Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 479 tanggal 29 Maret – 11 April 1993
Bonus Novelet
SATU
LIMAPULUH tahun!
Darsih menjerit dalam hati. Melepaskan ketidakpercayaannya akan perjalanan
waktu. Tanpa disadari, ternyata, waktu selalu memaksa untuk terus diikuti
menuju ke batas akhir. Ke batas yang pada saatnya tidak lagi berbatas. Darsih
menghela nafas, berat. Bagai tersengal, ia,
mencoba memenuhi rongga dadanya yang pepat dengan aliran udara kantor. Siluet
angka-angka di kalender meja memampangkan ketuaan, ketakberdayaan, sekaligus
ketakutan. Ah, iya, tepatnya kecemasan! Dipejamkan matanya. Mencoba menyelami
lagi masa ke masa yang telah ditapaki,
dimaknai, dan.... Belum lagi ia membuka
mata, Sonia sekretarisnya, bagai
mengejutkannya.
"Kenapa tidak mengetuk pintu dulu!"
hardik Darsih, menyembunyikan kegugupan, yang entah
kenapa membuat ia merasa mukanya menjadi merah.
"Saya sudah mengetuk beberapa
kali, Bu, tapi tidak ada jawaban," tutur Sonia hati-hati. "Saya pikir
ada apa-apa dengan Ibu."
Pfuh! Ada apa-apa! Apakah dikira aku sudah menjadi wanita pikun yang pantas untuk
dikhawatirkan?! Keterlaluan, dan benar-benar tidak tahu diri! Dan, makian
Darsih dalam hati, terus menganak sungai.
"Mau apa?" tanyanya setelah beberapa lama
ruangan kantor begitu senyap.
"Siang ini Ibu ada janji dengan Tuan Sukirno. Meeting di Grand Room.”
Astaga! Lihat, ia, Darsih, serupa tercekat. Tidak
percaya kalau ia sama sekali tidak ingat akan pertemuan penting yang telah
dijanjikan itu! Segera disiapkannya berkas-berkas yang akan dirundingkan dengan
Sukirno, pengusaha real estate. Dengan terburu-buru
Darsih meninggalkan kantornya.
Dalam mobil Darsih kembali melanjutkan renungannya.
Meneruskan perjalanan pikirannya: ketidakpercayaan akan perjalanan waktu.
Sungguh tidak dapat ia percaya kalau hari ini usianya telah lima puluh tahun.
Duh, nenek-nenek tua yang akan segera renta. Kemudian duduk di depan jendela
yang terbuka sambil memandangi matahari yang timbul tenggelam; sembari
menunggu sang maut datang menjemput.
Darsih mengurut dada. Kebangkaan, keterasingan, dan
kematian! Sederet kata yang selama ini terasa telah terlupakan. Jauh dari
dugaannya kalau ternyata waktu telah menyeretnya ke masa yang pasti akan datang
itu....
Tidak! Aku belum akan renta! Pekerjaanku sedang di
titik kulminasi, kejayaan dan kehormatan. Aku masih akan membuka sepuluh, dua
puluh, atau bahkan ratusan cabang perusahaan lagi. Aku akan menjadi wanita
eksekutif terbesar yang pernah ada di negeri
ini!
Dering telepon mobil merenggut seluruh lamunannya.
Dengan tajam dipandanginya gagang telepon. Dan, setelah beberapa saat, pelan
Darsih mengangkatnya.
"Ma, cepat pulang,
ya? Kami menunggumu...."
Suara Sandra, putri ketiganya, kembali mengingatkan
bahwa benar, hari ini ia lima puluh tahun. Tidak! Aku tidak ingin merayakannya.
Aku tidak ingin orang-orang berpesta mengantarku ke ambang kerentaan. Tidak!
Aku akan terus menyibukkan diri dengan pekerjaan yang menyenangkan ini....
"Ma!" teriak Sandra dari balik telepon,
"Mama mendengarkan Sandra?!"
"Ya... ya, Sayang, mama dengar... Mama akan usahakan... maksud mama pulang secepatnya...."
Ya! Inilah tahun ke sekian, entah ke berapa, Darsih
merasa tidak suka memperingati pesta ulang tahunnya. Pesta yang terus dilakukan
oleh anak-anaknya. Dan, ini juga tahun ke sekian ia harus menghadirinya dengan
merasa terpaksa. Tak peduli, walau itu cuma pesta sederhana.
"Nah, begitu dong,
Ma. Kami tunggu, ya ?"
Darsih melempar begitu saja telepon ke jok. Dengan
letih disandarkan punggungnya yang terasa berkeringat --air conditioner mobil terasa tak banyak membantu. la merasakan dirinya dikungkung oleh udara yang
bertemperatur amat tinggi. Sekali, dua kali... tisu menyeka dahi, leher,
bahkan telapak tangannya sendiri. Dan terus saja peluh seperti dipompakan ke
luar dari segenap pori. Semakin tidak siap ia untuk menjadi nenek-nenek renta yang duduk di depan jendela terbuka sembari
menanti.... Tidak!
Tak sengaja Darsih memandang wajahnya di kaca
mobil. Diamatinya dengan teliti: Ah, siapa bilang aku nenek-nenek tua yang
renta...? Setengah abad?! Aku perempuan yang masih cantik dengan kulit yang tidak
keriput, dengan mata yang masih berbinar. Aku belum tua dan tidak akan renta.
Terus, Darsih menegaskan bahwa ia tidak cemas,
bahwa ia tidak galau....
***
Selepas Magrib Darsih memasuki rumah. Didapatinya
Rustam, Sandra dan Mia mendadak serentak memandangi. Kemudian nyanyian Happy Birthday mengalir ke anak telinga Darsih, jauh sampai ke dalam. Duh, mereka
bersenandung untuk ketuaanku... bertepuk tangan untuk
kerentaanku....
"Selamat ulang tahun, Darsih," ucap
Rustam suaminya, "semoga engkau
bahagia hari ini."
Kemudian berturut-turut ucapan yang sama dari
Sandra, Mia dan Mbi pembantunya. Darsih merasa tubuhnya
menjadi limbung, melayang... tinggi sekali. Betapa
gamangnya ia ketika melihat jauh ke bawah. Dinanapinya angka lima puluh di atas
kue tart dengan amat nanar.
"Mama!" teriak Sandra terburu, "Mama
sakit?"
Darsih menghela nafas yang terasa kian berat saja.
Dipandanginya Rustam, Sandra dan Mia bergantian. Begitu, setumpuk kesalahan serasa melecutinya dengan cepat. Deraan
itu kian menyakitkan ketika satu persatu wajah-wajah yang sangat dikenalnya,
diakrabinya, hadir dalam lensa matanya yang mungkin menjadi bening.
“Maafkan Mama,
sayang. Mungkin Mama terlalu capek," tuturnya kemudian setelah merasa
sedikit tenang.
"Sebaiknya Mama istirahat saja," usul
Sandra semakin mendekat. Darsih tidak menjawab. la tersenyum tipis. Tipis sekali. Dibiarkannya Sandra
menuntun ke kamar di ikuti Rustam dan Mia yang cemas. Sementara Mbi bergegas ke
dapur mengambil air hangat.
Kemudian, beberapa lama setelah itu, saat ia telah
terbaring di dipan, Rustam berkata, “Tidurlah,
Darsih, mungkin engkau terlalu lelah."
"Betul Mama tidak apa-apa?" tanya Sandra
dan Mia, nyaris bersamaan. Dan Darsih hanya mengangguk, tersenyum kepada kedua
anaknya yang berdiri mengawasi cemas.
Mengawasi cemas... tidak! Mereka tidak
boleh menatapku seperti itu. Aku belum lagi wanita yang renta. Aku bukan si
jompo yang tidak berdaya. Aku masih kuat, Nak... jangan kalian pandangi
aku begitu. Jangan kalian pandangi aku sebagai wanita yang sakit.... Jangan, Nak....!
Terus... terus Darsih bermain
dengan prasangka purbanya yang terasa mengalir cemas di segenap arteri.
Prasangka penuh kecemasan yang amat janggal. Prasangka yang akhirnya membuat ia
terlelap oleh kelelahan yang menjalari
seluruh tubuh dan persendiannya.
***
Ketika ia terbangun, didapatinya buket-buket mawar
yang menebarkan hawa harum di sisi dipan. Lama Darsih tertegun. Menatapi bagai
amat takjub. Sandra dan Mia yang telah
berdiri di sisi dipan, mengalihkan tatapnya.
"Ma, buket-buket itu dari Mbak Dian dan Mas
Pras," tutur Sandra. "Coba Mama baca kartu-kartunya."
Darsih mengambilnya. Pertama dari Dian. Sebuah
surat pendek yang terselip di belakang kartu ucapan dibacanya dalam hati.... 'Selamat ulang tahun, Mama. Menyesal sekali, inilah ulang tahun pertama
Mama tanpa kehadiran Dian. Saya tidak dapat meninggalkan Mas Yanto, dia amat
sibuk. Oya, Ma, Mas Yanto sekalian ngucapin selamat buat Mama....'
Darsih berhenti. Matanya menerawang. Jauh. Dian, putri tertuanya, kini di Kalimantan mengikuti suaminya yang insinyur perminyakan. Telah
empat bulan mereka menikah.
'Ma, Dian akan sampaikan sebuah kabar gembira untuk
kita sekeluarga. Seharusnya ini
saya beritahukan dari dulu. Lagi pula, kata Mas Yanto, hal ini sebaiknya diberitahukan pada Mama di saat
hari berbahagia ini saja. Supaya semakin
lengkaplah kebahagiaan Mama hendaknya.... Dian sudah hamil, Ma. Bukankah tidak lama lagi Papa dan Mama akan
menjadi kakek dan nenek yang berbahagia? Dan....'
Kali ini Darsih benar-benar tercekat. Amat ia tidak
mengerti mengapa malah kecemasan yang menyungkup seluruh benaknya. Bukankah menjadi
seorang nenek begitu membahagiakan? Lihatlah, Darsih bagai berpeluh lagi.
Duhai, benarkah aku akan menjadi nenek? Samakah nenek dengan nenek-nenek? Kalau
iya, begitu renta?! Dan, Darsih pun menyimpulkan: nenek tidak sama dengan
nenek-nenek! Aku belum renta, belum tidak berdaya, belum akan duduk di depan
jendela yang terbuka sembari memandangi matahari timbul-tenggelam!
"Mama, ada apa?" suara anaknya kembali
menyentak.
"Oh, tidak apa-apa. Kabar gembira dari
kakakmu."
"Yang satunya lagi dari Mas Pras, Ma," tutur Mia lalu
mengambilkan kartu yang terselip
di buket.
"Selamat ulang tahun, Mama. Saya doakan Mama
panjang umur, kian sukses, dan bahagia selalu," Darsih membacanya.
Kemudian ia kembali meletakkan kartu itu di meja dan menoleh pada anak-anaknya.
"Bagaimana mungkin Dian dan Pras mengirimkan
buket-buket cantik ini," tuturnya.
“Gampang,
Ma," jawab Mia, "Mbak Dian dan Mas Pras menelpon minta dibelikan buket
untuk diberikan pada Mama. Ya, Mia dan Mbak Sandra yang membelinya."
Lagi Darsih tersenyum. Menikmati sendiri senyumnya
yang entah telah berapa lama tidak diperlihatkan pada anak-anak. Kesibukan, kejaran
waktu untuk bisnisnya, telah merampas segala-galanya....
"Sekarang, Mama istirahat saja di sini sambil
tidur-tiduran. Saya, Mia dan Mbi akan menyiapkan makanan istimewa pada pagi
ini," tutur Sandra sambil melirik pada Mia "Ya, seharusnya kemarin
kita rayakan ulang tahun Mama, tapi karena memang
Mama sibuk, jadi nggak apa kan kalau dirayakan hari ini saja?"
"Ya, Ma, jangan ke kantor hari ini. Sekali-sekali cabut kenapa sih? Bawahan saja
sering bolos lho, Ma," sambung Mia. "Masa sih atasan tidak
berani," godanya lagi.
Darsih tersenyum mengiyakan.
Tapi, bagaimana dengan kegiatan-kegiatan hari ini?!
Pastilah saat ini Sonia telah siap di mejanya dengan setumpuk laporan paginya
yang rutin: Bu, pukul sepuluh pertemuan direksi, pukul sebelas meeting dengan tuan anu, pukul dua belas menerima kunjungan anu, pukul... inspeksi, jumpa pers, pertemuan, undangan seminar, dan... entah apa lagi namanya!
Duh, suatu rutinitas yang tiada habisnya. Kesibukan
dan kewajiban yang harus Darsih jalani. Yang harus dipenuhi sebagaimana konsekuensi
dari seluruh kemauan dan ambisinya. Dari
seluruh usaha yang telah dibangunnya dengan
sungguh-sungguh, dengan telaten, dengan segenap kecerdasan, keberanian,
kemandirian, dan... seluruh apa yang menjadi
kelebihannya.
Darsih memang telah berhasil membangun kerajaan
bisnisnya yang tidak kecil....
DUA
SELESAI meeting bulanan dengan seluruh manajer perusahaan, Darsih duduk sedikit santai di
dalam kantornya yang ditata apik dan berselera agung. Ada tambahan kepuasan
baginya setiap kali menerima laporan yang gemilang. Poin-poin dalam grafis
statistik yang terus menaik, bagai meyakinkan bahwa tidak ada titik kulminasi --titik yang membatasi gerak naik berikut, apalagi titik yang membalik arah
gerak grafik. Pengusaha mana yang tidak berpuas-hati jika kian bulan asset perusahaan bertumbuh-lekas.... Seolah seluruh rezeki
ditumpah-ruahkan dari berbagai pintu untuknya, untuk Darsih, sang wanita
brilian itu.
Tapi, kemudian, ada yang mengusik kalbu, ketika
Darsih melempar pandang ke dinding kantor yang lebar. Di sana menempel erat
potretnya dengan Rustam bertahun-tahun yang silam: saat hari pernikahan. Dan tidak jauh dari
potret itu, tergantung juga
potret empat anaknya. Ya, Darsih sengaja memajang potret-potret berukuran besar
itu sebagai salah satu cara untuk menggenjot puji dari para tamu, dari pers,
bahwa ia, Darsih, adalah seorang wanita eksekutif yang amat berbahagia
dalam rumahtangga... Kamuflase? Mungkin, semua itu, hanyalah
dongengan belaka. Tidak ada kebahahagiaan, keharmonisan, keserasian... apalagi bagi Rustam, suaminya, yang
telah terasing begitu lama. Terlempar dari mimpi kebahagiaan atas sebuah cinta
yang dipaksa!
Darsih memandangi tanpa kedip. Ah, berpuluh tahun
hidup dalam sebuah mahligai adalah suatu perjalanan yang panjang. Dan.
memenatkan jika cinta hanya simbol belaka. Hanya menara gading yang membanggakan.
Rustam! Ya, lelaki itu bagai berhati pualam, yang
tidak mengenal gores. Tidak! Tidak pernah lelaki itu menyakiti Darsih. la tetap
bagai dulu: mencinta sepenuh hati. Bahwa dulu, Rustam, mengejar dan memburu
cinta Darsih. Bahwa adalah mustahil jika kemudian Rustam melukai orang yang
amat dikasihinya.
Dan, kemudian-kemudiannya, segalanya menjadi milik
Darsih: kebebasan! la dapat tentukan langkah, kemauan dan gapai seluruh ambisi
pribadi. Bahwa Darsih tidak perlu merasa terkekang oleh kehadiran Rustam... termasuk pisah kamar dengan lelaki itu sejak beberapa tahun lalu. Sejak
Darsih kian jengkel dengan Rustam yang menurutnya mulai memaksakan kehendak.
Ketika itu Mia masih kecil, yang sering merengek dan menangis di tengah malam. Rustam
tidak ingin bayi kecil itu tidur hanya dengan Mbi, selalu dengan Mbi. Mia harus
tidur bersama mereka, seperti dulunya
Dian, Pras dan Sandra masih bayi. Maka Rustam mengajukan keberatannya pada
Darsih, minta Mia tidur di kamar utama. Akibatnya, betapa murkanya Darsih. Dan,
satu sebab yang mengawali kebencian Darsih itu, karena Mia lahir bukan atas
kehendaknya.
"Darsih, jangan bedakan Mia dengan
kakak-kakaknya," ujar Rustam waktu itu. "Biarlah ia tidur di sini.
Aku akan menina-bobokannya lagi jika ia menangis di malam hari. Mia tidak akan
mengganggumu, Darsih."
Darsih mengkal, Rustam telah memaksakan
kehendaknya. Dan Darsih benci sekali hal ini. Rustam telah menyalahi perjanjian
perkawinan mereka dulu: bahwa Rustam harus membiarkan apa pun yang dimaui
Darsih!
"Kasihan Mia, Darsih!"
"Kasihan?" ejek Darsih dengan sinis. "Heh,
dia lahir karena kemauanmu. Kalau kau mau, tidurlah dengannya di kamar lain.
Banyak kamar di rumah ini. Engkau dapat merawatnya tanpa menggangguku!"
Rustam tersentak. Suara Darsih menyambar
jantungnya. Memang, dan itu amat terbukti, bahwa kelahiran Mia di luar rencana
yang itu artinya dibenci Darsih. Beberapa kali ia berusaha menggugurkan
kandungannya, tapi janin itu begitu bandel hingga ia kian besar, dan lahir
sebagai bayi yang normal. Maka, "kebocoran"
itu pada akhirnya membuahkan gadis cantik bernama Mia. Gadis yang sejak
kecilnya amat tidak disukai Darsih.
"Aku akan lebih tenang tidur sendiri di kamar
ini," lanjut Darsih, semakin membuat Rustam terpana. Semakin memojokkan ia
bahwa ia memang lelaki tua yang kian tidak berdaya.
Ketidaksukaan Darsih pada Rustam kian bertambah
ketika Mia makin besar. Darsih bertemu lagi
dengan Surya, pacarnya waktu masih SMA. Surya yang memiliki segalanya. Surya
yang sebenarnya, dulu, pernah dikecewakan Darsih karena ia tergoda dengan
Abdisat. Dan Abdisat ternyata buaya, yang kabur ketika kesuciannya telah terserahkan.
Tapi, ketika pertemuan dengan Surya itu, terlihat betapa mereka seperti kembali
menemukan cinta yang telah lama hilang. Mereka menikmatinya sebagaimana mereka
menginginkannya.... Dan, sejak saat itu,
Darsih merasa bahwa Surya-lah sesungguhnya yang lebih pantas untuk menjadi
suaminya: bukan Rustam yang tiga belas tahun lebih tua!
Dan, toh, dengan tidur sendiri pun bagi Darsih
bukan suatu persoalan. Biarlah Rustam terus
tidur dengan Mia di kamar lain, di kamar mana Darsih tidak terganggu.
***
Awal dari perkawinan Darsih dengan Rustam memang
bukan dilandasi oleh cinta-kasih kedua belah pihak. Abdisat, yang waktu itu
telah menjadi tunangan Darsih, lari setelah merenggut keperawanannya. Sebagai
anak dari turunan keluarga
baik-baik dan terpandang, tentulah ini merisaukan dan memalukan bagi Darsih. Maka, ketika
Rustam, pegawai sebuah kantor di dekat kampus Darsih yang secara diam-diam telah
mencintainya sejak lama itu datang dan
melamarnya, Darsih tidak menolak. Tiadanya pilihan lain memperbesar peluang untuk Rustam. Jadilah, lelaki
sederhana itu, Rustam, suami Darsih, yang
keluarga kaya dan terpandang.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Darsih pun bekerja
di perusahaan ayahnya. Hingga ketika usia Sandra dua tahun,
ayahnya meninggal. Darsih
sebagai anak tunggal tentulah menjadi pewaris satu-satunya. Dan memang, Darsih
terbukti hebat dan amat brilian. Cepat, perusahaan itu tumbuh-kembang.
Menjanjikan masa depan yang gemilang, bertabur bintang!
Darsih telah menjadi wanita eksekutif yang disegani!
Rustam kian tersudut. Terdesak ke satu sisi yang
bagi seorang suami seringkali menjadi aib,
yakni soal gaji dan pendapatan. Apalagi sejak lelaki itu pensiun beberapa tahun
lalu, terasa Darsih kian tidak menghargainya. Rustam terbuang. Rustam sepi.
Rustam kalah. Rustam menjadi amat tidak berdaya di masa pensiun dan masa
tuanya.
Sebenarnya, dulu, ketika Darsih semakin
terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaannya, Rustam ingin saja
menceraikannya. Dan, tentu saja jika itu
terjadi, Darsih tidak akan menolak. Tapi Rustam tidak tega. Rustam tidak ingin
anak-anak yang menjadi korban. Apalagi ketika itu kehidupan anak-anak bagai
amat liar. Segala apa pun permintaan mereka selalu dituruti Darsih. Maka,
Rustam, harus menjadi pengawas, pembimbing, sekaligus menjaga agar anak-anak
tidak terlempar jauh ke dalam kehidupan glamor yang melenakan. Nah, tegakah ia
untuk berkata cerai saat itu?!
Dan, kebencian Darsih kian
menjadi-jadi dalam pertumbuhan Mia. Gadis kecil itu begitu lengket dan manja
kepada Rustam. Bagi Darsih, seolah, ayah-beranak itu tengah bersekongkol membencinya.
Darsih ditelan oleh kebenciannya sendiri.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar