PERKAWINAN DI LANGIT

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 576 tanggal 25 Maret - 4 April 1996


"APALAGIKAH yang diharapkan seorang lelaki
dari seorang perempuan selain kesahajaan
dan kesetiaan sesuai perasaan perempuan itu  sendiri?"

(Alam Taluko)



Dalam usinya yang muda, dalam statusnya yang kini sarjana pertanian, dalam kedudukannya sebagai asisten manajer, tidak dapat tidak, sosoknya pun melahirkan kecemburuan pada banyak orang. Wanita muda yang enerjik itu, dalam tempo tidak lama, telah menjadi tumpuan perhatian penghuni areal perkebunan.



Dengan nama yang sederhana namun begitu indah untuk dilafalkan maka semua orang memanggilnya dengan Nona Tio; Insinyur Nona Tio. Siapa lagikah perempuan bersepatu lars berkeliling kebun di pagi hari? Siapa lagikah perempuan bertopi lebar memberi pengarahan di bawah matahari tengah hari? Dan, siapa lagikah perempuan bermukena tengah khusyuk sembahyang di antara desau sawit? Atau tengah mengaji indah dalam mersik dedaun?
Dengarlah, ada yang berpikir: inilah kesempurnaan hidup yang tidak semua orang bisa melakukannya. Totalitas pengabdian pada Pencipta dan kerja. Dan, ah, ah.
Dan, benar, segalanya telah berubah. la, Insinyur Nona Tio, bukan lagi bagian dari hiruk-pikuk kota. Ia telah memilih hidupnya bekerja di perkebunan yang jauh tak terjangkau. Jauh meninggalkan sanak-keluarga, karib kerabat dan suasana kota yang sedari kecil diakrabinya. Pun meninggalkan Alam -- Alam Taluko-- yang telah bertahun menjadi kekasihnya. Menjadi bagian dari rutinitas keseharian yang panjang dan melelahkan.
"Lepaslah aku dengan doamu, Lam. Ini sebagian dari perjuangan kita menuju masa depan yang kita impikan," begitu tutur Tio,  dua hari sebelum keberangkatan dulu. Dan  Alam, lelaki itu, hanya diam. Memandang kosong pada langit yang berawan. "Kau akan menjaga cinta kita bukan?" tanya Tio lagi. "Menjaganya serupa pertama yang telah  kita asah bertahun lamanya."
Alam kembali menarik nafas. Dan ia pun bertutur dengan lunak, "Situasi dan kondisi kerjamu, aku yakin, akan mengubahmu, Tio."
Serupa tak paham Tio bertanya, "Apa  maksudmu?"
"Kadang kita harus menyadari bahwa tidak semua orang yang melakukan sesuatu sedang mengerjakan sesuatu."
"Kalimatmu terlalu sulit untukku." Tio, perempuan bersahaja itu, menundukkan muka, memperhatikan ujung sepatunya. Tapi kemudian, pelan ia bertutur juga, "Tapi aku akan segera memahaminya. Kuharap."
"Ya, kau akan memahaminya, Tio. Kau akan menemui suasana yang baru, lingkungan yang baru, dan teman-teman yang baru," lanjut Alam lagi, seperti tengah bicara pada dirinya sendiri. Lihatlah lelaki itu, ia  seperti menanggungkan sesuatu, sebagai  remaja pria muda layaknya. Yak, dengarlah  lagi: "Di sana kau akan membutuhkan bantuan, dorongan dan semangat. Dan di sekitarmu, di areal perkebunan yang jauh terpencil itu, ada seribu lelaki yang berebutan membantumu...".
Tio paham. Tio mengerti suasana hati  lelaki di sisinya. Dan Tio hanya diam. Meremas jemarinya sendiri dan pelan mengusap  cincin di jarinya. Betul, ia, Tio, tahu persis suasana perkebunan. Dunia yang mayoritas adalah dunia lelaki. Tapi inilah yang diimpikannya sedari kecil, dicitakannya dan dibangunnya dengan sungguh-sungguh. Kalau bukan karena keinginan yang keras untuk  bekerja di perkebunan, untuk apa ia memilih  kuliah di pertanian?  Lama kemudian Tio bersuara juga. "Lam,  yang kupinta hanya kau menjaga permata itu. Aku akan bekerja dan kita akan segera membangun istana putih yang kita impikan. Tidak bolehkah dalam usia kita sekarang kita memiliki fantasi romantik itu, Lam?"
"Fantasi romantik." Alam menggumam. "Ya, fantasi romantik. Semoga ia tidak selamanya menjadi fantasi, Tio."
Tio mengerti. Tio memahami. Dan  pun menjadi sangsi.
Alam lagi menarik nafas. Berat. Seperti ada yang menggayutinya ia pun berkata, "Benarkah kau akan kembali nanti seperti ketika engkau pergi, Tio?"
"Kau mulai membangun kecurigaan. Dan selamanya kecurigaan akan menghancurkan."
"Kau membenarkannya?"
"Kau tahu persis bagaimana aku tidak mampu untuk hidup tanpamu. Dan aku juga tahu persis betapa kau tidak akan mampu tanpa aku. Kita punya masa depan yang akan berbahagia. Tak cukupkah, Lam?"
Hujan turun, Petang di kota amat temaram.
"Kau akan mengantarku hingga ke mobil. Kau akan berkunjung suatu waktu ke tempatku bekerja. Akan aku umumkan di sana  pada semua orang bahwa kau pilihanku. Begitu, bukan, Lam?"
"Ya, aku akan mengantarmu ke mobil  Aku akan berkunjung. Dan aku akan dengar  kau mengumumkan pada semua orang di  sana bahwa akulah lelaki yang akan menjadi ayah dari anak-anakmu," tuturan Alam malah membuat dada Tio bergalauan. Tidak ia memahami betapa ia menjadi tidak mengerti.
Hlah, segalanya seperti menjadi sulit.

