SESAL

Dimuat di Majalah ESTAFET
Nomor 67 Tahun VII Juni 1991 hal 66-67

UNTUK pertama kalinya Sari menangis. Layar monitor televisi ditatapnya dengan nanar. Biasan gambar itu seperti dengan tajam mengiris bola matanya.
Sari tercekat ketika suara penyiar terdengar bergaungan di benaknya yang menyebut nama Papa berulang-ulang. Suara penyiar itu menghujam jantung Sari. Nyeri.

DALAM BAYANG PURNAMA

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 467 tanggal 12 – 25 Oktober 1992



SELESAI penutupan kuliah oleh Profesor Kusnandar, Ir. Marni segera membenahi buku-bukunya. Tiga buah buku tebal dimasukkannya dengan tergesa ke dalam tas.
“Kelihatannya Anda terburu-buru," sapa Ir. Bastian dengan nada bersahabat dan simpatik.
Ir. Marni mengangkat mukanya. Matanya mengawasi dengan cermat laki-laki yang berdiri tenang di samping mejanya. Sambil mengancingkan restluiting tasnya, Ir. Marni menjawab sekenanya, "Saya kira akan segera turun hujan. Sangat tidak enak terperangkap di sini dalam hujan deras."

PERKAWINAN DI LANGIT

Dimuat dalam Majalah Wanita Kartini
Nomor 576 tanggal 25 Maret - 4 April 1996


"APALAGIKAH yang diharapkan seorang lelaki
dari seorang perempuan selain kesahajaan
dan kesetiaan sesuai perasaan perempuan itu  sendiri?"

(Alam Taluko)



Dalam usinya yang muda, dalam statusnya yang kini sarjana pertanian, dalam kedudukannya sebagai asisten manajer, tidak dapat tidak, sosoknya pun melahirkan kecemburuan pada banyak orang. Wanita muda yang enerjik itu, dalam tempo tidak lama, telah menjadi tumpuan perhatian penghuni areal perkebunan.


Komposisi Cengeng

surat imajiner kepada Marsinah  

serasa didengar garpu tala yang kemaren dibeli
merambat bertukar fungsi, mendenting
di meja mahkamah terbelah palu bundar
resonansi getarnya amat lembut

toga hitam dan tumpukan buku tebal tak terbaca
teronggok berdebu di bawah meja
kesaksian, sumpah, doa bersama
adalah nyanyian yang amat sentimentil
di tengah gemuruh teriak kematian buruh  

ya, hanya komposisi nada cengeng
tak terukur tala  

menyaksikan tonil penuh kelucuan yang bodoh sambil duduk lesehan menikmati kopi bergula pahit dan seplastik kacang goreng yang tiada garing; hanya angin merayap dan kedinginan pori yang dirasa
di kursi-kursi empuk di ruangan megah-mewah
orang-orang menyaksikan kisah serupa: Tetapi bukanlah tonil yang kampungan, Dik!  

Maret 1994

 
Agustus ke-47

kepada negeri dwiwarna: rudhira swita  

dalam lorong panjang waktu, bukan labirin
sedayu-dayu angin menjalin lintang khatulistiwa
menaburkan permata, serupa riak samudera
mengekal jalan, terbentuk dari darah dan kepercayaan

suatu waktu lalu, kita susun bata merah dan putih
kukuhkan pertautan di tanah yang hanya lempung
bergandeng susuri ngarai dan bengawan
dalam tingkap hati yang telah membuka sejak langkah pertama 
biarkan ngarai dan bengawan dirayapi kering
tanpa kita kehilangan airnya yang ngalir bening  

(adakah musim panas mengerontang atau
musim hujan mebah hingga latar merah dan putih
hanya dwiwarna yang kabur dan tiada berarti?)

kita telah susun bata merah dan putih
kukuhkan pertautan di tanah yang hanya lempung  

Agustus 1992

Senyap



Hujan baru saja menyambut gelegar petir dan kilatan di langit. Amat deras. Angin berlari seperti tergesa menuju entah ke mana. Bumi menelan sendunya.... Bukittinggi murung dalam balutan kabut yang tebal. Simpang siur kendaraan terhenti oleh gemuruh hujan yang dibawa angin.

Mengapa Lembah Hati


Telah begitu banyak tentang 'hati' yang muncul di blog. Masih saja nama itu terlintas dalam benak saya dan kemudian menjadi tema blog ini pula. Begitulah, hati adalah tempat di mana semua bisa lebih terbuka, fair dan adil. Jujur dan ikhlas. Hati bisa mengalahkan pikiran dan otak manusia. Hati yang sesungguhnya adalah nurani yang sebenarnya. Di dalam lembahnya, di jurangnya yang paling dalam, di situlah bersemayam segala kearifan, kesadaran dan semua esensi dari penyerahan secara totalitas kepada Khalik.