Angin tidak Sekedar Hembusan yang Mendesirkan Daun-daun

    ANGIN tidak sekedar hembusan yang mendesirkan daun-daun atau sekedar menyejukkan kegerahan sehabis bekerja. Tapi, seringkali, angin juga suatu simbol dari kesangsian, kegetiran, ketidakmengertian, yang bahkan menjadi konduktor akan suatu kegelisahan massal yang terkadang amat sulit ditangkap logika.  

    Setiap pori yang menerima terpaannya, berkirim kabar pada otak, bahwa; ada sesuatu yang lewat! Tak jarang, kabar yang disampaikan malah simpang-síur; kedinginan kemudian diterjemahkan sebagai kegetiran, kegalauan bahkan ketakutan. Sementara sang otak, pun menerima dan men-saving-nya sebagai laporan. Bahkan, tanpa anotasi  sekalipun, si kabar dianggap sebagai suatu yang tak berbantah, aksiomatis.

    Dalam kaitan dengan angin (si kabar) itu jugalah, sesungguhnya, setiap hari kita dijejali oleh beragam kenyataan. Kenyataan yang bermula dari apa yang telah dikirimkan pori pada otak atas terpaan angin yang menyentuhnya. Maka, tak salah jika pada beberapa peristiwa kita berucap terima kasih pada sang pori yang telah memberikan laporan. Karena, toh, kalau tidak karenanya, mana mungkin kita tahu bahwa apa yang telah kita putuskan sebenarnya keliru? Dan, kekeliruan  itu pun kita perbaiki. Merevaluasi lagi akan segalanya. Bahkan menyusun program, schedule dan acuan baru untuk merealisasikan tuntutan atas kekeliruan yang telah  terjadi.

    Tapi sayangnya, untuk memperbaiki kekeliruan itu, sering kali kita mengorbankan pihak lain. Katakanlah kita adalah bidak, dan ya, kita pun menumbalkan bidak lainnya. Menuduh ini karena ulah si anu; ini rekayasa si itu; dan lainnya. Maka  bidak yang telah dengan sengaja kita tohok, tentu saja harus rela untuk ke luar dari papan berkotak-kotak untuk segera masuk kotak! Padahal, kalau kita mau jujur, rekayasa-rekayasaan sebenarnya adalah titisan situasi dan kondisi yang pun direkayasa untuk leluhur dan untuk kita sendiri. Maka jika ada sistem itu saat ini, bukanlah suatu yang baru. Telah lama kenyataan mengajarkan kita untuk begitu. Dan, setujulah kita bahwa (ternyata) nothing's new under sun!

    Begitulah, saat ke saat kita terus diberi keyakinan bahwa benar nothing's new under sun. Padahal, semua kebaruan yang bahkan teramat asing, terus menjejal di depan jalan kita sebagai bidak, yang hanya bisa merangsak lurus ke depan (jika pun ingin sedikit berkelit, adalah suatu keharusan untuk menumbalkan teman sesama bidak). Lakon-lakon  barisan belakang, toh, terus saja memancing kemarahan  lawan agar bisa membobol pertahanan dengan menyerahkan kita ke pintu kematian (terlempar dari papan berkotak-kotak untuk kemudian ngendon dalam kotak). Dan, dengan tulus pula, kita bíarkan barisan belakang (raja, mentri, gambit, benteng dan bahkan kuda yang sesungguhnya satria bodoh) merekayasa satu atau dua teman yang sesama bidak. Dan mereka bicara, "Kalian para Bidak, adalah hero yang  mengagumkan. Kalian adalah tombak untuk keberhasilan. Ingatlah, sejarah akan mencatat kalian sebagai tumbal-tumbal untuk kesejahteraan!"

    Dan benar, bahwa ini juga kisah lama yang diulang-ulang. Lantas terbuktikah bahwa benar nothing's new under sun?  Sakit sebenarnya untuk diakui begitu, karena trik-trik yang sama sekali new, selalu menghantui dan siap menohok keberadaan kita, yang pun hanya sebagai bidak tak berdaya!

    Dan, begitulah, jika pun kita bilang Yes, Man... toh tak terkecuali sebagai bidak kita akhirnya juga dilempar ke luar papan berkotak untuk masuk kotak. Dan dengarlah, enteng sekali barisan yang di belakang kita, sebagai perwira dan pusat komando, berteriak dengan lantang: "Remis! Remis, Paduka!" tuturnya sembari mengangkat bendera putih tinggi-tinggi! Padahal, kita, para bidak, telah rela untuk dilempar  ke luar papan berkotak, hanya untuk satu kejayaan: seperti  kata mereka.  

    Dan, sudahlah, kita memang hanya bidak. Diangkat lagi ke papan berkotak-kotak untuk satu babak selanjutnya.  Babak-babak yang penuh oleh trik baru yang asing, kotor,  tipu daya dan bahkan rekayasa sepihak yang tiap detiknya mengancam kita untuk kembali ke luar papan berkotak dan ngendon dalam kotak.


Harian Haluan, Catatan Kebudayaan,

Selasa, 3 November 1992  

Mengarifi Musim

Sebuah Renungan Kecil

    Ketika langit mendung, awan tebal berarak, dan sesekali kilat menyabung, terlintas di benak saya suatu peristiwa dramatis sebagai salah satu babak yang harus dijalani manusia: Perpisahan! la hadir bagai menggantung di pelupuk mata, begitu sukar untuk ditepiskan. la utuh, menyeluruh dan sempurna berwujud ketika langit benar-benar telah mencurahkan air hujan.