***

"Nona Tio, land clearing di bagian Selatan telah selesai dengan sempurna. Di sana akan ditanami ribuan batang sawit baru. Mulai lusa aku akan dipindah ke sana. Saya ingin Nona Tio turut ambil bagian di lahan baru itu."
"Tapi saya ditugaskan di sini dan sawit-sawit yang sedang panen itu juga harus terus  diawasi, Da In."
"Tadi saya bertemu Pak Mulyatno, beliau mungkin akan menempatkan Nona juga di sana. Untuk lahan baru itu masih dibutuhkan enam orang asisten. Anda tahukan tugas  asisten di sini tidak terlalu mendesak lagi.  Lagipula di sini masih akan ada Tohit, Eko,  Wang dan Rillo."
"Uda In yakin saya akan ditempatkan di sana juga?"
"Dengan persetujuan Nona Tio." Lelaki itu, Indra, yang biasa dipanggil Uda In oleh  Tio, tertawa. la telah bekerja tiga tahun lebih  dulu. Lelaki pekerja keras, ulet, yang tamatan Politeknik Pertanian itu, memang menarik. Dan tipe lelaki seperti itulah yang ditemui Tio ketika pertama kali menginjakkan kakinya di areal perkebunan yang terpencil ini. Tidak  sulit, keakraban antara mereka terjadi amat  cepat. Jauh lebih cepat dari apa yang dapat dipikirkan oleh Tio maupun Alam.
Ingat sekali Tio bagaimana ia merasakan  kesulitan di awal bekerja. Dan Indra, yang dipanggilnya Uda In itu, membantu dengan sangat telaten. Meski ada petunjuk kerja namun tentu saja Tio lebih membutuhkan petunjuk langsung seperti itu. Maka, melewati satu bulan pertama, tidak ada waktu yang tidak mereka lewati berdua. Bahkan di  hari yang kedua puluh lima, di suatu malam  Minggu, mereka berjalan-jalan mengitari areal sawit yang diterangi bulan yang hampir penuh.
"Nona Tio, pekerjaanmu sangat bagus. Kau telah perlihatkan bahwa kau mampu. Aku yakin dalam tempo yang lebih cepat  dari orang lain, kau akan dipromosikan menjadi salah seorang manajer di perkebunan ini."
"Jangan terlalu memuji, Da In. Seringkali orang yang dipuji menjadi lupa akan dirinya sendiri."
"Aku sungguh-sungguh. Kau hebat sekali."
"Kau juga hebat."
"Tapi aku bukan insinyur, dan tidak mudah untuk promosi jabatan di perkebunan seperti ini."
"Yang dibutuhkan oleh orang-orang profesional bukan titel, Da In, tapi kemampuan, kapabelitas individual dalam menangani pekerjaan. Itulah konsep manajemen moderen."
Setelah sebentar tertawa, kemudian mereka terdiam. Batang demi batang sawit  beraroma khas terlewati seperti patung-patung. Entah apa yang tengah dipikirkan, sampai kemudian Indra bertutur amat fasih dan terkesan hati-hati, "Aku ingin berbicara tentang suatu hal denganmu, Tio." Yak, untuk pertama kalinya Indra tidak menggunakan Nona di depan Tio. Dan ini membuat perasaan yang asing dalam dada Tio hingga ia bertanya juga.
"Suatu hal? Kuharap suatu yang akan menarik." Tio mengerling, dan ia melanjutkan, "Sebaiknya tidak tentang sawit-sawit."
Angin yang mengalir di antara bebatangan sawit, cahaya bulan keperakan yang jatuh di bungkil-bungkil sawit siap panen, amat sukar untuk dituturkan betapa indahnya. Dan mereka duduk di pelepah kering, bersisian.
"Tio, pernahkah kau merasakan kebahagiaan?"
Sebentar Tio terkekeh dan kemudian berkata, "Di perkebunan ini aku sangat bahagia. Aku seperti menemukan sesuatu yang telah sangat lama hilang dalam hidupku, meski sesungguhnya aku belum pernah mengalaminya."
Lantas, entah bagaimana awalnya, yang jelas Indra telah bertutur amat fasih, "Tio,  sejak melihat kau pertama kali, aku yakin bahwa kau seorang yang baik, cerdas dan penuh tanggung jawab. Tipe perempuan  yang tidak mudah untuk ditemui."
"Sst, sudah kukatakan, jangan memuji, Da In.
"Betapa beruntungnya seseorang yang telah melingkarkan cincin di jemari manismu itu."
Tio tergagap. Lihat serupa takjub ia malah memperhatikan cincinnya yang ditempa sinar bulan keperakan. Tapi kemudian Tio bertutur pelan, "Bukankah kita tengah membicarakan kebahagiaan di perkebunan?"
"Ya, kebahagiaan di perkebunan," tandas Indra pula. "Aku dapat melihat itu di matamu. Kau seperti tengah berlari di sabana yang  luas, tersenyum, tertawa dan merentangkan dua tangan ke langit. Perasaanku berkata bahwa lnsinyur Nona Tio tengah menghayati perannya yang baru itu. Oya, siapa lelaki  itu?"
"Namanya Alam. Alam Taluko. Seorang wartawan." Tio menjawab bagai tergagap lagi.
"Kalian akan menikah, bukan?"
"Kita tengah membicarakan kebahagiaan di perkebunan, Da In. Tidak membicarakan pernikahan." Tio menarik nafasnya. Harus ia jujur bahwa perasaannya tengah dirasuk sesuatu yang asing. Bahwa ia tengah tak  terlalu ingat lagi pada Alam. Dan ia merasa  tidak suka Indra berbicara tentang lelaki itu. Maka Tio pun melanjutkan, "Suasana perkebunan ini sangat indah. Dan biarkan aku untuk menghayati keindahannya, Da In."
"Aku mengerti, Tio. Dan aku sangat bahagia. Bertahun aku di perkebunan terpencil ini baru kali ini aku benar-benar merasakan bahwa benar di perkebunan inilah aku akan menemukan kebahagiaan yang  sesungguhnya."
"Kau berpikiran begitu, Da In?"
"Ya, sejak aku melihatmu pertama kali. Bukankah melingkarkan cincin begitu tidak berarti kau harus diikat oleh pemasangnya?"
Tio melepaskan senyumnya. "Mungkin aku sependapat."
Dan, di malam Minggu itu, di saat yang  bersamaan, Alam tengah duduk tepekur di  meja kerjanya. Alam tidak habis mengerti mengapa di usianya yang tak lagi remaja ini, ià seperti kembali menjadi lelaki muda-mentah, yang berpalun rindu sayang pada kekasih. Yang diamuk rasa ingin bercerita. Lihatlah, tak satu pun pekerjaan yang dapat  diselesaikannya.
"Pak Lam, malam Minggu ini masih saja  lembur, ya?" suara berat Satpam yang tengah menenteng secangkir kopi menyentaknya. "Lihatlah, semua orang sedang menikmati akhir pekannya."
"Koran membutuhkan berita setiap detik, Pak Os," sambut Alam, asal saja.
"Ala, besok kan Minggu. Koran kita  untuk edisi Minggu sudah beredar sejak Sabtu pagi tadi. Malam Minggu adalah malam untuk istirahat, Pak Lam."
Alam, yang wartawan itu, hanya tersenyum. Memang benar korannya edisi Minggu telah diedarkan Sabtu pagi. Dan ia juga  membenarkan malam Minggu adalah malam untuk istirahat. Bukankah selama seminggu hanya malam Minggu ia off? Dan Alam pun hanya menyunggingkan senyumnya ketika Satpam itu pamit lagi ke posnya.
Tumpukan artikel, berita, features, foto-foto dan entah apa lagi, membuat ia merasa kian tersudut saja. Entahlah, entah apa yang  membuatnya sesak, yang membuatnya dipalun rindu. Sorot matanya berkitar dari meja ke meja yang kosong, komputer ke komputer yang tidak menyala. Dan ia berpikir: sebaiknya malam ini aku bermain  catur dengan komputer.
Tidak lama, setelah disket dihubungkan, program telah dijalankan, monitor komputer memampangkan sebidang papan catur lengkap. Aku mulai dengan melangkahkan pion nomor empat, katanya.
Sementara, di antara bebatangan sawit yang jauh, Tio tengah mengungkai cincin di jemari nomor empatnya, jemari manisnya.  Sembari dalam hati ia berkata penuh senyum; aku akan titipkan cincin ini pada  kakakku saja!





***

Alam Taluko, yang wartawan, yang redaktur, yang penulis, yang sangat  idealis, kali ini kalah. Ia merasa sangat tak berdaya dengan kondisinya, dengan situasi  perasaannya yang dipalun rindu sayang.  Siapa lagikah orang yang tidak mengenal karakteristik tulisannya? Pola jurnalisme yang dianutnya? Dan pejabat manakah lagi yang tidak memerah kupingnya membaca sentilannya?
Duhai, ia sendiri pun tidak percaya kalau ternyata ia secengeng itu. Lihatlah bagaimana ia melingkari tanggal demi tanggal, menghitung hari-hari perpisahannya dengan Tio? Remaja SMP yang tengah jatuh cintakah ia? Tapi salahkah dia bila benar ia tengah diamuk rindu pada kekasihnya? Apakah kerinduan seperti itu hanya milik remaja-remaja muda-mentah yang berbahagia?
Dan ini hari ke tiga puluh empat!
"Pak Alam, ada surat untuk Bapak," kata Wiryo, kurir di perusahaan koran itu sambil menyodorkan amplop.
Setelah mengucapkan terima kasih, lihatlah, serupa remaja diamuk kasih, ia menanapi penuh senyum amplop itu. Kemudian, dalam rona muka bercahaya, ia membukanya. Dan ia membaca:

Sebelum kaubaca surat ini, jauhkanlah prasangka-prasangka dalam benakmu, Lam. Benar, aku bukan seperti dulu lagi. Dan benar dugaanmu bahwa situasi dan kondisi akan mengubahku. Dan baru sekarang aku paham bahwa kau benar 'aku mudah jatuh cinta'. Dan saat ini aku tidak mau munafik, tídak mau dusta, benar aku telah jatuh cinta. Maafkan aku, Lam. Teruslah berjuang untuk masa depanmu. Kau akan menjadi orang yang berhasil. Kau, suatu saat, akan memiliki media sendiri, seperti yang kauimpikan. Dan izinkan aku meminta padamu, biarkan aku memilih duniaku.

 Salam, TIO


Yak, apakah keterpanaan juga tidak boleh dialami lelaki seusianya? Lelaki seidealis dia? Lelaki sekeras dia pada prinsip dan nilai-nilai hidup? Apakah kesedihan tidak  boleh dirasakannya? Apakah kehancuran tidak boleh ditelannya? Dan ia, lelaki yang selalu berusaha kuat itu, tertunduk tak berdarah. Mukanya terasa pucat dan ia merasa  memiliki pandangan yang tak sempurna. Seribu kunang-kunang, pikirnya.
"Pak, hari ini saya merasa tidak enak badan. Saya mohon izin untuk istirahat pulang,"' tuturnya pada Pemimpin Redaksi.
"Aku dapat melihat itu pada wajahmu. Istirahatlah. Mungkin kau terlalu lelah, Lam. Sebulan belakangan kau bekerja seperti tidak  mengenal hari esok."
"Terima kasih, Pak. Semua bahan bagian saya untuk terbitan esok sudah siap di meja saya. Tinggal setting saja."
Dan, lelaki muda yang wartawan itu,  berjalan seperti tidak kuasa mengayun kakinya. Melewati meja ke meja diiringi tatapan heran semua rekannya. Tapi semua orang juga paham betapa Alam terlihat amat sakit.
Di kamarnya yang serba putih, lelaki itu kembali menikmati batang demi batang rokok, kebiasaan yang telah coba ditinggalkannya. Dan ia merasa amat lena dengan babaran asap, tempat merasa ia memutar  ulang semua kisah percintaannya, perjalanan bahagianya, dan tentang cita-citanya. Cita-citanya bersama perempuan yang bernama Tio. Dilihatnya di sana ada sebuah istana putih, mahligai biru. Dan ia tersenyum.  Menangis. Tertawa.
Lama kemudian baru ia menyadari keadaannya. Dan ia bergumam amat pelan; biarkan aku menjadi orang gila yang merdeka....

***



Tidak ada komentar: