ke lukaku. Ah, luka itu menjadi kian perih. Luka
yang kian membabang telah terasa koyak-moyak. Dan luka itu laksana menjadi sebuah
danau air mata yang penuh ketidakmengertian, kesunyian, keterasingan, kebencian
sekaligus ketidakberdayaan. Pantulan kilau di riak danau itu serasa menjadi
layar terbabar dari segala kenangan masa lalu kami. Masa indah tak terperi
ketika pacaran menjadi dunia yang amat lapang-besar bersahaja.
Tapi kini? Mana bahagia
yang telah kami impikan itu? Mana segala janji dan kesetiaan masa lalu? Duhai,
ada di manakah Mas Pri-ku yang senantiasa membelai rambut berombakku? Tengah
dengan perempuan lainkah ia di malam yang menggalaukanku ini?
Tiba-tiba, begitu cepat,
kemarahanku seperti tersulut. Kalimat-kalimat Sartini meluncur lagi.
"Dik Pur, kabarnya
Mas Pri, suamimu, sering pulang malam, ya? Ini cuma kabarnya, Iho, Dik Pur. Apa
benar begitu?"
Suara Sartini, dalam anak
telingaku, terasa seperti akan meledakkan anak tekak. Iramanya yang amat sinis,
bagaimana pun membuat harga diri sebagai istri mengedepan. Satu hal penting:
aku tetap harus membela suamiku! Aku harus, setidaknya, menyelamatkan mukaku
sebagai istri. Tak seorang pun boleh menilai aku istri yang lemah, pasrah dan
nrimo begitu saja akan perlakuan suami. Dan sebaliknya, tak seorang pun boleh
memberi penilaian buruk pada Mas Pri, suamiku.
"Mas Pri lagi sibuk.
Banyak urusan yang harus diselesaikannya!" ujarku ketus, tapi sebentuk
keraguan akan kalimatku sendiri membuat nada suaraku mungkin menjadi janggal di
telinga Sartini, hingga ia melanjutkan.
“Hati-hati Iho, Dik. Zaman
sekarang banyak lelaki yang berdalih sibuk, banyak kerjaan. Inilah, itulah dan
alasan klasik lainnya. Eh, tau nggak hasil angket sebuah majalah yang
menyimpulkan bahwa dua dari tiga laki-laki pernah menyeleweng. Jangan-jangan
suami kita termasuk dalam yang dua itu ...”
"Cukup, Mbak! Jangan
memanas-menasi suasana!" aku memotong bicaranya. Darahku seperti dipompakan
dengan cepat hingga terasa bulu kudukku merinding juga. Kata-kata 'menyeleweng'
berdengungan di benakku. Berulang-ulang. Memenuhi segenap pikiranku,
menggelitik harga diriku yang seperti diinjak-injak. Dan, yak, menyulut
kebencianku pada suamiku sendiri. Mas Pri menyeleweng?!
Sartini tersenyum
mencibir. Bibirnya yang tebal dan tidak bagus itu, semakin tidak menarik untuk
dilihat. Bibirnya mencibir melengkung. Penuh kesinisan yang berkedokkan
keinginan membantu teman sekaum. Ih!
"Saya hanya mengingatkan,
Dik Pur. Tapi asaI tahu saja, bahwa Muni, tahukan Muni? Itu Iho, yang tinggal
di ujung gang, yang orangnya cantik, padat, seksi dan menarik sekali. Muni yang
genit itu lho."
"Memangnya ada apa
dengan dia?" aku menjadi terbawa arus dengan cerita Sartini. Dan terasa
jantungku semakin berdentum tidak teratur. Menghentak.
"Nah, dia itu kan
kerja di kantor yang bersebelahan dengan kantor suamimu. Ya, hanya sebagai
pegawai rendahan. Tapi...”
"Tapi apa?!"
“Lho, jangan emosi dulu. Dengar
saja cerita saya ini," sambut Sartini, bagai sengaja menggantung kalimatnya.
“Tapi, meski Muni itu pegawai rendahan, tapi penampilannya selalu up to date dan bikin kesengsem banyak
lelaki, Dik Pur."
“To the point sajalah, Mbak."
“Katanya... Ini katanya lho,
Dik Pur."
"Katanya siapa?"
“Ini katanya Iho. Sekali
lagi cuma katanya bahwa Muni itu sering disamperin Mas Pri, suamimu, sebelum
berangkat kerja. Bahkan pulangnya juga sering bareng." Sartini melepaskan
senyumnya. "Ya, cuma katanya, Dik Pur."
"Maksud, Mbak,
katanya siapa?" buruku lagi. Ada degup dalam dadaku yang terasa tersengal.
Jujur saja, kemarahan bagai ditiupkan ke seluruh arteriku. "Apakah katanya
Muni begitu? Dia cerita seperti itu pada, Mbak?"
“Ya, bukan. Tapi itu kata banyak
orang. Sudah bukan rahasia lagi, Dik Pur. Orang se-RT sudah pada tahu. Dik Pur
saja yang kurang pasang telinga. Habis, Dik Pur itu jarang ngumpul-ngumpul sih
bersama ibu-ibu di sini. Jadi ya kurang informasi."
Aku terhenyak. Keringat
dingin mengalir dijidatku. Bagai tak kuasa menyembunyikan kecemburuan dan kemarahan,
mataku sedikit membelalak. Fuh, setiap orang telah tahu? Sudah bukan rahasia
lagi? Oalah, inikah penyebab Mas Pri sering pulang malam? Bersama Muni-kah Mas
Pri setiap malamnya? Setega itukah Mas Pri padaku? Sejahat itukah dia
memperlakukan aku, istrinya?!
Dalam pandangan mataku
yang terasa menjadi nanar masih sempat kulihat senyum Sartini yang melebar. Senyum
penuh kemenangan yang luar biasa bahagianya. Benar, Sartini memang ratunya gosip
dan penebar berita aneh-aneh, tetapi tak urung aku merasakan juga kebencian dan
kemurkaan pada Mas Pri. Lihatlah, senyum dari bibir tebal Sartini seperti
mengembang amat ria. Fuh, memuakkan! Aku tidak percaya kalau Mas Pri serendah
itu!
Ya, bukankah biasa saja
kalau Mas Pri pergi dan pulang bareng dengan Muni kalau memang kantornya
berdekatan?! Apa itu salah? Bukankah Mas Pri lelaki yang ramah dan suka
menolong?
"Bagi lelaki,
menggoda bahkan mengajak kencan seorang perempuan, itu bukanlah pekerjaan yang
hina, Dik Pur," sambung Sartini lagi. "Sekalipun lelaki itu adalah
seorang suami dan seorang ayah. Kota orang, lelaki itu dilahirkan untuk punya
banyak istri. Egois, ya? Mentang-mentang."
Dalam hati, sedikitnya,
aku membenarkan tuturan Sartini. Tidak sedikit kisah rumah tangga yang hancur
karena ketergodaan seorang suami pada perempuan lainnya. Marsinah, teman kuliahku
dulu, rumah tangganya hancur karena suaminya, Hanafi, tergoda dengan
sekretarisnya sendiri. Aryati, sepupuku, bercerai karena suaminya main api
dengan relasi usahanya. Belum lagi Tante Ros, adik ayahku, yang dengan diam-diam
suaminya menikah lagi di kota lain.
Dan perasaanku amat
kebat-kebit!
"Lho, kok malah
bengong, Dik Pur?" sentak Sartini, membuyarkan keterpanaanku.
"Ngg ... terima
kasih, Mbak. Sebaiknya saya pulang saja. Pusing," ujarku sambil segera
berbalik.
“Eit, tunggu dulu, Dik
Pur. Arisannya kan belum mulai? Kok sudah mau pulang?"
Tanpa menghiraukan
kata-kata Sartini aku terus melangkah. Membawa tubuhku yang serasa ditusuki
ribuan jarum. Nyeri dan amat menyayat. Dalam benakku hanya ada makian-makian
penuh amarah :
Persetan dengan arisan!
Persetan dengan kalian semua! Aku ingin segera pulang dan mencakar-cakar Mas
Pri. Aku akan merobek mulutnya, menelanjangi kebohongan dan seluruh dustanya
yang telah dibungkus dengan sempurna! Yak, kalau perlu aku akan berbuat sangat
jauh... berbuat seperti Lorenna Bobbit yang telah memotong…. Ah, ya, aku pantas
melakukan itu!
Dan, makian-makian seperti
menumpuk dalam benakku untuk segera dimuntahkan!
Tapi, seperti biasa, aku menjadi
luluh di depan Mas Pri. Laksana ada sebentuk kekuatan yang amat kharismatis
yang dimiliki Mas Pri. Aku tak berdaya di hadapannya ketika cerita Sartini
kusampaikan.
"Percayalah, Pur.
Jangan mendengarkan hasutan orang lain. Apalagi sumbernya Sartini, yang benar-benar
telah dikenal kehebatannya menghancurkan rumah tangga orang," tutur Mas
Pri, tenang. "Sartini tiga kali gagal dalam berumahtangga. Tiga-tiganya
tragis dan membuat ia goncang. Kau tahu itu, kan?"
Dalam hati aku membenarkan
tuturan Mas Pri. Sartini memang perempuan yang malang. Perceraiannya selalu
dihancurkan oleh wanita lain yang telah merampas suaminya. Dan, sebenarnya,
dalam hati aku amat kasihan padanya. Bahkan Sartini pernah berikrar dalam
kelinglungannya akan menghancurkan setiap rumah tangga orang lain.
Tapi, benarkah seluruh
kata-kata Sartini tidak dapat dipercaya? Bukankah rumah tangga Amboro dan
Widyani terselamatkan oleh informasi-informasi Sartini? Bukankah Sartini telah
berhasil menghancurkan orang ketiga yang muncul di rumah tangga Amboro dan Widyani?
Yap, rasanya, persis
seperti yang kualami saat ini, batinku lagi dengan amat bimbang.
"Pur, bagaimanapun,
akan lebih baik bila kita percaya dan meyakini kata hati kita sendiri.
Berpijaklah pada apa yang sesungguhnya engkau rasakan. Jangan dipengaruhi oleh
hasutan dan cerita-cerita orang lain, Pur. Tidakkah engkau mempunyai naluri
yang lebih dapat dipercaya?"
Begitulah, itulah suatu
malam di mana Mas Pri bicara panjang. Suatu yang tidak pernah dilakukannya.
Namun, bukan perubahan itu yang kuperhatikan, tetapi kearifan Mas Pri dalam
menenangkan emosiku yang meledak-ledak.
Dan, aku hanya tertidur
dalam kelelahan yang panjang. Tertidur dalam dekapan kasih seorang suami ....
***


Tidak ada komentar:
Posting Komentar