    Mengapa ia hadir di mata saya? Yang jelas, di samping jawaban klise, entah ada satu kegetiran yang tengah menyelubungi manakala paparan dari sedikit cuplikan kisah masa, datang menyapa lagi. Yakni, keharuan pada musim.

    Keharuan pada musim?

   Ya, keharuan yang mengapung dalam setiap ruas yang akan menjaraki musim. Mengantarai dua skala yang semu, sebenarnya. Musim bercengkerama di satu sisi, dan musim berjarak di sisi lain. Duanya adalah sisi yang harus dan terus dijalani sejak dulu kala. Sejak Adam dan Hawa berpisah di surga, sampai mereka bertemu lagi di tanah penuh pasir yang gersang. Tapi yang utuh: mereka tetap punya cinta!.

    Lantas, apa korelasi timbal-baliknya dengan semua kepastian yang telah saya tulis? Ada! Pertama, kita akan menghadapi suatu musim yang teramat beda dengan biasa. Tentang apa? Jelas, tentang siapa yang akan mengepalai kita dalam bergembala di babak berikut. Kedua, tentang bagaimana kita bersikap dalam musim ke dua yang beda ini. Bukankah antara yang mengepalai di babak pertama begitu beda situasinya dengan yang akan mengepalai di babak kedua nanti? Sekali pun, dalam suasana, yang tetap dikepalai oleh pelakon babak pertama.

    Fantastis! Begitu kalimatnya. Luar biasa baru sebagai ungkapan verbal atas ketidaksenangan situasi dan kondisi yang telah terbangun. Tapi kita toh tak dapat berbuat banyak selain mengikuti alur yang telah diuntukkan buat kita masing-masing? Saya adalah si A, sedangkan Anda adalah si B, dan si anu adalah si C, maka kita punya rute sendiri yang mungkin juga bisa disikapi dengan asing dan janggal!

    Tapi, bagaimanapun, pergantian musim adalah suatu yang memang harus kita sikapi dengan bijaksana. Karena ia adalah esensi dari hari yang tak mungkin diadendumi semau kita. Dan, sikap yang sama, toh juga harus diberikan pada siapa yang akan datang dan siapa yang akan melambaikan selamat tinggal (setidaknya dalam makna intuitif).

    Dan, ketika hujan turun dengan deras, plafon rumah pun tiada kuasa membendung gemuruhnya, satu yang bisa kita lakukan: menyikapi hujan sebagaimana ajaran kearifan. Tak perlulah kita berdebat mengapa ini jadi begitu, mengapa itu jadi begini! Mengapa ini yang direncanakan kok itu yang menjelma. Yah, marilah kita mengarifi maknanya.


Harian Haluan, 1 November 1992

SELAMAT LEBARAN, DIK

    Dik, bila gema takbir mulai memenuhi  cakrawala, bunyi kentongan dipukul bertalu-talu, dan anak-anak kecil berbaris  membawa lilin-lilin sambil berteriak riang gembira, itulah malam terakhir dari Ramadhan. Sebuah malam yang esoknya adalah hari kemenangan, Idul Fitri yang menggembirakan.

    Malam tentu akan terus berangkat,  hingga kemudian terdengar kokok ayam di dini hari. Dik, bangunlah kala itu. Buka jendela kamarmu dan lempar tatap ke arah timur. Ufuk kemerahan yang merona di sana, adalah fajar kebahagiaan buat kita semua. Pejamkan matamu, Dik, sambil dalam hati mengucap syukur pada Ilahi bahwa kita masih diberi waktu untuk hadir dalam hari nan fitri ini kali. Berdoalah dengan  khidmat, biarkan perasaanmu melayang dibawa embun pagi dan sukmamu berlari ke latar suci.  

    Setelah matahari kian naik, yang pertama kaulakukan adalah sungkem di hadapan Ayah dan Bunda. Mintakan reda dan maaf atas semua salah dan khilaf yang mungkin selama ini begitu sering melukai perasaan mereka. Pusatkan pikiranmu, satukan raga dengan sukmamu, agar kau tahu bahwa Yanda Bunda selalu begitu mulia. Dan yakinlah  bila kau khidmat minta maaf, khusuk mengingat semua khilaf, akan ada beberapa tetes air mata yang menggulir di pipimu. Air mata haru nan bahagia.

    Dik, di hari yang fitri itu, jangan sekali-kali kau pusatkan mata-diri ke kemilauan, gerlap-kilau dalam suasana kemewahan, hambur uang berpora berpesta. Jangan, Dik. Aku akan sedih bila kau manfaatkan hari fitri itu untuk pamer kemewahan, lomba pakaian dan proklamirkan keangkuhan.  Pada hari nan fitri itu, yang harus kaulakukan bukanlah hal-hal seperti itu.  Tapi tolehkan kepala ke perkampungan miskin yang dina-papa. Perkampungan yang sebagian besar bangsamu berada di sana. Perhatikan mereka dengan kesungguhan dan ketulusan. Dan  semoga dengan demikian kau akan sadar bahwa tidak semua orang  dilahirkan seperti engkau. Masih begitu banyaknya kaum dina yang perlu disantuni, butuh disedekahi. Mengapa  uangmu yang melimpah-ruah itu tidak  kaubelikan baju-baju atau kue-kue dan kemudian kau kunjungi mereka? Bersalamanlah dan meleburlah bersama kehidupan mereka. Larutkan dirimu  dalam kepapaan dan kedinaan seperti  itu.

    Dik, camkanlah petuahku ini. Aku, Kakakmu dari negerl yang jauh, turut  berdoa, semoga kau sehat bahagia serta di hari fitri nanti. Aku juga berharap  semoga kau bukanlah adikku yang penuh kemilau nan angkuh, penuh kemewahan yang dipamer di depan mata bangsamu nan masih papa. Jangan membuat gap dengan mereka, jangan menghindar, jangan meleceh, dan jangan memberi bantuan dengan cara  melemparkannya dengan ujung kaki.  Tapi, jadikanlah mereka sebagai bagian  dari dirimu sendiri: ikut merasakan kebahagiaan setidaknya di hari fitri nanti. Dan satu yang harus kauingat, Dik, tidak semua orang seberuntung kau dalam mengarungi hidup ini. Amat banyak yang tersuruk dalam ketiadaan dan kepapaan yang menyedihkan.

    Ah, betapa aku akan bahagia, Dik. Betapa aku bersyukur pada Ilahi jika kau adalah adikku yang pemurah-tulus-suci. Sekali lagi, lebaran bukan ajang pamer kemewahan. Lebaran adalah hari suci, tempat di mana kita saling memaafkan dalam ketulusan nan murni. Lebaran adalah kala di mana kita tampil sederhana dengan bersahaja, bukan kilau  mewah tak berkira. Begitu kan, Dik?  

    Kakak akan selalu berdoa semoga kau tetap adikku seperti dulu-dulu. Tidak menyalahgunakan lebaran untuk ajang pesta pora yang melenakan.


KMS Minggu Ketiga April/NO.74/Tahun VIII/1992

Anak-anak di Halte

 

    Suatu pagi, di bulan Oktober, gerimis turun cepat. Beberapa anak penjaja koran duduk berteduh di halte yang sepi. Koran-koran yang mereka bawa ditumpuk untuk bertelekan siku. Pagi kian murung ketika gerimis telah menjadi hujan. Jalanan sepi: bis, oplet, sepeda motor, dan mobil-mobil pribadi hanya satu-dua yang lewat. Itu pun tidak melirik ke arah mereka.

    Husin, nama salah seorangnya, juga duduk bertelekan siku, bertopang dagu sambil sesekali melihat ke langit; semoga cuaca dapat diajak kompromi agar semua koran terjual habis!

    Sampai siangnya, jangankan teduh, surut pun hujan tidak. Matahari hanya sanggup membiaskan sinarnya yang pucat. Sementara kendaraan juga enggan untuk lalu-lalang, seolah semua manusia lebih memilih untuk tinggal di rumah sambil menikmati hari Minggu bersama keluarga.

    Husin dan teman-temannya, memandang tidak percaya pada langit yang hitam. Seekor kucing kurus yang baru saja numpang berteduh di halte itu, mengibaskan bulunya. Menggigil. Suaranya yang lemah memaksa Husin untuk melirik dan memperhatikannya. Seperti sadar diperhatikan, kucing hitam kurus itu, berjalan membungkuk-bungkuk mendekati kaki kecil Husin. Kepalanya yang masih basah menyentuh tulang kaki Husin. Si kucing menengadah dan Husin menatap menunduk; "Kita senasib, Cing, hujan merampas waktu dan makan kita."

    Setelah bulu-bulunya kering, kucing kurus itu melompat kepangkuan Budi dan rebah-melengkung di sana. ""Sin, hangat sekali di sini." Husin tentu saja tidak mendengar katahati kucing dan kucing juga tidak mendengar katahati Husin.

    "Cing, esok saya harus bayar uang sekolah dan uang seragam. Belum lagi uang ini-itu yang tidak sedikit. Di rumah, Mak sakit. Adikku Titi, juga belum minum susu sejak lahirnya. Padahal, di saat bayi seperti itu, ia harus minum susu, Cing. Susu Mak sudah kering karena sakitnya."

    "Sin, aku belum makan dari kemarin. Lihatlah perutku, kempes sekali, bukan?" katahati kucing lagi. ""Anakku tiga, kecil-kecil dan kurus sekali. Aku tidak punya susu lagi untuk mereka, Sin. Maukah kau memberiku semangkuk susu?" Hujan belum juga ada gelagat akan reda. Koran Husin belum satu pun yang terjual.

    Sementara, di sebuah rumah megah di depan jalan, Nancy sedang asyik bermain dengan kucing dan anjingnya yang manis. Pembantunya, Yem, sedang menyiapkan makan siang untuk hewan-hewan yang manis-manis itu. "Yem, ham dan sosis untuk Bruno, Lupax dan Grodog sudah disiapkan?" "Sudah, Non. Sudah ada di ruang makan mereka." Nancy pun menuntun ketiga anjingnya ke ruangan yang sengaja dibuat untuk hewan-hewan itu. Setelah mengantarkan mereka, Nancy kembali mendekati Yem. la berkata, ""Yem, hari ini Pussy, Missy, Kitty dan Levy beri salem dan tuna bakar, ya, plus coklat susu." Yem pun menyiapkan makanan untuk kucing-kucing yang cantik-manis itu.

    Di halte, anak-anak penjaja koran dan kucing hitam kurus sedang menggigil kedinginan. Mereka sedang berbicara dengan perasaan masing-masing. Mijo, anak kecil yatim piatu, sedang menghayalkan berweek-end dengan "papa-mamanya". Udin, si kerempeng yang penuh borok, mengimpikan sedang tidur-tiduran di kamarnya yang mewah sambil nonton atau berdendang berkaraoke. Jujur, yang sedang berjuang melawan kebutaan (karena matanya sudah demikian parah disebabkan terlalu sering membaca hanya berpelitakan bias merkuri yang sampai ke pondoknya) membayangkan sedang membaca buku-buku tebal dan mahal di perpustakaan pribadinya. Ujang, melamunkan sedang minum kopi susu hangat (hanya kopi susu hangat!).

    Dan, Husin, menatap kosong ke langit yang hitam. Dalam benaknya, ada Maknya yang terbaring sakit dan Titi yang megap-megap kelaparan! Husin sudah tak mampu lagi untuk menghayalkan keelokan taman firdaus dan eden. Sementara kucing hitam kurus meneteskan air matanya, teringat akan ketiga anaknya yang kini mungkin sedang berjuang keras melawar banjir. "Ngeong! Sin, aku harus pulang. Mungkin anakku kedinginan!" Kucing itu melompat, berlari menembus hujan, menyeberang jalan: Sebuah baby benz yang meluncur kencang menghentikan geraknya....

    Suatu sore, di bulan Oktober, hujan deras. Lamunan Mijo, Udin Jujur, Ujang dan Husin, kian luruh di basuh hujan yang turun. Di depan mereka sore ini ada sebuah kenyataan: Koran tak terjual!


***

Harian Singgalang, 17 November 1991


PESAN 22 NOVEMBER PAGI BUAT ADIK

Kini November tengah kita harungi, membabar layar lagi dalam musim penuh awan, dalam angin membawa bintik hujan
tetap membiarkan sauh terletak di buritan agar laju tumpangan diri,
tuju pelabuhan cita-hati. Ya, beginilah, Dik, sebuah kelana di samudera
luas dalam bulan menjelang akhir
adakah dikau yakin bahwa harapan suci bukanlah mimpi?
pulau asa bukan sekedar halusinasi, pula fatamorgana?
ia ada, Dik, nyata pula bentuknya
refleksi keinginan yang diterjemahkan dengan kewajaran:
Pulau Bahagia penuh kerlip gemintang!

Maka, Dik, teruslah yakin bahwa menarik sauh tidak sia-sia
membabar layar tidak percuma
karena hidup memang samudera, nan luas tak bertara
terus-terus terus, dan teruslah biarkan angin mendorong babar layar,
sembari kendalikan kemudi
tahukah dikau, Dik, cara mengendalikan kemudi?
Duh, dikau pintar ternyata
Benar: dengan berserah diri dan minta petunjuk pada-Nya!
toh, kitab-kitab telah diturunkan pada kita
untuk penuntun langkah agar lempang ke depan

Dik, bila memang kapalmu besar, yang aman sentosa berlayar
jangan tutup matahari dari biduk-biduk diombang ombak
lempar sekoci dan tali, agar mereka tak kehilangan kendali
tarik merapat lalu tumpangkan mereka
bantu perbaiki biduk kecil yang mungkin tiris itu
atau beri sepasang dayung jika memang mereka tak punya
baru kemudían, biarkan mereka berlayar lagi tuju cita
yang didambakan tersendiri

Duh, dikau amat berjasa, Dik, bantu sesama di samudera luas
selamatkan mereka dari ombak ganas
puji syukur pada Ilahi, karena dikau punya hidup berarti

Dik, ini pagi November ke dua-dua, dalam minggu ke empat
aku datang ke depanmu, menitip sedikit pesan-harap
andai dikau sedikit lupa ini aku sedia mengingatkan
abangmu yang jauh dari mata, dekat di rasa tentunya
dan, salam hikmat selalu....

Harian Haluan, 22 November 1992

TENTANG ANGIN

 susunan abjad y-e-t dan i

ruang, masih kosong tanpa sekat-sekat
debu. adalah tikar dari lantai sampai langit-langit
dan, ada jejak yang lewat
    "Siapa di antaranya?"

tangga. masihlah susunan tingkat yang dari atasnya
kujawab tanya sambil melempar kesangsian
    "Aku datang untuk memandang!"

dari ujung kau sapa angin yang lalu, "Hai!"
dan mendayulah nada sampai ke tangga
yang kini sebagai taman di ruang yang kosong

"Dik, aku punya satu rama-rama
punyakah kau sesudut taman?"

lewatlah angin yang entah ke berapa
kembali kau sapa, "Hai!"

- di tangga aku hanya memandang
pegangi rama-rama yang belum punya taman

1992

Harian Singgalang, 10 Mei 1992



SAJAK WAKTU

tersentak dari lelap dari ujung malam mengikat
bantal seprai di ranjang kumal oleh
bercak dari air mata keringat sampai tetes pagu
    -hujan di luar deras sekali, Tin  

serenada mengusung diri hingga terbang jauh
ke seberang. Sudah beribu kilonya sampai Padang
Purwokerto pun hanya sebatas jarak hati yang koyak.
berbatas selat Sunda kita ada. Krakatau membatu  purba.
tertatih aku duduk di bakau hening
menatap nanar ke seberang yang tak tampak
lalu mengepaklah Angsa Putih di punggung ombak
berputar, menari lalu terbang melintasi selat
    -terbanglah sejauhmu, Tin  

"Padang bukan tempatku,'' katamu suatu kali di bis
keringat  membanjir di wajahmu
dengan nafas terburu kau lempar tatap
ke luar jendela:  menelan gugupmu, sendirian
"Orang Padang dibeli, ya? tanyamu takut
mengilas  memandangku. Ah, kami tak seburuk itu
di mata kalian: barang dagangan yang diusung-usung.
  
aku duduk di selat. menekur menggurat-gurat pasir
lidah air sampai ke pusar. Padang - Purwokerto
memang jauh, dik...
 
"Orang Padang dibeli, ya?"
kutelan keringat, air mata, darah
selat krakatau
sampai angsa tak pulang jua....

1990 -1991

Harian Singgalang, 23 Februari 1992

LEMBARAN III

pantai telah disusur dengan kaki telanjang
pasir nyelimut dalam dingin dan gigil dera laut
angin menerbangkan buih digeluti elang kerdil
jadi tontonan dari detik ke detik

setelah panjang pesisir dilewati
(setelah sebutir mutiara ditemui)
kerang tak hendak memberi!
kilaunya tertempa matahari menembus langit
mutiara tontonkan gemilaunya di matahari
di bulan gemintang

aku duduk di pesisir biarkan lidah air menjilati
yakinkan untuk diri bahwa esok lusa camar takkan kembali

kerang diseret air jauh ke tengah!

1991

Harian Singgalang,  15 Desember 1991

SEBUAH PENGAKUAN DI UJUNG HARI

 - buat M di Purwokerto

cinta hanya impian di waktu tidur; sebuah lamunan indah di tengah hari yang kian lapuk (?) hidup toh tak hanya nyanyian matahari yang menembangkan tentang kemurkaan atau nyanyian rembulan dan gemintang yang lantunkan tentang keindahan!

langit yang runtuh di ujung sepi, membawa nyanyian luka mengusungnya sampai jauh ke balik langit yang koyak.

Dik, adakah kotamu menggigil di jung pagi, bagai aku yang terkapar beku dibawa embun?

kini kutahu ada namamu yang baru terusung di boks surat lari dari kenyataan akan sebuah kejujuran: atau bagimu ini hanyalah tonil di subuh-subuh? begitukah...

aku tak pernah hendak bertanya ke burung atau ke rumput bagai dalam nyanyian cengeng anak manusia. tiada yang lebih baik dari menyepi di ujung malam yang kian kelam dalam terbakarnya!

seharusnya aku tidak bertanya lagi sebab kasih hanya ada dalam janji semu di ujung jalan, depan gedung dewan yang kosong, dalam gerimis di halte samping

November 1991

Harian Singgalang, 15 Desember 1991

JEJAK DI PERSIMPANGAN

jejak telah terbang ditiup
angin melayang-layang sampai ke langit
tertawa ejek kelelahan yang tak pulang
di langit ada awan
hendak memagut dosa ke dosa sampai
hari tepati janji tuk tagih hutang masa
: pelan sekali guntur mencabik

saat hujan datang dalam angin
di tempat tak berwaktu
legam sudah putih diri
jadi lukisan dosa yang tak indah
: sayang, hanya sesal tanpa ubah
sampai diri takut pada hati

di simpang dua arah ada rambu
tak untuk dipilih jalan tuk ditempuh
hanya dua rambu
bukan untuk dipilih!

(apakah hanya duduk di atas jejak
di persimpangan? menunggu hari datang?
dalam dosa yang tiada berampun?)

November 1991

Harian Singgalang, 15 Desember 1991

MANUSIA MANUSIA

 

memilah-milah meremuk. jadilah makna
mengaliri sungai-sungai kerontang dengan ikan
ikan kurus yang menangis. tersedu-sedu
tersusut dengan asam cuka sampai dada terkoyak
lagi. jadilah makna mengalir

pendeta berkacamata, salib melempang di langit  langit
di balik saku madona telanjang
kubah bertulis kalimah luhur-suci
namun dia bergaung-gaung
si bangka bersorban
tengkurap memeluk bulan. mendesah panjang menegang
regang beliak membeliak: betina mendecak

o, manusia o, manusia
jadilah makna mengalir jauh-jauh
ke balik langit
bersama fantasi melambung-lambung  

Desember 91
 
Harian Haluan, 22 Maret 1992

MALAM TAHUN BARU

⁃ selalu begitu tiap tahun  

getar dawai telah kuaransir
jadi sebuah irama, serenade. kantata luka
bebatu telah kususun
jadi sebuah arca. termangu  

kemudian irama jadi batu
arca jadi puing  

(adakah KAU tahu?)  

1985-1990

Harian Singgalang, 7 Oktober 1991

RABU 17 JANUARI

I
desau daun bercengkerama
dengan gerimis pagi bạsah
melengket embun embun, menempel
di kaca, terasa tirai
semua membatas
antara nisan dan cakrawala
berkabut  

II
embun turun rapuh
hinggap di daun suram
pagi tak bermatahari
lazuardi tak ada ini kali
'lain putih menggumpal
lembut
lunak
tengadahlah aku
    ⁃ di antara kaca berkabut ⁃
mencoba menembus ke nirwana
sia-sia. lagi jadi batas
antara nisan di pusat makam
dengan cakrawala berkabut  

1989  

Harian Singgalang, 7 Okt 1991

DI SINI BUKAN BUKITTINGGI


bagaimana raga bisa berada di sini?

malioboro ternyata tak seindah cerita dan lagu
yang membentuk khayali tentang negeri seni
yang membangun percaya tentang kesahajaan insani

kali code ternyata bukan lukisan alam yang indah
yang mengalirkan kebeningan
mengulurkan persahabatan  

(inikah dua tempat di mana kesurgawian didengungkan?
sedang arogansi dan sampah-sampah memaparkan bentuk?)  

dan aku tahu betapa raga berada di sini
menyadari bahwa kota ini bukan Bukittinggi
tempat ngarai mengalirkan kebeningan
tempat Jam Gadang mengulurkan persahabatan  

biarlah aku percaya bahwa manusia telah mengubah segalanya
dan biarkan juga aku yakin bahwa
Bukittinggi kelak akan berbentuk sama  

Yogyakarta, 1995

KERJAP RINDU DI MATA ANGIN

  
menempuh ribuan jarak
menyusur banyak mata angin
ada ujud tunggal mengental
mengada, waktu ke ketika. meski sesaat
sebagai bentuk kepurbaan perasaan  

banyak mata angin mengintip
melelahkan tangis haru
tentang keinginan yang terkotak
terlempar ke langit tak berbatas  

kerjap rindu di mata
angin membawakan nyanyi sunyi
menyempurnakan keterasingan  

ah, ah, betapa rindu jadi tangis
ingin mengaso dalam pangkuan bunda
dalam dekapan kekasih
bersama turut menyenandungkan
segala nyanyi yang tak sunyi  

(tapi di sini betapa terasa
segala keinginan pada tanah ibu
mempercakapkan dalam dialog tradisi)  

Dan, rindu mengerjap jua
dalam banyak mata angin  

Yogyakarta,  Mei 1995  

Dari Lintas Andalas - Umbul Harjo*

--sajak terminal ke terminal


sangkar berisikan daging-daging bergerak
menyemut memperebutkan bawaan pendatang
menarik ke bis-bis kosong terpanggang terik
berteriak dengan suara yang kian serak  

bertanyalah nurani diam-diam:
"takkah kalian bisa sedikit sopan?"
daging-daging bergerak memberingas
kemelut dan krisis hidup manusia
melahirkan kekasaran untuk namanya pangan
makan makan makan
betapa sulit di terminal ini  

dari lintas andalas ke umbul harjo
tidak banyak berbeda rupa:
sangkar berisikan daging hidup yang gerah
bis-bis kosong terpanggang terik
pungli,preman dan petugas
membangun arak-arak
tentang hidup yang kian terpepet  

Yogyakarta, Mei 1995  

* Lintas Andalas = terminal bis antarkota Padang  Umbul Harjo = terminal bis antarkota Yogyakarta

Surat untuk Kita

--sebuah prosa

Sering sekali, tanpa sengaja, kita melemparkan kebencian dengan senyum yang janggal. Lihatlah, betapa senyum telah disalahgunakan. Tapi pada banyak sebab, bukankah kebencian ditimbulkan oleh tumpukan ketidaksukaan?

Tidak, aku tidak tengah membicarakan ketidaksukaan atau kesukaan. Tapi aku tengah mengatakan betapa angin benar-benar telah menjadi prahara. Membuat segala keinginan diluluhkan dan kemudian ditaburkan pada banyak tempat yang telah terberai jauh. Lihatlah, pohon-pohon sawit, pusat-pusat properti, atau tumpukan diktat-diktat kerja. Semua menjadi satu dan bertumpuk dalam cerana yang disebut keputusasaan.

Putus asa adalah surutnya permukaan laut jiwa ke tingkat paling rendah. Dan, setelah bertahan sekian tahun, akhirnya kita harus takluk dan lumpuh dalam pelukannya yang suram. Kita mengerti tapi kita tidak peduli. Hati telah dibakar dan jiwa telah disimpan dalam peti mati atau hanya sekedar hibernasi. Bukankah batu nisan telah dipesan? Sebab, usia sebenarnya adalah menunggu selesainya pemahat batu nisan.

Berbicara tentang nisan, kita merasakan benar, bahwa keranda adalah bagian yang tak terpisahkan. Dalam aroma melati bisa kita tangkap hawa kedukaan atau keriaan. Sekarang dari sudut manakah kita hendak menilai? Lihatlah usung-usungan itu: memintasi mata kita dengan bangga dan leluasa.

Sekarang, kita telah katakan sebelumnya, tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan: tentang keranda, nisan, melati atau bahkan tentang tumpukan diktat kerja, pusat properti dan pelepah sawit.

Bukankah semua telah bertumpuk pada satu cerana: Nafas!

Jakarta, 31 Desember 1996

Percakapan Bunga Baja

 --Kepada Ayi (II)

memulai percakapan dibuka dengan penyesalan
menyanyikan kekecewaan yang dibangun dengan lucu
kau senyumkan kemurungan: "aku lelah!"
bertengkar dengan kata. omong kosong
tentang percintaan ke percintaan. duh, bunuh!
pagi-pagi bau anyir perpisahan didengungkan
"sialan benar anak-anak itu. fuh!"  

dulu bunga dari kertas. bercakap-cakap
pabrik baja juga membuat bunga. kausuka
begitu keras kelopaknya. tajam. sampai malam
angin tak jua menggugurkan. "aku lelah!"  

kau adalah kanak-kanak yang manis
menunggu kanak-kanak lain di pintu keluar
kertas-kertas remuk menyerupai bara bunga baja
panas nian. tapi kau tak peduli
air matamu seperti timah. menyesali pisah ke
pisah. "bukankah aku turut berduka cita?"  

Jakarta, 1997

Manekin Perempuan Katamu

 --kepada Ayi (I)  

kepada kata kita lepas ketidakpuasan, merajuk dan ulaskan kegetiran
beribu omong kosong mengiringi nina bobo
dari bibir bergincu. begitu hitam
bukankah perasaan terkontaminasi omong kosong
kepergian diawali kedatangan, gaduh
beribu gerbong kata diusung, dirajut
dililitkan di setiap bantalan rel sejajar
"siapakah yang manekin kalau kau tak?"
bergerak kaku: "ini bukan perasaan, Bung!"

setiap hitungan keluruhan hari. cerabutkan
budaya perempuan telah dilempar keluar jendela
sebagai remah dibawa tikus.
"lihatlah, kaubukan manekin hidup!"
percayalah bahwa melahirkan anak manusia
lebih dari sekedar sorga  

Jakarta, 1997  

Primaere Behoeften

Dimuat di Tabloid Gema Justisia
pada Kolom Awamatra ed. 1993



Ketika serigala lapar, kelinci-kelinci padang yang putih  dan kecil berlarian ketakutan. Sang induk mendekap anak-anaknya dalam gigilan kecemasan yang utuh. Serigala -anjing hutan bermulut panjang dan mengerikan- melolong  melengking membelah bulan: mengabarkan kelaparannya  pada semesta! 

Mencemasi yang Tersisa

-- kepada We

di paviliun rumah sakit ini hujan menyentuh lagi
anak rambutku yang melepuh terpanggang matahari
di balik tirainya matamu menyenyumi kekikukanku
yang masih menuntun lukaluka 
berjalan beriringan ke pintu hampa

di paviliun rumah sakit ini malam melenggang
dalam harapan tersia-sia
menampung senyummu yang asing
atau membiarkan hujan menutupi poripori

dalam duka keluarga yang panjang
tengah hari bersahaja usai pemakaman
kutampung lagi kepasrahan semua mata
kau ada dalam mengajimu yang baru selesai

dan aku pun masuk ke ruang yang dicemaskan
tempat aku tak lagi melihatmu
hanya inikah hidup dijalani
untuk kembali matahari melepuhkan
sedang hujan hanya ada pada matamu

izinkan aku berkirim sajak
agar hujanmu tak dipayungi kesunyianku  

1996


Harian Haluan, 13 Februari 1996

Perempuan Merangkai Bunga ke Sorga


dinda, cerita terbangun di awal musim
tentang kesetiaan dan kesabaran. menitiskan cinta
dalam detikdetik yang kosong. tak ia bertanya:
jam berapa kelelahannya begitu indah
senyum agung merangkai bungabunga
untuk dibawa ke sorga
 
dinda, cerita dari paviliun rumah sakit
tempat kepasrahan dibaringkan dalam perjuangan
bukankah dia perempuan yang melahirkanmu?
tak hendak bertanya jam berapa
ia tak lagi punya tidur
tapi ia mengajarkan nyenyak padamu
dalam pengabdian pada lelakinya: ia ayahmu  

dan kita sepakat akhir juang dan pengabdian
memenuhi perjanjian denganNya. aku pun tahu ia
telah selesaikan merangkai bunga untuk ke sorga
dinda, dengarlah cerita ini dan sampaikan padanya
aku, orang asing, berkirim takjub:
betapa sungguh ia merangkai bunga untuk ke sorga

RSAM, 1996

Harian Haluan, 13 Februari 1996

Seperti Hulu yang Berangkat ke Muara


memastikan ada kita selalu bertanya
meminjam penanggalan untuk dilafalkan
atau sama sekali tidak beraksi, sendiri
karenanya batas bahagia dan luka begitu absurd
atau mengentahkan dan menyerah
siapakah yang pernah mengajarkan tertawa
atau menangis sedang kita mengawalinya
laksana hal biasa dalam jerit ratap
hati yang kering atau sorot mata sunyi
mungkin bijak jika tetap menerima
bahwa benar segalanya telah dialirkan
seperti hulu yang berangkat ke muara

1995

Harian Haluan, 13 Februari 1996

Hikayat Anak Tetangga Dijemput Tua

membuka pintu-pintu yang telah dikunci
hanya angin yang menyapa dan berkata: pergilah
jangkrik dengan suaranya yang buruk
mempertegas kelam
di antara pokok-pokok kayu lapuk
bulan dan bintang telah lama dimakan matahari!
begitu nyanyian anak-anak tanpa busana di rumah sebelah:
rumah tak berlantai, rumah tak berdinding
lembab memanjati. angin mengintip
sebetapakah hidup kanak mampu dimakna
sedang usia menua? dipaksa hari. dipaksa hari
bulan dan bebintang tak akan kembali
telah lama dimakan matahari
anak-anak di rumah sebelah telentang
dirayapi embun, ditusuk angin
ketakberdayaan menjemput ketuaan
merampas usia kanak. tak menyisakan legenda  

1990/1993/1994

Casa Dei Bambini

berapa lagi mata bayi dirayapi embun
bayibayi yang tak meminta datang

berapa lagi mulut mungil terkatup
bayibayi yang tak bertemu puting susu

bayibayi di tangan waktu, tak bersuara
megapmegap. mencari tempat bertanya
menjawab alam: rahim dijual tempat lahir

beratap awan berkasur batu
dibelai kesendirian yang senyap
kebeningan yang kosong bertanyatanya
diusungusung ke ujung waktu

(sebuah penampungan sampah di sudut kota
bayibayi dibesarkan lalat)  

1990

Perempuan Bertasbih Panjang

kepada Ibunda

Angin yang membiuh, meratap menusuk-sampai, jauh
terderai kesangsian, terlerai dari kesepian
langkah awal dibentuk dalam rahimmu
Yakin ditumpuk-tumpuk, jadi pilar geliat hidup
"Kesangsian telah kujawab, Bunda."

Butir keringat yang ngalir di pori
dari bayi hingga hidup diberi arti
Mendesak air mata, jauh ke sumsum
Menyatu membentuk temali: tasbih panjang
tempat kasih dan sayang dikirimkan, mengabadi

Usia kanakku adalah bocah yang bergayut
di rambut legam berbalut kerudung
Merayapi waktu, menyelami laut amis darah
berkirim keselamatan dengan kereta-kereta doa
sampai suatu ketika
melepas bocah-bocahmu yang tak lagi kanak manja
"Berapa jumlah terima kasih mampu membalasnya?"

Dengan rambut yang telah keperakan
di atas sajadah waktu yang tiada batas akhir
Ibunda berkirim kesejahteraan lewat dedoa abadi
Betapa aku ingin meraba jemari yang lelah
mengais bukit menimbun lurah
Memaknai hari dengan semangat dan pasrah
Betapa aku rindu menghitung tasbih panjangmu  

Bukittinggi, 1992

Yang Tak Dipahami

angin menyusur, terjerembab di latar buram
dedaunan melahirkan riuh-gerak, merayap
segalanya laksana kisah purba
yang ditera di daun lontar
kemerdekaan hendak disenandungkan
tapi suara-suara telah diputus
dalam anggukan ketidakberdayaan
melantun-lantun dalam gelombang longitudinal
tak terukur  

"ini langkah keberapa
sejak keadilan diperkenalkan?"  

1994 

Berapa Lagi Hitungan Sunyi

Aku mencabik tanggal-tanggal. Membuang ke laut
tak bertepi
Waktu menyungkup, waktu menyungkur
Yang mendesak di debur jantung

Berapa lagi hitungan sunyi, o
Menunggu biduk-biduk ditambatkan
menunggu ombak membawa pesisir

Di sini kekalahan mengabadi. Purba
merayapi hari. Menghitung sisa

Berapa lagi hitungan sunyi, o
mengaliri keringat yang terbuang, serupa badai
kekalahan jatuh
Ibunda, ke mana lagi tuju
dari kepurbaan rasa yang disekap  

1991/1994

Percintaan Manusia

jentera besi diputar di rel tak sejajar
membelah angin; kereta telah tua
resah darah, geliat jantung memacu
menggelora serupa bah, tuju muara
menyapa delta penuh sepi

rel tak sejajar, di atasnya jentera berputar
disapa kekalahan, diterima kepasrahan
luluh. betapa tiada terpahami:
kebencian dan cinta kasih, kedahulukalaan
tak berkarat oleh angin asin samudera
tak ikut melapuk oleh embun bergugur  

1993

Kampung Nafas Kita

kenangan buat Ey Theo
  
deretan persawahan, tebing-tebing bukit batu
berjalan dari langgar ke langgar
bersama embun dan angin yang mengerti
aroma batang padi dan bunga-bunga kopi
merayapi seluruh arteri memberi arti: amat murni  

matahari serupa lingkaran lembut, bulan juga
Ey Theo, kita duduk di pematang
membiarkan angin merayapi hati, mengabadi
bebatangan pohon kelapa, pisang dan rumput-rumput
di kejauhan burung-burung sawah memadu hati

Ey Theo, ini seperti legenda purba
tentang tempat tetirah raja-raja  

pada sebuah pagi yang berangin, daun-daun gugur
kita berjalan bergenggaman tangan, disapa embun
burung-burung kecil berkata: selamat pagi
dan, Ey Theo, kita menyenyuminya
mengucapkan selamat tinggal, membawa nafasnya
  
1993

Hikayat Kesunyian

Matahari merayapi langit. Penuh angin
membawa burung-burung pulang ke sarang
Di depan tingkap yang terbuka, tuju petang
sayup alunan desir dedaun. Membawa getir
sampai jauh. Merembesi pori tuju sumsum
dan rindu pun berkata:
aku ingin bercerita

Bulan memanjat malam, penuh awan. Mengelupas
Embun menetes dari batu-batu, berwarni
lembut memiriskan keinginan
Tersekat jarak, terhalang tempat
dan cinta menjawab lirih:
aku kehilangan senyum dan sapa  

Di sini angin betapa terasa
memiriskan hati. Menyenyapkan sunyi  

1994

Cinta Menyerpih dan Ketulusan Terbelah

(dari Palasik - Jelaga Bola Langit) 
 
Kita hendak menitipkan rindu pada gerbong kereta
waktu yang tertatih-tatih
Ialu kita tunggu kemesraan dari bebatangan rel sejajar
dan kita makamkan hasrat

Langit yang murung dan penuh dengan burung-burung
kita tatapi dengan kesangsian
Kerumunan massa menghadang segalanya. Luruh

Sepotong bulan pucat putih, menyetubuhi mata
nan takjub pada perlakuan semesta
Sembari menunggu kereta sampai
kita belah bulan menjadi lempengan
menyerakkannya di ranjang persetubuhan
antara dendam dan kebencian
deru angin teriakkan hasrat
tungkai hujan tusukkan nafsu
dalam dendam berakar

"cinta menyerpih dan ketulusan terbelah"  

1990